Cerai Gugat Akibat Suami Adalah Saudara Sepupu/Sedarah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Batam No.104/Pdt.G/2013/Pa.Btm)

(1)

i

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD FIKRI PRATAMA N I M. 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 1 4

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. xi + 94 halaman + 15 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif, karena masyarakat masih kurang memahami tentang golongan sedarah dalam hukum Islam dan hukum positif sehingga di Pengadilan Agama Batam dalam perkara No. 104/Pdt.G/2013/PA.BTM ditemukan dalam surat gugatan kata sepupu yang disamakan dengan sedarah. Penulis memilih obyek penelitian di Pengadilan Agama Batam, penulis ingin mengetahui pertimbangan hukum dan majelis hakim dalam memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah.

Penelitian ini menggunakan metode deskripsif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui buku atau literatur dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan hakim Pengadilan Agama Batam yang memutus perkara nomor 104/Pdt.G/2013/PA.BTM terkait pertimbangan hukum mengenai cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasannya menurut hukum Islam dan hukum positif sepupu bukanlah sedarah dan hakim Pengadilan Agama Batam memutuskan perkara ini cerai dengan alasan perselisihan terus-menerus bukan sebab sepupu/sedarah sebagaimana yang tercantum dalam gugatan istri tetapi ditemukan fakta bahwa terus terjadi perbedaan pendapat dan suami tidak lagi memberi nafkah kepada istri maupun anak-anak.

Kata Kunci : Cerai gugat, Sedarah/sepupu, Pengadilan Agama Batam Pembimbing : M. Yasir, S.H., M.H.


(6)

vi











Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan ni’mat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Untaian shalawat beriringkan salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW yang atas kuasa Allah SWT telah mengeluarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang penuh dengan ilmu pengetahuan, semoga syafaat beliau senantiasa tercurahkan kepada umat muslimin.

Berbagai macam kesulitan dan cobaan menghalangi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namun kesulitan dan cobaan tersebut berakhir pada suatu jalan kemudahan yang hadir berkat bimbingan bantuan serta dukungan yang sangat berguna dari berbagai pihak.

Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa terima kasih yang tulus disertai rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A. Rektor Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. JM. Muslimin.M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

4. M.Yasir, S.H., M.H. selaku pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, semoga beliau selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah SWT.

5. Narasumber dan staff Pengadilan Agama Batam, yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam observasi dan wawancara terkait data yang penulis perlukan dalam penelitian skripsi, khususnya kepada Drs. H. Mukhlis selaku hakim yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi kepada penulis.

6. Seluruh dosen Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Teristimewa untuk Ayahanda Drs. H. Muhammad Amanuddin, M.Ag dan Ibunda Jumilah tercinta, sujud abdiku atas kasih sayang, pengorbanan, motivasi dan doa yang tak hentinya sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang, Juga untuk kedua adikku tersayang, Damay Yanti dan Uswatun Nabawiyyah, yang telah memberikan do’a dan dukungan kepada penulis serta menjadi motivasi bagi penulis agar bisa memberikan tauladan yang baik, seluruh keluarga besar dari Batam, Pekanbaru, Medan dan Malaysia yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis.


(8)

viii

IKAPDH, SEMARI, suka duka kita akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.

9. Sahabat-sahabat Peradilan Agama 2009: Syaefuddin, Mufti, Fauzan, Helmi, Yusuf, dan seluruh sahabat Peradilan Agama 2009, semoga persahabatan akan terus terjalin dengan baik walupun terdapat jarak dan waktu diantara kita.

10.Seluruh sahabat PMII dan KBPA. Syukron katsir.

11.Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu, terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.

Jakarta, 7 Maret 2014


(9)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian... 8

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Studi Review Terdahulu ... 9

G. Metodologi Penelitian………10


(10)

x

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... ……. 15

B. Jenis dan Alasan Perceraian ... 19

C. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian ... 33

D. Pemeriksaan Perkara Perceraian ... 41

BAB III Perkawinan Sepupu Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif A. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Islam ... 49

B. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Positif ... 54

C. Status Sepupu dalam Perkawinan Hukum Islam dan Hukum Positif .. 57

BAB IV Analisis Putusan Cerai Gugat Akibat Suami Adalah Saudara Sepupu/Sedarah A. Profil Pengadilan Agama Batam ... 65

B. Duduk Perkara ... 71

C. Pertimbangan Hakim ... 75

D. Amar Putusan……….... 80


(11)

xi

DAFTAR PUSTAKA ... 91


(12)

1

PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Nikah berasal dari bahasa Arab yaitu ﺎًﺣﺎَﻜِﻧ -َﺢَﻜَﻧ yang berarti mengawini, menikah.1 Dalam bahasa Arab kata an-Nikah bermakna “al-wathi dan al-dammu

wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut al-dammu wal al-jam’u, atau ‘ibarat

an-al-wath’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.2 Sedangkan

nikah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu “Ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama”.3

Dewasa ini kerapkali dibedakan antara “nikah” dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara “pernikahan” dan “perkawinan” hanya berbeda dalam menarik akar kata saja.4

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.5

Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 1461.

2

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. Ke-3,h. 38.

3

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses dari http://kbbi.web.id, pada Selasa 17 September pukul 22:09 WIB.

4

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-4, h. 36.

5


(13)

pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.6

Dari bunyi pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut diatas, dapat disimpulkan suatu rumusan arti dari perkawinan yaitu: ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan dimaksud adalah: membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwasannya: “Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mustaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah”.8

Perkawinan apabila ditinjau dari segi hukum adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan ini lazim disebut keluarga sakinah.9

Dari pegertian perkawinan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, dan setiap orang yang menikah pasti mengharapkan tercapainya tujuan tersebut, namun

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, h. 40.

7

Djoko Prakoso dan Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1, h. 3.

8

Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 93.

9


(14)

banyak juga diantara mereka yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga sehingga harus berakhir dengan perceraian.

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan lebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami istri tersebut.10

Dalam Islam perceraian itu dibenarkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi kebahagiaan tidak dicapainya dan selalu berada dalam penderitaan. Dalam agama Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati tetapi tidak pula mempermudah terjadinya perceraian, boleh dilakukan tetapi betul-betul dalam keadaan darurat atau karena terpaksa. Salah satu asas yang dianut oleh hukum perkawinan nasional adalah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama, (khususnya agama Islam), karena kalau terjadi perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan yang dicita-citakan yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Berlainan halnya dengan putusnya perkawinan karena kematian, sebab hal ini merupakan takdir dari Allah SWT yang tidak dapat dielakkan oleh manusia.11

10

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-5, h. 443.

11


(15)

Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan istri, perceraian yang dilakukan istri disebut cerai gugat.12

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, adapun alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk perceraian sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu:13

1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (pemboros, pemakai obat-obat terlarang).

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya (pergi tanpa kabar berita).

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

12

Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 509.

13

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h. 17.


(16)

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Kemudian KHI menambahkan dua alasan yaitu:14 1. Suami melanggar taklik talak.

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Dari alasan-alasan diperbolehkan perceraian diatas terdapat alasan “antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, adapun untuk alasan ini dapat diterima sebagai dasar perceraian harus cukup jelas sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu, sebagaimana yang tercantum pada pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, contohnya pertengkaran terus-menerus akibat suami selalu pulang malam tanpa alasan, pertengkaran terus-menerus akibat kurangnya perhatian suami terhadap istri, dll, namun masalah sosial yang terjadi di masyarakat saat ini salah satunya adalah adanya cerai gugat dengan alasan perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat suami adalah saudara “sepupu/sedarah” sehingga rintangan dan halangan banyak terjadi.

Dari kata sepupu yang disandingkan dengan kata sedarah ini dapat dikategorikan bahwa sebab dari pertengkaran ini tidak jelas karena dalam hukum Islam dijelaskan bahwa sepupu bukanlah sedarah atau bukanlah mahram, sehingga

14


(17)

dapat dinikahi, hal ini dapat disimpulkan dari QS. An-Nisa’ ayat 23, dalam ayat ini menyebutkan semua yang tidak boleh dinikahi, sepupu tidak termasuk dalam ayat ini sehingga dapat disimpulkan sepupu boleh dinikahi.

Hukum yang berlaku di Indonesia juga jelas bahwa sepupu bukanlah sedarah, dalam KHI sepupu tidak tercantum dalam Bab IV Larangan Kawin sehingga boleh melakukan perkawinan, dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 8 juga tidak tercantum sepupu merupakan yang dilarang untuk melakukan perkawinan, sehingga dapat disimpulkan boleh melakukan perkawinan. Kemudian apabila cerai gugat dengan alasan perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat suami adalah sedarah, berarti perkara ini bukanlah cerai gugat melainkan pembatalan perkawinan.

Berangkat dari masalah di atas penulis merasa tergugah untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul

“CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI ADALAH SAUDARA

SEPUPU/SEDARAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Batam No. 104/Pdt.G/2013/PA.BTM)”.

B.Identifikasi Masalah

Perceraian sebenarnya dapat terjadi karena berbagai alasan yang bertumpu pada bagaimana Undang-undang di Indonesia mengatur alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian dalam Undang-undang di Indonesia dan bagaimana


(18)

praktek yang terjadi dalam kenyataan. Dari permasalahan di atas, masalah yang dapat diidentifikasi oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Alasan-alasan apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar perceraian?

2. Apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif?

3. Bagaimana prosedur perceraian yang terdapat di Pengadilan Agama Batam? 4. Bagaimana pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Batam dalam

menyelesaikan dan memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah?

C.Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan ini hanya pada cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah dan bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor 104/Pdt.G/2013/PA.BTM.

2. Perumusan Masalah

Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:


(19)

a. Apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif?

b. Bagaimana pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Batam dalam menyelesaikan dan memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah?

D.Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif

2. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan dan memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah

E.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penulis adalah sebagai berikut:

1. Untuk menambah khazanah keilmuan khususnya pada diri penulis sendiri, mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya.


(20)

2. Hasil studi ini kiranya dapat dimanfaatkan oleh instansi atau lembaga terkait, praktisi hukum dan pihak-pihak yang membutuhkan.

3. Menambah perbendaharaan kepustakaan hukum umumnya dan hukum Islam khususnya dibidang Peradilan Agama.

F. Studi Review Terdahulu

Pembahasan dalam penelitian ini penulis telah melakukan telaah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan diangkat oleh penulis yaitu:

No. Identitas Substansi Pembeda

1. Roy Rijal Fikri, Cerai gugat akibat suami tidak mampu memberi nafkah (analisis putusan perkara

No.0979/Pdt.G/2008/PAJT di Pengadilan Agama Jakarta Timur), Konsentrasi

Keperdataan Islam , Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.

Hasil penelitian berupa skripsi ini membahas cerai gugat karena alasan suami tidak mampu memberi nafkah di PA. Jakarta Timur.

Disini penulis akan membahas cerai gugat akibat suami adalah saudara

sepupu/sedarah yang ada di PA. Batam.


(21)

2. Ahmad Sauqi, Perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat campur tangan orang tua sebagai dasar alasan perceraian(kajian terhadap putusan PA Jakarta Timur No. 116/pdt.G/2008/PA JT), Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.

Hasil penelitian berupa skripsi ini membahas perselisiahan terus-menerus antara suami istri akibat turut campur orang tua sebagai dasar alasan perceraian di PA. Jakarta Timur.

Disini penulis akan membahas cerai gugat akibat suami adalah saudara

sepupu/sedarah yang ada di PA. Batam.

3. Nurhayati, Cerai gugat karena suami tidak mampu

memberikan nafkah (analisis putusan PA Bandung

No.732/pdt.G/2006/PA BDG-Jabar), Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.

Hasil Penelitian berupa skripsi ini membahas cerai gugat karena suami tidak mampu memberikan nafkah di PA. Bandung.

Disini penulis akan membahas cerai gugat akibat suami adalah saudara

sepupu/sedarah yang ada di PA. Batam.

G.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah: a. Penelitian kasus case study yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara

intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu, yang hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit tetapi memiliki sifat penelitian kasus yang lebih mendalam. Secara lebih


(22)

jelas penulis tegaskan disini bahwa penelitian kasus yang dimaksud disini adalah sebatas pada wilayah kasus atau perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah (studi kasus putusan Pengadilan Agama Batam No. 104/Pdt.G/2013/PA.BTM)”.

b. Penelitian Kepustakaan library research yaitu penelitian yang dilakukan

dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan menganalisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan objektif, ligis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikendaki dalam penulisan skripsi ini.

2. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum primer didapatkan dari Pengadilan Agama Batam dengan No. Putusan 104/Pdt.G/2013/PA.BTM, serta melakukan wawancara dengan hakim yang memutuskan perkara tersebut.


(23)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder data yang diperoleh dari studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksudkan berupa buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta perturan yang lain yang berhubungan erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinterventarisasi dan diklarifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya pengumpulan bahan hukum yang diperlukan, penulis akan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Dokumentasi/Kepustakaan

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.15

15


(24)

b. Interview/Wawancara

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.16 Dalam penulisan skripsi ini penulis akan melakukan wawancara langsung dengan Hakim Pengadilan Agama Batam yang memutuskan perkara ini.

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Metode analisis bahan hukum yang digunakan disini berupa analisa kualitatif dengan pendekatan konten analisa yaitu menganalisis isi (conten analisa) dengan mendeskripsikan putusan cerai gugat akibat suami adalah suadara sepupu/sedarah dan menghubungkan dengan hasil wawancara.

5. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014.

16


(25)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, dalam bab ini membahas tinjauan umum tentang perceraian yang isinya memuat pengertian dan dasar hukum perceraian, jenis dan alasan perceraian, akibat hukum dan hikmah perceraian dan pemeriksaan perkara perceraian.

Bab ketiga, dalam bab ini membahas perkawinan sepupu dalam hukum Islam dan hukum positif, yang isinya memuat perkawinan sedarah dalam hukum Islam, perkawinan sedarah dalam hukum positif dan status sepupu dalam perkawinan hukum Islam dan hukum positif.

Bab keempat, dalam bab ini membahas analisis putusan cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah, yang isinya profil Pengadilan Agama Batam, duduk perkara, pertimbangan hakim, amar putusan dan analisis penulis.

Bab kelima, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan, kemudian memberikan saran-saran.


(26)

15

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A.Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Perceraian dari segi bahasa berasal dari kata “cerai”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “cerai” berarti pisah, putus hubungan sebagai suami istri.1 Dalam Islam cerai sering disebut dengan istilah “talak”, kata talak sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya lepas dari ikatan, berpisah,bercerai, pembebasan.2

Secara terminologi talak dirumuskan oleh Al-Mahalli dalam Kitabnya Syarh Minhaj al-Thalibin yaitu:3

هﻮﺤﻧو ﻖﻠﻃ ﻆﻔﻠﺑ ح ﺎﻜﻨﻟا ﺪﯿﻗ ﻞﺣ

Artinya: melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafal talak dan sejenisnya.

Dari yang dirumuskan oleh Al-Mahalli diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kitab-kitab fikih memberi tiga kata kunci yang menunjukkan arti hakikat perceraian yang bernama talakyaitu:4

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari http://kbbi.web.id/, pada hari Senin, 11 November 2013, pukul 21:24 WIB.

2

Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, h. 861.

3

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Pekawinan (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, h. 198.

4


(27)

Pertama: Kata “melepaskan” atau membuka atau meninggalkan mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu perkawinan.

Kedua: ”ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini, bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.

Ketiga: kata “dengan lafal tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu”

mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata talak tidak disebut dengan: putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.

Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan cerai/talak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, 131”.5

Prof. Subekti, S.H dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata

mendefinisikan bahwa perceraian adalah “penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.6

5

Kompilasi Hukum Islam,(Surabaya: Rona Publishing), h. 138

6


(28)

Adapun dasar hukum perceraian diantaranya:

1. Q.S Al-Baqarah ayat 229

                                                                            :ةﺮﻘﺒﻟا) 229 (

Artinya: talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik, tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu kawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Baqarah: 229).

2. Q.S. Al-Baqarah ayat 230

                                           :ةﺮﻘﺒﻟا) 230 (

Artinya: kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain, kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.(Q.S Al-Baqarah: 230).


(29)

3. Q.S. Al-Baqarah ayat 231                                                                              :ةﺮﻘﺒﻟا) 231 (

Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula, janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka, barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah), Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu, dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S Al-Baqarah: 231).

4. Q.S. Al-Baqarah ayat 232

                                                             :ةﺮﻘﺒﻟا) 232 (

Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf, itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian, itu lebih baik bagimu dan lebih suci, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(Q.S Al-Baqarah: 232)


(30)

5. Q.S. At-Thalaq ayat 1                                                                          :قﻼﻄﻟا) 1 (

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu, janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Q.S. At-Thalaq: 1).

B.JENIS DAN ALASAN 1. Jenis Perceraian

a. Cerai talak

Pengertian talak menurut bahasa Arab adalah lepas dari ikatan, berpisah, bercerai, pembebasan.7 Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan. Cerai talak merupakan cerai yang dikehendaki suami sesuai dalam Kompilasi Hukum islam (KHI) dijelaskan bahwa cerai talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah

7

Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, h. 861.


(31)

satu putusan perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131”.8

Hak talak ini dapat digunakan untuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah tangga. Rumah tangga yang dibangun melalui akad nikah harus dilandasi dengan rasa cinta kasih antara dua pihak sehingga apabila rasa cinta menjadi tidak ada di antara mereka dan sulit dipulihkan, tetapi yang ada kemudian hanya benci-membenci, terbukalah pintu yang memberi hak talak ini kepada suami.9

Adapun jenis-jenis talak adalah:

1) Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dicampurinya dan masih dalam masa iddah.10

Jelasnya, talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya sebagai talak satu atau talak dua. Apabila istri berstatus iddah talak raj’i, suami boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa persaksian, dan tanpa mahar baru pula.11

2) Talak ba’in adalah perceraian dengan talak tiga, atau cerai setelah habis masa iddahnya, tidak ada kemungkinan untuk menjalin kembali hubungan perkawinan bila talak tiga ini telah dijatuhkan. Talak ba’in ada

8

Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 138.

9

Ahcmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-1, h. 119.

10

A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet. Ke-1. h. 243.

11


(32)

dua macam yaitu talak bai’n sughra yaitu mengurangi hak suami untuk menjalin kembali hubungan perkawinan, (tetapi bisa dengan akad yang baru). Kemudian talak ba’in kubra semua hak untuk mempertautkan kembali ikatan perkawinan hilang sama sekali, bahkan suami yang terdahulu tak dapat mengawini istri yang telah diceraikannya, kecuali bila dia telah menikah dengan lelaki lain lalu menceraikannya dengan sukarela, tanpa tujuan “tahlil” sebagai yang disebutkan “cinta buta”.12

b. Cerai Gugat

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.13

Jika hak untuk melakukan perceraian yang diberikan untuk suami dinamakan cerai talak atau dalam Islam disebut talak, maka hak untuk melakukan perceraian yang diberikan untuk istri disebut cerai gugat atau dalam Islam cerai gugat dinamakan Khuluk. Khuluk berasal dari kata

-

َﻊَﻠَﺧ ﺎًﻌْﻠَﺧyang berarti mencabut, melepaskan.14

12

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-1, h. 88.

13

Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke-5, h. 50

14

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 361.


(33)

Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 1 huruf i bahwa khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.15

Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putus perkawinan dengan cara ini disebut khuluk.16

Khuluk ialah perceraian berdasarkan persetujuan suami istri yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari si suami kepada si istri dengan adanya penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. Syarat yang menjadi ‘illah untuk membolehkan khuluk

ialah suami istri itu tidak dapat lagi menjalankan peraturan-peraturan Tuhan, kalau mereka teruskan hubungan perkawinannya.17

Dasar pembolehan khuluk terdapat dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229:

15

Kompilasi Hukum Islam,(Surabaya: Rona Publishing), h. 92.

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media), cet. Ke-2, h. 197

17


(34)

                                                                            :ةﺮﻘﺒﻟا) 229 (

Artinya: talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik, tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.(Q.S. Al-Baqarah: 229).

c. Syiqaq

Menurut Rasyid Ridha, syiqaq adalah perselisihan antara suami dan istri, perselisihan ini mungkin disebabkan karena istri nusyuz atau mungkin karena suami berbuat kejam dan aniaya kepada istrinya. Sayyid Sabiq mengategorikan perceraian karena syiqaq ini karena dharar atau

membahayakan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad berpendapat sekiranya istri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian ke hadapan hakim agar perkawinannya diputus karena perceraian, adapun bentuk dharar menurut

Imam Malik dan Ahmad adalah suami suka memukul, suka mencaci, suka menyakiti badan jasmani istrinya, dan memaksa istrinya itu untuk berbuat


(35)

mungkar. Di kalangan madzhab Syafi’iyah seperti yang dikemukakan oleh Zakariya al-Asnshar, bahwa syiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara suami istri, dan perselisihan ini sangat memuncak serta dikhawatirkan terjadi kemudharatan apabila perkawinan itu diteruskan isytidaadusy syiqaq.18

Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa shiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami istri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus melalui beberapa proses.19

Dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 35 dinyatakan:

                                :ءﺎﺴﻨﻟا) 35 (

Artinya: bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah maha mengetahui, maha mengenal.(Q.S. An-Nisa’: 35).

d. Fasakh

Arti fasakh ialah diputuskanya hubungan perkawinan oleh Hakim Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa

18

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Kencana: Jakarta, 2008), cet. Ke-5, h. 385.

19

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-3, h. 212.


(36)

tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan, dengan difasakhkan ini bubarlah hubungan perkawinan itu.20

Fasakh tidak hanya melibatkan dua pihak pengakad, suami dan istri saja tetapi termasuk pihak ketiga, sehingga ada kemungkinan fasakh itu terjadi karena suami, istri dan kehendak orang lain yang berhak. Adapun hal-hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh akad nikah berkisar pada dua yaitu ada sebab yang diketahui setelah akad terjadi padahal sebenarnya telah ada sebelum akad dan ada sebab yang terjadi kemudian yakni muncul setelah akad.21

Untuk sebab yang pertama yaitu diketahui setelah akad contoh secara tiba-tiba terungkap ada bukti kuat bahwa antara mereka yang berakad sebagai suami istri itu adalah saudara sesusuan yang haram saling menikah, atau istri ketika akad berlangsung masih dalam masa iddah, masih ada ikatan perkawinan dengan suami lain dan sebagainya. Sedangkan untuk sebab kedua yang terjadi kemudian yakni muncul setelah akad contoh salah satu pihak mengubah agama, karena murtad ke dalam iman yang diharamkan kawin, putus, batal ikatan akadnya, baik pihak yang satu menerima (ridha) ataupun tidak.22

20

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h. 117.

21

Ahcmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-1, h. 141

22


(37)

Menurut Ahmad Azhar Basyir, fasakh ada yang memerlukan putusan pengadilan seperti misalnya karena istri musyrik, dan fasakh yang tidak melalui putusan pengadilan yaitu fasakh yang ada hal-hal yang cukup jelas, misalnya diketahui mahram antara suami istri karena hubungan susuan.23

e. Ta’lik talak

Arti ta’lik talak ialah menggantungkan, yaitu suatu talak yang digantungkan kepada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu, ta’lik talak ini diadakan untuk melindungi istri agar tidak teraniaya oleh suami.24

Adapun dasar hukum ta’lik talak terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 128 yaitu:

                                               :ءﺎﺴﻨﻟا) 128 (

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa keduanya mengadakan perdamain yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu dari (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.An-Nisa’: 128)

23

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990), cet. Ke-2, h. 111.

24


(38)

f. Ila’

Ila’ artinya menolak dengan sumpah, dalam pengertian agama ila’ berarti menolak untuk mengumpuli istrinya dengan bersumpah. Dalam hal ini sumpahnya baik dengan nama Allah ataupun dengan berpuasa atau bersedekah atau dengan haji atau dengan bercerai.25

Pada zaman jahiliyah biasa seseorang suami bersumpah tidak akan menyentuh istrinya setahun atau dua tahun, sang istri dibiarkan terkatung-katung seolah tidak bersuami tapi tidak pula diceraikan, setelah kedatangan Islam hal ini diatur oleh Allah SWT melalui wahyu dengan meletakkan batas tertentu bagi perbuatan ini yaitu:

                        :ةﺮﻘﺒﻟا) 226 (

Artinya: Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya, kemudian jika ia kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.(Q.S Al-Baqarah: 226).

Dari ayat ini dapat dijelaskan bahwa Allah meletakkan batas waktu empat bulan, dimana seorang suami tidak boleh mengumpuli istrinya. Dan dalam waktu tersebut diharapkan suami mau menginsyafi dirinya jika ia mau kembali dalam tempo tersebut atau mengakhirinya dengan mencabut

25

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), cet. Ke-7, h. 114.


(39)

sumpahnya, lalu mencampuri istrinya dan membayar kafarah sumpahya terhadap istrinya, jika tidak mau kembali maka wajib mentalak.26

g. Zhihar

Zhihar suatu prosedur yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami bersumpah, bahwa istrinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Hal ini berarti dia tidak akan menyetubuhi istrinya itu tetapi dalam bentuk yang lebih tajam. Arti zhihar ialah suatu keadaan dimana seorang suami bersumpah bahwa baginya istrinya itu sama dengan punggung ibunya. Hal ini berarti suatu ungkapan khusus bagi orang Arab yang berarti bahwa dia tidak akan mencampuri istrinya itu. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami istri itu. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarah lebih dahulu.27

                                          ﺔﻟدﺎﺠﻤﻟا) : 2 (

Artinya: orang lelaki dikalanganmu yang menzihar istrinya itu sebenarnya mereka (istri) itu bukanlah ibunya. Sesungguhnya ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkan mereka, dan sesungguhnya mereka sudah berkata keji dan dusta, dan sesungguhnya Allah itu Maha pemaaf lagi pengampun. (Q.S. Al-Mujadilah: 2)

26

Ibid , h. 114.

27

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h. 112-113.


(40)

Allah SWT mengatur tentang perbuatan zhihar ini bukan berarti perbuatan zhihar ini adalah perbuatan yang dihalalkan, tetapi Allah SWT mengatur tentang perbuatan zhihar ini agar memperbaiki keadaan bangsa Arab Jahiliyah pada saat itu yang suka menzalimi istrinya dengan menyamakan mereka dengan ibu mereka sehingga tidak digauli dan tidak pula diceraikan, Allah menegur mereka yang melakukan perbuatan zhihar yang buruk ini didalam Al-Qur’an sebagai berikut:

                                                  ) :بﺰﺣﻷا 4 (

Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam dadanya, dan Dia tidak menjadikan istri-istri yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak pula menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, sedangkan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jala (yang benar).(Q.S. Al-Ahzab: 4)

h. Li’an

Yaitu ucapan suami kepada istrinya sebagai berikut: “saya bersaksi kepada Allah bahwa saya benar, terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia berzina”. Dan jika ada dalam kandungan yang diyakini bukan anaknya, hendaknya diterangkan pula bahwa anak itu bukan anaknya. Perkataan itu hendaknya diulangi sebanyak empat kali, kemudian diakhiri


(41)

dengan ucapan “Allah akan melaknatku sekiranya aku berdusta dalam tuduhanku ini”.28

Arti li’an dalam hubungan dengan soal perceraian ini ialah: putusnya hubungan perkawinan karena si suami menuduh istrinya melakukan zina dan si istri menolak tuduhan itu. Keduanya menguatkan pendirian mereka dengan sumpah.29

Li’an ini biasa dilakukan oleh suami yang menuduh istrinya tanpa dapat mengajukan empat orang saksi, sebagaimana ketentuan syar’i, karena jika suami menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi dan tidak pula melakukan li’an, ia dapat dikenakan hukuman dera

Firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6 berbunyi:

                                                :رﻮﻨﻟا) 6 -7 (

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah dengan empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. An-Nur: 6).

28

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-5, h.336.

29


(42)

Akibat hukum lia’n suami ini adalah suami bebas dari hukuman dera, istri harus dihukum rajam, yakni hukuman sebagai seorang pezina, jika si istri hamil, anak dalam kandungan itu bukanlah anak dari suaminya.30

Tetapi jika istri merasa dirinya tidak melakukan zina kepada orang lain, ia dapat membantah li’an suaminya dengan mengajukan li’an pula kepada suaminya, akibat kontra li’an dari istri, maka suami akan mendapatkan hukuman rajam sebagai seorang pezina.31 Ketentuan ini tertuang dalam firman Allah sebagai berikut:

                                                                             

:رﻮﻨﻟا) 6 -9 (

Artinya: dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. An-Nur: 6-9)

30

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-5, h.337

31


(43)

2. Alasan Perceraian

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang menjadi dasar bahwa suami istri ini tidak dapat untuk hidup rukun kembali sesuai dengan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri”.32

Di dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan pasal 19 disebutkan alasan-alasan apa saja yang dapat diterima sebagai dasar untuk melakukan perceraian, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap orang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

32


(44)

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dala rumah tangga.33

Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan penambahan dua ayat yaitu:

a. Suami melanggar taklik talak.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.34

Dalam hukum perdata juga diatur alasan-alasan apa saja yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian yaitu:

a. Zina (overspel).

b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating).

c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.

d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209 B.W.).35

C.AKIBAT DAN HIKMAH 1. Akibat Perceraian

Setelah perceraian terjadi tidak serta-merta permasalahan selesai, akan tetapi akan ada akibat hukum yang timbul karena terjadinya perceraian tersebut,

33

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-4, h. 116-117.

34

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,

(Kencana: Jakarta, 2008), cet. Ke-5, h. 447.

35


(45)

baik antara mantan suami dengan mantan istri, harta yang didapatkan antara mantan suami dan mantan istri tersebut selama dalam masa perkawinan mereka dan jika mereka telah dikaruniai anak, akan ada akibat hukum terhadap hak asuh terhadap anak mereka.

Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menjelaskan

bahwa: “Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian harta harus dilakukan menurut perjanjian tersebut”.36

Kepada istri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan anak-anak yang diserahkan pada si istri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Penetapan jumlah tunjangan oleh hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan keadaan si suami.

Apabila keadaan ini tidak memuaskan dapat mengajukan permohonannya supaya penetapan itu oleh hakim ditinjau kembali. Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar mufakat. Juga diperbolehkan untuk merubah dengan perjanjian ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan hakim. Jikalau seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.37

36

Ibid, h. 44

37


(46)

Perceraian mempunyai akibat pula, bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij). Karena

itu, jika perkawinan dipecahkan oleh hakim, harus pula diatur tentang perwalian itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa yang dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah dan ibu berdasarkan perubahan keadaan.38

Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-Undang Perkawinan.

a. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1) Akibat hukum dari talak yang dilakukan suami.39

Pasal 149 menjelaskan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla

al-dukhul, memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama

dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil, melunasi mahar yang masih terhutang

38

Ibid.

39


(47)

seluruhnya, dan separoh apabila qobla al-dukhul, memberikan biaya

hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai 21tahun.

Pasal 151 dan pasal 152 menjelaskan Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain, bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.

2) Adanya waktu tunggu/masa iddah.40

Pasal 153 menjelaskan bahwa bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul

dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al-dukhul,

waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari, apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan, tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karana perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul, bagi perkawinan yang

putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya,

40


(48)

putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami,waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid, dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Kemudian Pasal 154 dan pasal 155 menjelaskan apabila istri bertalak raj’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya, waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li’an berlaku iddah talak. 3) Akibat hukum terhadap hak asuh anak/hadhanah.41

Pasal 156 menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dengan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus ke atas ibu, ayah, wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah, saudara

41


(49)

perempuan dari anak yang bersangkutan,wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping dari ayah.

Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya, apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula, semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun), bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d), pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

4) Adanya mut’ah atau pemberian bekas suami kepada istri.42

Pasal 158-160 menjelaskan bahwa mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da

al-dukhul, perceraian itu atas kehendak suami.

42


(50)

Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158, besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

5) Pembagian harta kekayaan dalam perkawinan.43

Pasal 96 dan pasal 97 menjelaskan apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama, janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

b. Undang-Undang No. 1 tahun 1974

Pasal 41 menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan, bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut, pengadilan dapat mewajibkan bekas

43


(51)

suami yantuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bekas istri.44

2. Hikmah Perceraian

Dari pengertian perkawinan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, dan setiap orang yang akan melakukan perkawinan pasti mengharapkan tercapainya tujuan tersebut, namun banyak juga diantara mereka yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga sehingga harus berakhir dengan perceraian.

Suatu kejadian pastilah akan terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga dalam permasalahan perceraian akan ada hikmah yang didapatkan baik bagi sang suami atau sang istri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal tetapi dibenci oleh Allah SWT, hikmah diperbolehkan talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan kepada sang anak itu sendiri.45

44

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Rona Publishing), h. 24-25.

45

Ahmad Sauqi, Perselisihan Terus-Menerus Antara Suami Istri Akibat Campur Tangan Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian(kajian terhadap putusan PA Jakarta Timur No. 116/pdt.G/2008/PA JT), h. 44.


(52)

Allah SWT Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya, kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan keturunannya. Selain hal itu, hikmah adanya perceraian akan menambahkan kita pada pembelajaran hidup bahwasanya dalam hidup terdapat dinamika yang harus kita jalani, baik itu bersifat senang ataupun sedih. Karena semua ini sudah ada ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah SWT sehingga diharapkan semua peristiwa yang kita alami dapat kita ambil hikmah atau sebagai pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan bisa lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu Allah SWT.46

D.Pemeriksaan Perkara Perceraian

Dalam prosedur perceraian, langkah awal yang harus dilakukan bagi suami atau istri yang ingin bercerai adalah membuat surat permohonan (bagi suami), atau surat gugatan (bagi istri).

Hal yang perlu dicantumkan dalam pembuatan gugatan atau permohonan adalah:

1. Identitas para pihak. 2. Fundamentum petendi.

3. Petitum.47

46

Ibid, h. 45.

47

Wahju Muljono, Teori & Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), cet. Ke-1, h. 53.


(53)

Fundamentum petendi atau juga disebut posita yaitu memuat gambaran

yang jelas mengenai duduk persoalan, dengan lain perkataan dasar gugatan harus dikemukakan dengan jelas. Suatu posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan hukum.48

Perlu diingat bahwa penguasaan hukum formal sangat berguna dalam menyusun gugatan karena menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi pengadilan, misalnya kepada pengadilan mana gugatan diajukan, dan sebagainya, disamping itu hukum formal ini mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum materil dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, hukum materil juga harus dikuasai dengan baik dalam menyusun gugatan, karena hal ini sangat menentukan dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan.49

Petitum yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat

agar diputuskan, ditetapkan atau diperintahkan oleh hakim.50

Setelah surat permohonan atau surat gugatan sudah dibuat dan selesai ditandatangani oleh pemohon (bagi suami) atau gugatan (bagi istri), kemudian surat gugatan/permohonan diserahkan kepada petugas Meja 1 sebanyak jumlah pihak, ditambah tiga rangkap untuk majelis Hakim, setelah itu petugas Meja 1

48

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), cet. Ke-8, h. 17

49

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-5, h. 23.

50

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), cet. Ke-8, h. 17.


(54)

menerima dan memeriksa kelengkapan berkas dengan menggunakan daftar periksa (check list).51

Setelah menaksir panjar biaya perkara, petugas meja 1 membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang kemudian petugas Meja 1 mengembalikan berkas kepada penggugat atau pemohon untuk diteruskan kepada kasir, kemudian setelah membayar biaya perkara pemegang kas menyerakan satu rangkap surat gugatan/permohonan yang telah diberi nomer perkara berikut SKUM kepada penggugat/pemohon agar didaftarkan kepada meja II.52

Petugas meja II kemudian akan mendaftarkan surat gugatan/permohonan dalam buku induk gugatan/permohonan, setelah itu petugas meja II menyerahkan berkas kepada Panitera melalui Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama.53

Panitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Agama, disertai unsur tindak atau saran tindak yang kira-kira berbunyi “sudah diteliti dan syarat formal cukup” atas dasar itu ketua Pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dengan surat penetapan, disebut penunjukan majelis hakim(PMH).54

51

Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010

52

Ibid.

53

Ibid

54


(55)

Adapun Majelis Hakim terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang yang salah satunya sebagai ketua majelis (Pasal 11 UU No. 48 tahun 2009).55

Setelah Majelis Hakim menerima berkas dari Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah, Ketua Majelis menerbitkan penetapan hari sidang (PHS) disertai perintah kepada Jurusita/Jurusita Pengganti memanggil para pihak untuk mengadakan sidang insidentil.56

Panggilan menghadap sidang langsung disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan sendiri atau melalui lurah atau melalui kepala kantor tempat ia bekerja, surat panggilan mana setelah ditanda tangani oleh yang dipanggil pada potongan surat panggilan menghadap, dikembalikan kepada Pengadilan Agama untuk dicatat kemudian disatukan pada berkas perkara yang bersangkutan.57

Pada sidang pertama hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan hakim mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak yang bersifat pemberitahuan (cecking) identitas para pihak apakah para

pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk mengahadiri sidang. Setelah itu yang harus dilakukan oleh hakim adalah usaha mendamaikan antara mereka.

55

Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010), cet. Ke-1, h. 10.

56

Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010

57

Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-1, h. 135.


(56)

Upaya perdamaian ini haruslah dilakukan oleh hakim, dalam upaya perdamaian ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:58

1. Harus ditulis upaya perdamaian oleh hakim, terutama pada sidang pertama sebelum mulai pemeriksaan.

2. Dalam sidang perdamain untuk cerai suami istri harus hadir secara pribadi. 3. Apabila salah satu pihak di luar negri, harus diwakili oleh kuasanya yang secara

khusus dikuasakan untuk itu.

4. Apabila kedua belah pihak di luar negri, penggugat harus hadir sendiri dalam sidang perdamaian itu.

5. Selama belum diputus perdamaian dapat terus dilakukan. 6. Dalam perkara voluntoir tidak ada usaha damai.

Jika usaha perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatlah akte perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum sebagai keputusan Pengadilan Agama, serta mengikat kedua belah pihak, hanya akte perdamaian ini tidak dimungkinkan banding. Akte perdamaian seperti ini jarang sekali dilakukan di Pengadilan Agama, karena perdamaian yang berhasil diusahakan oleh hakim biasanya dibuat keputusan juga, sehingga memberi kemungkinan untuk banding.59

58

Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010), cet. Ke-1, h. 19

59

Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-1, h. 136.


(57)

Jika usaha perdamaian tidak berhasil maka sidang dilanjutkan, sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat permohonan atau surat gugatan yang kemudian ditanggapi oleh termohon atau tergugat dengan jawaban.

Tahapan selanjutnya adalah replik dan duplik. Replik yaitu jawaban penggugat baik terulis maupun lisan terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan penggugat untuk meneguhka gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya. Replik merupakan lanjutan dari pemeriksaan perkara perdata di pengadilan setelah tergugat mengajukan jawaban. Duplik, yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat. Sama dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.60

Selanjutnya yaitu pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya. Sesuai ketentuan pasal 163 HIR/pasal 284 RBg ada 5 macam alat-alat bukti, yaitu:61

1. Bukti surat. 2. Bukti saksi. 3. Persangkaan.

60

Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2009), cet. Ke- 5, diakses dari http://lawfile.blogspot.com/2011/06/replik-dan-duplik.html, pada hari Rabu, 20 November, pukul 23:34 WIB.

61

Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010


(58)

4. Pengakuan. 5. Sumpah

Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti lawannya, adapun yang harus dibuktikan adalah:62

1. Fakta kejadian/hukum yang dibantah oleh lawan.

2. Peristiwa umum (Notoir), yang diketahui dalam sidang, sesuatu yang bersifat meniadakan dan tidak perlu dibuktikan.

Kemudian tahap kesimpulan, pada tahap ini masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan.

Selanjutnya yaitu putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan memberi kesimpulan dalam putusan, putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa atau perkara.

Dalam putusan hakim haruslah mencantumkan dalil gugatan, sebab putusan yang tidak mencantumkan dalil gugatan dianggap tidak memililiki landasan titik tolak, dalil gugat adalah landasan titik tolak pemeriksaan perkara, berarti putusan yang tidak mencantumkan dalil gugatan, dianggap tidak mempunyai dasar titik tolak. Itulah sebabnya putusan MA No. 312 K/Sip/1974 menegaskan putusan yang tidak mencantumkan posita gugat, batal demi hukum, karena bertentangan dengan pasal 184 ayat (1) HIR. Penegasan yang sama dikemukakan dalam putusan MA No. 177 K/Sip/1976. Dikatakan, putusan

62

Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010), cet. Ke-1, h. 23.


(59)

pengadilan yang memenuhi syarat, harus memuat isi gugatan pernggugat dan jawaban tergugat.63

63


(60)

49 BAB III

PERKAWINAN SEPUPU DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A.Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Islam

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut dengan asas selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa yang terlarang untuk menikah.1

Allah SWT telah mengatur jelas khususnya mengenai siapa yang dilarang untuk dinikahi, hal ini terdapat secara rinci di dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 22-23 yang berbunyi:

                                                                                                                          ) :ءﺎﺴﻨﻟا 22 -23 ( 1

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-3, h. 144.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)