Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Kebutuhan akan pendidikan adalah hak bagi semua orang, baik itu anak-anak, remaja, maupun dewasa. Tidak ada pengecualian antara laki-laki ataupun perempuan, anak normal ataupun anak berkebutuhan khusus. Semua orang memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi dirinya melalui pendidikan. G. Terry Page Dwi Siswoyo dkk, 2008: 18 menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan kemampuan dan perilaku manusia secara keseluruhan. Pendidikan juga disebut sebagai upaya untuk memanusiakan manusia, yang memiliki arti bahwa pendidikan hendaknya dapat diperoleh semua manusia tanpa adanya diskriminasi. Sesuai dengan bunyi pasal 31 UUD 1945 amandemen bahwa “Setiap warga negara berhak mandapat pendidikan”, maka pendidikan hendaknya tidak memandang status sosial maupun ekonomi masing-masing individu. Oleh karena setiap orang memiliki hak atas pendidikan, tidak terkecuali dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus ABK, hak ABK dalam mendapatkan pendidikan hendaknya dapat dipenuhi sehubungan dengan kebutuhan yang sama akan sebuah proses pemanusiaan layaknya manusia normal pada umumnya tanpa adanya diskriminasi. Bariqul Amalia Nisa, dkk 2013: 2 menjelaskan bahwa sejak zaman dahulu hingga saat ini, terdapat ABK di sekitar kita. ABK tersebut adalah 2 anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Terdapat kelainan dalam diri mereka baik secara fisik maupun psikis sehingga mereka membutuhkan bantuan dan pendampingan dari orang lain untuk dapat menjalani kehidupannya. Adapun yang tergolong dalam ABK diantaranya yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras anak dengan gangguan emosi, sosial, dan perilaku, lambat belajar, autis, anak dengan potensi kecerdasan luar biasa genius, dan lain sebagainya. Mereka memerlukan penanganan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Keadaan mereka yang berbeda inilah yang menuntut pemahaman terhadap hakikat anak berkebutuhan khusus. Seperti yang telah di atur oleh UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa “Setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Dengan adanya undang-undang tersebut, diharapkan bahwa tidak terjadi diskriminasi terhadap ABK di kehidupan bermasyarakat. Namun ternyata, masih banyak ABK yang tidak mendapatkan haknya karena adanya diskriminasi yang disengaja maupun tidak disengaja oleh masyarakat. Salah satu bentuk diskriminasi terhadap ABK adalah di bidang pendidikan yang berupa belum optimalnya dukungan tri pusat pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi keberlangsungan proses pendidikan ABK. Tri pusat pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara memuat tiga lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Konsep ini 3 menekankan pada keterpaduan dan kemitraan ketiga lingkungan pendidikan untuk dapat mengantarkan siswa mencapai pribadi yang utuh. Ketiga lingkungan pendidikan itu harusnya saling menguatkan proses pendidikan. Pendidikan inklusif adalah sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berupaya menjangkau semua anak tanpa terkecuali karena mereka semua memiliki hak yang sama untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan Tarmansyah, 2007: 11. Pendidikan inklusif merupakan salah satu alternatif pendidikan bagi ABK dalam sekolah umum. Pendidikan inklusif dianggap sebagai upaya untuk menumbuhkan keterampilan sosial pada ABK maupun anak normal agar dapat hidup bersama dengan saling memahami dan menerima satu sama lain. Bukti dari pernyataan itu adalah adanya Deklarasi Bandung nasional “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi” pada 8-14 Agustus 2004. Pemerintah juga turut andil dalam memperjuangkan hak ABK melalui Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380C.C6MN2003 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusif: menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupatenkota sekurang- kurangnya 4 empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA dan SMK. Namun pada praktiknya, ABK belum mendapat hak yang sama dalam memperoleh pendidikan seperti halnya siswa normal pada umumnya. Ketersediaan sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa masih terbatas jumlahnya. Hal tersebut dikarenakan biaya penyelenggaraan sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa lebih tinggi dari sekolah umum. Keberadaan sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa yang terbatas menjadi salah satu 4 penghambat ABK untuk mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini pula yang membuat orang tua terpaksa tidak dapat menyekolahkan anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Selain faktor terbatasnya sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa, banyak alasan bagi orang tua memutuskan untuk menyekolahkan anaknya yang memiliki kebutuhan khusus ke sekolah biasa, diantaranya adalah orang tua tersebut malu terhadap pandangan masyarakat sekitarnya karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal lain adalah lokasi sekolah inklusi atau sekolah luar biasa yang ada sulit dijangkau. Berdasarkan hasil penelitian Trias Mira Hastuti 2013: 5, banyak pula sekolah umum yang menolak ABK. Hal tersebut tidak bisa dibenarkan, karena sekolah hendaknya mau menerima anak dalam kondisi apapun. Disinilah peran guru sebagai salah satu komponen pendidikan diharapkan dapat melayani siswa sesuai kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Keberagaman ABK terkadang menyulitkan guru dalam mengenali jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun jika guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap hakikat ABK, maka guru akan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan ABK tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, guru reguler dapat bekerja sama dengan Guru Pembimbing Khusus GPK untuk memilih, merancang, dan menerapkan pembelajaran yang tepat untuk siswa. Masing- masing guru di setiap satuan pendidikan inklusif dapat mengembangkan pembelajaran untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, sehingga 5 tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal, efektif, dan efisien. Salah satu satuan pendidikan sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta adalah SD Negeri Giwangan. SD Negeri Giwangan merupakan resource center sekolah inklusi di Yogyakarta, sehingga menjadi pusat sumber daya tenaga GPK, akses layanan, dan sarana prasarana penunjang anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal dengan kepala sekolah dan salah satu guru pembimbing khusus di SD Negeri Giwangan Yogyakarta, terdapat kurang lebih 30 anak yang merupakan ABK dari kelas I-VI dengan kekhususan yang beraneka macam. SD Negeri Giwangan juga memiliki beberapa orang GPK yang terdiri dari GPK sekolah, GPK bantuan dari DIKPORA, dan GPK dari wali siswa ABK. Tidak semua siswa ABK didampingi GPK dari wali siswa ABK. Dari masing-masing kelas yang memiliki siswa ABK, pengamatan difokuskan pada salah satu kelas untuk menemukan hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di sekolah inklusi. Observasi dan wawancara dilanjutkan dengan guru kelas III A. Di kelas III A ini memiliki 30 siswa dan terdapat empat siswa ABK yang terasesmen. Siswa ABK di kelas III A ini terdiri dari satu siswa hiperaktif, dua siswa tuna grahita dan satu siswa Slow Learner. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, keberadaan siswa ABK ini tentu membuat kelas inklusi berbeda dengan pembelajaran di kelas dengan siswa normal umumnya, terutama di kelas III A SD Negeri Giwangan. Guru kelas menghadapi beberapa permasalahan dalam melaksanakan kegiatan 6 pembelajaran. Beberapa permasalahan tersebut meliputi, 1 guru mengalami hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran karena ada empat siswa ABK yang terdapat di kelas III A tanpa ada siswa ABK yang didampingi GPK dari wali siswa ABK secara intensif; 2 guru mengalami kesulitan dalam pembuatan materi karena materi untuk siswa ABK tidak bisa disamakan tingkatannya dengan siswa normal; 3 guru mengalami hambatan dalam kelancaran penyampaian materi pelajaran karena keberadaan siswa Slow Learner dan siswa tuna grahita yang membutuhkan pemberian pemahaman terhadap materi pelajaran yang lebih bila dibandingkan dengan siswa normal lainnya; 4 kecemburuan antara siswa normal kepada siswa ABK sering terjadi karena guru lebih telaten dalam mengajari siswa ABK dibanding siswa normal; 5 guru merasa kesulitan dalam pengkondisian situasi pembelajaran. Dalam pemberian nilai terhadap siswa ABK, guru senantiasa berkoordinasi dengan GPK sekolah. Untuk mengatasi ketidaktercapaian nilai siswa ABK dalam pembelajaran maka guru memberikan tes ulang dimana soal tes tersebut dibuat oleh GPK sekolah. Sedangkan dalam hal pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran RPP, guru membuat RPP sama seperti RPP pada umumnya sehingga tidak ada perbedaan dalam pembuatan RPP untuk kelas inklusi maupun kelas pada umumnya. Sedangkan materi yang ditujukan untuk siswa ABK disusun disusun secara tersirat yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa ABK. Akan tetapi guru dan GPK selalu berkoordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai melakukan evaluasi dalam pembelajaran. 7 Peneliti tertarik untuk mengidentifikasi hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di sekolah inklusi SD Negeri Giwangan Yogyakarta. Dengan diperolehnya gambaran mengenai hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di sekolah inklusi, tidak hanya calon guru yang berasal dari jurusan PGSD saja tetapi juga guru dan GPK diharapkan dapat mengantisipasi segala hambatan yang mungkin muncul dan mampu mengatasi hambatan tersebut. Penelitian ini diadakan di SD Negeri Giwangan Yogyakarta karena sekolah tersebut merupakan sekolah inklusi yang memiliki siswa ABK dengan kekhususan yang berbeda-beda. Penelitian akan dilaksanakan dengan wawancara dan pengamatan saat kegiatan pembelajaran. Hasil penelitian ini akan berupa deskripsi pemaparan gambaran jalannya pelaksanaan pembelajaran sekaligus hambatan yang terjadi selama pembelajaran di kelas III A SD Negeri Giwangan Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah