Menulis Laporan Kebebasan Beragama di Indonesia di Masa Depan

2.4. Menulis Laporan Kebebasan Beragama di Indonesia di Masa Depan

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, di bawah ini kami paparkan rumusan operasional kami di dalam melaporkan kebebasan beragama di Indonesia di masa depan Hal ini mencakup makna dan ruang lingkup kebebasan beragama, dimensi-dimensi pelanggarannya, bagaimana mengukurnya, dan sumber pelaporannya

2.4.1. Makna dan Lingkup Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama akan kami bedakan dari “kehidupan beragama” (yang terlalu umum, seperti dalam laporan CRCS) dan “pluralisme agama” (yang juga masih terlalu umum, seperti dalam laporan WI). Dalam rumusan kami, kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang memiliki kebebasan di dalam membuat keputusan apa pun sehubungan dengan agama – untuk memercayai, memeluk dan mempraktikkannya – baik sebagai pribadi maupun kelompok, baik secara diam-diam maupun terbuka. Kebebasan itu mencakup pula kebebasan seseorang atau kelompok untuk mengekspresikan keyakinan dan nilai-nilai agamanya, sejauh hal itu tidak mengakibatkan hilang atau terhambatnya kebebasan agama orang atau kelompok lain.

Kekebasan beragama terkait dengan kehidupan seseorang sebagai pribadi atau kelompok dan mencakup beberapa segi. Dengan kebebasan beragama, berarti seseorang antara lain dapat: (1) beriman, beribadah dan memberi kesaksian keagamaannya seperti yang ia kehendaki (atau sebaliknya: membebaskan dirinya dari semua itu), tanpa gangguan apa pun; (2) mengganti keimanan atau agamanya kapan dan di mana saja; dan (3) membentuk serta menjalankan organisasi keagamaan untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya, dan untuk

menjelaskannya kepada pihak lain. 17

17 Rumusan tentang ini kami turunkan dari Deklarasi Majelis Umum PBB (1981) tentang “Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan” Dalam definisi legalnya (Pasal 1)

mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan, Deklarasi itu menyebutkan lima hak, yang juga ditegaskan dalam Pasal 18 ICCPR di atas, yakni (dalam bahasa aslinya): (1) right to thought, conscience, and religion or belief; (2) right to have a religion or whatever belief of your choice; (3) right either individually or in community with others, in private or public, to manifest a religion or belief through worship, observance, practice and teaching; (4) right not to suffer coercion that impairs the freedom to choose a religion or belief; dan (5) right of the State to limit the manifestation of a religion or belief if based in law, and only as necessary to protect public safety, order, health, morals and the fundamental rights and freedoms of others Lihat United Nation, General Assembly (1981), “Resolution Adopted by the General Assembly: Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief” (25 November), yang dapat diunduh di: http://www.un-documents.net/a36r55.htm

2.4.2. Dua Dimensi Pelanggaran Kebebasan Beragama

Mengikuti rumusan Center for Religious Freedom yang sudah diadaptasi, kami akan memantau dan melaporkan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia dari dua dimensi, seperti sudah disinggung di atas. Pertama, dimensi regulasi negara, yaitu undang-undang dan/atau peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya Dalam dimensi ini, yang disoroti bukan saja apakah undang-undang atau peraturan negara sudah atau belum menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi juga apakah undang-undang atau peraturan itu sudah dijalankan di tingkat praktis. Kami juga akan menyoroti apakah pemerintah turut campur dalam mengatur kebebasan seseorang atau kelompok untuk beribadah, berorganisasi, berdakwah, dan lainnya.

Dimensi kedua adalah regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama. Di sini, yang disoroti adalah sejauh mana seseorang atau kelompok-kelompok tertentu membatasi kebebasan beragama seseorang atau kelompok-kelompok lain.

Mengikuti rumusan Deklarasi Majelis Umum PBB (1981) tentang “Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan”, kami mendefinisikan “intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan” sebagai berikut (dalam edisi aslinya): “[A]ny distinction, exclusion, restriction or preference based on religion or belief and having as its purpose or as its effect nullification or impairment of the recognition, enjoyment or exercise of human rights and fundamental freedoms on an equal basis.”

2.4.3. Dasar Penghitungan Pelanggaran

Sejalan dengan kritik kami terhadap dasar pengukuran yang khususnya digunakan dalam laporan WI dan SI, dasar penghitungan yang akan digunakan dalam laporan kami adalah insiden pelanggaran kebebasan beragama. Satu peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dihitung sebagai satu insiden jika peristiwa itu melibatkan pelaku, isu pelanggaran, hari dan lokasi peristiwa yang sama.

Lokasi mengacu pada unit geografis tingkat desa/kelurahan. Dengan demikian, jika terjadi dua aksi pelanggaran pada waktu yang sama di dua TKP (tempat kejadian peristiwa) yang berada di desa/kelurahan yang berbeda, maka hal itu akan dihitung sebagai 2 (dua) insiden. Demikian pula, jika terjadi pelanggaran kebebasan beragama selama 2 (dua) hari, maka hal itu akan dihitung sebagai 2 (dua) insiden. Sementara itu, pelaku suatu insiden dapat merupakan satu atau gabungan beberapa kelompok. Ringkasnya, sepanjang sebuah insiden terjadi pada hari yang sama, di lokasi yang sama, melibatkan pelaku/kelompok pelaku yang sama dan isu konflik yang sama, maka hal itu akan dihitung sebagai satu insiden pelanggaran kebebasan beragama.

2.4.4. Sumber Penulisan Laporan

Pada prinsipnya, laporan kebebasan beragama bisa ditulis secara memadai bahkan dengan sumber yang terbatas seperti liputan media massa Namun, tentu saja, lebih banyak sumber yang digunakan akan lebih memperkaya laporan.

Sejalan dengan kritik-kritik kami atas laporan SI dan WI pada bab yang lalu, yang penting diingat dalam konteks ini adalah dua hal berikut. Pertama, ketika terjadi perbedaan informasi atau data mengenai satu kasus di antara berbagai sumber yang akan digunakan, kita harus menimbang secara kritis berbagai perbedaan itu, memutuskan mana di antaranya yang paling masuk akal, dan melaporkan secara lengkap perbedaan ini di dalam laporan. Kedua, dan masih dalam konteks perbedaan informasi atau data ini, kita tidak selamanya bisa atau begitu saja mendahulukan laporan yang diterima dari pelapor independen dalam jaringan kita, mendahulukannya misalnya dari laporan media massa. Ini butir yang penting karena sementara pelapor independen bertanggungjawab hanya kepada kita yang mempekerjakannya untuk menulis laporan, media massa bertanggungjawab kepada publik pembacanya yang lebih luas.