Nilai-nilai Didaktis yang terdapat di dalam Karya Sastra

26 Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banya sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian- pengertian pengertahuan, sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.

2.2. Nilai-nilai Didaktis yang terdapat di dalam Karya Sastra

Semi 1990:71 berpendapat bahwa didaktis adalah pendidikan dengan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada sesuatu arah tertentu. Temyang, dkk Yusmalina,1997:26 menyatakan bahwa pengertian didaktis adalah ilmu mengajar yang menunjukkan kepada kita bagaimana kita harus mengajar anak, lebih mudah dikatakan didaktis menetapkan cara mengajar. Semi juga mengungkapkan bahwa dalam suatu karya sastra yang bermutu biasanya memiliki nilai-nilai didaktis antara lain : 2.2.1. Nilai Religius Menurut kamus besar bahasa Indonesia 2000 religi adalah kepercayaan kepada Tuhan akan adanya kekuatan di atas manusia. Sedangkan religius bersifat keagamaan yang bersangkutpaut dengan religi. Religi diartikan lebih luas dari agama, kata religi menurut asal kata berarti ikatan atau pengikatan diri Atmnosuwito, 1989:123 religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan pandangan hidup penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya. Agama menurut sastra religius bukan kekuasaan melainkan pendemokrasian Atmosuwito, 1989: 126. Pada awalnya semua sastra adalah religi, istilah religi membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan bahkan dapat melebur dalam Universitas Sumatera Utara 27 satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya mengarah pada makna yang berbeda. Dengan demikian religius bersifat lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi. Menurut Moendjanto dalam Ratnawati, 2000:2, religius merupakan sesuatu yang 1 melintasi agama, 2 melintasi rasionalita, 3 menciptakan keterbukaan antar manusia, 4 tidak identik dengan sifat pasifisme. Manguwijaya dalam Ratnawati 2000:2 mengungkapkan : ”Religius pada dasarnya adalah bersifat mengatasi atau lebih dalam daripada agama yang tampak formal dan resmi karena ia tidak bekerja dalam pengertian otak, tetapi dalam pengamalan dan penghayatan dan konseptualitas, sehingga religius tidak langsung berhubungan dengan ketaatan yang ritual yang hanya sebagai huruf, tetapi dengan lebih mendasar dalam diri manusia yaitu roh.” Religius dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang yang beragama semakin intens Moeljanto dan Sunardi, 1990:208 menyatakan bahwa semakin orang religius, hidup orang itu akan semakin nyata atau merasa semakin ada dengan hidupnya sendiri. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Religius sastra adalah seperangkat dimensi yang muncul dari sikap ide dan pandangan hidup penulis sastra dan akhirnya terefleksi dalam karyanya. Karya sastra merupakan wujud representasi dunia dalam bentuk lambang kebahasaan. Oleh karena itu, karya sastra merupakan salah satu media yang dapat menjadi satu pengalaman estetik yang mengantarkan seseorang untuk mencapai religius. Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman estetik dan itu pula yang mengarahkan atau membangkitkan religius. Berdasarkan gambaran tentang pendekatan religiusitas sastra di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa religius itu bukan karena ketaatan seseorang tapi bagaimana seseorang itu menjaga kualitas ketaatan seseorang dilihat dari dimensi yang paling dalam dan personal yang Universitas Sumatera Utara 28 sering kali berada diluar kategori ajaran agama, pendekatan ini menitikberatkan misi sastra sebagai alat perjuangan meningkatkan mutu kehidupan untuk manusia dan meningkatkan budi pekerti anggota masyarakat. 2.2.2. Nilai Moral Moralitas adalah kekuatan dalam diri manusia yang dengan ini peneliti berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk, moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuataan manusia, wejangan-wejangan, khotbah, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik frans magnes Suseno. Pendapat diatas menunjukkan bahwa moral merupakan semua yang berhubungan dengan adat kebiasaan manusia yang dikatakan baik jika sesuai dengan adat kebiasaan adat budi pekertinya, jadi moralitas mencakup baik buruknya perbuatan seseorang. Moral menurut Poejawijayatna 1086 :16 adalah ajaran yang berkaitan dengan kelakuan, yang hendaknya merupakan pencerminan akhlak dan budi pekerti. Secara keseluruhan ajaran moral merupakan kaidah dan pengertian yang menentukan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Pertimbangan baik atau buruknya suatu hal akan menghasilkan moral, moral itu suatu yang benar-benar ada dan manusia tidak dapat memungkirinya. adanya keyakinan tentang moral dan kebenarannya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Manusia yang melakukan kebenaran akan menjadi manusia yang baik tetapi sebaliknya jika melakukan sesuatu yang salah menjadi manusia yang jahat. Universitas Sumatera Utara 29 Teori yang mengatakan bahwa semua moralitas itu ditentukan oleh konvensi, bahwa seluruh bentuk moralitas itu adalah resultan dari kehendak seseorang yang semau-maunya memerintahkan atau melarang perbuatan tertentu tanpa mendasarkan atas sesuatu yang instrinsik dalam perbuatan manusia sendiri atau pada hakikat menusia dikenal sebagai aliran-aliran positivisme moral. Disebut begitu karena aliran tersebut, semua moralitas bertumpu positif sebagai lawan hukum kodrat poespoprodjo, 1988:103. 2.2.3. Nilai Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi budi atau akal diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia, wikipedia.com. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan Universitas Sumatera Utara 30 serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan adalah : 1. sistem kepercayaan 2. Peralatan dan perlengkapan hidup teknologi 3. sistem mata pencaharian 4. sistem kekerabatan dan organisasi sosial Universitas Sumatera Utara 31 5. bahasa 6. kesenian Keseluruhan aspek budaya itu saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam kehidupan. 2.2.4. Nilai Estetik Istilah estetika pertama kali dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten 1714- 1762 melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan. Encarta Encyclopedia 2001,1999 menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. sedangkan menurut The Liang Gie dalam bukunya ”garis besar estetika”, menurut asal katanya, dalam bahasa Inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata ”beautiful” dalam bahasa Perancis ”beau”, sedangkan Italia dan Spanyol ”bello” berasal dari bahasa latin ”bellum”. Akar katanya adalah ”bonum” yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi ”bonellum” dan terakhir diperpendek sehingga ditulis ”bellum”. Dalam bidang filsafat istilah nilai estetik sering kali dipakai sebagi suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan worth atau kebaikan goodness. Dalam dictionary of sociology and related sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terinci lagi sebagai berikut: ”the believed capacity of any object to satisfy a human desire. The quality of any object which sauces it to be on interest an individual or a group kemampuan yang dipercaya ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau suatu golongan ‘ Universitas Sumatera Utara 32 Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad ke 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik. Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis. Sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai dengan indah. Dari penilaian tersebut maka sesuatu yang bernilai estetis belum tentu indah dalam arti sesungguhnya. Sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Banyak pemikir seni yang berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood soetrisno 1993 terdapat beberapa pendapat mengenai estetika sendiri, salah satu defenisi yang cukup lengkap diberikan oleh Hospers : aesthetics is the branch of philosophy that is concerned with the analysis of concepts and the solutions of problems that arise when one contemplates aesthetic objects. Aesthetic objects, in turn, comprise all the objects of aesthetic experience; thus, it is only after aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects Sutrisno,1993. Hal 16 Jika mengacu pada pendapat Hospers, maka diperlukan satu sikap khusus bagi seseorang agar dapat mencari pengalaman estetik, termasuk pengamatan objek estetik ataupun penciptaan objek estetik itu sendiri. Dalam kajian filsafat, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi menjadi dua pendekatan yaitu, 1. Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda atau alam indah serta karya Seni. 2. Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh pengamat pengalaman keindahan yang dialami seseorang. Sutrisno, hal 81 Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, “keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak Universitas Sumatera Utara 33 ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu. Estetika di Jepang berhubungan dengan aliran Zen dari Buddhisme yang masuk ke Jepang pada akhir abad ke-11, dan terjadi perubahaan- perubahan sesuai dengan kepribadian masyarakat setempat. Zennisme yang lebih cocok dengan kepribadian rakyat Jepang membangkitkan kecenderungan masyarakat kembali keagama aslinya, yakni Shinto. Pada tahun 1868 Shinto dijadikan Agama resmi Jepang. Tanpa meninggalkan buddhisme sama sekali, kebudayaan Jepang menjadi perkawinaan antara Agama Budha dan Shinto, disebut ”Ryobo- Shinto” yang mengandung pengaruh besar dari aliran Zen.Berdasarkan sintese ini berkembanglah estetik Jepang yang sampai masa industrialisasi moderen masih sangat menonjolkan ciri- ciri khas sebagai berikut: 1. kesedarhanaan pengaruh Budha. Perwujudan agar sepolos mungkin. Tidak banyak perhiasan. Kepribadian Jepang sangat mencari kesungguhan dan kebenaran dengan kehidupan dalam kesedarhanaan. 2.untuk dapat mempertahankan kesederhanaan ini manusia harus disiplin keras pada dirinya sendiri pengaruh Shinto. Disiplin sangat menonjol daslam kehidupanya sehari-hari, menyerap dalam perwujudan kesenian, hingga merupakan unsur estetik yang khas Jepang. Disiplin dalam goresan, disipli dalam kesederhanaan. bandingkan Pelikis Lempad di Bali. 3. Logika.Semua perwujudan seni harus memenuhi syarat penggunaan yang praktis. Sebagai akibat insur logika ini, Jepang menjadi unggul dalam _”idustrialdesign” modern dalam masa kini. Mereka berhasil mewujudkan seni juga dalam bentuk- bentuk mesin, mobil,kereta api,pesawat terbang, alat televisi.telefon,radio dan komputer. 4.Hemat ruang. Berkaitan dengan logika praktis tersebut maka dalam kesenian Jepang ini Universitas Sumatera Utara 34 tumbuh satu unsur estetika lagi, yakni ”compactness”, unsur”penghematan ruang”. Keterbatasan ruang dalam kehidupan hari- hari memaksa meraka menggunakan sedikit mungkin ruang. Kebiasan ini menjadi unsur kebudayaan tersendiri yang meresap dalam konsep Estetika mereka.Tulisan Dalam JAPAN STYLE, Mitsuni Yoshida: ” Japanese Aesthetic Ideals” 1980 . 2.2.5. Nilai Motivasi Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya. Tahun 1950 an merupakan periode perkembangan konsep-konsep motivasi. Teori-teori yang berkembang pada masa ini adalah hierarki teori kebutuhan, teori X dan Y, dan teori dua faktor. Teori-teori kuno dikenal karena merupakan dasar berkembangnya teori yang ada hingga saat ini yang digunakan oleh manajer pelaksana di organisasi-organisasi di dunia dalam menjelaskan motivasi karyawan. Teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan milik Abraham maslow. Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya, rasa aman Universitas Sumatera Utara 35 rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosionall, sosial rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan, penghargaan faktor penghargaan internal dan eksternal, dan aktualisasi diri pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri. Maslow memisahkan lima kebutuhan ke dalam urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah sedangkan kebutuhan social, penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas. [ Perbedaan antara kedua tingkat tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara eksternal. Area motivasi manusia Empat area utama motivasi manusia adalah makanan, cinta, seks, dan pencapaian. Tujuan-tujuan yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang melakukannya, individu dianggap tergerak untuk mencapai tujuan karena motivasi intrinsik keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut, atau karena motivasi ekstrinsik, yakni keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal .

2.3. Setting Cerita Novel No One’s Perfect