Kajian Kemampuan Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd+2) Dan Tembaga (Cu+2) Serta Kompetisi Larutan Biner Dengan Menggunakan Adsorben Dari Batang Jagung (Zea Mays.)

(1)

64

LAMPIRAN A

DATA BAHAN BAKU

A.1 Data Kalibrasi Larutan Standar Hasil Analisis AAS

Tabel A.1 Data Kalibrasi Larutan Standar

Konsentrasi (ppm) Absorbansi R2

0.2000 0.1305

0.4000 0.2334

0.6000 0.3363 0,9979

0.8000 0.4393

1.0000 0.5422

Dari hasil plot antara adsorbansi versus konsentrasi, diperoleh persamaan linier untuk kedua logam. Persamaan ini nantinya akan digunakan untuk menentukan konsentrasi larutan hasil analisa AAS. Persamaan untuk masing-masing logam Cd(II) adalah sebagai berikut :

Abs. = (0,51465xConc.) + 0,027550 ... (A.1)

A.2 Hasil Pencucian Adsorben Batang Jagung

Tabel A.2 Data Hasil Pencucian Dari Adsorben Batang Jagung

No Bentuk Volume

Pencucian (mL)

Pencucian 1 (pH)

Pencucian 2 (pH)

Pencucian 3 (pH)

1 Bulat 200 6 6 6

2 1/2 bulat 200 6 6 6

3 1/4 bulat 200 6 6 6

4 50 mesh 200 5,4 6 6


(2)

65

A.3 Hasil Penge ringan Adsorben Batang Jagung

A.31 Perhitungan Pengeringan Adsorben Batang Jagung

 Data pengeringan adsorben batang jagung bentuk lingkaran : Massa adsorben Basah = 10 g

Massa Wadah = 129,83 g

Massa adsorben pengeringan I = 7,54 g Massa adsorben pengeringan II = 5,11 g Massa adsorben pengeringan III = 3,95 g Massa adsorben pengeringan IV = 1,86 g

 Data pengeringan adsorben batang jagung bentuk ½ lingkaran : Massa adsorben Basah = 10 g

Massa Wadah = 129,83 g

Massa adsorben pengeringan I = 8,61 g Massa adsorben pengeringan II = 6,99 g Massa adsorben pengeringan III = 5,39 g Massa adsorben pengeringan IV = 2,8 g Massa adsorben pengeringan V = 1,69 g

 Data pengeringan adsorben batang jagung bentuk ¼ lingkaran : Massa adsorben Basah = 10 g

Massa Wadah = 129,83 g

Massa adsorben pengeringan I = 9,05 g Massa adsorben pengeringan II = 8,16 g Massa adsorben pengeringan III = 6,3 g Massa adsorben pengeringan IV = 3,72 g Massa adsorben pengeringan V = 1,56 g

 Data pengeringan adsorben batang jagung bentuk 50 mesh : Massa adsorben Basah = 25 g


(3)

66

Massaadsorben pengeringan I = 21,4 g Massa adsorben pengeringan II = 19,83 g Massaadsorben pengeringan III = 16,75 g Massaadsorben pengeringan IV = 24,21 g Massaadsorben pengeringan V = 10 g Massaadsorben pengeringan VI = 3,47 g Massaadsorben pengeringan VII = 1,23 g Massaa dsorben pengeringan VIII = 0,83 g

 Data pengeringan adsorben batang jagung bentuk 70 mesh : Massa adsorben Basah = 25 g

Massa Wadah = 157,36 g

Massa adsorben pengeringan I = 23,03 g Massa adsorben pengeringan II = 21,05 g Massa adsorben pengeringan III = 16,81 g Massa adsorben pengeringan IV = 12,63 g Massa adsorben pengeringan V = 9,2 g Massa adsorben pengeringan VI = 6,08 g Massa adsorben pengeringan VII = 4,26 g Massa adsorben pengeringan VIII = 2,47 g Massa adsorben pengeringan IX = 1,05 g Massa adsorben pengeringan X = 0,91 g


(4)

67

A.4 Data Hasil Kapasitas Adsorpsi

Tabel A.3 Data Hasil Kapasitas Adsorpsi Batang Jagung Terhadap Logam Cd+2 Pada berbagai Bentuk

Tabel A.4 Data Hasil Kapasitas Adsorpsi Batang Jagung Terhadap Logam Cu+2 Pada berbagai Bentuk

Bentuk Waktu Konsentrasi awal Cd (ppm)

Konsentrasi Adsorpsi Cd dari analisa AAS

(ppm)

Konsentrasi

aktual (ppm) qe (mg/g)

Bulat 5 jam 50 0,901 45,029 0,497

24 jam 50 0,881 44,038 0,596

1/2 Bulat 5 jam 50 0,885 44,261 0,574

24 jam 50 0,859 42,950 0,705

1/4 bulat 5 jam 50 0,825 41,265 0,874

24 jam 50 0,788 39,386 1,061

50 mesh 5 jam 50 0,718 35,880 1,412

24 jam 50 0,665 33,238 1,676

70 mesh 5 jam 50 0,659 32,930 1,707

24 jam 50 0,579 28,931 2,107

Bentuk Waktu Konsentrasi awal Cd (ppm)

Konsentrasi Adsorpsi Cd dari analisa

AAS(ppm)

Konsentrasi

aktual (ppm) qe (mg/g)

Bulat 5 jam 50 0,926 46,308 0,369

24 jam 50 0,912 45,574 0,443

1/2 Bulat 5 jam 50 0,923 46,134 0,387

24 jam 50 0,903 45,123 0,488

1/4 bulat 5 jam 50 0,878 43,873 0,613

24 jam 50 0,809 40,486 0,951

50 mesh 5 jam 50 0,739 36,953 1,305

24 jam 50 0,653 32,623 1,738

70 mesh 5 jam 50 0,689 34,430 1,557


(5)

68

A.5 Data Hasil Penentuan Waktu Optimum

Tabel A.5 Data Hasil Penentuan Waktu Optimum Logam Cd+2 Waktu

(menit)

Konsentrasi analisa (PPM)

Konsentrasi Aktual

(ppm) % Adsorpsi qt (mg/g)

0 1,0185 50,926 0,000 0,000

10 0,9603 48,103 3,975 0,199

20 0,9286 46,429 7,143 0,357

40 0,8105 40,523 18,955 0,948

60 0,7950 39,751 20,498 1,025

80 0,7592 37,959 24,083 1,204

100 0,7087 35,434 29,133 1,457

120 0,6975 34,874 30,253 1,513

180 0,6738 33,689 32,623 1,631

240 300 0,6646 0,6036 33,230 32,930 33,540 34,140 1,677 1,707 Tabel A.6 Data Hasil Penentuan Waktu Optimum Logam Cu+2

Waktu (menit)

Konsentrasi analisa (PPM)

Konsentrasi Aktual

(ppm) % Adsorpsi qt (mg/g)

0 1,0108 50,000 0,000 0,000

10 0,9720 48,601 2,798 0,140

20 0,9560 47,799 4,403 0,220

40 0,9264 46,320 7,360 0,368

60 0,8775 43,873 12,255 0,613

80 0,7877 39,384 21,233 1,062

100 0,7439 37,193 25,615 1,281

120 0,7227 36,163 27,728 1,386

180 0,7038 35,189 29,623 1,481

240 300 0,6956 0,6886 34,779 34,430 30,443 31,140 1,522 1,557


(6)

69

A.6 Data Adsorbansi dan Konsentrasi Larutan Biner

Berdasarkan perbandingan konsentrasi tetap Cd+2/Cu+2 (30:30 ppm) terhadap waktu, dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel A.7 Data Hasil Perbandingan Konsentrasi Tetap Cd+2/Cu+2 (30:30 ppm) Terhadap Waktu

Waktu

Cd Cu

Ads. Konsentrasi

Aktual Ads.

Konsentrasi Aktual

0 0,5883 29,4138 0,5848 29,2388 10 20 0,5837 0,5751 29,1863 28,7525 0,5865 0,5803 29,3238 29,0138 40 0,5694 28,4678 0,5695 28,4773 60 0,5501 27,5063 0,5565 27,8263 80 0,5432 27,1600 0,5496 27,4788 100 0,5385 26,9238 0,5360 26,7988 120 180 240 300 0,5328 0,5289 0,5250 0,5231 26,6400 26,4450 26,2500 26,1538 0,5470 0,5408 0,5387 0,5379 27,3475 27,0400 26,9363 26,8963

Tabel A.8 Hubungan Antara Kapasitas Adsorpsi, q (%), Terhadap Waktu (t)

Time (jam)

Analisis Perandingan Konsentrasi (Cd//Cu) (ppm)

20:40 30:30 40:20

Cd Cu Total Cd Cu Total Cd Cu Total

5 8,19 11,64 19,84 12,82 10,35 23,17 14,71 6,86 21,58 24 8,61 12,11 20,72 13,02 10,39 23,41 15,05 7,94 22,99 Tabel A.9 Nilai Kapasitas Adsorpsi, q (%) pada Berbagai Perbandingan Konsentrasi C0 Cd+2/Cu+2 Selama 5 Jam

Perbandingan Cd+2/Cu+2 (ppm)

qmax (%) Separation

Factor

(∝CuCd+2 +2 )

Cd Cu Total

20:40 8,19 11,64 19,84 0,6773

30:30 12,82 10,35 23,17 1,2744


(7)

70

LAMPIRAN B

CONTOH PERHITUNGAN

B.1 Pembuatan Larutan (Stock Solution)

Contoh pembuatan larutan multi- sistem dari (Cd(CH3COO)2.2H2O) dengan

kondisi sebagai berikut :

Konsentrasi Cd+2 : 50 ppm

Volume : 4 Liter

Mr. Cd(CH3COO)2.2H2O : 266.45 g/mol

Ar. Cd : 112.41 g/mol

Untuk membuat larutan Cd+2 50 ppm maka diperlukan massa masing- masing senyawa sebesar :

Massa Cd (50 mg/L), m = 50 mg/L x 4 Liter m = 200 mg

Massa Cd(CH3COO)2.2H2O yang diperlukan,

1 2

=

200 2

= 112,41 266,45 m2 = 474,06 mg

m2 = 0,474 g

Maka, larutkan 0,474 g Cd(CH3COO)2.2H2O dengan akuades hingga volume


(8)

71

B.2 Perhitungan konsentrasi aktual

ppm actual =ppm analisa x volume total volume awal

=1,0185 x 100 2 = 50,925 ppm

B.3 Perhitungan Kapasitas Adsorpsi

Untuk konsentrasi larutan 50 ppm (Konsentrasi Cd aktual, Co = 50,00 mg/L),

pada waktu t = 10 menit diperoleh konsentrasi Ct = 48,013 mg/L dengan volume sampel = 100 mL. Sehingga dapat dihitung kapasitas adsorpsi Cd dengan persamaan sebagai berikut :

qt =

Co−Ct V mads

qt = 50,0053 −48,013 mg/L . 0,1L 1 g

qt = 0,199 mg/g

B.4 Pembuatan Larutan Biner (Stock Solution)

Contoh pembuatan larutan biner dari (Cd(CH3COO)2.2H2O) dan

CuSO4.5H2O dengan kondisi sebagai berikut :

Konsentrasi Cd+2/Cu+2 : (30:30) ppm

pH : 4,5

Volume : 4 Liter

Mr. Cd(CH3COO)2.2H2O : 266.45 g/mol

Mr. CuSO4.5H2O : 249.61 g/mol

Ar. Cd : 112.41 g/mol

Ar. Cu : 63,55 g/mol

Untuk membuat larutan Cd+2/Cu+2 30:30 ppm maka diperlukan massa masing- masing senyawa sebesar :

Massa Cd (30 mg/L), m = 30 mg x 4 Liter


(9)

72 m = 120 mg

Massa Cd(CH3COO)2.2H2O yang diperlukan,

1 2

=

120 2

= 112,41 266,45 m2 = 284,44 mg

m2 = 0,2844 g

Massa Cu (30 mg/L), m = 30 mg x 4 Liter m = 120 mg

Massa CuSO4.5H2O yang diperlukan,

1 2

=

120 2

= 63,55 249.61 m2 = 471,36 mg

m2 = 0,4714 g

Maka, larutkan 0,2844 g Cd(CH3COO)2.2H2O dan 0,4714 g CuSO4.5H2O

dengan aquadest hingga volume larutan mencapai 4 Liter.

B.5 Perhitungan Kapasitas Adsorpsi Larutan Bine r

Untuk konsentrasi larutan 30:30 ppm (Konsentrasi Cd aktual, Co = 30,00

mg/L), pada waktu t = 20 menit diperoleh konsentrasi Ct = 28,753 mg/L dengan volume sampel = 100 mL. Sehingga dapat dihitung kapasitas adsorpsi Cd dengan persamaan sebagai berikut :

qt = Co−Ct V mads

qt =

30,00−28,753 mg/L . 0,1L 1 g


(10)

73

Untuk konsentrasi larutan 30:30 ppm (Konsentrasi Cu aktual, Co = 30,00

mg/L), pada waktu t = 20 menit diperoleh konsentrasi Ct = 29,014 mg/L dengan volume sampel = 100 mL. Sehingga dapat dihitung kapasitas adsorpsi Cu dengan persamaan sebagai berikut :

qt =

Co−Ct V mads

qt 30,00−29,014 mg/L . 0,1L 1 g


(11)

74

LAMPIRAN C

DOKUMENTASI PERCOBAAN

C.1 Sampel dan Bahan Baku

Gambar C.1 Kebun Jagung yang Akan Digunakan Sebagai Adsorben


(12)

75

Gambar C.3 Batang Jagung Siap Digunakan Sebagai Adsorben


(13)

76

C.2 Eksperime n

Gambar C.5 Material Logam Berat yang Digunakan


(14)

77

Gambar C.7 Pengatur Keasaman NaOH (0,1 M) dan HCl (0,1 M)


(15)

78

Gambar C.9 Hasil Uji Panjang Gelombang Logam Cd+2 Di Alat AAS


(16)

79

Gambar C.11 Hasil Uji Panjang Gelombang Logam Cu+2 Di Alat AAS


(17)

57

DAFTAR PUSTAKA

1 Kampalanonwat, Pimolpun., Supaphol, Pitt.. (2014). The Study of Competitive Adsorption of Heavy Metal Ions from Aqueous Solution by Aminated Polyacrylonitrile Nanofiber Mats. Energy Procedia 56. Hal 142-151

2 Sangiumsak, Noppadol., Punrattanasin, Pongsakorn. (2014). Adsorption behavior of heavy metal on varios soil. Pol. J. Environ. Stud. 23(3), 853-865

3 Vafakhah, S., Bahrololoom, M.E., Bazarganlari, R., Saeedikhani, M. (2014). Removal of Copper Ions from Electroplating Effluent Solutions with Native Corn Cob and Corn Stalk and Chemically Modified Corn Stalk. Journal of Environmental Chemical Engineering 2. Hal 356-361 4 Suhud, Iffatunniswah., Vanny M. A. Timow., Baharuddin Hamzah.

(2012). Adsorpsi Ion Kadmium (II) Dari Larutannya Menggunakan Biomassa Akar Dan Batang Kangkung Air (Ipomoea Aquatica Forks). Jurnal Akademika Kimia. Vol 1, No.4. Hal 153-158

5 Naushad, M. (2014). Surfactant assisted nano-composite cation exchanger: Development,characterization and applications for the removal of toxic Pb2+ from aqueous medium. Chemical Engineering Journal. 235, 100-108. 6 Singhal, Shailey., et al. (2014). Bio-adsorbent: a cost-effective method for effluent treatment. International Journal of Environmental Science and Research. 3 (1), 151-156

7 Tangio, Julhina S. (2013). Adsorpsi Logam Timbal (Pb) Dengan Menggunakan Biomassa Enceng Gondok (Eichhorniacrassipes). Jurnal Entropi. Vol VIII. Nomor 1

8 Rahmayani, Fatimah., Siswarni MZ (2013). Pemanfaatan Limbah Batang Jagung Sebagai Adsorben Alternatif Pada Pengurangan Kadar Klorin Dalam Air Olahan (Treated Water). Jurnal Teknik Kimia Usu. Vol 2, No. 2

9 Fathi, M.R., Asfaram, A., FArhangi. (2015). Removal of Direct Red 23 from Aqueous Solution Using Corn Stalks: Isotherms, Kinetic and


(18)

58

Thermodynamic Studies. Spectrochimica Acta Part A: Molecular and Biomolecular Spectroxcopy 135. Hal 364-372

10 Badan Pusat Statistik. (2016). Produksi Jagung Indonesia Menurut Provinsi Tahun 1993-2015. Departemen Pertanian RI

11 Yuniarsih, Triana, Eka., Nappu, Basir, M. (2013). Pemanfaatan Limbah Jagung Sebagai Pakan Ternak Di Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Serealia. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan.

12 Istarani, Festri., Pandebesie., Ellina S.. (2014). Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium (Cd) Terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. Vol 3. No. 1

13 Rehman, Muhammad Zia- ur., Sabir, Muhammad., Rizwan, Muhammad., Saifullah., Ahmed, Hamaad Raza., Nadeem, Muhammad. (2015). Remediating Cadmium-Contamined Soils by Growing Grain Crops Using Inorganic Amendments. Soil Remediation and Plants, Chapter 13. Hal 367-396

14 Simamora, Togu Julu Lasniroha, “Pengaruh Waktu Penyiangan dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L) Varietas DK3”, Skripsi, Program Studi Agronomi Fakultas PertanianUniversitas Sumatera Utara, Medan, 2006.

15 Bara, Aria. (2010), Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Dan Frekuensi Pemberian Pupuk Urea Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Jagung ( Zea Mays L). Departemen Agronomi Dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor

16 Nur, Syukri M, Karakteristik Tanaman Jagung sebagai Bahan Baku Bioenergi. (Kalimantan Timur: PT. Insan Fajar Mandiri Nusantara, 2014). 17 Dien. Le Quang, Doan Thai Hoa, Nguyen Thi Minh Phuong, Nguyen Thi

Minh Nguyet, “Rice Straw and Corn Stalk in the Northern Vietnam as Potential Lignocellulosic Soursesfor Production of Bioethanol and Other Value Added Products”, Hanoi University of Science and Technology, Vietnam, 2012


(19)

59

18 Maslukah. Lilis, ”Konsentrasi Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Zn) Terlarut dalam Seston dan dalam Sedimen Di Estuari Banjir Kanal BaratSemarang”, Jurnal Sumberdaya Perairan, Jurusan Ilmu Kelautan FPIK-UNDIP, Semarang, ISSN 1978-1652, 2007.

19 Meena. Ajay Kumar, G.K. Mishra, P.K. Rai, Chitra Rajagopal, P.N. Nagar, “Removal of Heavy Metal Ions from Aqueous Solutions using Carbon Aerogol as an Adsorbent”, University of Rajasthan, India, 2005. 20 Hasrianti, “Adsorpsi Ion Cd2+ dan Cr2+ pada Limbah Cair menggunakan

Kulit Singkong”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar, 2012

21 Akpomie, K.G., Dawodu, F.A. (2015). Treatment of an automobile effluent from heavy metals contamination by an eco- friendly montmorillonite. Journal of Advanced Research.

22 Darmayanti, Rahman, Nurdin., Supriadi. (2012). Adsorption of Plumbum (Pb) and Zinc (Zn) From Its The Solution by Using Biological Charcoal (Biocharcoal) of Kepok Banana Peel by pH and Contact Time Variation. Journal Akademi Kimia. 4, ISSN: 2302-6030: 159-165.

23 Liu, Haibin., et al. (2013). Competitive adsorption of Cd(II), Zn(II), and Ni(II) from their binari and ternary acidic systems using tourmaline. Journal of Environmental Management. 128, 727-734.

24 Mahmoudkhani, R., et al. (2014). Copper, cadmium and ferrous removal by membrane bioreactor. Procedia APCBEE. 10, 79-83.

25 Liu, Wen., et al. (2013). Adsorption of Pb2+, Cd2+, Cu2+ and Cr2+ onto titanate nanotubes: Competition and effect of inorganic ions. Science of the Total Environment. 456-457, 171-180.

26 Izabel, O.M., et al. (2014). Study of electroflotation method for threatment of wastewater from washing soil contaminated by heavy metals. Journal of Materials Reserch and Technology.


(20)

60

27 Fonseca, B., et al. (2011). Mobility of Cr, Pb, Cd, Cu, Zn in a loamy sand soil: a comparative study. Geoderma. 164, 232-237.

28 Hossain, M.A., et al. (2014). Competitive adsorption of metals on cabbage waste from multi- metal solutions. Bioresource Technology. 160, 79-88. 29 Karnib, Mona., et al. (2014). Heavy metals removal using activated

carbon, silica and silica activated carbon composite. Energy Procedia. 50,113-120.

30 Abid, I.G., Ayadi, M.T. (2011). Competitive adsorption of heavy metals on local landfill clay. Arabian Journal of Chemical.

31 Arshadi, M., Amiri, M.J., Mousavi. (2014). Kinetic, equilibrium a nd thermodinamic investigations of Ni(II), Cd(II), Cu(II) and Co(II) adsorption on barley straw ash. Water Resources and Industry. 6, 1-17. 32 Mori, Masanobu., et al. (2013). Adsorptivity of heavy metals CuII, CdII,

and PbII on woodchip- mixed porous mortar. Chemical Engineering Journal. 215-216, 202-208.

33 Kasam., andik Yulianto., Titin Sukma, “Penurunan COD (Chemical Oxygen Demand) dalam Limbah Cair Laboratorium Menggunakan Filter Karbon Aktif Arang Tempurung Kelapa”, Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UII, 2006, Vol. 2, No. 2.

34 Reynold,T. D, “Unit Operations and Process in Environmental Engineering”,(California: Brooks/ Cole Engineering Division Monterey, 1982).

35 Benefield, L.D., Judkins Jr., J.F., Weand, B.L., “Process Chemistry For Water And Wastewater Treatment”, (Ney jersey Prentice: Hall, Inc, 1982). 36 Khasanah, “Adsorpsi Logam Berat. Oseana”, (Jakarta: Pewarta Oseanaa,

2009).

37 Castellan, G. W., 1982. Physical Chemistry, Second Edition. McGraw Hill, New York.


(21)

61

38 Oscik, J, “Adsorbtion, Edition Cooper”, (New York: John Wiley and Sons, 1991).

39 Adamson, A.W, “Physical Chemistry of Surface”, 5th ed.(New York: John Wiley and Sons,1990).

40 Elliott, H.A, Liberati, M.R, and Huang, C.P, “Competitive Adsorption oh Heavy Metal by Soils”. Journal of Enviromental Quality. 15, (1986), hal 214-219.

41 Chen, Suhong., et al. (2011). Removal of Cr(VI) from aqueous solution using modified corn stalks: Characteristic, equilibrium, kinetic and thermodinamic study. Chemical Engineering Journal. 168, 909-917. 42 Al-Degs, Y.S., et al. (2006). Sorption of Zn(II), Pb(II), and Co(II) using

natural sorbents: equilibrium and kinetic studies. Water Research. 40, 2645-2658

43 Perry, R.H., Green, D.W., James, O.M. (1999). Perry’s Chemical Engineers’ Handbook. Seventh Edition. Universit of Kansas. McGraw-Hill: New York.

44 Suhendra, Dedy., Gunawan, Ryantin, Erin. (2010). Pembuatan Arang Aktif Dari Batang Jagung Menggunakan Aktivator Asam Sulfat Dan Penggunaannya Pada Penjerapan Ion Tembaga (II). Makara, Sains, Vol. 14

45 Sinaga, Ferawalden. (2009). Studi Pembuatan Serat Makanan Dari Tongkol Jagung. Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan

46 Martunis. (2012). Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Vol. (4), No. 3

47 Maulina, Anggi, Cynthia., Rosarrah, Ahdayani., Djaeni,Mohammad. (2013). Aplikasi Spray Dryer Untuk Pengeringan Larutan Garam Amonium Perklorat Sebagai Bahan Propelan. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. Vol. 2, No. 4, Hal. 84-92


(22)

62

48 Buchori, Luqman., Djaeni, Mohamad., Kurniasari, Laeli. (2013). Upaya Peningkatan Mutu Dan Efisiensi Proses Pengeringan Jagung Dengan Mixed-Adsorption Dryer. Reaktor, Vol. 14, No. 3. Hal. 193-198

49 Hadi, Syafrul. (2015). Laju Pengeringan Kapulaga Menggunakan Alat Pengering Efek Rumah Kaca Dengan Bantuan Tungku Biomassa. Jurnal Teknik Mesin, Vol. 5, No.1. Hal. 49-58

50 Susanto, Eko, Noordin. (2011). Pengaruh Tekanan Udara Terhadap Laju Perubahan Massa Pada Proses Pengeringan Dengan Metode Temperatur Rendah (Low Temperature Drying). Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang

51 Prasetiowati, yuni., Koestiari, Toeti. (2014). Kapasitas Adsorpsi Bentonit Teknis Sebagai Adsorben Ion Cd2+. UNESA Journal Of Chemistry, Vol. 3, No. 3.

52 Tandy, Edward., Fahmi, Hasibuan, Ismail., Harahap, Hamidah. (2012). Kemampuan Adsorben Limbah Lateks Karet Alam Terhadap Minyak Pelumas Dalam Air. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 1, No. 2

53 Putranto, Aditya., Angelia, Stephanie. (2014). Pemodelan Perpindahan Massa Adsorpsi Zat Warna Pada Florisil Dan Silica Gel Dengan Homogeneous And Heterogeneous Surface Diffusion Model. Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Universitas Katolik Parahyangan

54 Song, wen., et al. (2016). Adsorption Of Nitrate From Aqueous Solution By Magnetic Amine-Crosslinked Biopolyner Based Corn Stalk And Its Chemical Regeneration Property. Journal Of Hazardous Material, Vol. 304, Hal. 280-290

55 Marban, Gregorio. (2016). BET Adsorption Reaction Model Based On The Pseudo Steady-State Hypothesis For Describing The Kinetic Of Adsorption In Liquid Phase. Journal Of Colloid And Interface Science, Vol. 467, Hal. 170-179

56 Sen, T.K., Gomez, D. (2011). Adsorption of zinc (Zn2+) from aqueous solution on natural bentonite. Desalination. 267, 286-294.


(23)

63

57 Cheng, W., et al. (2008). Removal of malachite green (MG) from aqueous solutions by native and heat-treatedanaerobic granular sludge. Biochemical Engineering Journal. 39, 538-546.

58 Liuchun, Z., et al. (2010). Removal of cadmium(II) from aqueous solution by corn stalk graft copolymers. Bioresource Technology. 101, 5820-5826. 59 Syofiyani, Anis., et al. (2013). Kinetika Adsorpsi Ion Cr(III) pada

Biomassa-Kitosan Imprinted Ionik. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung


(24)

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Teknik, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Medan serta Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Bahan dan Peralatan Penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang jagung dengan bentuk bulat, setengah (1/2) bulat, seperempat (1/4) bulat dengan ketebalan masing- masing 0,5 cm dan diameter, kemudian ukuran yang lolos ayakan 50 mesh dan tertahan pada ayakan 70 mesh dianggap sebagai bentuk 50 mesh, serta yang lolos pada ayakan 70 mesh dan tertahan pada ayakan 100 mesh dianggap sebagai bentuk 70 mesh sebagai adsorben, yang diperoleh dari pertanian jagung di kota Medan, Indonesia. Kadmium asetat (Cd(CH3COO)2.2H2O) dibeli

dari Merck KgaA, Darmstadt, Germany, sebagai sumber kadmium (Cd+2), tembaga (II) Sulfat (CuSO4.5H2O) dibeli dari Merck KgaA, Darmstadt, Germany,

sebagai sumber tembaga (Cu+2), asam klorida (HCl) dibeli dari Mallinckrodt Baker, Inc, Paris, natrium hidroksida (NaOH) dibeli dari Merck KgaA, Darmstadt, Germany, sebagai pengatur pH dan air (H2O) dari alat Aquadestilator model:

SMN BIO, sebagai pelarut.

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: saringan mesh 50 dan 70 mesh, pH meter, gelas ukur, beaker glass 1 Liter, corong, erlenmeyer, neraca analitik, botol plastik, cawan, termometer, pipet tetes, cutter dan Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS) (AA-7000 Series, Shimadzu Corporation, Japan).

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Prosedur Pembuatan Larutan

Tahap awal dalam melakukan penelitian ini adalah mempersiapkan larutan yaitu larutan logam Cd+2 dengan konsentrasi 50 ppm dari senyawa (Cd(CH3COO)2.2H2O), larutan logam Cu+2 dengan konsentrasi 50 ppm dari


(25)

22

ppm, dan (40:20) ppm membentuk larutan biner, larutan asam-basa yaitu larutan 0,1 M HCl dan 0,1 M NaOH dan pelarut logam yang pH- nya 4,5 sebanyak 1 L.

a. Pembuatan Larutan HCl 0,1 M (1 L)

1. Dipipet 8,36 mL dari larutan HCl 37% 2. Dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL

3. Diencerkan dengan aquadest sampai batas volume konsentrasi 0,1 M

b. Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M (1 L)

1. Ditimbang 4 g padatan NaOH

2. Dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL

3. Diencerkan dengan aquadest sampai batas volume yang telah ditentukan

c. Pembuatan Larutan Cd+2 50 ppm

1. Disiapkan pelarut untuk logam Cd+2 yang dikontrol pH-nya dengan larutan asam-basa sampai 4,5 sebanyak 1 L

2. Diambil pelarut tersebut sebanyak 1 L dan dimasukkan ke dalam botol reagen steril kapasitas 2,5 L

3. Kemudian ditambahkan padatan Cd(CH3COO)2.2H2O sebanyak

118,52 mg

4. Diaduk rata hingga padatan melarut

d. Pembuatan Larutan Cu+2 50 ppm

1. Disiapkan pelarut untuk logam Cu+2 yang dikontrol pH-nya dengan larutan asam-basa sampai 4,5 sebanyak 1 L

2. Diambil pelarut tersebut sebanyak 1 L dan dimasukkan ke dalam botol reagen steril kapasitas 2,5 L

3. Kemudian ditambahkan padatan C uSO4.5H2Osebanyak 196,39 mg

4. Diaduk rata hingga padatan melarut

e. Pembuatan Larutan Biner Cd+2 dan Cu+2 (20:40, 30:30, 40:20) ppm

1. Disiapkan pelarut untuk logam Cd+2 dan Cu+2 yang dikontrol pH-nya dengan larutan asam-basa sampai 4,5 sebanyak 1 L

2. Diambil pelarut tersebut sebanyak 1 L dan dimasukkan ke dalam botol reagen steril kapasitas 2,5 L


(26)

23

3. Kemudian ditambahkan padatan Cd(CH3COO)2.2H2O sebanyak

47,41 ; 71,11 ; 94,81 mg untuk konsentrasi ion logam Cd+2 (20 ; 30 ; 40) ppm, kemudian tambahkan CuSO4.5H2O sebanyak 78,56 ;

117,84 ; 157,12 mg untuk konsentrasi ion logam Cu+2 (20 ; 30 ; 40) ppm.

4. Diaduk rata hingga padatan melarut

3.3.2 Prosedur Preparasi Batang Jagung (Pembuatan Bio -Adsorben)

Prosedur persiapan adsorben sebagai berikut:

1. Batang jagung diperoleh dari sisa hasil panen kebun masyarakat. 2. Batang jagung dibersihkan dari daun dan kulit luarnya.

3. Kemudian batang jagung dipotong-potong dengan bentuk lingkaran penuh, setengah lingkaran dan seperempat lingkaran dengan ketebalan 0,5 cm dan dihaluskan 50 dan 70 mesh.

4. Batang jagung yang telah dipotong-potong, di cuci dengan air distilat sebanyak 3 kali hingga pH air pencuci sama dengan pH air distilat. 5. Kemudian batang jagung dikeringkan di dalam oven pada suhu ±55

°C sampai berat batang jagung tersebut konstan.

3.3.3 Prosedur Batch Adsorpsi

a) Mengukur Pengaruh Ukuran Adsorben Terhadap Kemampuan Adsorpsi

1. Diambil larutan Cd+2 (50 ppm) sebanyak 100 mL dari botol reagen 2,5 L yang diterangkan pada prosedur 3.3.1(c) lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer

2. Kemudian ditambahkan 1 gram adsorben batang jagung pada ukuran adsorben tertentu

3. Kemudian dipasangkan jaring untuk menyangga adsorben agar tidak mengapung

4. Lalu diambil 2 mL sampel untuk dianalisis

5. Konsentrasi ion Cd+2 padalarutan setelah adsorpsi dianalisis dengan Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS)

6. Lalu dihitung nilai qa

= 0− �


(27)

24

7. Kemudian percobaan diulang untuk variasi bentuk lainnya dan untuk larutan Cu+2

3.3.4 Prosedur Kinetika Adsorpsi

a) Mengukur Kinetika Adsorpsi Pada Pengaruh Ukuran Adsorben Terhadap Kemampuan Adsorpsi

1. Diambil larutan Cd+2 (50 ppm) sebanyak 100 mL dari botol reagen 2,5 L yang diterangkan pada prosedur 3.3.1(c) lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer

2. Kemudian ditambahkan 1 gram adsorben batang jagung pada ukuran adsorben tertentu

3. Kemudian dipasangkan jaring untuk menyangga adsorben agar tidak mengapung

4. Lalu diambil 2 mL sampel pada selang waktu 10 menit selama 5 jam 5. Konsentrasi ion Cd+2 pada larutan setelah adsorpsi dianalisis dengan

Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS) 6. Lalu dihitung nilai qa

= 0− � �

7. Kemudian percobaan diulang untuk variasi bentuk lainnya dan larutan Cu+2

3.3.5 Prosedur Isotermal Kompetisi Adsorbsi Berdasarkan Perbedaan Konsentrasi

1. Diambil larutan Cd+2 dan Cu+2 (20:40 ppm) sebanyak 100 mL dari botol reagen 2,5 L yang diterangkan pada prosedur 3.3.1(e) lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer

2. Kemudian ditambahkan 1 gram adsorben batang jagung pada ukuran adsorben tertentu

3. Kemudian dipasangkan jaring untuk menyangga adso rben agar tidak mengapung

4. Lalu diambil 2 mL sampel pada selang waktu 10 menit selama 5 jam 5. Konsentrasi ion Cd+2 dan Cu+2 pada larutan setelah adsorpsi dianalisis

dengan Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS) [44]


(28)

25 6. Lalu dihitung nilai qa

= 0− � �

7. Kemudian percobaan diulang untuk variasi konsentrasi lainnya

3.4 Flowchart Prosedur Penelitian

3.4.1 Persiapan Adsorben (Batang Jagung)

Gambar 3.1 Flowchart Persiapan Adsorben Batang Jagung Mulai

Batang jagung dibersihkan dari daun dan kulit luarnya

Kemudian batang jagung dipotong-potong dengan bentuk lingkaran penuh, setengah lingkaran dan ¼ lingkaran dengan ketebalan 0,5 cm dan

dihaluskan 50 dan70 mesh

Lalu batang jagung di cuci dengan air distilat sebanyak 3 kali atau sampai hingga pH larutan pencuci sama dengan pH air distilat sebesar 7 Batang jagung diperoleh dari hasil panen kebun masyarakat pasar 1 Padang

Bulan Kota Medan

Selesai


(29)

26

3.4.2 Pengeringan Adsorben Batang Jagung

Gambar 3.2 Flowchart Pengeringan Adsorben Batang Jagung

3.4.3 Pembuatan Larutan HCl 0,1 M

Gambar 3.3 Flowchart Pembuatan Larutan HCl 0,1 M Mulai

Oven dihidupkan dan ditunggu hingga mencapai suhu 55 °C Batang jagung yang telah dicuci kemudian di ratakan diatas

tray oven

Ditimbang sejumlah batang jagung yang dialasi aluminium foil, dicatat massanya lalu diletakkan diatas tray oven Setiap 10 menit pengeringan, batang jagung yang dialasi aluminium foil ditimbang sampai massa batang jagung konstan

Selesai

Mulai

Dipipet 8,36 mL dari larutan HCl 37%

Selesai

Dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL Diencerkan dengan aquadest sampai batas tanda


(30)

27

3.4.4 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M

Gambar 3.4 Flowchart Pembuatan Larutan NaOH 0,1 M

3.4.5 Pembuatan Larutan Pelarut dengan pH 4,5

Gambar 3.5 Flowchart Pembuatan Larutan Pelarut Dengan pH 4,5 Mulai

Ditimbang 4 g padatan NaOH

Selesai

Dimasukkan ke dalam beaker glass 1000 mL Diencerkan dengan aquadest sampai batas tanda

Mulai

Disiapkan Aquadest 5 L kedalam botol reagen steril

Selesai

Kemudian kedalam aquadest ditambahkan HCl dan NaOH hingga pH larutan 4,5


(31)

28

3.4.6 Pembuatan Larutan Cd+2 50 ppm

Gambar 3.6 Flowchart Pembuatan Larutan Standar Cd+2 (50 ppm)

3.4.7 Pembuatan Larutan Cu+2 50 ppm

Gambar 3.7 Flowchart Pembuatan Larutan Standar Cu+2 (50 ppm) Mulai

Selesai

Diaduk rata hingga padatan melarut

Larutan pelarut ber-pH 4,5 diambil sebanyak 2,5 L

Kemudian ditambahkan padatan Cd(CH3COO)2.2H2Osebanyak

118,52 mg

Kemudian dimasukkan kedalam botol reagen steril

Selesai

Diaduk rata hingga padatan melarut

Larutan pelarut ber-pH 4,5 diambil sebanyak 2,5 L

Kemudian ditambahkan padatan CuSO4.5H2Osebanyak 196,39

Kemudian dimasukkan kedalam botol reagen steril Mulai


(32)

29

3.4.8 Flowchart Prosedur Batch Adsorption

1. Mengukur Pengaruh Ukuran Adsorben Terhadap Kemampuan Adsorpsi

Gambar 3.8 Flowchart Mengukur Pengaruh Ukuran Adsorben Terhadap Kemampuan Adsorpsi

Mulai

Diambil larutan Cd+2 (50 ppm) sebanyak 100 mL dari botol reagen 2,5 L yang diterangkan pada prosedur 3.3.1(c) lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer

Kemudian dipasangkan jaring untuk menyangga adsorben agar tidak mengapung

Kemudian ditambahkan 1 gram adsorben batang jagung pada ukuran adsorben tertentu

Lalu diambil 2 mL sampel untuk dianalisa Konsentrasi ion Cd+2 setelah adsorpsi dianalisa dengan

Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS)

Selesai = 0− �

Lalu dihitung nilai qads

Apakah ada variasi bentuk dan ion logam lainnya?

Tidak


(33)

30

3.4.9 Flowchart Prosedur Kinetika Adsorpsi

1. Mengukur Kinetika Adsorpsi Pengaruh Ukuran Adsorben Terhadap Kemampuan Adsorpsi

Gambar 3.9 Flowchart Mengukur Kinetika Adsorpsi Pengaruh Ukuran Adsorben Terhadap Kemampuan Adsorpsi

Mulai

Diambil larutan Cd+2 (50 ppm) sebanyak 100 mL dari botol reagen 2,5 L yang diterangkan pada prosedur 3.3.1(c) lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer

Kemudian dipasangkan jaring untuk menyangga adsorben agar tidak mengapung

Kemudian ditambahkan 1 gram adsorben batang jagung pada ukuran adsorben tertentu

Lalu diambil 2 mL sampel pada selang waktu 10 menit selama 5 jam Konsentrasi ion Cd+2 setelah adsorpsi dianalisa dengan

Atomic Adsorption Spectroscopy (AAS)

Selesai = 0− �

Lalu dihitung nilai qads

Apakah ada variasi bentuk dan ion logam lainnya?

Tidak


(34)

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penetralan pH Dari Adsorben Batang Jagung

Dalam melakukan penetralan pH adsorben batang jagung yang te lah dipotong sesuai bentuk ( bulat, setengah bulat, seperempat bulat, 50 mesh dan 70 mesh) maka dilakukan pencucian menggunakan aquadest. Pencucian batang jagung dengan aquadest dilakukan sampai pH pencucian mendekati pH netral dan konstan. Hasil analisis pencucian batang jagung dari berbagai bentuk yang disajikan pada Tabel A.2 (Lampiran A) dan Gambar 4.1 dibawah ini.

Gambar 4.1 Penentuan pH Netral Adsorben Batang Jagung

Berdasarkan data pada Tabel A.2 (pada lampiran A) dan Gambar 4.1 di atas diperoleh hubungan tahap pencucian dengan Keasaman (pH). Pada bentuk bulat, ½ bulat dan ¼ bulat proses pencucian 1 hingga pencucian 3 memiliki pH 6. Pada bentuk 50 mesh dan 70 mesh proses pencucian 1 memiliki pH 5,4 kemudian pada proses pencucian yang ke-2 dan ke-3 pH pencucian sudah konstan menjadi pH 6. Pada pH yang konstan menunjukkan bahwa batang jagung sudah bersih dari kotoran yang menempel pada batang jagung. Pada proses pencucian yang ke-3 terlihat bahwa pH dari pencucian semua bentuk adsorben batang jagung sudah

5 5,1 5,2 5,3 5,4 5,5 5,6 5,7 5,8 5,9 6

1 2 3

K eas am an ( p H )

Pencucian (200 mL)

Bulat 1/2 Bulat 1/4 Bulat 50 mesh 70 mesh

Pencucian Adsorben


(35)

32

konstan dan mendekati pH netral. Dalam penelitian ini pH konstan dari pencucian batang jagung adalah pH 6 dengan melakukan pencucian sebanyak 3 kali.

Pencucian yang dilakukan pada batang jagung bertujuan untuk mendapatkan kondisi pH yang sama pada tiap bentuk batang jagung dan untuk menghilangkan kotoran seperti tanah serta residu fungisida atau insektisida yang menempel pada batang jagung [45].

4.2 Pengeringan Bentuk Adsorben Batang Jagung

Setelah melakukan pencucian batang jagung dengan berbagai bentuk (b ulat, setengah bulat, seperempat bulat, 50 mesh dan 70 mesh), kemudian dilakukan proses pengeringan pada suhu 55 oC. Pengeringan dilakukan hingga berat batang jagung konstan sehingga kadar air dalam batang jagung berkurang. Data pengeringan adsorben batang jagung dapat dilihat pada Tabel A.3 (Lampiran A). Berikut gambaran proses pengeringan adsorben batang jagung sebelum pengeringan dan setelah pengeringan yang dapat dilihat pada gambar 4.2 di bawah ini.

Sebelum pemanasan Sesudah pemanasan

Bulat

Setengah Bulat


(36)

33

Seperempat Bulat

Gambar 4.2 Batang jagung berbagai bentuk sebelum dan sesudah pengeringan (Lanjutan)

Dari gambar 4.2 di atas dapat dilihat adsorben batang ja gung yang telah mengalami proses pengeringan di dalam oven mengalami perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi pada proses pengeringan disebabkan oleh hilangnya impuriti (kotoran) saat proses pencucian [45] serta hilangnya kadar air saat proses pengeringan [46].

Berikut data pengeringan hubungan massa adsorben batang jagung dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 4.3 Grafik Pengeringan Adsorben Batang Jagung

Berdasarkan Gambar 4.3 di atas menunjukkan hubungan antara massa adsorben batang jagung dengan waktu pengeringan. Pada bentuk adsorben yang bulat awalnya massa adsorben basah adalah 10 gram dan massa wadah pengeringan adalah 129,83 gram. Pada proses pengeringan I pada selang waktu t0

0 5 10 15 20 25 30

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Bulat 1/2 Bulat 1/4 Bulat 50 Mesh 70 Mesh

Pengeringan Adsorben

Waktu (jam)

M

as

sa A

d

sor

b

en

(


(37)

34

= 0 menit hingga t1 = 60 menit, massa adsorben menjadi 7,54 gram. Pada proses

pengeringan II dari t1 = 60 menit hingga t2 = 120 menit, massa adsorben adalah

5,11 gram. Hingga dicapai kesetimbangan pada t4 = 4 jam dengan massa adsorben

adalah 1,86 gram. Pada bentuk adsorben yang ½ bulat awalnya massa adsorben awalnya adalah 10 gram dan massa wadah pengeringan adalah 129,83 gram. Pada proses pengeringan I pada selang waktu t0 = 0 menit hingga t1 = 60 menit, massa

adsorben menjadi 8,61 gram. Pada proses pengeringan II dari t1 = 60 menit

hingga t2 = 120 menit, massa adsorben adalah 6,99 gram. Hingga dicapai

kesetimbangan pada t5 = 5 jam dengan massa adsorben adalah 1,69 gram. Pada

bentuk adsorben yang ¼ bulat awalnya massa adsorben adalah 10 gram dan massa wadah pengeringan adalah 129,83 gram. Pada proses pengeringan I pada selang waktu t0 = 0 menit hingga t1 = 60 menit, massa adsorben menjadi 9,05 gram. Pada

proses pengeringan II dari t1 = 60 menit hingga t2 = 120 menit, massa adsorben

adalah 8,16 gram. Hingga dicapai kesetimbangan pada t5 = 5 jam dengan massa

adsorben adalah 1,56 gram. Pada bentuk adsorben yang 50 mesh awalnya massa adsorben adalah 25 gram dan massa wadah pengeringan adalah 157,36 gram. Pada proses pengeringan I pada selang waktu t0 = 0 menit hingga t1 = 60 menit,

massa adsorben menjadi 21,4 gram. Pada proses pengeringan II dari t1 = 60 menit

hingga t2 = 120 menit, massa adsorben adalah 19,83 gram. Hingga dicapai

kesetimbangan pada t8 = 8 jam dengan massa adsorben adalah 0,83 gram. Pada

bentuk adsorben yang 70 mesh awalnya massa adsorben adalah 25 gram dan massa wadah pengeringan adalah 157,36 gram. Pada proses pengeringan I pada selang waktu t0 = 0 menit hingga t1 = 60 menit, massa adsorben menjadi 23,03

gram. Pada proses pengeringan II dari t1 = 60 menit hingga t2 = 120 menit, massa

adsorben adalah 21,05 gram. Hingga dicapai kesetimbangan pada t10 = 10 jam

dengan massa adsorben adalah 0,91 gram. Dari hasil pengeringan tersebut terlihat bahwa massa adsorben batang jagung dari semua bentuk mengalami penurunan massa. Bentuk jagung yang bulat, setengah bulat dan seperempat bulat mendapatkan massa konstan pada waktu 4 sampai 5 jam dengan massa awal adsorben adalah 10 gram, sedangkan pada bentuk 50 mesh dan 70 mesh mendapatkan massa konstan yaitu 8 sampai 10 jam dengan massa awal adsorben adalah 25 gram.


(38)

35

Proses pengeringan adalah proses penurunan kadar air dalam bahan sampai pada tingkat kadar air tertentu [47]. Proses pengeringan dibutuhkan luas permukaan yang besar agar mempercepat pengeringan karena semakin besar luas permukaan yang mengalami kontak dengan udara panas. Ada 2 periode pengeringan yaitu constant rate periode yang merupakan rentang waktu dimana laju pengeringan berjalan konstan dan falling rate periode yang merupakan rentang waktu ketika laju pengeringan mengalami penurunan hingga titik kesetimbangan [48].

Pada saat pengeringan, uap panas yang dialirkan ke permukaan bahan mengakibatkan tekanan uap air bahan menjadi lebih besar dari tekanan uap air di udara. Tekanan uap air bahan yang lebih besar dari tekanan uap air di udara menyebabkan terjadinya aliran uap air dari bahan ke udara, sehingga terjadi perpindahan massa panas dari bahan ke udara dalam bentuk uap air. Proses ini yang mengakibatkan kadar air dalam bahan berkurang dan terjadi pengeringan [49]. Dari hasil percobaan yang dilakukan terlihat bahwa penelitian yang dilakukan sudah sesuai dengan teori. Penjelasan lebih lanjut tentang laju pengeringan dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 4.4 Kurva Laju Pengeringan

Dalam gambar 4.4 di atas saat periode antara A (atau A’) dan B biasanya adalah pengeringan awal dan cepat. Pada periode B-C disebut laju pengeringan konstan dimana proses pengeluaran air tidak terikat dari produk yaitu air pada permukaan bahan. Laju pengeringan tersebut akan menurun (titik C). Pada periode B-C laju pengeringan dibatasi oleh air kritis. Selanjutnya adalah periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan menurun dibagi atas 2 periode yaitu laju pengeringan menurun I yang terjadi jika air di permukaan produk sudah habis


(39)

36

dan mulai mongering, dan laju pengeringan II dimulai dari ititik D ketika permukaan sudah kering sempurna [50].

4.3 Penentuan Kapasitas Adsorpsi Dengan Variasi Bentuk adsorben

Bentuk adsorben adalah bulat, ½ bulat, ¼ bulat, 50 mesh dan 70 mesh. Proses adsorpsi dilakukan pada waktu 5 jam dan 24 jam. Penentuan kapasitas adsorpsi dengan variasi bentuk adsorben untuk mengetahui besarnya penjerapan ion logam Cd+2 dan Cu+2 oleh adsorben batang jagung pada berbagai bentuk.

Untuk menghitung jumlah ion teradsorpsi dengan adsorben digunakan dengan persamaan beriukut :

= 0− �

� (4.1)

[5,15,17,23,24]

= 0− �

� (4.2)

[5]

�% = 0− .100 % 0

(4.3) [5,23]

Keterangan:

qe = massa logam teradsorpsi pada kesetimbangan (mg/g)

qt = massa logam teradsorpsi pada waktu t (mg/g)

R% = Persentasi penghapusan logam (%)

Co = konsentrasi logam awal (mg/L)

Ct = konsentrasi pada waktu t (mg/L)

Ce = konsentrasi kesetimbangan (mg/L)

V = volume larutan (L)

w = massa adsorben (g)

Data kapasitas adsorpsi adsorben batang jagung berb agai bentuk terhadap logam Cd+2 dapat dilihat pada Tabel A.3 (Lampiran A) dan pada gambar 4.5 dan 4.6.


(40)

37

Gambar 4.5 Hubungan antara Kapasitas Adsorpsi Logam Cd+2 dengan Berbagai Bentuk Adsorben Batang Jagung

Gambar 4.6 Persentase Adsorpsi (%) Logam Cd+2 dengan Berbagai Bentuk Adsorben

Data kapasitas adsorpsi adsorben batang jagung berbagai bentuk terhadap logam Cu+2 dapat dilihat pada Tabel A.4 (Lampiran A) dan pada gambar 4.7 dan 4.8.

Bulat 1/2 Bulat 1/4 Bulat 50 mesh 70 mesh

5 jam 0,497 0,574 0,874 1,412 1,707

24 jam 0,596 0,705 1,061 1,676 2,107

0,000 0,500 1,000 1,500 2,000 2,500 q e ( p p m ) Kapasitas Adsorpsi

Bulat 1/2 Bulat 1/4 bulat 50 mesh 70 mesh

5 jam 9,943 11,478 17,470 28,240 34,140

24 jam 11,925 14,100 21,227 33,525 42,138

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 P er se n tas e A d sor p si ( %) Persentase Adsorpsi


(41)

38

Gambar 4.7 Hubungan antara Kapasitas Adsorpsi Logam Cu+2 dengan Berbagai Bentuk Adsorben Batang Jagung

Gambar 4.8 Persentase Adsorpsi (%) Logam Cu+2 dengan Berbagai Bentuk Adsorben

Dari contoh Tabel A.3 (pada lampiran A), gambar 4.5 dan 4.6 di atas terlihat bahwa hubungan Kapasitas dan persen adsorpsi logam Cd+2 pada berbagai bentuk adsorben. Pada bentuk adsorben bulat dari t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki

qt = 0,497 mg/g dan pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimal

(qmax) adalah 0,596 mg/g. Pada bentuk adsorben ½ bulat dari t0 = 0 menit hingga t1

= 5 jam memiliki qt = 0,574 mg/g dan pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas

adsorpsi maksimal (qmax) adalah 0,705 mg/g. Pada bentuk adsorben ¼ bulat dari t0

Bulat 1/2 Bulat 1/4 Bulat 50 mesh 70 mesh

5 jam 0,369 0,387 0,613 1,305 1,557

24 jam 0,443 0,488 0,951 1,738 1,763

0,000 0,500 1,000 1,500 2,000 q e ( p p m ) Kapasitas Adsorpsi

Bulat 1/2 Bulat 1/4 bulat 50 mesh 70 mesh

5 jam 7,385 7,733 12,255 26,095 31,140

24 jam 8,853 9,755 19,028 34,755 35,258

0 5 10 15 20 25 30 35 40 P er se n tas e A d sorp si ( %) Persentase Adsorpsi


(42)

39

= 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki qt = 0,874 mg/g dan pada tmax = 24 jam

memiliki kapasitas adsorpsi maksimal (qmax) adalah 1,061 mg/g. Pada bentuk

adsorben 50 mesh dari t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki qt = 1,412 mg/g dan

pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimal (qmax) adalah 1,676

mg/g. Pada bentuk adsorben 70 mesh dari t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki

qt = 1,707 mg/g dan pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimal

(qmax) adalah 2,107 mg/g. Kemudian persen adsorpsi dari bentuk adsorben bulat

pada saat t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%) sebesar

9,943 % dan pada saat tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimalnya

(qmax) sebesar 11,925 %.Pada bentuk adsorben ½ bulat pada saat t0 = 0 menit

hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%) sebesar 11,478 % dan pada saat

tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimalnya (qmax) sebesar 14,1 %.

Pada bentuk adsorben ¼ bulat pada saat t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki

persen adsorpsi (%) sebesar 17,47 % dan pada saat tmax = 24 jam memiliki

kapasitas adsorpsi maksimalnya (qmax) sebesar 21,228 %. Pada bentuk adsorben

50 mesh pada saat t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%)

sebesar 28,24 % dan pada saat tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi

maksimalnya (qmax) sebesar 33,525 %. Pada bentuk adsorben 70 mesh pada saat t0

= 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%) sebesar 34,14 % dan

pada saat tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimalnya (qmax) sebesar

42,138 %. Dari hasil analisa di atas bahwa bentuk 70 mesh memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi pada waktu 5 jam dan 24 jam yaitu sebesar 1,707 mg/g dan 2,107 mg/g dan persen adsorpsi pada waktu 5 jam dan 24 jam sebesar 34,14 % dan 42,138 %, sedangkan kapasitas adsorpsi yang paling kecil adalah bentuk bulat dengan kapasitas adsorpsi 0,497 mg/g pada waktu 5 jam dan 0,596 mg/g pada waktu 24 jam dan persen adsorpsi pada waktu 5 jam dan 24 jam adalah 9,943 % dan 11,925 %.

Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa bentuk 70 mesh lebih banyak terjadi proses adsorpsi dari pada bentuk yang lain. Penyebab dominan bentuk 70 mesh dibandingkan dengan bentuk lainnya adalah luas permukaan yang lebih besar.


(43)

40

Dari contoh Tabel A.4 (pada lampiran A), gambar 4.7 dan 4.8 di atas terlihat bahwa hubungan Kapasitas dan persen adsorpsi logam Cu+2 pada berbagai bentuk adsorben. Pada bentuk adsorben bulat dari t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki

qt = 0,369 mg/g dan pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimal

(qmax) adalah 0,443 mg/g. Pada bentuk adsorben ½ bulat dari t0 = 0 menit hingga t1

= 5 jam memiliki qt = 0,387 mg/g dan pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas

adsorpsi maksimal (qmax) adalah 0,488 mg/g. Pada bentuk adsorben ¼ bulat dari t0

= 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki qt = 0,613 mg/g dan pada tmax = 24 jam

memiliki kapasitas adsorpsi maksimal (qmax) adalah 0,951 mg/g. Pada bentuk

adsorben 50 mesh dari t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki qt = 1,305 mg/g dan

pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimal (qmax) adalah 1,738

mg/g. Pada bentuk adsorben 70 mesh dari t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki

qt = 1,557 mg/g dan pada tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimal

(qmax) adalah 1,763 mg/g. Kemudian persen adsorpsi dari bentuk adsorben bulat

pada saat t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%) sebesar

7,385 % dan pada saat tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimalnya

(qmax) sebesar 8,852 %. Pada bentuk adsorben ½ bulat pada saat t0 = 0 menit

hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%) sebesar 7,733 % dan pada saat tmax

= 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimalnya (qmax) sebesar 9,755 %. Pada

bentuk adsorben ¼ bulat pada saat t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki persen

adsorpsi (%) sebesar 12,255 % dan pada saat tmax = 24 jam memiliki kapasitas

adsorpsi maksimalnya (qmax) sebesar 19,028 %. Pada bentuk adsorben 50 mesh

pada saat t0 = 0 menit hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%) sebesar

26,095 % dan pada saat tmax = 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimalnya

(qmax) sebesar 34,755 %. Pada bentuk adsorben 70 mesh pada saat t0 = 0 menit

hingga t1 = 5 jam memiliki persen adsorpsi (%) sebesar 31,14 % dan pada saat tmax

= 24 jam memiliki kapasitas adsorpsi maksimalnya (qmax) sebesar 35,258 %. Dari

hasil analisa di atas bahwa bentuk 70 mesh memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi pada waktu 5 jam dan 24 jam yaitu sebesar 1,557 mg/g dan 1,763 mg/g dan persen adsorpsi pada waktu 5 jam dan 24 jam sebesar 31,14 % dan 35,258 %, sedangkan kapasitas adsorpsi yang paling kecil adalah bentuk bulat dengan kapasitas adsorpsi 0,369 mg/g pada waktu 5 jam da n 0,443 mg/g pada waktu 24


(44)

41

jam dan persen adsorpsi pada waktu 5 jam dan 24 jam adalah 7,385 % dan 8,852 %.

Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa bentuk 70 mesh lebih banyak terjadi proses adsorpsi daripada bentuk lain. Penyebab dominan bentuk 70 mesh dibandingkan dengan bentuk lainnya adalah luas permukaan yang lebih besar.

Daya serap adsorpsi ditentukan oleh luas permukaan dari adsorben. Besarnya adsorpsi sebanding dengan luas permukaannya. Semakin kecil bentuk adsorben, maka semakin besar luas permukaannya. Makin besar luas permukaan adsorben, maka semakin besar pula adsorpsi yang terjadi [51].

Proses adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik atom (gaya Van de Waals) pada permukaan padatan. Oleh karena adanya gaya tarik atom, padatan cenderung menarik molekul- molekul lain yang bersentuhan dengan permukaannya. Akibatnya konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam larutan [52]. Ilustrasi dari gaya Var der Walls dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4.9 Gaya tarik-menarik atom

4.4 Pengaruh Pe rubahan Konsentrasi Terhadap Kapasitas Adsorpsi

Untuk mengevaluasi pengaruh perbandingan konsentrasi ion Cd+2 dan Cu+2 pada kompetisi adsorpsi, dilakukan dengan perbandingan Co Cd+2/Cu+2 yaitu

20:40 ppm; 30:30 ppm; dan 40:20 ppm. Pengaruh perbandingan konsentrasi larutan dibuat dalam kondisi yang sama pada pH 4,5, Tabel A.8 & A.9 (Lampiran A). Hubungan antara perbandingan konsentrasi Cd+2/Cu+2 terhadap kapasitas maksimum pada pH tetap 4,5 dapat diamati pada Gambar 4.10. Pada perbandingan konsentrasi Cd+2/Cu+2 20:40 ppm; 30:30 ppm; dan 40:20 ppm,


(45)

42

diperoleh kapasitas maksimum masing- masing adalah 21,58 %; 23,17%; dan 19,84 %. Jika dilihat berdasarkan preferensi adsorpsi (Separation factor) pada Tabel A.9 (lampiran A), yang menggambarkan tingkat kompetisi adsorpsi pada kedua logam Cd+2 dan Cu+2, pada perbandingan konsentrasi Cd+2/Cu+2 20:40 ppm; 30:30 ppm; dan 40:20 ppm, diperoleh separation factor masing- masing sebesar 0,6773; 1,2744; dan 2,3412.

Gambar 4.10 Nilai Kapasitas Adsorpsi Maksimum (qmax) untuk Berbagai

Perbandingan Konsentrasi Awal Cd+2/Cu+2 Selama 5 Jam

Dari hasil analisis yang dilakukan, dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi maksimum (qmax) berbanding lurus dengan konsentrasi ion logam dalam larutan.

Hal ini menyatakan bahwa interaksi antara ion logam terhadap adsorben akan meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi. Data penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abid dkk. (2011) yang menyatakan kapasitas adsorpsi akan semakin besar apabila konsentrasi adsorbat meningkat karena interaksi antara adsorben dan adsorbat semakin besar.

Jika ditinjau berdasarkan preferensi adsorpsi, faktor separasi terkecil terdapat pada konsentrasi (20:40 ppm; Cd+2/Cu+2) yaitu 0,6773. Hal ini menunjukkan bahwa ion logam Cd+2 memiliki persentasi terserap lebih rendah dibandingkan Cu+2 dalam larutan, namun untuk konsentrasi Cd+2 dan Cu+2 yang sama, yaitu pada Co Cd+2/Cu+2 (30:30 ppm) memiliki faktor separasi yang tinggi

yaitu 1,2744 sehingga dapat dikatakan persentasi terserap yang dimiliki Cd+2 lebih 0

5 10 15 20 25

20/40 30/30 40/20

qmax (%)

Konsentrasi (C0) Cd+2/Cu+2(ppm)

Cd Cu Total


(46)

43

tinggi dibandingkan Cu+2. Meskipun kenyataannya, perbedaan kapasitas adsorpsi yang paling besar terdapat pada perbandingan konsentrasi (40:20 ppm; Cd+2/Cu+2) dan faktor separasi sebesar 2,3412. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat dasar dari masing- masing ion terkait dengan proses adsorpsi. Jika dilihat dari jari- jari atom (μm) kedua ion, logam Cd+2 dan Cu+2 yaitu berturut-turut 0,151 dan 0,128. Hal ini menunjukkan bahwa atom Cd lebih mudah melepaskan elektron terluarnya dibandingkan dengan Cu, sehingga lebih mudah bereaksi dengan permukaan adsorben. Selain itu, ditinjau dari nilai elektronegatifitas (kecenderungan bersifat negatif), keelektronegatifan (skala Pauling) Cd dan Cu yaitu berturut-turut 1,69 dan 1,9. Maka Cu lebih bersifat negatif dibandingkan Cd. Sehingga Cd lebih mudah berinteraksi dengan permukaan adsorben karena bermuatan negatif (gugus OH-). Liuchun dkk. (2010) juga berpendapat bahwa atom Cd+2 lebih mudah terserap pada senyawa organik atau jaringan hidup dibandingkan Cu+2 [58].

4.5 Penentuan Waktu Kontak Optimum dan Kinetika Adsorpsi

Waktu kontak merupakan lamanya waktu kontak antara adsorben (batang jagung) dengan adsorbat (ion Cd+2 dan Cu+2) secara optimum dan untuk mengetahui kinetika adsorpsinya. Makin cepat periode kesetimbangan tercapai makin baik adsorben untuk digunakan dari sudut pandang waktu yang diperlukan. Batang jagung dapat mengadsorpsi ion logam Cd+2 dan Cu+2 secara optimum. Pada penelitian ini variasi waktu kontaknya adalah 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120, 180, 240 dan 300 menit. Larutan Cd+2 dan Cu+2 yang digunakan pada analisis optimasi waktu kontak ini adalah 50 ppm yang telah dibuat sendiri dan telah dianalisis menggunakan alat AAS (Atomic Adsorption Spectroscopy) dan berat adsorben batang jagung yang digunakan adalah 1 gram dengan bentuk adsorben yaitu 70 mesh. Hubungan antara waktu kontak dengan konsentrasi ion Cd+2 dan Cu+2 yang teradsorpsi disajikan pada Tabel A.5 sampai A7 (Lampiran A) dan Gambar 4.11 sampai Gambar 4.13.


(47)

44

Gambar 4.11 Grafik Optimasi waktu kontak pada penyerapan ion logam Cd+2 dalam larutan oleh Adsorben batang jagung

Gambar 4.12 Grafik Optimasi waktu kontak pada penyerapan ion logam Cu+2 dalam larutan oleh Adsorben batang jagung

0 10 20 30 40

0 40 80 120 160 200 240 280 320

q

t

(p

p

m

)

Waktu (Menit)

Kinetika Adsorpsi Cd

+2

Cd

0 10 20 30 40

0 40 80 120 160 200 240 280 320

q

t

(p

p

m

)

Waktu (Menit)

Kinetika Adsorpsi Cu

+2


(48)

45

Gambar 4.13 Grafik Optimasi waktu kontak pada penyerapan ion logam Cu+2:Cd+2 (30:30 ppm) dalam larutan biner oleh Adsorben batang jagung

Grafik di atas menunjukkan bahwa Cd+2 dan Cu+2 yang teradsorpsi semakin besar dengan bertambahnya waktu kontak. Hal ini disebabkan semakin lama waktu interaksi adsorben dengan adsorbat menyebabkan peningkatan kemampuan adsorpsi batang jagung. Menurut putranto., dkk (2014) [53], untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi maka diperlukan waktu kontak yang cukup antara adsorbat dengan adsorben. Dari gambar 4.11 dapat dilihat naiknya konsentrasi Cd+2 yang teradsorpsi paling besar dan mencapai titik optimum adalah pada menit ke-300 dengan konsentrasi Cd+2 yang teradsorpsi sebesar 34,14 %. Pada 10 menit pertama adsorpsi ion logam Cd+2 adalah 3,975 %. Pada awal penyerapan, permukaan adsorben sedikit menyerap ion Cd+2 sehingga proses penyerapan belum efektif. Daya adsorpsi ion Cd+2 semakin meningkat sampai pada waktu 300 menit yaitu dengan besarnya konsentrasi Cd+2 teradsorpsi 34,14 %. Setelah interaksi berlangsung 300 menit, adsorpsi ion logam Cd+2 oleh batang jagung mendekati konstan, hal ini menunjukkan telah tercapainya keadaan kesetimbangan. Dari gambar 4.12 dapat dilihat naiknya konsentrasi Cu+2 yang teradsorpsi paling besar dan mencapai titik optimum adalah pada menit ke-300 dengan konsentrasi Cu+2 yang teradsorpsi sebesar 31,14 %. Pada 10 menit pertama adsorpsi ion logam C u+2 adalah 2,798 %. Pada awal penyerapan, permukaan adsorben sedikit menyerap ion Cu+2 sehingga proses penyerapan belum efektif. Daya adsorpsi ion Cu+2 semakin meningkat sampai pada waktu 300 menit yaitu dengan besarnya konsentrasi Cu+2 teradsorpsi 31,14 %. Setelah

0 5 10 15 20 25

0 40 80 120 160 200 240 280 320

R

(

%)

Waktu (Menit)

Cd Cu Total


(49)

46

interaksi berlangsung 300 menit, adsorpsi ion logam Cu+2 oleh batang jagung mendekati konstan, hal ini menunjukkan telah tercapainya keadaan kesetimbangan. Waktu kesetimbangan ditentukan untuk mengetahui kapan suatu adsorben mengalami kejenuhan sehingga proses adsorpsi terhenti. Pada keadaan ini, kapsitas adsorpsi permukaan batang jagung telah jenuh dan telah tercapai kesetimbangan antara konsentrasi ion logam Cd+2 dan Cu+2 dalam adsorben batang jagung sehingga penyerapan pada waktu kontak di atas 300 menit menjadi konstan atau hampir sama. Dalam proses adsorpsi bahwa adsorpsi terjadi pada dua tahap yaitu tahap awal terjadi secara cepat kemudian tahap kedua perlahan- lahan kapasitas adsorpsi menurun dikarenakan zat yang teradsorpsi ke dalam adsorben mengalami kejenuhan sehingga adsorben tidak dapat lagi mengadsorpsi zat tersebut [24].

Jika ditinjau berdasarkan perbandingan konsentrasi logam Cd+2/Cu+2 (30:30) ppm (Grafik 4.13), maka diperoleh pada kapasitas total mengalami peningkatan yang sedikit pada selang waktu t0 = 0 menit hingga t1 = 10 menit

yaitu dari q0 = 0% menjadi q1 = 4,967 %. Setelah menit berikutnya, yaitu t2 = 20

menit perubahan meningkat yaitu diperoleh q2 = 7,446 %. Hingga dicapai

kesetimbangan pada t10 = 300 menit dengan nilai q10 = 23,167 %.

Dari hasil analisis yang dilakukan, pengaruh kapasitas adsorpsi terhadap waktu cenderung memiliki bentuk atau model yang sama. Salah satu yang mempengaruhi laju adsorpsi (perubahan kapasitas adsorpsi) adalah permukaan adsorben. Pada waktu awal proses adsorpsi, permukaan adsorben masih terbebas dari ikatan ion logam. Peluang ion logam untuk berinteraksi dengan permukaan adsorben masih sangat besar sehingga perubahan kapasitas adsorpsi pada waktu awal ditemukan cukup besar. Namun, seiring bertambahnya waktu, perubahan kapasitas tersebut akan menurun. Hal ini diduga karena situs aktif pada adsorben batang jagung telah jenuh oleh ion logam dimana pada waktu 300 menit tersebut proses adsorpsi sudah mulai mencapai kesetimbangan sehingga peluang untuk terjadinya ikatan antara kedua logam Cd+2 dan Cu+2 pada permukaan atau pori-pori adsorben menjadi kecil, karena setelah tercapainya kesetimbangan adsorpsi, akan mengalami kestabilan persentasi penyerapan. Hal ini disebabkan sudah terpenuhinya gugus aktif permukaan adsorben. Hal ini sependapat dengan


(50)

47

penelitian yang dilakukan oleh S. Vafakhah (2014), dimana peningkatan kapasitas adsorpsi berlangsung cepat pada waktu awal proses adsorpsi dan memiliki laju adsorpsi maksimum [3].

Kinetika adsorpsi digunakan untuk mengetahui laju adsorpsi yang terjadi pada adsorben terhadap adsorbat dan dipengaruhi oleh waktu. Waktu kontak yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi dijadikan sebagai ukuran laju adsorpsi. Pada penelitian ini pengujian laju adsorpsi dilakuka n dengan menduga orde reaksinya. Orde reaksi laju suatu reaksi kimia atau proses kimia diartikan sebagai kecepatan terjadinya suatu reaksi. Dalam penelitian ini, data kinetika adsorsi diperoleh secara empiris dengan menggunakan model pseudo orde satu dan pseudo orde dua. Persamaan pseudo orde satu dan orde dua tersebut berturut-turut dapat dilihat sebagai berikut :

1

=

+ 1

(4.4) [23]

= + 1

2

2 (4.5)

[31,41]

Gambar 4.14 Grafik Kinetika Adsorpsi Cd+2 Orde 1

y = 47,39x + 0,267 R² = 0,986 0

1 2 3 4 5 6

0,000 0,050 0,100 0,150

1

/q

t

(g

/m

g

)

1/t (min-1)

Pseudo Orde Satu

Cd


(51)

48

Gambar 4.15 Grafik Kinetika Adsorpsi Cd+2 Orde 2

Gambar 4.16 Grafik Kinetika Adsorpsi Cu+2 Orde 1

y = 0,446x + 33,70 R² = 0,961 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

0 40 80 120 160 200 240 280 320

t/ q t (g .s /m g ) t (min)

Pseudo Orde Dua

Cd

Linea r (Cd)

y = 71,54x + 0,360 R² = 0,975 0 1 2 3 4 5 6 7 8

0,000 0,050 0,100 0,150

1 /q t (g /m g )

1/t (min-1)

Pseudo Orde Satu

Cu


(52)

49

Gambar 4.17 Grafik Kinetika Adsorpsi Cu+2 Orde 2

Dari hasil perhitungan teoritis, nilai koefisien korelasi (r2) orde satu lebih mendekati angka satu (1) dibandingkan dengan orde dua. Persamaan orde satu memiliki nilai r2 = 0,986 dan persamaan orde dua memiliki nilai r2 =0,961 untuk logam Cd+2 dan persamaan orde satu memiliki nilai r2 = 0,975 dan persamaan orde dua memiliki nilai r2 =0,775 untuk logam Cu+2. Ini menunjukkan bahwa pemodelan pseudo orde satu menjadikan data adsorpsi lebih presentatif. Model kinetika pseudo orde 1 digunakan untuk mendeskripsikan kesetimbangan reversibel antara fasa cair (adsorbat) dan padat (adsorben) [59]. Hal ini menyatakan bahwa, semakin lama waktu kontak antara adsorben dengan adsorbat maka jumlah ion teradsorpsi semakin besar.

y = 0,358x + 66,85 R² = 0,775 0

50 100 150 200 250

0 40 80 120 160 200 240 280 320

t/

q

t

(g

.s

/m

g

)

t (min)

Pseudo Orde Dua

Cu


(53)

50

Gambar 4.18 Grafik Kinetika Adsorpsi Larutan Biner Cd+2 : Cu+2 (30:30 ppm) Orde 1

Gambar 4.19 Grafik Kinetika Adsorpsi Larutan Biner Cd+2 : Cu+2 (30:30 ppm) Orde 2

Dari hasil perhitungan teoritis, nilai koefisien korelasi (r2) orde dua lebih mendekati angka satu (1) dibandingkan dengan orde satu. Pada konsentrasi Co

Cd+2/Cu+2 30:30 ppm, persamaan orde satu memiliki nilai r2 = 0,978 dan persamaan orde dua memiliki nilai r2 = 0,989. Ini menunjukkan bahwa pemodelan pseudo orde dua menjadikan data adsorpsi lebih presentatif. Jika pemodelan ini

y = 103,1x + 2,436 R² = 0,966 y = 126,6x + 2,698

R² = 0,978

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 0,000,010,020,030,040,050,060,070,080,090,10 1/qt (g/mg)

1/t (min-1)

Pseudo Orde 1 (30:30 ppm)

Cd Cu

Linear (Cd) Linear (Cu)

y = 2,175x + 117,2 R² = 0,989

y = 2,766x + 114,8 R² = 0,985

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

0 40 80 120 160 200 240 280 320 t/q

(g.min/mg)

t (min)

Pseudo Orde 2 (30:30 ppm)

Cd Cu

Linear (Cd) Linear (Cu)


(54)

51

sesuai dengan percobaan, maka mekanisme adsorpsi melibatkan reaksi kimia (chemisorption) antara adsorbat dan adsorben [23].

Menurut Langmuir, molekul teradsorpsi ditahan pada permukaan oleh gaya valensi yang tipenya sama dengan yang terjadi antara atom-atom dalam molekul. Karena adanya ikatan kimia maka pada permukaan adsorben akan terbentuk suatu lapisan, di mana terbentuknya lapisan tersebut akan menghambat proses penyerapan selanjutnya sehingga efektifitasnya berkurang [57]. Sifat nonlinier yang ditunjukkan oleh persamaan kinetika adsorpsi mengindikasikan bahwa kompetisi adsorpsi yang terjadi antara logam Cd+2 dan Cu+2 berhubungan dengan sisi aktif adsorben.

4.6 Penentuan Kinetika Difusi

Pada penelitian ini akan dicoba untuk mengaplikasikan model difusi untuk mengevaluasi proses adsorpsi pada adsorben batang jagung. Bisa saja kemungkinan proses adsorpsi Cd+2 dan Cu+2 terjadi hanya pada permukaan luar / eksternal adsorben. Oleh karena itu, proses adsorpsi harus dideskripsikan menggunakan pemodelan difusi eksternal. Namun jika difusi kemungkinan terjadi pada permukaan dalam dan pori-pori adsorben, maka proses adsorpsi dapat dideskripsikan menggunakan pemodelan difusi internal. Pemodelan difusi ekstenal dan internal diaplikasikan dan disesuaikan secara teoritis terhadap data kinetika adsorpsi eksperimental, sehingga diperoleh kesimpulan tentang peristiwa difusi yang terjadi. Adapun persamaan yang digunakan dalam mendeskripsikan pemodelan difusi eksternal dan difusi internal berturut-turut yaitu Persamaan 4.6 dan Persamaan 4.7.

Difusi eksternal 0

= −�. + (4.6)

[23]

Difusi internal

= + (4.7)

[42]

Kedua persamaan di atas akan diaplikasikan untuk data kinetik adsorpsi Cd+2 dan Cu+2. Parameter dari model difusi eksternal dan internal dapat dilihat pada Gambar 4.20 sampai Gambar 4.25.


(55)

52

Gambar 4.20 Pemodelan Kinetika Difusi Internal Logam Cd+2 50 ppm

Gambar 4.21 Pemodelan Kinetika Difusi Eksternal Logam Cd+2 50 ppm

Gambar 4.22 Pemodelan Kinetika Difusi Internal Logam Cu+2 50 ppm

y = 0,108x + 0,113 R² = 0,857 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

0 5 10 15 20

q t (m g /g )

(min1/2)

Difusi Internal

Cd

Linea r (Cd)

y = 0,001x + 0,137 R² = 0,732 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

0 40 80 120 160 200 240 280 320

ln ( C t/ C o ) t (min)

Difusi Ekternal

Cd

Linea r (Cd)

y = 0,115x - 0,163 R² = 0,872 0,0

0,5 1,0 1,5 2,0

0 5 10 15 20

q t (m g /g )

(min1/2)

Difusi Internal

Cu


(56)

53

Gambar 4.23 Pemodelan Kinetika Difusi Eksternal Logam Cu+2 50 ppm

Gambar 4.24 Pemodelan Kinetika Difusi Internal Larutan Biner Cd+2 : Cu+2 (30:30 ppm)

y = 0,001x + 0,078 R² = 0,764 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

0 40 80 120 160 200 240 280 320

ln ( C t/ C o ) t (min)

Difusi Ekternal

Cu

Linea r (Cu)

y = 0,023x + 0,029 R² = 0,925

y = 0,019x + 0,035 R² = 0,849

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

qt

m

g

/g

√t (min1/2)

Difusi Internal (30:30 ppm)

Cd Cu

Linea r (Cd) Linea r (Cu)


(57)

54

Gambar 4.25 Pemodelan Kinetika Difusi Eksternal Larutan Biner Cd+2 : Cu+2 (30:30 ppm)

Hasil plot diagram pada Gambar 4.20 sampai 4.25 salah satu contoh yang menunjukkan bahwa model difusi internal memiliki koefisien korelasi (r2) yang lebih tinggi dibandingkan model difusi eksternal. Rendahnya koefisien korelasi model difusi eksternal dibandingkan model difusi internal, terjadi karena adsorpsi pada permukaan dalam dari difusi ion pada larutan logam lebih dominan dari pada difusi ion pada permukaan.

Ketika diplot antara qt (mg/g) dan t menunjukkan bahwa garis plot tidak

sesuai dengan garis aslinya/garis operasi. Hal ini mengindikasikan bahwa difusi film dan difusi intra-partikel terjadi secara simultan [56]. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis pemodelan kinetika adsorpsi. Kinetika adsorpsi orde dua menunjukkan bahwa proses difusi yang terjadi adalah difusi internal. Ini berarti bahwa ketika ion logam diadsorpsi secara simultan/bersamaan, ion logam tersebut akan terjerap pada permukaan dalam adsorben ( site/pori). Sehingga, proses adsorpsi ini mempengaruhi proses difusi dari logam berat dan kapasitas adsorpsi akan semakin lebih besar.

y = 0,000x + 0,041 R² = 0,748

y = 0,000x + 0,039 R² = 0,637

0,00 0,02 0,04 0,06 0,08 0,10 0,12 0,14 0,16

0 40 80 120 160 200 240 280 320

-l

n

C

t/

C

o

t (menit)

Difusi Eksternal (30:30 ppm)

Cd Cu

Linea r (Cd) Linea r (Cu)


(58)

55

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dalam melakukan penelitian ini, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut ini :

1. Proses penentuan pH netral adsorben batang jagung dalam proses pencucian mengalami kondisi konstan pada pencucian ke-3.

2. Proses pengeringan batang jagung memiliki variasi waktu yang berbeda-beda, seperti bentuk batang jagung bulat, ½ bulat dan ¼ bulat melakukan proses pngeringan 4-5 jam dan bentuk 50 dan 70 mesh melakukan proses pengeringan 8-10 jam.

3. Pada penentuan kapasitas adsorpsi dengan variasi bentuk adsorben yang paling baik menjerap ion logam Cd+2 dan Cu+2 adalah bentuk 70 mesh dengan persentase adsorpsi 34-42 % dan 31-35 %.

4. Berdasarkan perbandingan konsentrasi pada pH tetap kapasitas adsorpsi cenderung sama untuk ketiga sistem yaitu pada perbandingan Co Cd+2/Cu+2

(20:40 ppm) diperoleh 20,72 %; pada Co Cd+2/Cu+2 (30:30 ppm) diperoleh

23,41 %; dan pada Co Cd+2/Cu+2 (40:20 ppm) diperoleh 22,99 %.

5. Berdasarkan perbandingan konsentrasi dengan pH tetap (pH 4,5), faktor separasi tertinggi terjadi pada perandingan konsentrasi Cd+2/Cu+2 (40:20 ppm) yaitu : 2,3412.

6. Pada penentuan waktu kontak optimum pada menit ke- 120 menit merupakan waktu kontak yang optimum dan kemudian cenderung mengalami konstan pada menit ke-180 menit.

7. Pemodelan kinetika adsorpsi terbaik berdasarkan koefisien korelasinya adalah persamaan orde dua.

8. Pemodelan kinetika difusi terbaik berdasarkan koefisien korelasinya adalah persamaan difusi internal.


(59)

56

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan untuk mengembangkan pengetahuan dibidang kompetisi adsorpsi, secara umum adalah sebagai berikut :

1. Disarankan untuk melakukan analisis kadar abu adsorben dan analisis kandungan logam, untuk mengetahui apakah selama proses adsorpsi terjadi pengendapan atau tidak.

2. Perlu dilakukan aktivasi secara kimia untuk melihat perbandingan adsorben dalam menjerap logam.

3. Disarankan untuk melakukan analisis termodinamika untuk mengetahui kebutuhan energi dalam proses adsorpsi

4. Disarankan melakukan perbandingan proses adsorpsi batch, semibatch dan kontinue untuk mendapatkan proses adsorpsi terbaik dengan menggunakan batang jagung sebagai adsorben.


(60)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jagung (Zea Mays)

Tanaman jagung dalam bahasa latin disebut Zea mays L, salah satu jenis tanaman biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan (Gramineae) yang sudah populer diseluruh dunia [14]khususnya di Indonesia.

Secara umum, klasifikasi dan sistematika tanaman jagung [15 ] sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Graminae Family : Graminaceae Genus : Zea

Spesies : Zea mays L.

Tanaman jagung merupakan tanaman andalan Indonesia karena selain digunakan sebagai bahan pangan di sebagian wilayah di tanah air ini, juga menjadi bahan utama untuk pakan ternak [16].

Batang jagung merupakan bagian terbesar dari tanaman jagung. Batang jagung tegak, beruas-ruas terbungkus pelepah daun, mudah terlihat [16], bulat silindris, berisi berkas-berkas pembuluh sehingga memperkuat berdirinya batang [14].

Komponen kimia yang terdapat pada batang jagung [17 ], adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Komponen Kimia Pada Batang Jagung

Komponen Ukuran

Panjang Serat (mm) 0,7 – 1,5 Diameter Serat (micron) 11,6 – 12,1

Selulosa (%) 39,9

Lignin (%) 21,2

Pentosan (%) 21,8

Ekstrak dalam Aseton (%) 5,2


(61)

8

Tanaman jagung banyak kegunaannya, hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Batang dan daun tanaman yang muda digunakan untuk pakan ternak. Batang dan daun tanaman jagung yang sudah tua (setelah dipanen) dapat digunakan sebagai pupuk hijau dan kompos.

Di daerah sentra tanaman jagung, batang dan daun jagung yang kering digunakan untuk kayu bakar. Kegunaan lain jagung adalah sebagai bahan baku pembuatan ternak dan industri bir, industri farmasi, dextrin termasuk untuk perekat dan industri tekstil [14].

Gambar 2.1 Permukaan batang jagung dengan 500 perbesaran menggunakan (Scanning electron microscope) SEM [3]

2.2 Logam Berat

Logam berat terdapat di seluruh lapisan alam, namun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Dalam air laut konsentrasinya berkisar antara 10-5– 10-3 ppm. Pada tingkat kadar yang rendah, beberapa logam berat umumnya dibutuhkan oleh organisme hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Namun sebaliknya bila kadarnya meningkat, logam berat berubah sifat menjadi racun [18]. Telah diketahui bahwa beberapa jenis logam yang beracun mengakibatkan dampak berbahaya terhadap banyak bentuk kehidupan. Logam yang beracun terhadap manusia dan lingkungan ekologi termasuk Kromium (Cr), Tembaga (Cu), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Mangan (Mn), Kadmium (Cd), Nikel (Ni), Zinc (Zn) dan Besi (Fe) [19].


(62)

9

Beberapa logam berat tersebut banyak digunakan dalam berbagai keperluan. oleh karena itu diproduksi secara rutin dalam skala industri. Penggunaan logam-logam berat tersebut dalam berbagai keperluan sehari-hari secara langsung telah mencemari lingkungan [20].

2.3 Polutan Logam Berat

Pencemaran lingkungan oleh zat beracun telah meningkat pada akhir- akhir ini sebagai akibat banyaknya industri [21]. Aktivitas berbagai industri pada umumnya menghasilkan limbah cair yang sering menjadi permasalahan bagi lingkungan karena mengandung berbagai macam kontaminan yang berbahaya. Pencemaran ini berdampak pada penurunan kualitas air dan meningkatnya padatan tersuspensi pada air.

Salah satu jenis pencemar pada air disebabkan oleh logam berat. Logam berat tidak seperti polutan organik yang pada beberapa kasus pencemaran dapat didegradasi [22]. Akibatnya, logam- logam tersebut terakumulasi di lingkungan terutama membentuk senyawa kompleks dengan zat organik dan anorganik dalam ekosistem perairan. Logam berat tersebut memiliki potensi merusak sistem fisiologi dan biologis manusia, jika melewati batas toleransi dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan [21,23]. Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa saluran, yaitu saluran pernapasan, pencernaan, dan penetrasi melalui k ulit [22].

Berdasarkan tingkat toksisitas dan dampak pencemaran bagi lingkungan, logam berat dapat klasifikasikan dalam beberapa bagian [22], yaitu:

1. Sangat beracun, yaitu dapat mengakibatkan kematian atau gangguan kesehatan dalam waktu singkat. Logam- logam tersebut antara lain: Hg, Cd, Pb, As, Sb, Ti, Co, Be, dan Cu.

2. Moderat, yaitu mengakibatkan gangguan kesehatan baik yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih dalam waktu yang relatif lama. Logam- logam tersebut antara lain: Ba, Au, Li, Mn, Se, Te, Va, dan Rb.

3. Kurang beracun, dalam jumlah besar dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Logam- logam tersebut antara lain: Bi, Fe, Ca, Mg, Ni, K, Zn, dan Ag.


(1)

xii

Gambar 4.10 Nilai Kapasitas Adsorpsi Maksimum (qmax) untuk

Berbagai Perbandingan Konsentrasi Cd+2 / Cu+2 Selama 5

Jam 42

Gambar 4.11 Grafik Optimasi Waktu Kontak pada Penyerapan ion

Logam Cd+2 dalam Larutan oleh Adsorben Batang Jagung 44 Gambar 4.12 Grafik Optimasi Waktu Kontak pada Penyerapan ion

Logam Cu+2 dalam Larutan oleh Adsorben Batang Jagung 44 Gambar 4.13 Grafik Optimasi waktu kontak pada penyerapan ion logam

Cu+2 : Cd+2 (30:30 ppm) dalam larutan biner oleh

Adsorben batang jagung 45

Gambar 4.14 Grafik Kinetika Adsorpsi Cd+2 Orde 1 47 Gambar 4.15 Grafik Kinetika Adsorpsi Cd+2 Orde 2 48 Gambar 4.16 Grafik Kinetika Adsorpsi Cu+2 Orde 1 48 Gambar 4.17 Grafik Kinetika Adsorpsi Cu+2 Orde 2 49 Gambar 4.18 Grafik Kinetika Adsorpsi Larutan Biner Cd+2 : Cu+2 (30:30

ppm) Orde 1 50

Gambar 4.19 Grafik Kinetika Adsorpsi Larutan Biner Cd+2 : Cu+2 (30:30

ppm) Orde 2 50

Gambar 4.20 Pemodelan Kinetika Difusi Internal Logam Cd+2 50 ppm 52 Gambar 4.21 Pemodelan Kinetika Difusi Eksternal Logam Cd+2 50 ppm 52 Gambar 4.22 Pemodelan Kinetika Difusi Internal Logam Cu+2 50 ppm 52 Gambar 4.23 Pemodelan Kinetika Difusi Eksternal Logam Cu+2 50 ppm 53 Gambar 4.24 Pemodelan Kinetika Difusi Internal Larutan Biner Cd+ 2:

Cu+2 (30:30 ppm) 53

Gambar 4.24 Pemodelan Kinetika Difusi Eksternal Larutan Biner Cd+2 :

Cu+2 (30:30 ppm) 54

Gambar C.1 Kebun Jagung yang akan Digunakan Sebagai Adsorben 73 Gambar C.2 Pemotongan dan Pembersihan Batang Jagun 73 Gambar C.3 Batang Jagung yang Siap Dijadikan Adsorben 74 Gambar C.4 Peralatan dan Sampel Batang Jagung Penelitian 74 Gambar C.5 Material Logam Berat yang Digunakan 75 Gambar C.6 Botol Untuk Larutan Cd+2 dan Cu+2 75


(2)

xiii

Gambar C.7 Pengatur Keasaman NaOH (0,1 M) dan HCl (0,1 M) 76 Gambar C.8 Botol Sampel Untuk Uji Di Alat AAS 76 Gambar C.9 Hasil Uji Panjang Gelombang Logam Cd+2 Di Alat

AAS 77

Gambar C.10 Hasil Uji Logam Cd+2 50 ppm Di Alat AAS 77 Gambar C.11 Hasil Uji Panjang Gelombang Logam Cu+2 Di Alat

AAS 78


(3)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Jumlah Panen Jagung Indonesia Tahun 2013-2015 2 Tabel 1.2 Data Beberapa Hasil Penelitian Terbaru Tentang Bioadsorpsi

dan Pemanfaatkan Batang Jagung Sebagai Biosorban Dalam

Menyerapan Ion Logam 2

Tabel 2.1 Komponen Kimia Pada Batang Jagung 7

Tabel A.1 Data Kalibrasi Larutan Standar 63

Tabel A.2 Data Hasil Pencucian dari Adsorben Batang Jagung. 63 Tabel A.3 Hubungan Hasil Kapasitas Adsorpsi Batang Jagung Terhadap

Logam Cd+2 Pada berbagai Bentuk 66

Tabel A.4 Hubungan Hasil Kapasitas Adsorpsi Batang Jagung Terhadap

Logam Cu+2 Pada berbagai Bentuk 66

Tabel A.5 Data Hasil Penentuan Waktu Optimum Logam Cd+2 67 Tabel A.6 Data Hasil Penentuan Waktu Optimum Logam Cu+2 67 Tabel A.7 Data Hasil Perbandingan Konsentrasi Tetap Cd+2 / Cu+2

(30:30 ppm) Terhadap Waktu 68

Tabel A.8 Hubungan Antara Kapasitas Adsorpsi q (%) Terhadap Waktu

(t) 68

Tabel A.9 Nilai Kapasitas Adsorpsi q (%) pada Berbagai Perbandingan


(4)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN A DATA BAHAN BAKU 63

A.1 Data Kalibrasi Larutan Standar Hasil Analisis AAS 63 A.2 Hasil Pencucian Adsorben Batang Jagung 63 A.3 Hasil Pengeringan Adsorben Batang Jagung 64 A.3.1 Perhitungan Pengeringan Adsorben Batang Jagung 64

A.4 Data Hasil Kapasitas Adsorpsi 66

A.5 Data Hasil Penentuan Waktu Optimum 67

A.6 Data Adsorbansi dan Konsentrasi Larutan Biner 68

LAMPIRAN B CONTOH PERHITUNGAN 69

B.1 Pembuatan Larutan (Stock Solution) 69

B.2 Perhitungan Konsentrasi Aktual 70

B.3 Perhitungan Kapasitas Adsorpsi 70

B.4 Pembuatan Larutan Biner (Stock Solution) 70 B.5 Perhitungan Kapasitas Adsorpsi Larutan Biner 71

LAMPIRAN C DOKUMENTASI PERCOBAAN 73

C1 Sampel dan Bahan Baku 73


(5)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

AAS Atomic Adsorption Spectroscopy

pH Power of Hydrogen


(6)

xvii

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Dimensi

Cd(CH3COO)2.2H2O CuSO4.5H2O

Kadmium Asetat Dihidrat Tembaga Sulfat

mg mg

C Karbon

O Oksigen

% Persen

HCl Asam klorida mL

NaOH Natrium Hidroksida g

H2O Air mL

H+ Ion hidrogen

Q Berat Cd yang terjerap oleh satu gram

sampel mg/g

w Berat sampel yang digunakan g

Co Konsentrasi larutan Cd awal ppm

Ct Konsentrasi larutan Cd pada waktu t ppm

t Waktu menit/ jam

V Volume larutan Cd dan Cu yang

digunakan mL

y Absorbansi


Dokumen yang terkait

Kompetisi Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd2+) dan Tembaga (Cu2+) dalam Larutan Biner Menggunakan Adsorben Batang Jagung (Zea mays)

1 10 73

Kompetisi Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd2+) dan Tembaga (Cu2+) dalam Larutan Biner Menggunakan Adsorben Batang Jagung (Zea mays)

0 0 17

Kompetisi Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd2+) dan Tembaga (Cu2+) dalam Larutan Biner Menggunakan Adsorben Batang Jagung (Zea mays)

0 0 2

Kompetisi Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd2+) dan Tembaga (Cu2+) dalam Larutan Biner Menggunakan Adsorben Batang Jagung (Zea mays)

0 0 4

Kajian Kemampuan Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd+2) Dan Tembaga (Cu+2) Serta Kompetisi Larutan Biner Dengan Menggunakan Adsorben Dari Batang Jagung (Zea Mays.)

0 0 19

Kajian Kemampuan Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd+2) Dan Tembaga (Cu+2) Serta Kompetisi Larutan Biner Dengan Menggunakan Adsorben Dari Batang Jagung (Zea Mays.)

0 0 2

Kajian Kemampuan Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd+2) Dan Tembaga (Cu+2) Serta Kompetisi Larutan Biner Dengan Menggunakan Adsorben Dari Batang Jagung (Zea Mays.)

0 0 6

Kajian Kemampuan Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd+2) Dan Tembaga (Cu+2) Serta Kompetisi Larutan Biner Dengan Menggunakan Adsorben Dari Batang Jagung (Zea Mays.)

0 0 14

Kajian Kemampuan Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd+2) Dan Tembaga (Cu+2) Serta Kompetisi Larutan Biner Dengan Menggunakan Adsorben Dari Batang Jagung (Zea Mays.)

2 2 7

Kajian Kemampuan Adsorpsi Logam Berat Kadmium (Cd+2) Dan Tembaga (Cu+2) Serta Kompetisi Larutan Biner Dengan Menggunakan Adsorben Dari Batang Jagung (Zea Mays.)

0 0 16