Cerai gugat karena perzinaan(Studi Putusan Nomor 1S3B/Pdt.G/pA.Tgrs)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh : Rizky Fajriah NIM: 1110043100007

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2015 M/1436 H


(2)

CERAI

GUGAT

KARENA PERZINAAN

(Studi

Putusan

Nomor

1S3B/Pdt.G/pA.Tgrs)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

RIZKY F'AJRIAH

NIM.1110043100007

Di Bawah Bimbinga+

Hi. Siti Hanna. S.Ae. Lc.. MA

NrP. 1 974021 620080 r20 t3 NIP. 1 9771 2172007 r0r002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 rV201sM


(3)

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakartapadatanggal22 September 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata Satu (S-l) pada Program studi PerbandinganMazhab dan Hukum

J akarta, 22 Septemb er 20 I 5

Mengesahkan Dekan

PANITIA UJIAI\I MUNAQASYAH

Ketua

Sekretaris

Pembimbingl

Pembimbingll

Penguji I Penguji II

Fahmi Muhammad Ahmadi. M.Si NIP. 197412132003121002 Hj. Siti Hanna. S. Ag. Lc. MA

NIP. 197402162008012013

Hj. Siti Hanna.. S. Ag. Lc. MA

NIP. 1 97402 162008012013

Ismail Hasani. S.Ag. S.H..MH

NIP. 1977 1 2172007 t01002

: Dr. H.Mujar Ibnu Syarif.M.Ag NrP. 1 97 1 l2t2t99 503100t FIj. Hotnida Nasution. S.Ag..M.A

NrP. 1 97 I 0 6301997 032002

)

)


(4)

l.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persayaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

Of$

Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika

di

kemudian hari karya

ini

bukan hasil karya saya atau merupakan hasil

jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku

di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

22 September 2015M 08 Dzulhijjah 1436H

Penu hs


(5)

v ABSTRAK

Rizky Fajriah, NIM: 1110043100007, Cerai Gugat Karena Perzinaan (Studi Putusan Nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs), program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang proses cerai gugat karena pezinaan dengan menganalisis putusan nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan bagaimana peranan Hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Karena di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perzinaan menjadi salah satu alasan perceraian, akan tetapi pada kenyataannya Hakim menolak gugatan tersebut dikarenakan Penggugat tidak bisa membuktikan dalil-dalil gugatannya.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif yang mana melakukan pengkajian ataupun analisis yang berhubungan dengan tema skripsi ini yaitu dengan mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ini serta wawancara Hakim yang menangani perkara ini.

Hasil penelitian mengenai putusan tersebut Hakim menolak gugatan Penggugat, karena bukti-bukti tidak menunjukkan adanya perzinaan sehingga Penggugat tidak bisa membuktikan dalil-dalil dan alasan dari gugatannya baik mengenai perzinaan maupun adanya perselisihan secara terus menerus.

Pembimbing : Hj. Siti Hanna, S. Ag.,Lc,MA Ismail Hasani, S.Ag.,S.H.,MH Daftar Pustaka : Tahun 1938 s.d. Tahun 2013


(6)

vi

سِب

ِم

ٱ

َِّ

ٱ

حَرل

م

ِن

ٱ

ميِحَرل

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul CERAI GUGAT KARENA PERZINAAN (Studi Putusan Nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs). Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.

Selama penulisan skripsi ini peneliti banyak kesulitan dan hambatan untuk mencapai data dan refrensi. Namun berkat kesungguhan hati dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA.. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA, sebagai Sekretaris Program


(7)

vii

Studi Perbandingan Mazhab Hukum sekaligus Pembimbing skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Ismail Hasani, S.Ag.,SH.,MH, pembimbing skripsi yang telah banyak

memberi arahan, saran serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag, yang telah menjadikan bagian dari Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dalam masa jabatan sebelum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum periode baru.

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah, semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.

6. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.

7. Rusdianto Matulatuwa, SH. yang telah memberikan putusan sebagai bahan pertama dalam penulisan skripsi, semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.

8. Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa beserta para stafnya, khususnya Drs Muhyar, SH., M.Si. selaku Hakim yang telah meluangkan waktunya untuk wawancara sehingga memudahkan penulis menyelesaikan skripsi ini

9. Keluarga tercinta terutama kepada ayahanda dan ibunda tercinta (Ibrahim dan Siti Ummamah) serta adikku tersayang Ramadhan Akbar Rahim yang tiada


(8)

viii

pernah berhenti untuk selalu berdoa serta memberi nasihat dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.

10. Teman-teman seperjuangan, Dian Hasanah, Umayah, Jubaedah, Liana, Ida, Fauziah, Restu, Nabila, Sigit, Saidah dan seluruh sahabat PMH angkatan 2010 yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan pernah terlupakan.

11. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan yang telah diberikan dengan balasan yang berlipat ganda.

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah kita. Amin

Jakarta, 22 September 2015 M

08 Dzulhijjah 1436 H


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Review Studi Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PERCERAIAN DAN ZINA A. Perceraian ... 12

1. Pengertian Perceraian ... 12

2. Dasar Hukum Perceraian ... 13

3. Putusnya Perkawinan... 14

4. Hukum Perceraian ... 21

5. Perbedaan Cerai Talak Dengan Cerai Gugat ... 24

B. Zina Dalam Konsep Hukum Islam dan Hukum Positif ... 26

1. Pengertian Zina ... 26

2. Larangan Perzinaan ... 28

3. Sanksi Jarimah Zina ... 29


(10)

x

5. Zina Dalam Hukum Positif di Indonesia ... 36

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA A. Sejarah ... 40

B. Tugas dan Fungsi ... 41

C. Visi dan Misi ... 43

D. Wilayah Yuridiksi ... 45

E. Struktur Organisasi ... 49

BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs. A. Kronologi Putusan Nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs ... 51

a. Analisis Putusan Nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs ... 80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 87

B. Saran-saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan istrinya, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-menolong dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. 1

Pernikahan merupakan ikatan suci dua insan yang saling mencintai dan mengharapkan kebahagiaan yang kekal dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Namun, untuk mencapai cita-cita tersebut sangatlah tidak mudah, karena di dalam membina sebuah keluarga yang sakinah akan banyak ujian dan rintangan yang menghalangi terwujudnya suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqaan ghalidzan untuk menaati perintah Allah melaksanakannya merupakan ibadah.2

Tujuan pokok dari kehidupan rumah tangga, bahwa rumah tangga itu dibangun di atas landasan cinta dan kasih sayang diantara suami istri serta di atas

1

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h.374.

2

Direktorat Pembina Peradilan Agama Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 1992) h.219.


(12)

prinsip keadilan dan saling pengertian dimana masing-masing pihak dari suami istri harus melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya.

Meski Islam telah mewajibkan para penganutnya supaya menjaga dan memelihara keutuhan dan kelanggengan akad nikah, namun tidak semua pasangan yang terikat dalam pernikahan tersebut dapat menyelesaikan misinya dengan sempurna. Dalam pernikahan akan terjadi pergolakan dalam rumah tangga yang berawal dari faktor-faktor tertentu. Pergolakan itu akan membawa perceraian antara suami dan istri yang tidak menemui jalan penyelesaianya. Islam sebagai agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar, ketika suami isteri tidak dapat meneruskan perkawinan, dalam arti adanya ketidak cocokan pandangan hidup dan percekcokan.3 Suami istri sendiri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan bercerai walaupun perceraian tersebut dibolehkan, dan perceraian ini merupakan jalan terakhir.4

Banyak hal yang memyebabkan terjadinya perceraian misalnya saja perceraian karena perzinaan. Perzinaan (Adultery) merupakan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan, tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun belum menikah sama

3 Butsa’nah As

-Sayyid Al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian, Penerjemah: Abu Hilmi Kamaluddin, (Jakarta: Pustaka Al Sofwa, 2005), h.19.

4

Ahmad Rofiq, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet IV, h.240.


(13)

sekali.5 Perbuatan zina (hubungan seks di luar nikah yang sah) dengan lain jenis kelamin dilarang keras oleh Allah meskipun atas dasar suka sama suka antara kedua jenis kelamin itu karena perbuatan tersebut mempunyai dampak yang sangat buruk bagi pelakunya dan bagi masyarakat banyak. Perbuatan zina juga berdampak pada keluarga karena perzinaan itu dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga atau menimbulkan perceraian.6

Sebagaimana yang telah tercantum dalam pasal 116 KHI (Kompilasi Hukum Islam) bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya ;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung ;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain ;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalani kewajibannya sebagai suami istri ;

5

A. Rahman I Doi, Syariah II: Hudud dan Kewarisan, Penerjemah: Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.35.

6


(14)

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran; 7. Suami melanggar taklik talak ; dan

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.7

Dalam kasus gugat cerai antara suami dan istri di Pengadilan Agama Tigaraksa antara Penggugat (umur 46 th) dengan Tergugat (Umur 49 th), sebelumnya pada tahun 2012 sang istri pernah mengajukan gugatan cerai di tingkat pertama dengan putusan nomor 0051/Pdt.G/2012/PA.Tgrs Hakim mengabulkan gugatan istri, selanjutnya suami mengajukan banding dan pada tingkat banding dengan putusan nomor 8/Pdt.G/2013/PTA.Btn Hakim membatalkan perceraian.

Dalam kasus ini sang istri kembali menggugat cerai suaminya dikarenakan suaminya telah melakukan pesta seks (perzinaan), sang isteri memberikan bukti berupa foto-foto suaminya bersama WIL (Wanita Idaman Lain) yang telah dibuktikan keasliannya oleh ahli dari ITB namun dengan putusan nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs Hakim menolak gugatan istri. Selanjutnya penggugat mengajukan banding, dengan melihat kejadian dan fakta hukum yang sama Hakim sependapat mengenai hukum di tingkat pertama dengan menetapkan menolak gugatan dari istri. Sedangkan kalau kita merujuk pada KHI pasal 116 (a) maka perzinaan dapat menjadi alasan untuk bercerai.

7

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Presindo, 2010), h.141.


(15)

Berdasarkan uraian singkat di atas penulis tertarik membahas masalah ini dan merumuskannya dalam karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul :

“CERAI GUGAT KARENA PERZINAAN (Studi Putusan Nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi dengan objek penelitian adalah terbatas pada putusan nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs .

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai perzinaan?

b. Bagaimana pembuktian zina dalam Pengadilan Agama Tigaraksa?

c. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan perkara nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai perzinaan.


(16)

b. Untuk mengetahui pembuktian zina dalam Pengadilan Agama Tigaraksa c. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam putusan perkara

nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin penulis dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi Program Studi PMH/Fakultas Syariah dan Hukum

Memberikan sumbangan Karya Ilmiah dan menambah literature perpustakaan dalam memberi informasi dan ilmu pengetahuan akan pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam memutus sengketa cerai gugat karena perzinaan

b. Bagi Masyarakat Umum

Bermanfaat dalam memberi informasi mengenai penyelesaian perkara cerai gugat karena perzinaan.

c. Bagi Penulis

Untuk menambah khazanah keilmuan bagi penulis serta pembentukan pola berfikir kritis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana syariah.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam karya ilmiah ini, penulis menemukan data yang berhubungan dengan bahasan cerai gugat karena perzinaan pada Pengadilan Agama Tigaraksa.


(17)

Untuk menentukan arah pembahasan dalam skripsi ini penulis menelaah yang pernah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi.

1. “Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif terhadap Perkawinan Yang Didahului Oleh Perbuatan Zina” oleh Anna Ratna Utami, 0043219180 Tahun 2004. Dalam skripsi ini membahas mengenai status hukum dari perkawinan yang didahului oleh perbuatan zina baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum positif. Sedangkan penulis membahas pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara kasus cerai gugat karena perzinaan. 2. “Penyelesaian Cerai Gugat Istri Hamil (Analisis Putusan Pengadilan

Agama Kota Bogor Nomor 532/Pdt.G/2008/PA.Bgr.)” oleh Zainuddin, 204044103065 Tahun 2009. Dalam skripsi ini hakim berpendapat perselisihan yang menjadi akar dari permasalahan bagi pasangan sehingga mengabulkan gugatan Istri. Sedangkan penulis membahas mengenai perzinaan yang menjadi akar permasalahan namun Hakim menolak gugatan tersebut.

3. “Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana Perzinaan Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif” oleh Mohamad Awaludin, 1110045100040 Tahun 2014. Dalam skripsi ini membahas mengenai keabsahan dan kekuatan video sebagai bukti perzinaan baik dari segi hukum Islam maupun hukum positif. Sedangkan penulis membahas pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara kasus cerai gugat karena perzinaan.


(18)

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian dan Pendekatan Masalah

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif analisis yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisis terhadap kenyataan dilapangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau perilaku yang diamati.8

a. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder yaitu:

1. Data Primer

Didapatkan dari Pengadilan Agama Tigaraksa berupa putusan-putusan cerai gugat karena perzinaan dimana dalam hal ini penulis merujuk pada putusan perkara Nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan Wawancara terhadap Hakim atau Panitera. Wawancara merupakan salah satu

8

Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdayarya, 2004), h.9.


(19)

metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data dengan sumber data.9 Data juga diperoleh dari studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Quran, Al-Hadits, buku-buku ilmiah, UU, KHI, serta peraturan yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

Kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama Tigaraksa.

b. Interview atau wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan penulis dengan jalan mengadakan dialog dengan responden yaitu Hakim atau Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa.

3. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan putusan permohonan cerai gugat karena perzinaan, yaitu dengan perkara nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan menghubungkan dengan hasil interview yang didapatkan dari Hakim atau Panitera yang menangani

9


(20)

perkara tersebut. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan diberikan interprestasi untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sedangkan data yang telah diperoleh berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan akan ditinjau lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan didukung oleh referensi-referensi lain yang dapat memperkuat data dari bahan hukum di atas, sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan data penulis dalam penulisan penelitian ini.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan penelitian, maka secara garis besar dapat digunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan.


(21)

Bab II : PERCERAIAN DAN ZINA

Dalam bab ini diuraikan tentang teori-teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan selanjutnya yaitu pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, putusnya perkawinan, hukum perceraian, perbedaan cerai gugat dengan cerai talak, pengertian zina, dasar hukum larangan zina, sanksi jarimah zina, pembuktian zina dan zina dalam hukum positif di Indonesia.

Bab III : PROFIL PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA

Dalam bab ini diuraikan tentang profil Pengadilan Agama Tigaraksa, sejarah, tugas dan fungsi, wilayah yuridiksi dan struktur organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa.

Bab IV : PUTUSAN PERKARA NOMOR 1538/PDT.G/2013/PA.TGRS .

Dalam bab ini diuraikan tentang kronologis perkara, putusan Hakim dan analisis penulis.

Bab V : PENUTUP


(22)

12

A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Secara Etimologi, kata talak berasal dari kata

اقاط

-

قلطي

-

قلط

yang berarti melepaskan tali, meninggalkan atau bercerai (perempuan) dari suaminya.1

Adapun arti thalaq secara terminologi, penulis mengemukakan

beberapa pendapat ulama’ fiqh, di antaranya adalah:

Wahbah Az-Zuhaily, dalam Kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, mengatakan; talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafadz talak atau yang seperti dengannya, atau menghilangkan ikatan pernikahan disaat ini maupun akan datang dengan lafad tertentu.2

Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah mengatakan thalaq adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.3

Talak dalam KHI mendefinisikan talak sebagai ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya

1

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1990), h.239.

2

Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz VII, Cet. Ke- 3, h.356.

3


(23)

perkawinan. 4 Perceraian dalam hukum positif ialah suatu keadaan di mana antara seorang suami dan seorang isteri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan. 5

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa thalak adalah hilangnya hubungan antara suami istri dalam suatu ikatan atau lembaga perkawinan, baik dengan mengucapkan secara rela dengan ucapan talak kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas (sharih) ataupun dengan kata-kata sindiran (kinayah) pada saat ini atau akan datang.

2. Dasar Hukum Perceraian

Mengenai dasar hukum perceraian penulis akan mengantumkan ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjadi landasan hukum perceraian antara lain :

Surat Al-Baqarah : 229



















































































)

رق لا

:

٢

(

Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak

4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992) h.143.

5

Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,2011), h.174.


(24)

halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah : 229)

Surat Ath-Thalaq ayat 1

















) قاّطلا : (

Artinya : “Hai nabi apabila kamu menceraikan Isteri-isteri mu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji dan terang. Itulah hukum-hukum Allah”.(Q.S Ath-Thalaq:1)

Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.

ملسو هيلع ها ىلص ِهللَا ُلوُسَر َلاَق : َلاَق اَمُهْ َع ُهللَا َيِضَر َرَمُع ِنْبِا ِنَع

َدِْع ِل َََحْلَا ُضَغْ بَأ

ََدُواَد وُبَأ ُاَوَر ُ ُق ََطلَا ِهللَا

6

Artinya : “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak”.(H.R. Abu Daud)

3. Putusnya Perkawinan

Suatu perkawinan menjadi tidak hanya dengan thalaq tetapi juga karena perceraian yang disebabkan khulu’, zhihar, ila dan li’an berikut ini penjelasan masing-masingnya.

6

Sulaiman bin Al-Asy’ats Abu As-Sijistani Al-Azdi, Sunan Abu Daud, (t.t., Daar Al- Fikr, t.th.,) juz 1, h.662.


(25)

a. Thalaq

Ditinjau dari segi tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam yaitu :

1) Talak sharih yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan kata-kata jelas dan tegas langsung dihadapan istrinya tanpa kiasan

misalnya sesorang berkata kepada isterinya “kamu diceraikan”, atau “aku menceraikanmu”.

2) Talak kinayah yaitu talak yang menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar misalnya “ kamu bebas”, tutupilah dirimu dariku”.

Dengan pertimbangan ungkapan yang jelas, maka talak dinyatakan sah hanya dengan mengucapkannya, dalam ungkapan kiasan, talak tidak dapat dinyatakan sah kecuali kepada salah satu dari tiga kondisi yaitu niat talak, sebagai jawaban atas permintaan isteri, dan talak yang dinyatakan saat suami dalam kondisi marah dan bertengkar dengan isteri. 7

Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya maka talak dibagi menjadi tiga macam yaitu :

1) Talak sunni adalah seorang menceraikan istrinya tanpa hubungan intim dan dia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil atau sebelum berhubungan intim secara mutlak. 8

7

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Penerjemah: Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Jakarta: Akbar Media, 2009), h.357.

8


(26)

2) Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud. Talak macam ini akan menimbulkan penyesalan suami, karena akan muncul keraguan bahwa istri dalam masa kehamilan. Karena laki-laki sering sekali mentalak istri yang belum bisa memberikannya seorang anak. Kalau sudah terlanjur menyesal, dipertemukannya kembali dan ini akan menyebabkan kesengsaraan bagi kehidupan si anak. 9

Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami kembali kepada bekas isteri maka talak dibagi menjadi dua yaitu :

1) Talak raj’i adalah talak yang suami boleh ruju’ kembali pada bekas isterinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan (akad baru) asal isterinya masih dalam iddahnya seperti talak satu dan dua.

2) Talak ba’in adalah talak yang yang suami tidak boleh ruju’ kembali pada bekas isterinya melainkan harus dengan akad baru.10Talak ba’in dibagi menjadi dua yaitu :

a) Talak ba’in sughra ialah talak yang kurang dari tiga kali yang tidak boleh dirujuk,tetapi boleh akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam masa iddah.11

b) Talak ba’in kubra sama dengan talak ba’in sughra, yaitu memutuskan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi, talak

9

Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 194

10

Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, (Kuala Lumpur: Pustaka Jiwa SDN BHD, 1996), h.489. 11

Abdul Manan, dkk, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), h.28.


(27)

ba’in kubra tidak menghalalkan bekas suami merujunya kembali

bekas isteri, kecuali sesudah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya (telah bersenggama), tanpa ada niat tahlil.12

b. Khulu’

Khulu’ berasal dari kata khala’a, artinya menanggalkan.13 Khulu’ menurut istilah fiqih berarti menghilangkan atau membuka buhul akad

nikah dengan kesediaan istri membayar ‘ iwadl (tebusan) kepada pemilik akad nikah (suami) dengan menggunakan perkataan cerai/khulu’.

Khulu’ lazim juga disebut tebusan, karena isteri menebus dirinya

dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanaya, baik berupa mahar atau yang diterimanya. 14

Khulu’ disebut juga dengan talak tebus yang terjadi atas persetujuan

suami istri dengan jatuhnya talak satu dari pihak suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan cara itu. Penebusan atau pengganti yang diberikan kepada suami disebut

juga dengan ‘iwadl.15 ‘Iwadl dapat berupa pengembali

an mahar atau

12

Tihami, Sohari. Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.311.

13

Ahmad Sunarto, Kamus Al-Fikr, (Surabaya: Halim Jaya, 2009), h.138.

14

Nawawi Rambe, Fiqh Islam, (Jakarta: Duta Pahala, 1994), h.339.

15

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), h.110-111.


(28)

sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua suami istri.16

Dasar hukum khulu’ terdapat dalam firman Allah :



























)

رق لا

:

٢

(

Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim". (Q.S Al-Baqarah: 229).

Hadits dari Ibnu Abbas, Katanya :

ُنْب ُتِباَث ! ِهللَا َلوُسَر اَي : ْتَلاَقَ ف ملسو هيلع ها ىلص يِب لَا ْتَتَأ ٍسْيَ ق ِنْب ِتِباَث َةَأَر

ُلوُسَر َلاَق , ِم ََْسَِْْا يِف َرْفُكْلَا َُرْكَأ يِِكَلَو , ٍنيِد َََو ٍقُلُخ يِف ِهْيَلَع ُبيِعَأ اَم ٍسْيَ ق

سو هيلع ها ىلص ِهللَا

مل

ُهَتَقيِدَح ِهْيَلَع َنيِدُرَ تَأ

؟

ْمَعَ ن : ْتَلاَق ,

ىلص ِهللَا ُلوُسَر َلاَق

ملسو هيلع ها

ةَقيِلْطَت اَهْقِلَطَو , َةَقيِدَحْلَا ِلَبْ قِا

17

Artinya : Istri Tsabit bin Qais bin Syamman dating menghadap Rasulullah saw. Seraya berkata: ya Rasulullah saya tidak mencela akhalaknya dan agama tetapi saya tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Rasulullah Saw.

16

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.134.

17

Muhammad Nasir Al-Din Al-Al-Bani, Ghayat Al-Maram fi Takhrij Ahadith Al-Halal waal-Haram, ( Beirut: Al-Muktub Al-Islamiyah, 1980), juz 1, h.165.


(29)

Berkata maukah engkau mengembalikan kebunnya ? Jawabnya: mau, maka Rasulullah saw. Berkata (kepada Tsabit) : terimalah kebun itu dan thalaqlah dia satu kali.

c. Zhihar

Zhihar menurut bahasa Arab, berasal dari kata zhahrun yang bermakna punggung.18 Dalam kaitannya dengan hubungan suami-isteri, zhihar adalah ucapan suami kepada isteri yang berisi menyerupakan punggung isteri dengan punggung ibunya, seperti ucapan suami kepada

istri: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”. 19

Ucapan demikian membuat haram bersetubuh dengan isterinya, sebagaimana ia haram bersetubuh dengan ibunya.20

Berdasarkan firman Allah :





















) لداجملا : (

Artinya : Orang-orang yang menzihar isteri mereka sebenarnya isteri-isteri itu bukanlah ibu-ibu mereka adapun ibu-ibu mereka hanyalah wanita-wanita melahirkan. Sungguh mereka telah berkata keji dan dusta. Tetapi Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun (Q.S Al-Mujadalah:2)

18

Ahmad Sunarto, Kamus Al-Fikr, h. 431.

19

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. 2, h. 228.

20

Zurinal Z dan Aminudin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h.264.


(30)

d. Ila’

Ila’ ialah ”sumpah suami dengan menyebut nama Allah SWT atau sifat-Nya yang bertujuan kepada isterinya untuk tidak mendekati isteri”. Baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya atau dibatasi empat bulan atau lebih.

Allah SWT menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang

meng ila’ isterinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun istri. Suami menyatakan ila’ kepada isterinya pastilah karena kebencian

yang timbul antara keduanya. Bagi suami yang meng ila’ istrinya wajib

meninggalkannya selama empat bulan karena dalam waktu tersebut akan timbul rasa rindu diantara keduanya dan bisa saling mengkoresi diri untuk melakukan perubahan-perubahan sikap dan sifat menjadi lebih baik. Kemudian apabila ingin kembali suami wajib membayar kaffarah sumpah karena telah menggunakan nama Allah untuk keperluan dirinya.21

e. Li’an

Li’an berasal dari kata la’a. Sebab suami-isteri yang bermula’anah

pada ucapan yang kelima kalinya berkata: ”sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah SWT, jika ia tergolong orang yang berbuat dusta”. Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh

suami ketika ia menuduh isterinya berbuat zina dengan empat kali

21

Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Pedoman Berkembang dalam Islam, cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika Ofser, 2010), h.359-360.


(31)

kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhanya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhanya itu. Terhadap tuduhan suami, isteri dapat menyangkal dengan kesaksian sebanyak empat kali bahwa suaminya berdusta dalam tuduhannya. Pada sumpah kesaksianya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika suami benar dalam tuduhannya. 22

4. Hukum Perceraian

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum asal dari perceraian. Menurut mazhab Maliki hukum asal perceraian bukan makruh hanya mendekati makruh saja yang dikatakan oleh sebagian mereka hal ini tergantung pada kuat atau tidaknya penyebab terjadi perceraian. Hukumnya berubah menjadi haram apabila berat dugaan akan terjadi perzinaan dengan perempuan itu sesudah diceraikan atau sesudah diceraikannya atau dengan perempuan lain.

Dalam mazhab Hanafi pendapat terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan boleh (Jaiz) dan yang kedua adalah haram. Yang benar dalam mazhab Hanafi antara kedua hukum itu ialah trlarang. Antara hukum yang disebut makruh atau terlarang pada prinsipnya sama karena sesuatu yang makruh adalah sesuatu yang terlarang juga sebaliknya

22

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989), cet. 1, h.63.


(32)

ada sesuatu yang dilarang yang tingkatan hukumnya makruh jadi tidak boleh dikerjakan kecuali karena diperlukan.

Namun jika dilihat dari situasi, kondisi dan kemashlahatan dan kemudharatan maka hukumnya dapat menjadi lima macam :

a. Wajib, apabila terjadi perselisihan diantara suami-isteri sedangkan dua hakam yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu bercerai.23 Bahkan memandang bahwa perceraian itulah satu-satunya jalan untuk pasangan suami isteri tersebut, kalau tidak terjadi perceraian, maka salah seorang atau kedua-duanya akan masuk pada kondisi yang

membahayakan. demikian pula karena terjadi peristiwa “ila” (sumpah

suami untuk tidak menggauli istri), akan dijatuhkan sesudah 4 bulan

menunggu diucapakannya ila’. 24

b. Sunnat apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya) atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.25 Atau talak kepada isteri yang menyia-nyiakan kewajibanya terhadap Allah, seperti tidak mengerjakan ibadah, padahal suami sudah memperingatkan isteri berulang-ulang.26

23

Ahmad Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998), cet. XXX, h.400.

24

Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah , 2011), h.180-181.

25

Ahmad Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, h.400.

26


(33)

c. Mubah, yaitu suami boleh menceraikan isterinya karena isteri tidak dapat menjaga diri dikala tidak ada suaminya di rumah, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik akhlaknya.

d. Haram, yaitu seperti suami yang menceraikan isterinya tanpa sebab yang jelas. Kemudian menjatuhkan talak sewaktu isterinya dalam keadaan haid, kedua menjatuhkan talak waktu suci tetapi sudah dicampuri ketika waktu suci itu.

Berdasarkan hadits Rasulullah Saw.

ِا ِنَعَو

َمُع ِنْب

ُهَتَأَرْمِا َقلَط ُهنَأ اَمُهْ َع ُهللَا َيِضَر َر

ِهللَا ِلوُسَر ِدْهَع يِف ٌضِئاَح َيَِو

َلاَقَ ف ? َكِلَذ ْنَع ملسو هيلع ها ىلص ِهللَا َلوُسَر ُرَمُع َلَأَسَف ملسو هيلع ها ىلص

:

اَهْكِسْمُيْل مُث اَهْعِجاَرُ يْلَ ف ُْرُم

ْطَت ىتَح

َءاَش ْنِإ مُث , َرُهْطَت مُث , َضيِحَت مُث , َرُه

َأ ُهللَا َرَمَأ يِتلَا ُةدِعْلَا َكْلِتَف , سَمَي ْنَأ َدْعَ ب َقلَط َءاَش ْنِإَو , ُدْعَ ب َكَسْمَأ

اَهَل َقلَطُت ْن

ُءاَسِلَا

ُ

هْيَلَع ٌقَف تُم

َ

27

Artinya : “Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang haid pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa iddahnya yang diperintahkan Allah untuk menceraikan Allah untuk menceraikan istri." (Muttafaq Alaihi)

e. Makruh, yaitu suami yang menceraikan isterinya, padahal si isteri taat kepada suami, rajin ibadah dan shalihah.28

27

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mishr: Wizarat Al Awqaf, t.th.,), juz 17, h.400.

28


(34)

5. Perbedaan Cerai Talak Dengan Cerai Gugat

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan membedakan antara cerai talak dengan cerai gugat. Cerai gugat diajukan oleh pihak isteri, sedangkan cerai talak diajukan oleh pihak suami ke Pengadilan dengan memohon agar diberi izin untuk mengucapkan ikrar talak kepada isterinya dengan suatu alasan yang dibenarkan oleh hukum.29

a. Cerai Talak

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, cerai talak tidak diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, penyelesaiannya cukup dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Cerai talak baru diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam bagian-bagian sendiri

dengan sebutan ”Cerai Talak”, demikian juga dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Undan-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama lebih mempertegas lagi tentang keberadaan cerai talak ini. Jadi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan tonggak sejarah dimana cerai talak ini secara resmi diatur dalam peraturan tersendiri.

29

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008 ) h.18.


(35)

Dalam pasal 14 sampai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikemukakan bahwa seorang suami yang hendak menceraikan isterinya berdasarkan perkawinan menurut agama Islam, mengajukan permohonan ke Pengadilan berdasarkan tempat tinggalnya. Permohonan tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan Agama agar membuka sidang untuk keperluan tersebut. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil suami isteri untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Majelis Hakim apakah permohonan talak itu beralasan atau tidak. Pengadilan Agama hanya memutuskan untuk memberi izin ikrar talak jika alasan-alasan yang diajukan oleh suami terbukti secara nyata dalam persidangan. Itupun setelah Majelis Hakim berusaha secara maksimal untuk merukunkan kembali dan Majelis Hakim berpendapat bahwa antara suami isteri tersebut tidak mungkin lagi untuk didamaikan dan menjadi rukun lagi dalam suatu rumah tangga. 30

b. Cerai Gugat

Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. Jadi

dengan demikian khulu’ termasuk kategori cerai gugat.31

30

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, h.18. 31


(36)

Menurut Kompilasi Hukum Islam (pasal 1 huruf i) khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. Dalam perkawinan menurut agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar taklik-talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana tersebut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.32

B. Zina Dalam Konsep Hukum Islam Dan Hukum Positif 1. Pengertian Zina

Secara Etimologi, kata zina berasal dari kata

ينزي

-

انز

yang berarti berbuat jahat. 33 Adapun arti zina secara terminologi, penulis mengemukakan

beberapa pendapat ulama’ fiqh, di antaranya adalah :

Menurut Al-Jurjani zina ialah memasukkan penis (zakar) ke dalam vagina (Farj) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan).34

Menurut pendapat Malikiyah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang mukalaf

32

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.81.

33

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1990), h.158.

34


(37)

terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati atau dengan kesengajaan.35

Menurut pendapat Hanafiyah zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.

Menurut pendapat Syafi’iyah zina ialah memasukkan zakar ke faraj yang haram dengan tidak syubhat dan secara naluri memasukkan hawa nafsu.36

Menurut pendapat Hanabilahh zina adalah perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.37

Menurut M. Qurais Shihab zina adalah persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda dan tidak terikat oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran).38

Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa para ulama memberikan definisi yang berbeda redaksinya namun dalam intinya sama

35

Abdul Al-Qadir Audah, At-Tasyri Al Jinaiy Al Islami, (Beirut: Daar Al Kitab Al-Arabi, t.th.,), juz 2, h.349.

36

Ahmad, Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997) h.35

37

Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta Anggota IKAPI, t.th.,), h.31.

38

M. Quraisy Shihab, Tafsir Al Misbah Pesan dan Kesan dan Keserasian Alquran vol 9, cet.9, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h.279.


(38)

yaitu bahwa zina adalah hubungan kelamin yang diharamkan dengan memasukkan penis ke dalam vagina antara seorang laki-laki dan perempuan di luar ikatan perkawinan.

2. Larangan Perzinaan

Perbuatan zina diharamkan berdasarkan firman Allah SWT dan hadits Rasulullah Saw sehingga keharamannya bersifat mutlak dan tidak seorangpun

menentangnya. Dasar hukum keharaman zina di dalam Alqur’an, antara lain

terdapat dalam surah Al-Isra ayat 32. 39





) : ءارسإا (

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S Al-Isra: 32).

Dalam hadits Rasulullah pun disebutkan bahwa zina disebutkan bahwa zina termasuk dosa besarberikut ini ;

ََ ُ ملسو هيلع ها ىلص ِهللَا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ه ع ها يضر ٍدوُعْسَم ِنْبِا ْنَع

ىَدْحِإِب َِإ ,ِهللَا ُلوُسَر يِنَأَو ,ُهللَا َِإ َهَلِإ ََ ْنَأ ُدَهْشَي ;ٍمِلْسُم ٍئِرْمِا ُمَد لِحَي

زلَا ُبِي ثلَا : ٍث َََث

ِةَعاَمَجْلِل ُقِراَفُمْلَا ;ِهِيِدِل ُكِراتلاَو ,ِسْف لاِب ُسْف لاَو ,يِنا

ُ

ٌقَف تُم

هْيَلَع

َ

40

Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud berkata berkata, Rasulullah bersabda tidak halal darah seorang musllim yang mengakui tiada tuhan selain Allah dan Aku (Muhammad adalah utusan Allah, kecuali terhadap salah satu dari tiga orang yaitu yang pernah kawin, melakukan perzinaan, orang yang

39

Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta : Amzah, 2012), h.46.

40

Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad Adz-Dzuhli Asy-Syaibani, Musnad Ahmad, (Mishr: Wizarat Al Awqaf, t.th.,), juz 8, h.215.


(39)

menhilangkan nyawa (orang lain) dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad).(Muttafaq Alaihi).

Dari beberapa dalil nash baik yang terdapat dalam Alqur.an maupun hadits, dapat ditegaskan bahwa zina merupakan perbuatan dosa dan pelanggaran yang bersifat mutlak. Karena zina merupakan perbuatan yang dilarang oleh Islam, maka bagi setiap muslim yang melanggar harus dikenai hukuman hadd.

3. Sanksi Jarimah Zina

Dalam hukum Islam ada bentuk had yang diancamkan terhadapa pelaku jarimah zina yaitu hukuman jilid (cambuk), rajam dan pengasingan klasifikasi terhadap jarimah ini dilihat dari sudut berat/ringan, serta kriteria pelaku. Bentuk hukuman tidak mengenal yang bersikap diskriminatif terhadap wanita maupun laki-laki sebagai konsistensi implementasi terhadap pelaksanaan aturan syariat karena perzinaan itu banyak menjadikan nilai agama menjadi luntur. .

Pada dasarnya tujuan pemberian sanksi hukum menurut pidana Islam adalah pencegahan (ar-rad-u waz-zajru), pengajaran dan pendidikan (al-islah wat-tahzib) yang dimaksudkan agar pelaku tindak pidana dapat mengambil hikmah terhadap apa yang di dapat pelaku kejahatan ketika mendapat hukuman. 41

Islam mengklasifikasi pelaku zina menjadi dua macam untuk mendapatkan jenis hukuman yang akan dilaksanakan, yaitu:

41


(40)

a. Zina Muhshan

Al-Muhshan adalah orang yang telah baligh, berakal merdeka pernah bersetubuh di dalam nikah yang sah.42 Para ulama telah bersepakat, Hukuman bagi pezina yang telah menikah adalah dirajam dengan batu kerikil sampai dia mati. Penggunaan batu kerikil dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit demi sedikit agar berlangsung lama rasa sakit dari penyiksaaan tersebut. Hukuman itu setimpal dengan kejahatan yang dia perbuat hukuman rajam dilakukan di depan umum sebagai peringatan bagi masyarakat, sebagai perhatian dan pembelajaran bagi umat pada umumnya.43 Pendapat ini didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut :

َعَو

ُسَر َلاَق :َلاَق ه ع ها يضر ِتِماصلَا ِنْب َةَداَبُع ْن

هيلع ها ىلص ِهللَا ُلو

ملسو

ِرْكِبْلاِب ُرْكِبْلَا , َيِبَس نُهَل ُهللَا َلَعَج ْدَقَ ف ,يَِع اوُذُخ ,يَِع اوُذُخ

ِي ثلاِب ُبِي ثلاَو ,ٍةََس ُيْفَ نَو ,ٍةَئاِم ُدْلَج

اِم ُدْلَج ِب

ُمْجرلاَو ,ٍةَئ

ُ

مِلْسُم ُاَوَر

َ

44

Artinya : Dari Ubadah Ibnu al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ambillah (hukum) dariku. Ambillah (hukum) dariku. Allah telah membuat jalan untuk mereka (para pezina). Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus cambukan dan diasingkan setahun. Duda berzina dengan janda hukumannya seratus cambukan dan

dirajam”(H.R Muslim).

42

Musthafa Dib Al Bugha, Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab

Syafi’I, Penerjemah: DA Pakihsati, (Solo: Media Dzikir, 2009) h.443.

43

Al Faqih Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Penerjemah: Imam Ghazali dan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), cet ke 2, h.608.

44

Al-Hafizh Abdul Ghani Al-Maqdisi, ’Umdat al-Ahkaam min Kalaami Khairi al-Anaam (t.t.,.tp.,t.th.,), juz 1 h.130.


(41)

b. Ghairu Muhshan

Pezina yang tidak mencukupi persyaratan muhshan yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang tidak ada ikatan perkawinan antar keduanya.45 Hukuman bagi pezina ghair muhshan adalah hukuman jilid/cambuk 100 kali.46 Sebagaimana dalam firman Allah:















) روّنلا : (

Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (Q.S An-Nur: 2).

Para Fuqaha sepakat bahwa pezina ghoiru muhsan masing-masing dihukum dera seratus kali deraan, yang menjadi perselisihan di kalangan mereka ialah, apakah di samping jilid (dera) itu masih harus diasingkan dari negerinya selama satu tahun atau tidak.

Dalam sanksi hukum tambahan pada (hukuman pengasingan) para fuqaha berbeda pendapat :

a. Menurut Imam Malik dalam hukuman pengasingan (buang) hukuman dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak.

45

Ashari Abdul Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil (Jakarta: Andes Utama, 1996), cet. III, h.13.

46


(42)

b. Menurut Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyetujui hukuman pengasingan selama satu tahun sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera. c. Imam Abu Hanifah terhadap hukuman pengasingan sebagai hukamn

tambahan setelah pertimbangan hakim atau kebijaksanaannya yang menangani perkara.

d. Sedangkan pendapat kebanyakan ulama sebagaimana pendapat Imam

Ahmad yang juga diantaranya Imam Syafi’i Al-Qurtubi, Athothowus dan para Khulafa Rasyidun mengatakan perlunya diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi pelaku yang tidak muhsan.47

4. Pembuktian Zina

Zina merupakan kejahatan yang dihukum dengan hukuman berat,

sehingga syari’at Islam memberikan persyaratan yang yang berat pula dalam

pembuktiannya. Tujuannya persyaratan ini adalah untuk menutup jalan bagi siapa saja yang sengaja menuduh orang baik-baik dengan semena-mena dan dhalim.

Adapun pembuktian telah terjadinya perbuatan zina itu berlaku dengan cara-cara sebagai berikut ;

a. Pengakuan (Iqrar)

Pengakuan yang dilakukan oleh pasangan yang melakukan perzinaan, dari orang-orang yang pengakunnya dapat dipercaya, seperti

47


(43)

telah dewasa dan berakal sehat. Menurut Hal ini dapat diketahui dari

hadits nabi tentang kasus pengakuan Ma’iz dihadapan nabi dan

pelaksanakan hukuman oleh nabi setelah adanya pengakuan itu, tentang jumlahnya kebanyakan ulama mencukupkan satu kali itu telah dapat meyakinkan hakim. 48

Berdasarkan hadits Rasulullah Saw ;

وُسَر َنيِمِلْسُمْلَا ْنِم ٌلُجَر ىَتَأ :َلاَق ه ع ها يضر َةَرْ يَرُ يِبَأ ْنَعَو

َل

ِهللَا

ملسو هيلع ها ىلص

ِدِجْسَمْلَا يِف َوُ َو

!ِهللَا َلوُسَر اَي :َلاَقَ ف ُاَداََ ف

يِنِإ !ِهللَا َلوُسَر اَي :َلاَقَ ف ,ِهِهْجَو َءاَقْلِت ىحََ تَ ف ,ُهَْع َضَرْعَأَف ,ُتْيَ نَز يِنِإ

َلَع َكِلَذ ى َ ث ىتَح ,ُهَْع َضَرْعَأَف ,ُتْيَ نَز

.ىَلَع َدِهَش امَلَ ف , ٍتارَم َعَبْرَأ ِهْي

َكِبَأ َلاَقَ ف ملسو هيلع ها ىلص ِهللَا ُلوُسَر ُاَعَد . ٍتاَداَهَش َعَبْرَأ ِهِسْفَ ن

َأ ْلَهَ ف :َلاَق ََ َلاَق ?ٌنوُُج

َتَْصْح

؟

ها ىلص ِهللَا ُلوُسَر َلاَقَ ف ْمَعَ ن :َلاَق

ِهِب اوُبَْذِا ملسو هيلع

ُوُمُجْراَف

ُ

هْيَلَع ٌقَف تُم

َ

49

Artinya : Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang dari kaum muslimin menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berada di masjid. Ia menyeru beliau dan berkata: wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina. Beliau berpaling darinya dan orang itu berputar menghadap wajah beliau, lalu berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina. Beliau memalingkan muka lagi, hingga orang itu mengulangi ucapannya empat kali. Setelah ia bersaksi dengan kesalahannya sendiri empat kali, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memanggilnya dan bersabda: "Apakah engkau gila?". Ia menjawab: Tidak. Beliau bertanya: "Apakah engkau sudah kawin?". Ia menjawab: Ya. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "bawalah dia dan rajamlah." (Muttafaq Alaihi)

48

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003) h.278.

49

Al Iman Abi Al Husaini Muslim bin Al Hajjaji An-Naisabury, Shahih Muslim, (Arabiyah: Darul Kutubi As-Sunnah, t.th.,), juz 3, h.1320.


(44)

b. Kesaksian

Ulama sepakat bahwa perbuatan zina dapat ditetapkan berdasarkan keterangan para saksi. Berbeda dengan perkara lain, penetapan zina harus berdasarkan keterangan empat orang saksi. Dan jumlah saksi yang lain, dasarnya adalah firman Allah :























































)

روّنلا

:

٤

(

Artinya : “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S An-Nur: 4).

Dan disepakati pula bahwa para saksi itu disyaratkan adil demikian pula kesaksian mereka harus diberikan berdasarkan penyaksian langsung terhadap alat kelamin laki-laki (penis) masuk (penetrasi) ke dalam vagina perempuan. Kesaksian itu dinyatakan dengan kata-kata yang jelas bukan sindiran.

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa di antara syarat-syarat kesaksian yang lain ialah kesaksian bahawa kesaksian tersebut tidak berbeda-beda waktu atau tempatnya. Kecuali pendapatnya yang diriwayatkan oleh dari Abu Hanifah tentang masalah sudut-sudut yang terkenal. Yaitu masing-masing saksi yang empat itu harus melihat langsung persetubuhan yang dilakukan oleh tertuduh zina di suatu tempat / sudut tertentu. Kesaksian mereka akan ditolak jika keterangan tempat persetubuhan itu berbeda


(45)

antara saksi satu dengan saksi yang lain. Tetapi menurut Abu Hanifah kesaksian perbedaan tempat itu masih dapat ditolerir.

Silang pendapat ini disebabkan apakah kesaksian tempat persetubuhannya berbeda-beda itu dapat digabungkan atau tidak, seperti kesaksian tentang waktunya yang berbeda-beda. Demikian itu karena fuqaha sependapat bahwa kesaksian yang berbeda-beda tempatnya itu dapat digabungkan, padahal itu tidak lebih mirip dengan waktu. Di sini terlihat bahwa syarak bermaksud untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan hukuman zina tersebut ketimbang hukuman yang akan dijatuhkan perkara lain.50

c. Qarinah

Adanya tanda dan isyarat yang meyakinkan seperti kehamilan janin seseorang perempuan yang tidak terikat perkawinan.51

Menurut jumhur Fuqaha kehamilan bukanlah merupakan bukti yang mandiri tapi harus disertai pengakuan atau keterangan-keterangan bukti-bukti lain. Menurut Imam Malik dan sahabat-sahabatnya jika wanita itu dalam pengakuannya dia dipaksa (diperkosa), maka wanita itu harus menunjukkan tanda-tanda bukti bahwa dia dipaksa.Alasan mereka karena adanya dalil-dalil yang berkaitan dengan penolakan hukuman had disebabkan adanya syubhat.

50

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002 ), cet ke 2, h.620.

51


(46)

Menurut pendapat Malik dan para sahabatnya, apabila seorang wanita hamil dan dia tidak bisa menunjukkan bahwa dia punya suami atau dia dipaksa orang,maka wanita tersebut dijatuhi hukuman had .Jika wanita itu perempuan (perawan) dia harus bisa menunjukan bukti pendarahannya sebagai bukti bahwa dia telah diperkosa untuk bisa dibebaskan dari hukuman had.

Kehamilan pada seorang wanita yang tidak mempunyai suami (belum menikah dengan nikah yang sah) atau bukan nikah syubhat (nikah fasid) dan bukan pula wat’i syubhat menjadi bukti adanya perzinaan apabila disertai bukti lain. 52

d. Li’an

Li’an, yaitu sumpah suami yang menuduh istrinya berzina dan tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, sebanyak empat kali dan yang ke lima ucapannya bahwa laknat Allah bahwa akan menimpanya bila ia akan tidak benar dalam tuduhannya : kemudian sumpah li’an si suami itu tidak ditolak oleh Isteri dengan li’an balik. Hal ini menjadi bukti bahwa perzinaan itu memang terjadi.53

5. Zina Dalam Hukum Positif di Indonesia

Dalam hadits dijelaskan bahwa pezina laki-laki atau perempuan baik bujang ataupun perawan, begitu pula sebaliknya janda ataupun duda

52

Muhammad Abdul Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h.137.

53


(47)

semuanya diancam/dikenakan sangsi apabila berbuat zina, meskipun sangsinya berbeda-beda.

Perbuatan zina atau mukah menurut Pasal 284 KUHP adalah hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan oleh orang lain.54

Ketentuan ini sangat berbeda sekali dengan ketentuan yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia, karena dalam KUHP pada prinsipnya tidak ada ancaman hukuman bagi seorang perawan dan bujang melakukan senggama terkecuali apabila salah satunya telah mempunyai pasangan, baik ia sebagai suami atau sebagai istri maka ada ancaman hukuman bagi mereka manakala istri atau suami yang tinggal serong itu mengadukan kepada yang berwajib, bila tidak bagi mereka adalah bebas.55 Meskipun Pasal 420 dan Pasal 422 RUU-KUHP mengatur tentang larangan bagi orang-orang yang tidak terikat perkawinan (bujang dengan gadis, atau duda dengan janda) melakukan persenggamaan di luar perkawinan, namun menurut kedua Pasal tersebut, hubungan persenggamaan yang dilakukan orang-orang bersangkutan baru dianggap melanggar kesusilaaan, apabila masyarakat setempat merasa terganggu rasa kesusilaannya. Dan orang yang

54

Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), h.65.

55

Ashhari Abdul Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Andes Utama,1993), cet.3, h.20.


(48)

dapat melakukan pengaduan hanyalah orang-orang tertentu, yaitu keluarga dari salah satu pelaku atau Kepala Adat, atau Kepala Desa/Lurah setempat. Selain orang-orang yang disebutkan dalam Pasal tersebut, tidak dapat melakukan pengaduan.56

Maraknya perilaku perbuatan zina dalam masyarakat antara lain disebabkan KUHP masih banyak mempunyai kelemahan dilihat dari tolak ukur hukum pidana Islam. Kelemahan tersebut adalah :

a. Delik zina atas dasar suka sama suka masih dimasukkan ke dalam delik aduan.

b. Delik zina dihukum dengan hukuman penjara yang tidak mempunyai nilai daya preventif dan edukatif tinggi.

c. Dalam KUHAP seorang jaksa Penuntut Umum masih mempunyai hak opportuniteit.

d. Perbuatan zina dipandang sebagai delik apabila menggangu perasaan kesusilaan masyarakat setempat. Jika tidak mengganggu berarti tidak apa-apa.57

Perbuatan persenggamaan dan kumpul kebo yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah, ditinjau dari perspektif hukum Islam, jelas hukumnya yaitu haram. Seperti yang dijelaskan

56

Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2003) h.144.

57


(49)

orang yang berwenang melakukan pengaduan tindak pidana perzinaan, tidak hanya orang-orang yang disebut dalam Pasal 420 dan Pasal 422 RUU KUHP, dan tidak disyaratkan apabila masyarakat setempat merasa terganggu rasa kesusilaannya. Setiap orang berhak melakukan pengaduan, sepanjang ia dapat memberikan pembuktian sesuai dengan syariat Islam.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

96

TRANSKRIP WAWANCARA Profil Narasumber

Nama : Drs. Muhyar SH., MH., M.Si. Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Lokasi Wawancara : Ruang Ketua Pengadilan

Pertanyaan :

1. Menurut anda bahaya zina dalam kehidupan rumah tanggga seperti apa ?

Tentu saja sangat bahaya sekali karena dapat merusak pondasi rumah tangga hingga berujung perceraian

2. Bagaimana cara Majelis Hakim memutuskan perkara nomor 1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs?

Yang menjadi alasan utama dari gugatan cerai adalah masalah perzinaan lalu alasan kedua yaitu mengenai percekcokan karena perzinaan tersebut. Maka yang harus dibuktikan adalah masalah perzinaannya, Penggugat tidak bisa membuktikan dalil-dalil gugatannya, yaitu tidak dapat menghadirkan empat orang saksi yang melihat langsung perzinaan. Sehingga majelis hakim menolak gugatan tersebut.

3. Bagaimana cara membuktikan zina dalam peradilan agama ?

Karena pengadilan agama mengikuti hukum Islam, maka sesuai syariat adanya pengakuan atau empat orang saksi yang melihat langsung perzinaan tersebut


(6)

4. Dalam kasus ini apakah foto, dan sms bisa membuktikan adanya perzinaan ? Barang bukti foto dalam kasus ini tidak menunjukkan adanya perzinaan, hanya berupa bagian dada wanita, foto oral seks dan foto-foto mesra lainnya, ini belum bisa dikatakan perzinaan.

5. Bagaimana Majelis Hakim membuktikan alasan kedua yaitu percekcokan ? Sama seperti perkara zina saksi yang dihadirkan penggugat tidak pernah melihat adanya pertengkaran, mereka hanya mendengarkan dari cerita penggugat. Selain itu tergugat masih tinggal satu rumah dengan penggugat walaupun tergugat jarang pulang.