1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata “nikah atau zawaj” berasal dari bahasa Arab dilihat dari etimologi bahasa berarti “berkumpul menindih”, atau dengan ungkapan lain bermakna
“aqad setubuh” dalam arti yang sebenarnya hubungan badan dalam arti majazi metafora. Dengan demikian itu berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain” Q.S An-Nisa:25
Secara terminologi istilah “nikah atau zawaj” adalah: 1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari
seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan persetubuhan. 2. Aqad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara keduanya.
1
Perkawinan merupakan pertemuan dua hati yang saling melengkapi satu sama lain dan dilandasi dengan rasa cinta mawaddah dan kasih sayang warahmah. Pada
dasarnya setiap calon pasangan suami isteri yang akan melangsungkan atau akan membentuk suatu rumah tangga akan selalu bertujuan menciptakan keluarga yang
1
Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Antar Madzhab, PT. Prima Heza Lestari: 2006, Cet. Ke-1, h. 1
2
bahagia dan sejahtera serta kekal untuk selamanya, namun impian semua itu tak selamanya indah.
Agar cita-cita dan tujuan tersebut dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya, maka suami isteri yang memegang peranan utama dalam mewujudkan keluarga yang
sakinah perlu meningkatkan pengetahuan dan pengertian tentang bagaimana membina kehidupan keluarga sesuai dengan tuntunan agama dan ketentuan hidup
bermasyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ruum ayat 21:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berfikir.” Q.S Ar-Rumm: 21
Pernikahan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 bab I adalah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2
Untuk mengadakan ikatan suci dengan tujuan rumah tangga yang bahagia dan kekal itu harus dipenuhi prinsip-prinsip tertentu yang dinamakan keluarga adalah
minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak dan seterusnya.
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
3
Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus
mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang sifatnya bathiniyah di dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah. Ketika akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya,
maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai suami isteri dalam keluarga. Jika suami istri sama-sama
menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah
ketentraman dan ketenangan hati, sehingga terwujudlah kebahagian hidup dalam berumah tangga. Dalam Kompilasi Hukum Islam kewajiban suami isteri dijelaskan di
dalam pasal 77 dan pasal 78.
3
Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah
menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga salah satu di antara lembaga pendidikan informal, ibu-bapak yang dikenal mula pertama oleh
putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadikepribadian sang putra-putri itu sendiri.
4
Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Saw:
3
Abdul Rahman Ghozali, fiqih munakahat, Jakarta: Kencana, 2003, h.155,157.
4
H.M.A.Tihami, Sohari Sahrani, fikih munakahat kajian fikih nikah lengkap Jakarta: Rajawali Pres, 2009, h. 16
4
: :
5
Artinya: “Tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas fitrah maka ayah dan ibundanya yang menjadikan ia yahudi, nasrani atau majusi”
H.R. Bukhari dari Abu Hurairah
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami atau ayah mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak ringan yaitu memimpin keluarganya. Allah menuntut kendali
keluarga ditangan lelaki karena kekuatan dan kegigihan yang dikaruniakan Allah kepadanya, serta kemampuan mencari rezeki di muka bumi. Hal ini berarti
mengharuskan lelaki bekerja keras, mendorongnya untuk berbuat, berjuang dan merupakan beban serta tanggung jawab, ia sejalan dan selaras dengan fitrahnya.
6
Allah berfirman:
Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.” Q.S Annisa: 34
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup yang terdapat didalam masyarakat roda kehidupan berjalan dengan dinamis, tidak lepas
dari perselisihan antara anggota keluarga tersebut terlebih antara suami dan istri.
5
M. Nashiruddin Al- Albani, Ringkasan Terjemah Shahih Bukhari, Penerjemah As’ad Yasin, Elly Latifa Jakarta: Gema Insani Press, 2003, h. 437
6
Abdul Hakam Ash-Sha’idi, Menuju Keluarga Sakinah, Jakarta: Media Eka Sarana, 2005, h.88
5
Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan bahwa memelihara kelestarian kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah hal yang mudah.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun dalam pergaulan masyarakat. Dengan
demikian, segala sesuatu dalam rumah tangga keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan istri. Adakalanya suatu halangan yang sangat
besar sudah sangat sulit dicarikan jalan keluarnya, sehingga perceraian sebagai jalan akhir yang ditempuh untuk menghindari perselisihan di antara keduanya.
Salah satu munculnya permasalahan ketika suami sebagai seorang kepala keluarga yang mempunyai tanggungjawab yang besar akan tetapi berperilaku buruk
seperti menggunakan obat-obatan terlarang atau narkoba. Para ulama telah sepakat bahwa menyalahgunakan narkoba itu haram, karena dapat merusak jasmani dan
rohani umat manusia melebihi khamar. Secara terminologi dalam kamus besar bahasa Indonesia, narkoba atau
narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang. Orang yang mengkonsumsi narkoba
akan mengalami
gangguan mental
dan perilaku,
sebagai akibat
dari ketergantungannya sistem neurotransmier tersebut mengakibatkan terganggunya
fungsi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
7
7
Mardani, Penyalahgunaan narkoba dalam perspektif hukum islam dan hukum pidana nasional, Jakarta: Raja grafindo persada, 2008, h. 73, 177.
6
Pada awalnya, narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, peruntukan narkotika mengalami perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif. Oleh karena itu, agar penggunaan
narkotika dapat memberikan manfaat bagi umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat. Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yang menyebutkan Pengaturan Narkotika bertujuan untuk: a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika. c. Memberantas peredaran gelap Narotika dan Prekursor Narkotika.
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika.
8
Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Harus diakui bahwa masalah
penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu persoalan yang tidak mudah untuk ditemukan solusinya. Penggunaan narkotika sangat beragam dan menjangkau semua
lapisan masyarakat. Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika secara berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat
8
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang NARKOTIKA, pasal 4.
7
menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik maupun psikis.
9
Ketika seorang suami menggunakan narkoba maka akan hilang rasa tanggungjawab terhadap keluarganya, maka akan berakibat hancurnya kehidupan
rumah tangga. Selain itu akan berdampak pada timbulnya pengaruh negatif pada diri anak. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa permasalahan yang akan diteliti
layak untuk dilakukan dan penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut
kedalam sebuah skripsi yang berjudul Cerai Gugat Terhadap Suami Pengguna Narkoba
Analisis Putusan nomor: 0338Pdt.G2013PAJS. Pada awalnya penulis menggunakan putusan nomor 1998Pdt.G2010PAJS dengan subtansi yang sama
mengenai narkoba namun dikarenakan Majelis Hakim yang memutuskan perkara tersebut telah dimutasi di luar Pulau Jawa sehingga penulis tidak dapat
mewawancarai hakim tersebut.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah