Landasan Teori

4. Kedit Ketahanan Pangan dan Energi

Keberhasilan peningkatan produksi pangan di masa lalu dalam hal pencapaian swasembada pangan, tidak terlepas dari peran pemerintah melalui penyediaan kredit program dengan suku bunga rendah, fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sampai dengan tahun 1998 dan subsidi sarana produksi (benih, pupuk, dan pestisida). Semenjak

commit to user

diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia maka tidak tersedia lagi sumber dana dari KLBI, oleh karena itu mulai tahun 2000 telah diluncurkan Skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang sumber dananya berasal dari Perbankan dengan subsidi suku bunga bagi petani dan peternak yang disediakan oleh pemerintah.

Dalam perkembangannya KKP mengalami penyesuaian dari tahun ke tahun, mulai Oktober 2007 KKP disempurnakan menjadi KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Hal ini mengadopsi upaya mengurangi ketergantungan energi berbahan baku fosil dan perkembangan teknologi energi dikembangkan energi lain yang berbasis sumber energi nabati. Energi alternatif dimaksud disini berbasis ubi kayu/singkong dan tebu diintegrasikan dengan Skim KKP yang telah ada sehingga berubah menjadi Skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi. Dalam perkembangannya, KKP-E terus mengalami perubahan dan penyempurnaan, yang meliputi debitur penerima KKP-E, plafon maksimum per debitur, cakupan komoditas yang dibiayai dan kebutuhan indikatif masing-masing komoditas. Penyempurnaan KKP-E ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Kementerian Pertanian, 2011).

Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) adalah jenis kredit investasi dan atau modal kerja yang diberikan oleh bank pelaksana kepada

petani/peternak melalui kelompok tani atau koperasi. Pola penyaluran kredit yang digunakan KKP-E adalah executing dengan sumber pendanaan 100% berasal dari bank sehingga resikonya ditanggung oleh perbankan. KKP-E bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan membantu petani/peternak di bidang permodalan sehingga produktivitas dan pendapatan petani menjadi lebih baik (Bank Indonesia, 2012a).

Bank Pelaksana KKP-E meliputi 22 bank yaitu sembilan bank umum yang terdiri dari Bank BRI, Mandiri, BNI, Bukopin, CIMB Niaga, Agroniaga, BCA, BII, dan Artha Graha serta 13 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yaitu: BPD Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera

commit to user

Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Papua, Riau, dan Nusa Tenggara Barat. Plafon KKP-E yang dianggarkan secara nasional adalah sebesar Rp 8,806 trilyun yang meliputi untuk sub sektor tanaman pangan sebesar Rp 2,730 trilyun, hortikultura sebesar Rp 725,330 milyar, perkebunan (tebu) sebesar Rp 2,993 trilyun, peternakan sebesar Rp 2,046 trilyun, dan pengadaan pangan sebesar Rp 310,830 milyar. Besarnya tingkat bunga kredit bank untuk KKP-E tebu adalah sebesar 12,25% dan KKP-E lainnya sebesar 13,25%, sedangkan tingkat bunga kepada peserta KKP-E adalah sebesar 7% untuk KKP-E tebu dan 5% untuk KKP-E lainnya dengan subsidi bunga 5,25% untuk KKP-E tebu dan 8,25% untuk KKP-E lainnya. Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dapat diajukan dengan persyaratan dan ketentuan pokok sebagai berikut:

a. Usaha dan Komoditas yang Dibiayai KKP-E

1) Petani, dalam rangka pengembangan tanaman padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, koro dan/atau perbenihan (padi, jagung dan/atau kedelai);

2) Petani, dalam rangka pengembangan tanaman bawang merah, cabai, kentang, bawang putih, tomat, jahe, kunyit, kencur, pisang, salak, nenas, buah naga, melon, semangka, pepaya, strawberi, pemeliharaan manggis, mangga, durian, jeruk, apel dan/atau melinjo;

3) Petani, dalam rangka pengembangan tebu, pemeliharaan teh, kopi

arabika, kopi robusta dan atau lada;

4) Peternak, dalam rangka pengembangan peternakan sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing/domba, ayam ras, ayam buras, itik, burung puyuh , kelinci dan atau babi;

5) Kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi, dalam

rangka pengadaan gabah, jagung dan kedelai;

6) Kelompok tani, dalam rangka pengadaan/peremajaan alat dan mesin untuk mendukung usaha tanaman pangan, hortikultura, tebu dan

commit to user

peternakan meliputi meliputi traktor, power threser, tracer (alat tebang), corn sheller, pompa air, dryer, vacuum fryer, chopper, mesin tetas, pendingin susu, biodigester, mesin pembibitan (seedler), alat tanam biji-bijian (seeder), mesin panen (paddy mower, reaper, combine harvester ), mesin penggilingan padi (rice miling unit ), mesin pengupas kacang tanah (peanut shell), mesin penyawut singkong, juicer, mesin pengolah biji jarak, mesin pengolah pakan (mixer, penepung, pelet) dan atau kepras tebu.

b. Petani, Kelompok Tani, dan Koperasi Penerima KKP-E

Petani, kelompok tani, dan koperasi penerima KKP-E harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Persyaratan Petani Penerima KKP-E, antara lain:

a) Petani/peternak/pekebun mempunyai identitas diri.

b) Petani/peternak/pekebun dapat secara individu dan atau menjadi anggota Kelompok Tani.

c) Menggarap sendiri lahannya (petani pemilik penggarap) atau menggarap lahan orang lain (petani penggarap).

d) Apabila menggarap lahan orang lain diperlukan surat kuasa/ keterangan dari pemilik lahan yang diketahui oleh Kepala Desa.

e) Luas lahan petani yang dibiayai maksimum 4 (empat) Ha dan tidak melebihi plafon kredit Rp. 100 juta per

petani/peternak/pekebun.

f) Bagi petani/peternak/pekebun yang mengajukan plafon kredit lebih dari Rp. 50 juta harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan persyaratan lain sesuai ketentuan Bank Pelaksana.

g) Petani peserta paling kurang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah.

h) Bersedia mengikuti petunjuk Dinas Teknis atau Penyuluh Pertanian dan mematuhi ketentuan-ketentuan sebagai peserta KKP-E.

commit to user

2) Persyaratan Kelompok Tani Penerima KKP-E, antara lain:

a) Kegiatan usaha kelompok dapat dilakukan secara mandiri dan atau bekerjasama dengan mitra usaha. Apabila kelompoktani bekerjasama dengan Mitra Usaha agar membuat kesepatan secara tertulis dalam bentuk perjanjian kerjasama antara pihak- pihak yang bermitra;

b) Kelompok tani telah terdaftar pada Balai Penyuluhan Pertanian/ Dinas Teknis terkait setempat;

c) Mempunyai anggota yang melaksanakan budidaya komoditas yang dapat dibiayai KKP-E;

d) Mempunyai organisasi dengan pengurus yang aktif, paling kurang ketua, sekretaris dan bendahara;

e) Mempunyai aturan kelompok yang disepakati oleh seluruh anggota.

3) Persyaratan Koperasi Penerima KKP-E, antara lain:

a) Berbadan hukum;

b) Memiliki pengurus yang aktif;

c) Memenuhi persyaratan dari Bank Pelaksana;

d) Memiliki anggota yang terdiri dari petani/peternak/ pekebun;

e) Memiliki bidang usaha di sektor pertanian.

c. Mitra Usaha dalam Pelaksanaan KKP-E Mitra usaha dalam pelaksanaan KKP-E harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

1) Berbadan hukum dan memiliki usaha terkait dengan bidang tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan atau di bidang pengolahan energy lain;

2) Bermitra dengan petani/kelompoktani/Gapoktan dan atau koperasi. Jika mitra usahanya koperasi harus bermitra dengan petani/ kelompoktani/ Gapoktan;

3) Bertindak sebagai penjamin pasar dan atau penjamin kredit (avalis) sesuai kesepakatan antara petani/kelompok tani/Gapoktan dan atau

commit to user

koperasi, kesepakatan antara petani/kelompok tani/Gapoktan dengan mitra usaha dibuat secara tertulis dalam bentuk perjanjian kerjasama sesuai kesepakatan pihak-pihak bermitra.

(Kementerian Pertanian, 2012).

5. Peranan Perbankan dalam Pembiayaan Usaha Tani

Mayoritas petani di Indonesia lebih percaya dan lebih yakin dengan menggunakan sumber modal dari keluarga atau pedagang dibandingkan dengan kredit yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga resmi pemerintah. Kredit yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga resmi pemerintah dianggap berbelit-belit dalam pengurusan administrasinya. Meski demikian secara ekonomis, penggunaan modal dari keluarga atau pedagang ini lebih merugikan bagi petani karena pembagian keuntungan cenderung lebih besar daripada bunga bank. Sedangkan tujuan utama dari kredit yang dikeluarkan oleh bank dan lembaga resmi pemerintah adalah membebaskan petani dari rentenir dan sistem ijon (Daniel, 2002).

Dukungan yang diberikan oleh perbankan selama ini lebih ditekankan pada pengembangan usahanya dalam rangka pembangunan pertanian secara menyeluruh. Dukungan tersebut disesuaikan dengan fungsi bank sebagai institusi sebagaimana diatur dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 dari perubahan UU No. 7 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa “Bank merupakan badan usaha yang dalam kegiatan pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Berdasarkan pengertian bank menurut UU Perbankan tersebut terlihat bahwa peran strategis yang dapat dilakukan oleh perbankan dalam mendukung pembangunan pertanian terletak pada komitmen perbankan untuk memberikan dukungan finansial atau pembiayaan usaha terutama di sektor agribisnis (Sanim, 2008).

Bank Rakyat Indonesia sebagai lembaga pembiayaan yang dikenal dekat dengan masyarakat, khususnya di pedesaan juga memiliki kontribusi

commit to user

dalam mendorong pengembangan pertanian dengan menerapkan kebijakan pembiayaan di sektor agribisnis. Peran BRI dalam membangun agribisnis nasional ini tidak terlepas dari keprihatinan kondisi di lapangan, dimana secara mikro sebagian pelaku usaha pertanian masih memiliki aksesibilitas yang rendah terhadap sumber-sumber permodalan. Hal ini terkait dengan berbagai faktor di antaranya tidak dapat menyediakan agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang dapat menjamin di samping biaya transaksi pinjaman yang dinilai sangat tinggi. BRI sebagai lembaga pembiayaan nasional tergerak untuk langsung berkontribusi memajukan agribisnis nasional. Hal ini didasarkan juga pada fungsi perbankan sebagai penunjang pertumbuhan sektor agribisnis dengan memberikan pendanaan di tingkat hulu (bio- technology ), pertanian (on farm), hilir (industry), maupun di sektor penunjang (Aviliani, 2008).

6. Hubungan Kredit dengan Peningkatan Pendapatan Petani

Kredit sebagai sumber permodalan memiliki peran dalam peningkatan pendapatan petani. Menurut Daniel (2002) pentingnya peran kredit disebabkan karena modal merupakan faktor produksi non alami yang persediaannya terbatas terutama di negara-negara sedang berkembang. Kemungkinan untuk memperluas lahan pertanian pun relatif kecil. Di samping itu, dengan persediaan tenaga kerja yang melimpah, cara yang paling mudah dan paling tepat untuk memajukan pertanian adalah dengan memperbesar penggunaan modal. Prinsip inilah yang menjiwai usaha intensifikasi pertanian di Indonesia dengan penggunaan bibit unggul baru, obat pemberantasan hama dan penyakit, penggunaan pupuk yang lebih banyak, serta investasi di bidang pengairan. Metode yang demikian membutuhkan modal yang besar.

Keterbatasan modal adalah salah satu masalah utama yang dihadapi masyarakat pedesaan mengingat modal merupakan faktor penting dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan yang pada umumnya berprofesi sebagai petani, pedagang kecil, dan usaha kecil lainnya. Pada dasarnya pelayanan kredit akan memudahkan calon

commit to user

nasabah memperoleh tambahan modal untuk meningkatkan kegiatannya. Peningkatan realisasi kredit bagi setiap nasabah memungkinkan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatannya yang semakin besar dibandingkan tanpa adanya kredit (Manurung, 1996).