LANDASAN TEORI

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah

Komoditas pertanian pada umumnya dicirikan oleh sifat produksi musiman, selalu segar, mudah rusak, jumlahnya banyak tetapi nilainya relatif sedikit (bulky), serta lokal dan spesifik (tidak dapat diproduksi di semua tempat). Produk pertanian juga lebih mudah terserang hama dan penyakit

sehingga diperlukan pemasaran yang sesegera mungkin untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Pemasaran pertanian sebagai aktivitas perdagangan yang meliputi aliran barang-barang dan jasa-jasa secara fisik dari pusat produksi pertanian ke pusat konsumsi pertanian. Pemasaran merupakan hal yang penting dalam menjalankan usaha pertanian karena hasil produksi yang baik akan sia-sia karena harga yang rendah. Oleh sebab itu, tingginya produksi tidak mutlak memberikan hasil atau keuntungan yang tinggi bila tidak disertai adanya suatu pemasaran yang baik dan efisien (John, 1968 dalam Sudiyono, 2002).

Pemasaran suatu komoditas pertanian yang sederhana terdapat dua macam pasar yang terlibat, yaitu pasar produsen dan pasar konsumen. Pasar produsen adalah pasar sentra produksi yang menghasilkan produk-produk pertanian dan kemudian dijual ke pasar lain yang membutuhkan. Sedangkan pasar konsumen adalah pasar tujuan penjualan hasil-hasil pertanian dari daerah sentra produksi untuk dibeli individu-individu dan rumah tangga untuk dipakai sendiri (Surachman, 1991). Adanya pemasaran dari pasar produsen ke pasar konsumen tersebut menyebabkan terjadinya biaya pemasaran dan keuntungan yang diambil oleh pedagang perantara sebagai lembaga pemasaran. Hal tersebut akan mempengaruhi perbedaan dan perubahan harga yang terjadi baik di pasar produsen maupun di pasar konsumen.

Menurut Simatupang dan Situmorang, 1988 dalam Budianto (2006), hubungan yang saling mempengaruhi dalam hal perubahan harga antara dua pasar disebut keterpaduan pasar. Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga dari suatu komoditas pada tingkat lembaga tertentu akan dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga yang lain. Sedangkan menurut Simatupang (1997), dua pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lainnya dengan kemungkinan yang dapat terjadi adalah salah satu pasar sebagai pemimpin harga dan pasar satu lagi sebagai pengikut harga serta harga yang terbentuk sebagai hasil pengaruh dari harga kedua pasar. Berdasarkan Heytens (1992) dalam Adiyoga et. al. (1999), penyebaran dan pemanfaatan informasi antar

pasar mengenai komoditas tertentu memungkinkan harga komoditas bersangkutan bergerak secara bersamaan. Kondisi ini menunjukkan adanya integrasi antar pasar yang merupakan salah satu indikator sistem pemasaran yang efisien Dimana informasi harga di salah satu pasar dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar di pasar lainnya dalam proses determinasi atau pembentukan harga.

Keterpaduan pasar dapat dianalisis dengan beberapa cara. Menurut Handayani dan Minar (2000), metode yang digunakan untuk melakukan analisis keterpaduan pasar ada empat metode yaitu koefisien korelasi, kointegrasi, model yang dikembangkan oleh Ravalion, dan model IMC dari Timmer. Analisis yang tepat digunakan untuk mengkaji keterpaduan pasar secara vertikal dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta yaitu model analisis Index of Market Connection (IMC) yang diperkenalkan oleh Timmer. Hal ini dikarenakan IMC dari Timmer lebih sensitif daripada model Ravalion karena dapat menunjukkan derajat integrasi pasar atau derajat keterpaduan pasar.

Apabila dalam analisis regresi yang melibatkan data deretan waktu dan jika model regresi yang dimasukkan tidak hanya nilai variabel yang menjelaskan (X) pada waktu sekarang tetapi juga memasukkan nilai pada waktu yang lalu (lagged) maka model tersebut dikatakan sebagai model autoregresif yang didistribusikan (Gujarati, 2006). Pertama-tama, model yang dikembangkan oleh Ravallion dimulai dengan membangun hubungan Autoregressive Distributed Lag . Model persamaannya dirumuskan : ai (L) Pit = b0 + bi (L) Pt + gi (L) Xit + mit...................................................(1) Keterangan: Pit : harga di pasar lokal pada waktu t Pt : harga di pasar acuan atau pusat pada waktu t

X it : faktor lain di pasar lokal pada waktu t

mit : random error ai (L); bi (L); gi (L) : notasi polinomial nilai beda kala atau operatur lag (LiPt = Pt-1)

Persamaan model (1) diubah menjadi : DPit = (aitL-L) DPt + bi0 DPt + (ait+bi0+bit-1)Pt-1 + giXt+mit ................... (2)

Dengan mengubah D : (Pit-Pit-1)=(ai-1)( Pit-1-Pt-1)+bi0(Pt-Pt-1)+(ait+bi0+bit-1)Pt1+giXt+mit..(3) Bila :

g i =B 4 Maka persamaan (3) menjadi : (Pit-Pit-1) = B1(Pit-1-Pt-1) + B2(Pt-Pt-1) + B3(Pt-1) + B4Xt + mit.............(4) Persamaan (4) disederhanakan menjadi : Pit = B0 + (1+B1)Pit-1 + B2(Pt-Pt-1) + (B3-B1)Pt-1 + B4Xt + mit...............(5)

Berdasarkan uraian dari persamaan (1) sampai dengan persamaan (5), secara keselurahan model persamaan-persamaan tersebut menunjukkan suatu keadaan bagaimana harga suatu komoditas di pasar acuan mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal yang lainnya dengan mempertimbangkan pengaruh harga komoditas tersebut pada waktu sebelumnya atau pengaruh lag (waktu t-1) dan harga pada waktu sekarang (t).

Nilai dari koefisien (1+B1) dan (B3–B1) dari persamaan model tersebut menunjukkan besarnya kontribusi relatif dari harga di pasar lokal dan harga di pasar acuan pada waktu yang lalu terhadap pembentukan harga di pasar lokal pada waktu tertentu. Harga pada waktu yang lalu di pasar lokal dikatakan terintegrasi atau terpadu dengan baik apabila harga-harga pada waktu yang lalu di pasar acuan merupakan faktor utama yang menentukan dalam pembentukan harga di pasar lokal. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kondisi penawaran dan permintaan di pasar acuan dikomunikasikan atau diinformasikan secara efektif ke pasar lokal dan membawa pengaruh dalam hal pembentukan harga di pasar lokal tersebut dalam jangka pendek.

Sedangkan nilai dari koefisien B2 merupakan ukuran integrasi atau keterpaduan pasar dalam jangka panjang karena parameter tersebut menunjukkan seberapa besar perubahan marjin di pasar acuan dapat mempengaruhi harga di pasar lokal. Semakin dekat dengan 1 dari nilai B2 berarti pasar terintegrasi atau terpadu dalam jangka panjang. Berdasarkan rumus dari persamaan (5), apabila : (1 + B1) = b1

B2 = b2 (B3 – B1) = b3 B4 = b4 Persamaan (5) tersebut dapat disederhanakan lagi menjadi persamaan seperti berikut ini :

Pit = b0 + b1(Pit-1) + b2(Pt-Pt-1) + b3(Pt-1) + b4Xt + mit.............................(6) Dimana :

Pit = harga di pasar lokal pada waktu t Pt = harga di pasar acuan pada waktu t Pit-1 = harga di pasar lokal pada waktu t-1 Pt-1 = harga di pasar acuan pada waktu t-1

b 0 = konstanta

b = koefisien regresi (1,2,3)

X t = deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan m it

= random error Kemudian dari persamaan (6) tersebut, apabila diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar acuan mempunyai pola musim yang sama,

maka b 4 = 0. Maka persamaan (6) menjadi : Pit = b0 + b1(Pit-1) + b2(Pt-Pt-1) + b3(Pt-1) + mit.........................................(7) Menurut Timmer (1987) dalam Setyowati et. al. (2005), rasio dari koefisien-koefisien tersebut dapat digunakan untuk mengetahui Indeks Keterpaduan Pasar (Index of Market Connection) atau IMC. Berdasarkan persamaan (7) dapat ditulis rumus IMC secara matematis yaitu :

b 1 IMC =

Keterangan : IMC = rasio dari koefisien harga di pasar lokal pada waktu t-1 dan koefisien

harga di pasar acuan pada waktu t-1

b 1 = koefisien harga di pasar lokal pada waktu t-1

b 3 = koefisien harga di pasar acuan pada waktu t-1 Nilai IMC < 1 atau semakin mendekati nol, menunjukkan keterpaduan

pasar dalam jangka pendek semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi di pasar acuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya harga di pasar lokal, sehingga keadaan di pasar acuan ditransformasikan ke pasar lokal dan mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal tersebut. Apabila nilai IMC ≥ 1, menunjukkan bahwa keterpaduan pasar yang rendah, dimana harga di pasar acuan tidak sepenuhnya ditransformasikan ke pasar lokal. Faktor utama yang menyebabkan terbentuknya harga di pasar lokal hanyalah kondisi di pasar lokal itu sendiri.

Alat penguji pada analisa regresi dengan metode OLS antara lain adalah

2 R 2 (koefisien determinasi), uji F, serta uji t. Uji R dan R terkoreksi (adjusted R 2 ) dipergunakan sebagai suatu kriteria untuk mengetahui ketepatan suatu garis regresi (goodness of fit criteria). Nilai R 2 mengukur proporsi (bagian)

total variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh semua variabel bebas dalam model regresi, semakin tinggi nilai R 2 (semakin mendekati 1) maka makin

banyak proporsi variasi variabel tak bebas yang bisa dijelaskan oleh variabel bebasnya. Nilai R 2 dihitung dengan menggunakan rumus :

2 ESS R =

TSS Keterangan : ESS = jumlah kuadrat regresi TSS = jumlah kuadrat total

Uji F digunakan untuk mengetahui tingkat pengaruh semua variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya dengan rumus : ESS

F = RSS n - k

Keterangan : ESS : jumlah kuadrat regresi RSS : jumlah kuadrat residual n

: jumlah sampel k

: jumlah variabel

F tabel : F (a ; k-1 ; n-k) Uji hipotesisnya adalah sebagai berikut :

Ho : bi = 0 (bi= b 1 =b 2 =b 3 =0)

H 1 : minimal salah satu bi bernilai tidak nol bi ≠0 (b 1 /b 2 /b 3 ≠0) Dengan kriteria : (1) Jika F hitung < F tabel : Ho diterima, maka variabel bebas secara

bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. (2) Jika F hitung ³ F tabel : H 1 diterima, maka variabel bebas secara bersama- sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. (Gujarati, 2006).

Uji t dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas secara individu, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

bi t hit = Se (bi )

Keterangan :

b i : koefisien regresi Se (b i )

: standar error penduga koefisien regresi

Dengan hipotesis: Ho : b 1 =0

H 1 :b 1 ¹0

t tabel = t (a/2 ; n-k)

Dengan kriteria : (1) Jika t hitung < t tabel : H 0 ditolak, maka tidak ada pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. (2) Jika t hitung ³ t tabel : H 1 diterima, maka ada pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya (Gujarati, 1995). Pengujian asumsi klasik dengan menggunakan uji matrik Pearson Correlation (PC), nilai nilai Eigenvalue (Colinearity Diagnostik), diagram pencar (scatterplot), dan uji Durbin Watson (DW). Uji matrik Pearson Correlation dan nilai Eigenvalue (Collinearity Diagnostics) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas. Bila nilai Pearson Correlation tidak ada yang lebih dari 0,8 dan nilai Eigenvalue tidak mendekati nol maka dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas tidak terjadi multikolinearitas. Diagram pencar atau scatterplot digunakan untuk mendeteksi terjadi tidaknya heteroskedastisitas. Apabila dari diagram pencar terlihat titik-titik menyebar secara acak dan tidak membentuk pola yag teratur maka hal tersebut menunjukkan bahwa model yang diestimasi tidak terjadi heteroskedastisitas.

Sedangkan uji Durbin Watson (DW), dilakukan untuk melihat apakah pada persamaan terdapat autokorelasi (salah satu penyimpangan asumsi klasik). Adapun kriteria adanya autokorelasi adalah sebagai berikut : (1) d < d L

Tolak H 0 (koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol) berarti ada autokorelasi positif. (2) d > 4 - d L Tolak H 0 (koefisien autokorelasi lebih kecil dari nol) berarti ada autokorelasi negatif. (3) d U <d<4-d U Terima H 0 (tidak ada autokorelasi) (4) d L £d£d U atau 4–d U £d£4-d L

32

Tidak dapat disimpulkan (Gujarati, 2006). Berdasarkan kerangka teori pendekatan masalah diatas, keterpaduan pasar antara Pasar Tawangmangu dan Pasar Legi merupakan keterpaduan pasar secara vertikal yaitu antara pasar lokal dengan pasar acuan dalam jangka pendek yang dapat dianalisis dengan Index of Market Connection (IMC) dengan ketentuan apabila nilai IMC < 1, maka tingkat keterpaduan pasar jangka pendek tinggi dan apabila nilai IMC ≥ 1, maka tingkat keterpaduan pasar jangka pendek rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Produsen Bawang Putih

Pasar Tawangmangu

Keterpaduan Pasar Pasar Legi

Integrasi Vertikal

Integrasi Horisontal

Jangka Pendek

Jangka Panjang

Analisis IMC

IMC < 1

IMC ≥1

Keterpaduan Pasar Jangka

Keterpaduan Pasar Jangka

Pendek Tinggi

Pendek Rendah

Efisiensi Pemasaran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Masalah Keterangan : (tidak diamati)

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga keterpaduan pasar komoditas bawang putih dalam jangka pendek antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dengan Pasar Legi Kota Surakarta rendah.

E. Pembatasan Masalah

1. Penelitian memusatkan pada analisis keterpaduan pasar secara vertikal karena peneliti ingin mengetahui tingkat keterpaduan pasar komoditas bawang putih antara Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar sebagai pasar lokal (pasar tingkat produsen) dengan Pasar Legi Kota Surakarta sebagai pasar acuan (pasar tingkat konsumen).

2. Data yang diamati adalah data sekunder harga bulanan bawang putih di pasar tingkat produsen dan konsumen. Harga bawang putih di pasar tingkat petani atau produsen adalah harga bawang putih yang berlaku di pasar lokal terpilih di Kabupaten Karanganyar yaitu Pasar Tawangmangu. Sedangkan harga bawang putih di pasar tingkat konsumen adalah harga bawang putih yang berlaku di pasar acuan terpilih di Kota Surakarta yaitu Pasar Legi.

3. Data yang digunakan dalam penelitian ini selama 22 bulan karena akan lebih up to date dan data selama 22 bulan tersebut sudah dapat mewakili dari data yang diperlukan dalam analisis. Data harga bulanan bawang putih yang dianalisis adalah dari bulan Januari tahun 2008 sampai bulan Oktober 2009. Menurut Gujarati (1995), banyaknya observasi minimum yang diperlukan sehubungan dengan tabel Durbin Watson adalah 15 karena apabila suatu sampel yang lebih kecil dari 15, maka observasi menjadi sulit untuk bisa menarik kesimpulan yang pasti mengenai autokorelasi dengan memeriksa residual yang ditaksir.

F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Keterpaduan pasar adalah analisis yang menunjukkan bahwa perubahan harga dari suatu pasar (sebagai pasar acuan atau konsumen) mempengaruhi pembentukan harga di pasar lainnya (sebagai pasar lokal

atau produsen). Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan atau disampaikan ke pasar lainnya.

2. Pasar merupakan lokasi secara fisik terjadi kegiatan jual beli barang atau jasa antara pedagang dan pembeli serta terjadi pemindahan hak milik (Kotler, 1996).

3. Pasar lokal (pasar tingkat petani atau produsen) bawang putih adalah tempat dimana petani menjual bawang putih.

4. Pasar acuan (pasar tingkat konsumen) bawang putih adalah pasar tujuan perdagangan yang menerima bawang putih dari pasar lokal.

5. Harga absolut adalah nilai yang diwujudkan dalam rupiah sebelum dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) (Swasta, 1993).

6. Harga absolut bawang putih di pasar lokal adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) sebelum dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK).

7. Harga absolut bawang putih di pasar acuan adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di pasar Legi Kota Surakarta yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) sebelum dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK).

8. IHK yang digunakan adalah IHK kelompok bumbu-bumbuan karena IHK bawang putih dipengaruhi oleh IHK bumbu-bumbuan lain. Nilai IHK kelompok bumbu-bumbuan tersebut diperoleh dari BPS Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta. Berdasarkan data IHK yang diperoleh tersebut, terlebih dahulu dipilih IHK bulan dasar untuk menghitung IHK yang dipakai dalam penelitian dengan pertimbangan bahwa dari 22 bulan yang diteliti dicari bulan yang paling stabil (pengaruh inflasinya tidak begitu besar). Kemudian dengan IHK bulan dasar yang telah ditentukan digunakan untuk mencari IHK yang digunakan dalam penelitian. Untuk menghitung IHK yang digunakan dalam penelitian dengan rumus sebagai berikut :

IHKa IHKb =

x 100 IHKd

Keterangan : IHKb : IHK yang digunakan dalam penelitian IHKa : IHK dari BPS IHKd : IHK bulan dasar IHK bulan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan bulan dasar Mei 2008 untuk Kabupaten Karanganyar dan dengan bulan dasar April 2009 untuk Kota Surakarta dengan nilai IHK 100 setelah dilakukan perhitungan melalui rumus di atas.

9. Harga riil adalah nilai yang diwujudkan dalam rupiah setelah dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk menghilangkan pengaruh inflasi (Swasta, 1993). Menurut Pindyck dan Daniel L. R. (1998), untuk menghitung harga riil tersebut digunakan rumus sebagai berikut :

IHKd Hbr =

xHba IHKb

Keterangan : Hbr

: Harga riil suatu barang pada bulan t IHKd : IHK bulan dasar IHKb : IHK yang digunakan dalam penelitian pada bulan t Hba

: Harga absolut suatu barang pada bulan t

10. Harga riil bawang putih di pasar lokal adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) setelah dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK).

11. Harga riil bawang putih di pasar acuan adalah harga bulanan bawang putih yang berlaku di Pasar Legi Kota Surakarta yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg) setelah dilakukan pendeflasian dengan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK).

12. Harga bawang putih adalah harga riil bawang putih (Rp/kg).

37

13. Waktu yaitu saat berlakunya harga dihitung dalam satuan bulan.

G. Asumsi

1. Harga bawang putih berada dalam pasar persaingan sempurna.

2. Jenis dan kualitas bawang putih sama.

3. Komoditas bawang putih yang dihasilkan petani di Kabupaten Karanganyar dijual ke Pasar Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dan komoditas bawang putih yang dijual di Pasar Tawangmangu masuk ke Pasar Legi Kota Surakarta.

Dokumen yang terkait

PERUBAHAN MORFOLOGI DAN SITOLOGI LIMA VARIETAS KEDELAI (GLYCINE MAX (L.) MERRILL) DENGAN PERLAKUAN PEMBERIAN PUPUK POSPHAT

0 1 38

PENGARUH MINYAK JINTAN HITAM DALAM MENCEGAH PENINGKATAN KADAR KOLESTEROL LDL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 73

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi dengan judul : “ ANALISIS PENGARUH INFORMASI PENGUMUMAN RIGHT ISSUE TERHADAP PERUBAHAN VOLATILITAS HARGA SAHAM DAN VOLUME PERDAGANGAN ” (Studi pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2000 – 2007 )

0 0 54

ANALISIS KAPASITAS BALOK DAN KOLOM PADA STRUKTUR PORTAL B AJA MENGGUNAKA N BALOK KOMPOSIT

0 0 21

ANALISIS PELAKSANAAN KURIKULUM KTSP PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK PEMESINAN DI SMK MURNI 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 20082009

0 1 62

KAJIAN PENGARUH KONSUMSI AIR BERSIH PDAM TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT DI KECAMATAN JEBRES KOTA SURAKARTA

0 0 72

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT pada murid SD Negeri 1 Kota Subulussalam Tahun 2011

2 0 61

PENGARUH PEMBERIAN JUS BUAH DELIMA (Punica granatum) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 51

ANALISIS USAHA TERNAK ITIK DI KABUPATEN SUKOHARJO

0 0 75

HUBUNGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI DI POLI SARAF RSUD DR.MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 67