IDENTIFIKASI HAMBATAN-HAMBATAN GURU DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS III A SEKOLAH INKLUSI SD NEGERI GIWANGAN YOGYAKARTA.

(1)

i

IDENTIFIKASI HAMBATAN-HAMBATAN GURU DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS III A SEKOLAH INKLUSI

SD NEGERI GIWANGAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Arfela Wahyuhastufi NIM 10108241040

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini sebagai ungkapan syukur dan penuh kasih teruntuk:

1. Kedua orang tua tercinta, Triswanta Widada dan Yusik Wahyuni. 2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

vii

IDENTIFIKASI HAMBATAN-HAMBATAN GURU DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS III A SEKOLAH INKLUSI

SD NEGERI GIWANGAN YOGYAKARTA Oleh

Arfela Wahyuhastufi NIM 10108241040

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hambatan-hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di kelas III A sekolah inklusi SD Negeri Giwangan Yogyakarta. Identifikasi hambatan-hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran meliputi pelaksanaan pembelajaran dan hambatan yang dialami guru di kelas inklusi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan subjek guru kelas III A. Pengumpulan data dilaksanakan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama. Peneliti menggunakan triangulasi teknik untuk memperoleh keabsahan data. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa hal yang dapat menghambat pembelajaran di kelas inklusi yakni dalam pengelolaan materi pelajaran karena guru harus memberikan materi yang berbeda untuk siswa normal maupun siswa ABK, guru kurang memanfaatkan media untuk mendukung pembelajaran dan penerapan metode pembelajaran yang kurang bervariasi. Hambatan lain ialah adanya perbedaan intelegensi dari masing-masing siswa terutama karena adanya siswa ABK, menghambat kelancaran penyampaian materi pelajaran. Guru merasa kesulitan untuk memberikan pemahaman kepada siswa maupun orang tua siswa bahwa siswa ABK membutuhkan perhatian khusus. Hambatan terjadi dari kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru kelas dalam menghadapi siswa ABK serta kurangnya ketersediaan sarana prasarana pendukung pembelajaran. Meski demikian, guru senantiasa berusaha memberikan semua yang terbaik agar siswa normal dan siswa ABK mendapat perhatian dan pelayanan yang merata.

Kata kunci: identifikasi hambatan-hambatan guru dalam pembelajaran, sekolah inklusi


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd., M. A., Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menempuh program studi PGSD di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Haryanto, M. Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian skripsi.

3. Bapak Drs. Suparlan, M. Pd. I., Ketua Jurusan PSD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengungkapkan gagasan dalam bentuk skripsi.

4. Ibu Tin Suharmini, M. Si. dan Ibu Haryani, M. Pd., Dosen Pembimbing Tugas Akhir Skripsi yang dengan sabar membimbing dan mengarahkan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Bapak dan ibu dosen program studi PGSD Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman berharga selama di bangku perkuliahan.

6. Ibu Siyam Mardini M. Pd., kepala sekolah SD Negeri Giwangan yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian dalam proses penyusunan skripsi.


(9)

ix

7. Guru kelas III A dan GPK SD Negeri Giwangan yang secara kooperatif membantu dalam proses pengumpulan data.

8. Bapak dan ibuku tercinta yang luar biasa dalam memberi dukungan, kasih sayang, dan tiada henti mendoakan penulis dalam menyusun skripsi.

9. Sahabat karibku, Nana, Putri, Aprin, dan Maylina yang selalu memberikan doa, dukungan, dan motivasi.

10. Seluruh teman-teman kelas A PGSD 2010 dan semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, Desember 2015 Penulis


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 7

C.Fokus Penelitian ... 8

D.Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

G.Batasan Istilah ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Tinjauan Mengenai Anak Berkebutuhan Khusus ... 11

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ... 11

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ... 12

B. Tinjauan Mengenai Pendidikan Inklusif ... 20

1. Pengertian Pendidikan Inklusif ... 20

2. Elemen-elemen Dasar Pendidikan Inklusif ... 23

3. Prinsip Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusif ... 28

4. Pelaksanaan Pembelajaran ... 28 5. Hambatan-hambatan dalam Pembelajaran pada Pendidikan


(11)

xi

Inklusif ... 32

C. Pertanyaan Penelitian ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 38

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

C. Penentuan Subjek Penelitian ... 39

D. Teknik Pengumpulan Data ... 39

E. Instrumen Penelitian ... 42

F. Teknik Analisis Data ... 45

G. Keabsahan Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 49

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 49

2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 52

B. Pembahasan ... 63

1. Pelaksanaan Pembelajaran di Kelas Inklusi ... 63

2. Hambatan yang Dialami Guru Kelas Inklusi ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-Kisi Panduan Observasi 43


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Komponen dalam Analisis Data-Interactive Model 46


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi 81

Lampiran 2. Pedoman Wawancara 84

Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Guru 88

Lampiran 4. Reduksi Hasil Wawancara 93

Lampiran 5. Display Data Observasi 97

Lampiran 6. Reduksi Data Hasil Observasi 103

Lampiran 7. Kesimpulan/Verifikasi Data Penelitian 106

Lampiran 8. Triangulasi Data 108

Lampiran 9. Catatan Lapangan 112

Lampiran 10. Foto-foto Hasil Penelitian 119

Lampiran 11. Dokumentasi 122


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Kebutuhan akan pendidikan adalah hak bagi semua orang, baik itu anak-anak, remaja, maupun dewasa. Tidak ada pengecualian antara laki-laki ataupun perempuan, anak normal ataupun anak berkebutuhan khusus. Semua orang memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi dirinya melalui pendidikan.

G. Terry Page (Dwi Siswoyo dkk, 2008: 18) menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan kemampuan dan perilaku manusia secara keseluruhan. Pendidikan juga disebut sebagai upaya untuk memanusiakan manusia, yang memiliki arti bahwa pendidikan hendaknya dapat diperoleh semua manusia tanpa adanya diskriminasi. Sesuai dengan bunyi pasal 31 UUD 1945 (amandemen) bahwa “Setiap warga negara berhak mandapat pendidikan”, maka pendidikan hendaknya tidak memandang status sosial maupun ekonomi masing-masing individu. Oleh karena setiap orang memiliki hak atas pendidikan, tidak terkecuali dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus (ABK), hak ABK dalam mendapatkan pendidikan hendaknya dapat dipenuhi sehubungan dengan kebutuhan yang sama akan sebuah proses pemanusiaan layaknya manusia normal pada umumnya tanpa adanya diskriminasi.

Bariqul Amalia Nisa, dkk (2013: 2) menjelaskan bahwa sejak zaman dahulu hingga saat ini, terdapat ABK di sekitar kita. ABK tersebut adalah


(16)

2

anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Terdapat kelainan dalam diri mereka baik secara fisik maupun psikis sehingga mereka membutuhkan bantuan dan pendampingan dari orang lain untuk dapat menjalani kehidupannya. Adapun yang tergolong dalam ABK diantaranya yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras (anak dengan gangguan emosi, sosial, dan perilaku), lambat belajar, autis, anak dengan potensi kecerdasan luar biasa (genius), dan lain sebagainya. Mereka memerlukan penanganan khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Keadaan mereka yang berbeda inilah yang menuntut pemahaman terhadap hakikat anak berkebutuhan khusus.

Seperti yang telah di atur oleh UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa “Setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Dengan adanya undang-undang tersebut, diharapkan bahwa tidak terjadi diskriminasi terhadap ABK di kehidupan bermasyarakat. Namun ternyata, masih banyak ABK yang tidak mendapatkan haknya karena adanya diskriminasi yang disengaja maupun tidak disengaja oleh masyarakat. Salah satu bentuk diskriminasi terhadap ABK adalah di bidang pendidikan yang berupa belum optimalnya dukungan tri pusat pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi keberlangsungan proses pendidikan ABK. Tri pusat pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara memuat tiga lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Konsep ini


(17)

3

menekankan pada keterpaduan dan kemitraan ketiga lingkungan pendidikan untuk dapat mengantarkan siswa mencapai pribadi yang utuh. Ketiga lingkungan pendidikan itu harusnya saling menguatkan proses pendidikan. Pendidikan inklusif adalah sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berupaya menjangkau semua anak tanpa terkecuali karena mereka semua memiliki hak yang sama untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan (Tarmansyah, 2007: 11). Pendidikan inklusif merupakan salah satu alternatif pendidikan bagi ABK dalam sekolah umum. Pendidikan inklusif dianggap sebagai upaya untuk menumbuhkan keterampilan sosial pada ABK maupun anak normal agar dapat hidup bersama dengan saling memahami dan menerima satu sama lain. Bukti dari pernyataan itu adalah adanya Deklarasi Bandung (nasional) “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi” pada 8-14 Agustus 2004. Pemerintah juga turut andil dalam memperjuangkan hak ABK melalui Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusif: menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA dan SMK. Namun pada praktiknya, ABK belum mendapat hak yang sama dalam memperoleh pendidikan seperti halnya siswa normal pada umumnya. Ketersediaan sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa masih terbatas jumlahnya. Hal tersebut dikarenakan biaya penyelenggaraan sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa lebih tinggi dari sekolah umum. Keberadaan sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa yang terbatas menjadi salah satu


(18)

4

penghambat ABK untuk mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini pula yang membuat orang tua terpaksa tidak dapat menyekolahkan anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Selain faktor terbatasnya sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa, banyak alasan bagi orang tua memutuskan untuk menyekolahkan anaknya yang memiliki kebutuhan khusus ke sekolah biasa, diantaranya adalah orang tua tersebut malu terhadap pandangan masyarakat sekitarnya karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal lain adalah lokasi sekolah inklusi atau sekolah luar biasa yang ada sulit dijangkau.

Berdasarkan hasil penelitian Trias Mira Hastuti (2013: 5), banyak pula sekolah umum yang menolak ABK. Hal tersebut tidak bisa dibenarkan, karena sekolah hendaknya mau menerima anak dalam kondisi apapun. Disinilah peran guru sebagai salah satu komponen pendidikan diharapkan dapat melayani siswa sesuai kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Keberagaman ABK terkadang menyulitkan guru dalam mengenali jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun jika guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap hakikat ABK, maka guru akan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan ABK tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Pada sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, guru reguler dapat bekerja sama dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk memilih, merancang, dan menerapkan pembelajaran yang tepat untuk siswa. Masing-masing guru di setiap satuan pendidikan inklusif dapat mengembangkan pembelajaran untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, sehingga


(19)

5

tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal, efektif, dan efisien. Salah satu satuan pendidikan sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta adalah SD Negeri Giwangan.

SD Negeri Giwangan merupakan resource center sekolah inklusi di Yogyakarta, sehingga menjadi pusat sumber daya tenaga GPK, akses layanan, dan sarana prasarana penunjang anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal dengan kepala sekolah dan salah satu guru pembimbing khusus di SD Negeri Giwangan Yogyakarta, terdapat kurang lebih 30 anak yang merupakan ABK dari kelas I-VI dengan kekhususan yang beraneka macam. SD Negeri Giwangan juga memiliki beberapa orang GPK yang terdiri dari GPK sekolah, GPK bantuan dari DIKPORA, dan GPK dari wali siswa ABK. Tidak semua siswa ABK didampingi GPK dari wali siswa ABK. Dari masing-masing kelas yang memiliki siswa ABK, pengamatan difokuskan pada salah satu kelas untuk menemukan hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di sekolah inklusi. Observasi dan wawancara dilanjutkan dengan guru kelas III A. Di kelas III A ini memiliki 30 siswa dan terdapat empat siswa ABK yang terasesmen. Siswa ABK di kelas III A ini terdiri dari satu siswa hiperaktif, dua siswa tuna grahita dan satu siswa Slow Learner.

Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, keberadaan siswa ABK ini tentu membuat kelas inklusi berbeda dengan pembelajaran di kelas dengan siswa normal umumnya, terutama di kelas III A SD Negeri Giwangan. Guru kelas menghadapi beberapa permasalahan dalam melaksanakan kegiatan


(20)

6

pembelajaran. Beberapa permasalahan tersebut meliputi, 1) guru mengalami hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran karena ada empat siswa ABK yang terdapat di kelas III A tanpa ada siswa ABK yang didampingi GPK dari wali siswa ABK secara intensif; 2) guru mengalami kesulitan dalam pembuatan materi karena materi untuk siswa ABK tidak bisa disamakan tingkatannya dengan siswa normal; 3) guru mengalami hambatan dalam kelancaran penyampaian materi pelajaran karena keberadaan siswa Slow Learner dan siswa tuna grahita yang membutuhkan pemberian pemahaman terhadap materi pelajaran yang lebih bila dibandingkan dengan siswa normal lainnya; 4) kecemburuan antara siswa normal kepada siswa ABK sering terjadi karena guru lebih telaten dalam mengajari siswa ABK dibanding siswa normal; 5) guru merasa kesulitan dalam pengkondisian situasi pembelajaran. Dalam pemberian nilai terhadap siswa ABK, guru senantiasa berkoordinasi dengan GPK sekolah. Untuk mengatasi ketidaktercapaian nilai siswa ABK dalam pembelajaran maka guru memberikan tes ulang dimana soal tes tersebut dibuat oleh GPK sekolah. Sedangkan dalam hal pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru membuat RPP sama seperti RPP pada umumnya sehingga tidak ada perbedaan dalam pembuatan RPP untuk kelas inklusi maupun kelas pada umumnya. Sedangkan materi yang ditujukan untuk siswa ABK disusun disusun secara tersirat yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa ABK. Akan tetapi guru dan GPK selalu berkoordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai melakukan evaluasi dalam pembelajaran.


(21)

7

Peneliti tertarik untuk mengidentifikasi hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di sekolah inklusi SD Negeri Giwangan Yogyakarta. Dengan diperolehnya gambaran mengenai hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di sekolah inklusi, tidak hanya calon guru yang berasal dari jurusan PGSD saja tetapi juga guru dan GPK diharapkan dapat mengantisipasi segala hambatan yang mungkin muncul dan mampu mengatasi hambatan tersebut. Penelitian ini diadakan di SD Negeri Giwangan Yogyakarta karena sekolah tersebut merupakan sekolah inklusi yang memiliki siswa ABK dengan kekhususan yang berbeda-beda. Penelitian akan dilaksanakan dengan wawancara dan pengamatan saat kegiatan pembelajaran. Hasil penelitian ini akan berupa deskripsi pemaparan gambaran jalannya pelaksanaan pembelajaran sekaligus hambatan yang terjadi selama pembelajaran di kelas III A SD Negeri Giwangan Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dari latar belakang yang telah dipaparkan adalah sebagai berikut.

1. Guru mengalami hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran karena ada empat siswa ABK yang terdapat di kelas III A tanpa ada siswa ABK yang didampingi GPK dari wali siswa ABK secara intensif.

2. Guru mengalami kesulitan dalam pembuatan materi karena materi untuk siswa ABK tidak bisa disamakan tingkatannya dengan siswa normal.


(22)

8

3. Guru mengalami hambatan dalam kelancaran penyampaian materi pelajaran karena keberadaan siswa Slow Learner dan siswa tuna grahita yang membutuhkan pemberian pemahaman terhadap materi pelajaran yang lebih bila dibandingkan dengan siswa normal lainnya.

4. Kecemburuan antara siswa normal kepada siswa ABK sering terjadi karena guru lebih telaten dalam mengajari siswa ABK dibanding siswa normal.

5. Guru merasa kesulitan dalam pengkondisian situasi pembelajaran. C. Fokus Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penelitian ini difokuskan pada identifikasi poin satu yaitu hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di sekolah inklusi SD Negeri Giwangan Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. “Apa saja hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di kelas III A sekolah inklusi SD Negeri Giwangan Yogyakarta?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menemukan hambatan-hambatan yang dialami guru dalam pembelajaran di kelas III A sekolah inklusi SD Negeri Giwangan Yogyakarta.


(23)

9 F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya sebagai berikut.

1. Manfaat teoritis penelitian ini yaitu diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai konsep dan prinsip pelaksanaan pendidikan inklusif.

2. Manfaat praktis ditujukan untuk:

a. Mahasiswa PGSD sebagai calon guru

Bagi mahasiswa PGSD sebagai calon guru, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi adanya hambatan dalam mengajar di kelas, khususnya di kelas inklusi.

b. Guru kelas dan guru pembimbing khusus

Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana memahami konsep pendidikan inklusif dan dapat lebih memahami karakter siswa. Diharapkan guru memiliki sikap penerimaan positif supaya guru dapat meningkatkan layanan pendidikan yang fungsional bagi siswanya.

c. Kepala Sekolah

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan kajian tentang pendidikan inklusif. Penelitian ini juga dapat digunakan untuk pertimbangan dalam menetapkan kebijakan untuk memberikan pelayanan pendidikan inklusif.


(24)

10 d. Dinas Pendidikan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu evaluasi penyelenggaraan pendidikan inklusif yang selama ini telah berjalan. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan refleksi untuk mengembalikan pemahaman tentang inklusi kepada konsep pendidikan inklusif yang ideal.

G. Batasan Istilah

1. Identifikasi hambatan-hambatan guru dalam pembelajaran adalah upaya untuk mendaftar sebanyak-banyaknya hal-hal yang sekiranya dapat menghalangi atau menghambat kelancaran proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di dalam kelas.

2. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang menyatukan antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses belajar mengajar bersama-sama dalam satu kelas dengan guru dan terapis atau shadow teacher yang bertanggung jawab di bawah koordinasi guru untuk memberi perlakuan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Porsi belajar pada anak berkebutuhan khusus lebih kecil daripada yang „normal‟. Hal ini tidak bertujuan untuk membatasi, melainkan kebutuhan untuk terapi. Pada waktu-waktu tertentu, bila perlu anak-anak tersebut akan „ditarik‟ dari kelas reguler dan dibawa ke ruang individu untuk mendapatkan bimbingan khusus.


(25)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Anak Berkebutuhan Khusus

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus (ABK), diantaranya yaitu anak penyandang cacat, anak luar biasa, anak berkelainan, dan lain sebagainya. Menurut Hallahan dan Kauffman (Abdul Hadis, 2006: 5), anak berkebutuhan khusus didefinisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Geniofam (2010: 11) mendefinisikan ABK adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik.

Anak dengan kelainan khusus memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barrier to learning and development). Oleh sebab itu, mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh masing-masing anak. Dari pengertian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak yang memiliki kelainan dalam hal fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional sehingga memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut secara individual.


(26)

12 2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Dalam dunia pendidikan, anak berkebutuhan khusus diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sesuai jenis kelainan anak. Klasifikasi tersebut menurut Abdul Hadis (2006: 6) mencakup anak yang mengalami keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar, gangguan emosional, kelainan fisik, kerusakan/gangguan pendengaran, kerusakan/gangguan penglihatan, gangguan bahasa dan wicara, dan kelompok anak yang berbakat. Yosfan Azwandi (2007: 14) mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus menjadi sepuluh jenis yaitu anak dengan gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, intelegensi rendah, gangguan gerak anggota tubuh, gangguan perilaku, anak autisme, anak berkesulitan belajar, anak dengan gangguan komunikasi, anak dengan intelegensi tinggi, dan anak dengan gangguan pemusatan perhatian.

E. Kosasih (2012: 2-5) menggolongkan ABK menjadi dua belas jenis yaitu autisme, cerebral palsy, down syndrome, indigo, kesulitan belajar, sindrom asperger, thalassemia, tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, tunanetra, dan tunarungu. Adapun klasifikasi yang diberikan oleh direktorat pembinaan sekolah luar biasa (PSLB) (2006: 20-21) yaitu tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, tunaganda, HIV AIDS, gifted, talented, kesulitan belajar, lambat belajar, autis, korban penyalahgunaan narkoba, dan indigo. Berikut adalah uraian singkat dari masing-masing klasifikasi anak berkebutuhan khusus yang meliputi anak dengan gangguan penglihatan, pendengaran, bahasa dan


(27)

13

wicara, ketidakmampuan fisik, kesulitan belajar, gangguan emosi dan perilaku, keterbelakangan mental atau intelegensi rendah, gangguan autisme, gangguan pemusatan perhatian, serta anak berbakat.

a. Anak dengan gangguan penglihatan

Anak dengan gangguan penglihatan atau disebut juga dengan tunanetra yakni anak yang memiliki penglihatan yang tidak normal. Jika anak masih memiliki sisa ketajaman penglihatan maka disebut

low vision, akan tetapi jika tidak memiliki ketajaman penglihatan sama sekali maka disebut buta. Definisi tunanetra menurut Kaufman dan Hallahan (NN, 2014) adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan.

Menurut Yosfan Azwandi (2007: 15), bila ditinjau dari sudut pendidikan, anak dengan gangguan penglihatan merupakan anak yang mengalami gangguan daya penglihatan baik kebutaan menyeluruh ataupun sebagian. Mereka tidak mampu memanfaatkan media pembelajaran yang dirancang untuk siswa normal meskipun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus sehingga mereka memerlukan pelayanan khusus. Alat bantu untuk anak yang mengalami gangguan penglihatan yaitu Braille atau dapat pula dengan menggunakan metode aural yaitu menggunakan media tape yang dapat merekam dan didengar oleh anak yang mengalami gangguan penglihatan.


(28)

14 b. Anak dengan gangguan pendengaran

Anak dengan gangguan pendengaran biasa disebut dengan tunarungu. Gangguan pendengaran tersebut timbul karena kerusakan fungsi alat dengar. Dalam dunia pendidikan, menurut Yosfan Azwandi (2007: 17) anak dengan gangguan pendengaran ini diartikan sebagai anak yang kehilangan sebagian atau seluruh pendengarannya sehingga kurang atau tidak mampu berkomunikasi secara verbal walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar. Oleh karena hal tersebut, anak dengan gangguan pendengaran ini membutuhkan pelayanan khusus. Anak dengan gangguan pendengaran ini dapat dideteksi dari ciri-ciri fisik maupun perilakunya.

Yosfan Azwandi (2007: 17) memaparkan ciri-ciri tersebut diantaranya bentuk daun telinga tidak normal, sering keluar cairan dari lubang telinga, sering mengeluh sakit atau gatal pada lubang telinga, bila diajak berbicara selalu memperhatikan gerak bibir lawan bicaranya, tidak bereaksi jika suara orang yang mengajak bicara kurang keras, sering meminta pengulangan ketika melakukan pembicaraan, dan lain sebagainya. Menurut Abdul Hadis (2006: 20), anak yang kehilangan seluruh pendengarannya atau tuli diajarkan berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan mengeja dengan jari. Sedangkan anak yang kehilangan sebagian pendengarannya


(29)

15

memungkinkan untuk diajari memahami kata-kata dengan melihat gerak bibir orang lain atau lawan bicaranya.

c. Anak dengan gangguan bahasa dan wicara

Gangguan wicara merupakan suatu bentuk kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi bunyi, atau kelancaran dalam hal wicara. Jadi gangguan wicara ini meliputi gangguan suara, gangguan artikulasi, dan gangguan kelancaran bicara. Gangguan bahasa merupakan gangguan dari pemahaman atau penggunaan bahasa ujaran, bahasa tulis, atau bahasa sistem simbol. Kerusakan tersebut meliputi bentuk bahasa, bahasa atau semantik, dan fungsi bahasa atau pragmatik. Gangguan bahasa dan gangguan wicara merupakan bentuk dari gangguan komunikasi. Yosfan Azwandi (2007: 27) memaparkan anak dengan gangguan bahasa dan wicara menunjukkan gejala seperti tidak lancar dalam berbicara, pembicaraan sulit ditangkap, suara tidak normal, gagap, dan sebagainya.

d. Anak dengan ketidakmampuan fisik atau gangguan gerakan

Gangguan ini sering disebut tunadaksa. Abdul Hadis (2006: 23) menjelaskan anak dengan ketidakmampuan fisik adalah anak yang mengalami gangguan atau kerusakan fisik yang mempengaruhi kehadiran anak di sekolah. Terdapat dua kategori yang termasuk tunadaksa menurut Yosfan Azwandi (2007: 18-19) yaitu cacat anggota tubuh karena penyakit polio dan cacat tubuh karena kerusakan otak sehingga mengakibatkan ketidak mampuan gerak


(30)

16

(cerebral palsy). Oleh karena itu, anak dengan gangguan ini memerlukan pelayanan khusus dalam segala hal terutama dalam hal pendidikan.

e. Anak dengan kesulitan belajar

Kesulitan belajar menurut Yosfan Azwandi (2007: 24) ialah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologi yang disebabkan oleh suatu disfungsi neurologis yang menyebabkan anak memiliki keterbatasan kognitif seperti dalam bidang akademik atau keterampilan umum lainnya. Keterampilan umum yang dimaksud ialah keterampilan mendengarkan, berbicara atau berpikir. Anak yang mengalami kesulitan belajar menurut Mulyono (NN, 2014) adalah anak yang memiliki intelegensi normal atau diatas normal, akan tetapi mengalami satu atau lebih gangguan dalam aspek-aspek yang dibutuhkan untuk belajar. Anak berkesulitan belajar tidaklah sama dengan anak tunagrahita, gangguan emosional, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau kemiskinan budaya atau sosial.

f. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku

Pengertian anak dengan gangguan emosi menurut Yosfan Azwandi (2007: 20) ialah anak yang mengalami tekanan dan memperlihatkan rasa cemas, neurotik, atau tingkah laku psikotik. Anak yang mengalami kondisi tersebut dikenal juga dengan sebutan anak tunalaras. Gangguan emosi ini dapat menyebabkan


(31)

17

penyimpangan perilaku. Penyimpangan perilaku adalah perilaku yang memberi pengaruh yang merugikan bagi perkembangan dan penyesuaian diri anak juga dapat mengganggu orang lain. Ada beberapa karakteristik yang ditunjukkan oleh anak yang mengalami gangguan emosional menurut Achenbach dan Edelbrock (dalam Abdul Hadis, 2006: 16) yaitu tidak dapat berkonsentrasi, cenderung menentang, obsesi, pusing, menangis, meminta perhatian, kejam terhadap orang lain, merusak barang miliknya dan barang orang lain, tidak tunduk pada peraturan, suka menyendiri, depresi, dan lain sebagainya.

g. Anak dengan keterbelakangan mental atau intelegensi rendah

Anak dengan intelegensi rendah dapat diketahui melalui tes intelegensi atau disebut juga tes IQ. Dalam skala Wechler, anak yang memiliki IQ di bawah 70 disebut dengan tunagrahita atau keterbelakangan mental. Sedangkan anak dengan IQ antara 70-90 termasuk dalam kategori borderline yang dalam bidang pendidikan disebut slow learner (lambat belajar). Anak yang lambat belajar maupun anak yang merupakan anak tunagrahita ringan banyak terdapat di sekolah umum. Hal tersebut dapat terlihat dari prestasi belajar pada sebagian atau seluruh mata pelajaran umumnya rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap pelajaran, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, guru hendaknya dapat mengenali anak tersebut sehingga dapat memberikan bantuan sedini mungkin agar


(32)

18

anak tersebut tidak putus sekolah. Hal tersebut karena anak lambat belajar maupun anak dengan tunagrahita ringan masih dapat mengikuti pelajaran akan tetapi mereka membutuhkan bantuan yang intensif.

h. Anak dengan gangguan autisme

Gangguan autisme menurut Sutadi (Yosfan Azwandi, 2007: 24) adalah gangguan perkembangan neurobiologis berat yang mempengaruhi cara berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut menyebabkan gangguan pada bidang komunikasi, interaksi soaial, imajinasi, bahasa, kognitif, sosial, dan fungsi adaptif sehingga seolah-olah mereka hidup dalam dunianya sendiri. Anak yang menderita autis juga mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi sehingga menjadi mudah mengamuk, agresif, marah, menangis, takut pada hal tertentu, juga terkadang mendadak tertawa. Kesulitan yang dialami oleh anak yang menderita autis menyebabkan perkembangannya akan semakin jauh tertinggal bila dibandingkan dengan anak lain seusianya.

i. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian

Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dapat dibagi ke dalam dua tipe yaitu ADD (Attention Deficit Disorder) dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Tin Suharmini (2005: 30) memaparkan, anak tipe ADD letak gangguan pokoknya ada pada seleksi perhatian sehingga anak sering mengalihkan perhatian dari


(33)

19

aktivitas satu ke aktivitas lain. Anak dengan ADHD memiliki sifat yang sama dengan anak yang tergolong ADD, bedanya adalah pada adanya hiperaktivitas, seperti bergerak secara berlebihan, gelisah, sulit diminta untuk duduk diam, dan sering disertai gangguan tidur. Dunia pendidikan dan dunia kedokteran memiliki perhatian yang besar terhadap anak dengan gangguan pemusatan perhatian ini sehingga memungkinkan terciptanya pendekatan multidisipliner (lintas ilmu) dalam penanganan pendidikan bagi anak yang memiliki gangguan pemusatan perhatian baik ADD maupun ADHD.

j. Anak berbakat

Anak berbakat menurut Abdul Hadis (2006: 27) ialah anak yang memiliki bakat yang istimewa di bidang intelektual, seni, oleh raga, dan keterampilan tertentu. Anak berbakat termasuk didalamnya adalah anak yang memiliki intelegensi tinggi. Anak ini memiliki memiliki kecepatan belajar akademik yang tinggi sehingga mereka memerlukan program pembelajaran khusus agar potensinya dapat berkembang dengan optimal. Program pembelajaran yang biasa disediakan untuk anak berbakat yaitu program akselerasi. Program akselerasi merupakan program dimana anak tidak hanya menguasai materi kurikulum dalam waktu yang cepat tetapi juga memperoleh tingkat penguasaan materi yang mendalam. Prestasi yang dimiliki oleh anak berbakat ini meliputi kemampuan intelektual umum, bakat akademik


(34)

20

khusus, pemikiran kreatif dan produktif, kemampuan memimpin, seni visual dan pertunjukan, dan kemampuan psikomotor.

B. Tinjauan Mengenai Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif

Inklusif merujuk pada layanan pendidikan bagi semua. Pendidikan untuk semua ini didasarkan pada deklarasi universal tentang Konvensi Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 yang menyatakan bahwa pendidikan dasar wajib bagi setiap anak. Abin Syamsudin (Tarmansyah, 2007: 1) menegaskan bahwa semua hak-hak berlaku bagi semua anak tanpa pengecualian. Hal tersebut karena semua anak memiliki hak yang sama untuk belajar tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi lainnya. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban bagi negara untuk melindungi setiap anak dari segala bentuk diskriminasi dalam hal apapun, sehingga negara harus menyediakan layanan yang cukup bagi anak. Pendidikan inklusif tidak hanya merupakan pengintegrasian anak dan remaja yang menyandang kecacatan fisik, sensori atau intelektual kedalam sekolah reguler atau hanya sebuah akses pendidikan bagi anak yang terkucilkan. Inklusi merupakan sebuah proses untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar dan mengidentifikasi serta mengurangi atau menghilangkan hambatan untuk belajar dan berpartisipasi.

Pendidikan inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat pada siswa. Tujuannya adalah agar siswa dapat menggunakan


(35)

21

informasi yang diperolehnya untuk melindungi diri dari penyakit yang berbahaya dan gangguan kesehatan lainnya. Pendidikan inklusif juga mendorong guru, pengelola sekolah, siswa, keluarga, dan masyarakat untuk membantu pembelajaran siswa.

Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Seperti dikemukakan oleh Stainback (Tarmansyah, 2007: 82), bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, akan tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan individu siswanya. Sekolah inklusi juga merupakan tempat dimana siswa dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan dapat saling membantu bersama dengan guru dan siswa lainnya serta anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan siswa tersebut.

Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007: 82) menyatakan pendidikan inklusif adalah sekolah yang seharusnya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial-emosional, linguistik, atau kondisi lainnya. Termasuk di dalamnya adalah anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-anak jalanan dan pekerja, anak-anak yang berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah, anak-anak dari kelompok etnis atau budaya minoritas, dan anak-anak-anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung.


(36)

22

Freiberg (Tarmansyah, 2007: 83) mengungkapkan melalui pendidikan inklusif, siswa berkelainan dididik bersama siswa-siswa lainnya yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal tersebut dilandasi oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat anak-anak normal dan anak-anak berkelainan atau berkebutuhan khusus termasuk anak dengan kecacatan yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sebagai suatu komunitas manusia dan sebagai makhluk sosial. Istilah inklusif dalam arti sempit diartikan dengan mengikutsertakan siswa berkelainan di kelas reguler bersama siswa lain yang normal. Namun pengertian inklusif secara luas menurut Tarmansyah (2007: 85) berarti melibatkan seluruh anak tanpa kecuali seperti anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa pengantar di kelas, anak yang berisiko putus sekolah, anak dari golongan agama atau kasta yang berbeda, anak yang hamil, anak yang terinfeksi HIV/AIDS, dan anak usia sekolah tapi tidak sekolah. Dalam pendidikan inklusif, guru bertanggung jawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan bagi semua siswa.

Sedangkan dalam konsep pendidikan luar biasa, dikemukakan oleh Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 106), pendidikan inklusif diartikan sebagai penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan yang dipersatukan. David Smith (2006: 45) juga mengartikan inklusi sebagai penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan,


(37)

23

interaksi sosial, dan konsep diri serta visi misi sekolah. Dalam hal ini, anak-anak yang memiliki hambatan harus dipandang oleh semua pendidik sebagai hak dan tanggung jawab bersama dan yang paling utama adalah bahwa semua anak harus mempunyai tempat dan diterima di kelas-kelas reguler.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mempersatukan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dengan pendidikan reguler dalam sebuah sistem pendidikan atau dengan kata lain memberikan tempat bagi siswa luar biasa di sekolah reguler atau sekolah biasa. Dengan adanya pendidikan inklusif ini diharapkan agar semua siswa luar biasa atau berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah terdekat yang mampu menerima semua siswa baik siswa normal maupun siswa dengan kebutuhan khusus sehingga tidak lagi terjadi deskriminasi bagi siswa berkebutuhan khusus dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi yang terdapat dalam dirinya dibalik kekurangan yang mereka miliki.

2. Elemen-elemen Dasar Pendidikan Inklusif

Penyelenggaraan pendidikan inklusif bukalah suatu pekerjaan yang mudah. Menurut Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 115), setidaknya ada 10 elemen dasar yang memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sepuluh elemen dasar tersebut adalah sikap positif terhadap keragaman, interaksi promotif, kompetensi akademik dan sosial yang


(38)

24

seimbang, pembelajaran adaptif, konsultasi kolaboratif, hidup dan belajar dalam masyarakat, hubungan kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat, pemahaman kebutuhan individual siswa, belajar dan berpikir independen, serta prinsip belajar sepanjang hayat.

a. Sikap positif terhadap keragaman

Johnson dan Johnson (Wahyu Sri Ambar Arum, 2005: 115) menjelaskan, sikap guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan melalui pemberian informasi yang akurat tentang kondisi siswa dan cara penanganannya.

b. Interaksi promotif

Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 115) menjelaskan, interaksi promotif merupakan upaya untuk saling menolong dan saling mendorong atau memberi motivasi dalam belajar. Hal tersebut dapat terjadi jika terdapat rasa saling menghargai dan saling memberikan dukungan untuk meraih keberhasilan belajar bersama.

c. Kompetensi akademik dan sosial yang seimbang

Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 117) mengemukakan, pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pada pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk kompetensi akademik saja akan tetapi juga dalam bentuk kompetensi sosial. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembelajaran tidak hanya untuk pencapaian tujuan akademik tetapi juga keterampilan sosial yaitu bekerjasama yang


(39)

25

mencakup keterampilan untuk memimpin, memahami perasaan dan pemikiran orang lain, serta tenggang rasa.

d. Pembelajaran adaptif

Program pembelajaran adaptif dalam pendidikan inklusif ini dinamakan Program Pembelajaran Individual (PPI) yang berupa program remidiasi, akselerasi, eskalsi, atau program-program lain sesuai kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Program tersebut bertujuan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan khusus siswa yang membutuhkan layanan pendidikan luar biasa di kelas reguler. Penyusunan program tersebut melibatkan guru kelas dan atau guru bidang studi, guru PLB, konselor, orang tua, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

e. Konsultasi kolaboratif

Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 118) menjelaskan konsultasi kolaboratif merupakan kegiatan saling tukar infrmasi antara profesional dari semua disiplin terkait untuk memperoleh keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan layanan PLB. Profesional yang dimaksud dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas, guru bidang studi, konselor, psikolog, dan ahli-ahli lain yang terkait.

f. Hidup dan belajar dalam masyarakat

Dalam pendidikan inklusi, hendaknya kelas diseting sebagai suatu bentuk mini dari kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam


(40)

26

kelaspun harusnya diciptakan suasana yang saling mencerdaskan, saling menghargai, mencintai, dan tenggang rasa. Melalui suasana belajar semacam itu diharapkan siswa akan memiliki kebiasaan hidup bersama yang baik sehingga dapat memudahkannya ketika kelak memasuki kehidupan di masyarakat. Siswa juga diajarkan untuk memandang siswa lain sebaga individu yang unik dan memiliki potensi kemausiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.

g. Hubungan kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat

Sekolah, keluarga, dan masyarakat pada hakikatnya memiliki fungsi yang sama maka hendaknya sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat menjalin kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat berkembang secara optimal dan terintegrasi. Hal tersebut karena keluarga memiliki informasi yang akurat mengenai keunikan, kekuatan, kelemahan, dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi tersebut, baik dari keluarga maupun sekolah, menjadi landasan penting dalam penyekenggaraan pendidikan inklusi.

h. Pemahaman kebutuhan individual siswa

Seluruh tenaga kependidikan yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah harus memahami bahwa setiap siswa itu unik, memiliki kebutuhan individual yang berbeda antara seorang


(41)

27

siswa dengan siswa lainnya. Seluruh tenaga kependidikan juga hendaknya memahami kebutuhan individu siswa sehingga layanan pendidikan yang bersifat umum harus diimbangi dengan layanan yang bersifat individual.

i. Belajar dan berpikir independen

Dari hasil-hasil penelitian mengenai anak berkesulitan belajar, Wong (Wahyu Sri Ambar Arum, 2005: 121) memaparkan, guru hendaknya mengetahui bahwa anak berkesulitan belajar menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar, cenderung bergantung pada orang lain, dan kurang memiliki strategi untuk belajar, serta kurang mampu dalam mengontrol diri. Oleh karena itu, seiring semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam pendidikan inklusif, guru hendaknya mendorong siswa agar memiliki keterampilan belajar dan kreatif sehingga siswa mampu berpikir independen.

j. Prinsip belajar sepanjang hayat.

Pendidikan inklusif memandang bahwa bahwa manusia belajar sepanjang hayatnya, sedangkan belajar di sekolah hanya merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia. Belajar sepanjang hayat tidak hanya untuk menguasai berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum untuk dapat naik kelas atau lulus ujian, tetapi juga belajar untuk dapat berpikir kritis untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan


(42)

28

pada pengalaman belajar yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar siswa kelak dalam kehidupan masyarakat.

3. Prinsip Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusif

Direktorat PLB (Tarmansyah, 2007: 191) memaparkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dalam setting inklusi, mengacu pada pembelajaran yang ramah, sehingga guru-guru yang mengajar hendaknya selain menerapkan prinsip-prinsip umum dalam pembelajaran juga mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Prinsip umum meliputi memotivasi siswa, memanfaatkan sumber dari lingkungan sekitar, keterarahan yang meliputi memusatkan tujuan, menyiapkan alat dan strategi pembelajaran yang tepat, mengoptimalkan interaksi sosial, belajar sambil bekerja, mengenali karakteristik masing-masing siswa, mengupayakan siswa untuk dapat aktif menemukan pemecahan masalah dari masalah yang dihadapinya, serta melatih siswa untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkan masalah sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan prinsip khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

4. Pelaksanaan Pembelajaran

Sebelum melaksanakan pembelajaran, hendaknya kegiatan pembelajaran harus direncanakan terlebih dahulu oleh guru. Perencanaan tersebut meliputi topik yang diajarkan terdapat dalam kurikulum dan disesuaikan dengan kebutuhan kelas berdasar pada latar belakang,


(43)

29

kemampuan, dan keragaman siswa. Hal lain yang harus direncanakan adalah bagaimana isi kurikulum diajarkan dengan memanfaatkan berbagai metode dan sumber belajar yang didasarkan pada cara belajar siswa untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran. Selain itu, penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran dapat digunakan untuk mengembangkan psiko-sosial siswa.

Direktorat PLB (Tarmansyah, 2007: 194-195) menguraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal-hal tersebut meliputi merencanakan kegiatan pembelajaran yang meliputi kegiatan merencanakan pengelolaan kelas, pengorganisasian bahan/materi, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pemanfaatan sumber belajar, dan penilaian. Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang meliputi menyajikan materi-bahan pelajaran, mengimplementasikan metode, sumber belajar, dan bahan latihan sesuai dengan kemampuan awal siswa, mendorong siswa untuk terlibat secara aktif, mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan, serta mengelola waktu, ruang, bahan, dan perlengkapan pembelajaran. Membina hubungan pribadi yang meliputi bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa, menampilkan kegairahan dan kesungguhan, serta mengelola interaksi antar pribadi. Dan yang terakhir adalah melaksanakan evaluasi yang meliputi melakukan penilaian selama kegiatan pembelajaran berlangsung, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui pengamatan dan mengadakan tindak lanjut.


(44)

30

Setelah merancang kegiatan pembelajaran, hal selanjutnya yang dilakukan adalah melaksanakan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran bertujuan agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai siswa, dimana sistem penyampaian dan indikator pencapaian belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan pembelajaran disusun. Pelaksanaan pembelajaran memiliki urutan yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir yang didalamnya terdapat evaluasi dan tindak lanjut. a. Kegiatan awal

Setelah melakukan perencanaan pembelajaran yang didasarkan atas asesmen terhadap siswa kemudian pembelajaran dimulai dengan kegiatan awal atau disebut juga dengan kegiatan pendahuluan. Dalam kegiatan awal, penting untuk membawa siswa ke dalam situasi pembelajaran. Dalam kegiatan awal biasanya dimulai dengan pemberian apersepsi yang dapat berupa melakukan permainan atau menyanyikan lagu yang sudah dikenal siswa dan berkaitan dengan materi pembelajaran yang akan disajikan. Mengulang kembali materi sebelumnya secara singkat juga perlu untuk dilakukan serta memberikan motivasi kepada siswa. Kemudian siswa mulai diarahkan ke materi yang akan diajarkan dengan mengajukan permasalahan untuk dipecahkan oleh siswa melalui pemberian pertanyaan terbuka atau gambar-gambar untuk didiskusikan yang mengarah pada kegiatan inti.


(45)

31 b. Kegiatan inti

Kegiatan inti pada dasarnya meliputi uraian mengenai penjelasan konsep, prinsip, dan prosedur yang akan dipelajari oleh siswa, dan latihan menerapkan konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan inti, guru diharapkan dapat membuat siswa mecapai sasaran pembelajaran. Cara yang digunakan bisa dengan melakukan kegiatan yang bervariasi seperti penugasan kelompok atau berpasangan. Selain itu tentukan juga strategi dan metode dalam mengajar serta media yang digunakan dalam menyampaikan materi pembelajaran. Tetapkan juga waktu yang cukup kepada siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Selain itu, perlu diingat untuk memberikan bantuan kepada siswa yang membutuhkan layanan tambahan.

c. Kegiatan akhir

Dalam kegiatan akhir atau disebut juga kegiatan penutup, pilihlah salah satu kegiatan misalnya diskusi untuk memperkuat tujuan pembelajaran. Guru perlu bertanya kepada siswa tentang apa yang mereka pahami dan yang belum mereka pahami dari pembelajaran yang telah dilakukan. Untuk mengukur kemajuan belajar siswa, maka perlu dilakukan evaluasi yang berbentuk tes ataupun non-tes maupun umpan balik. Dimyati dan Mudjiono (2006: 221) memaparkan evaluasi pembelajaran sebagai suatu proses untuk menentukan nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian


(46)

32

dan/atau pengukuran yang mencakup pembuatan pertimbangan tentang nilai atau manfaat program, hasil, dan proses pembelajaran. Hasil evaluasi harus diberitahukan kepada siswa. Setelah melakukan evaluasi maka akan muncul dua kemungkinan yaitu siswa telah mencapai tujuan pembelajaran sehingga materi pembelajaran dilanjutkan ke materi selanjutnya atau siswa belum mencapai tujuan pembelajaran sehingga materi pembelajaran harus diulang kembali. 5. Hambatan-hambatan dalam Pembelajaran pada Pendidikan Inklusif

Hambatan belajar dapat dipahami dari dua dimensi yaitu dimensi proses dan dimensi produk. Dalam dimensi proses, Sunardi dan Sunaryo (2007: 8) menafsirkan hambatan belajar sebagai gangguan dalam pemrosesan informasi karena faktor internal ataupun eksternal, sehingga individu gagal dalam mengubah suatu kejadian tertentu menjadi suatu bentuk kognitif sesuai dengan aturan-aturan tertentu. Dalam dimensi produk, Sunardi dan Sunaryo (2007: 9) juga menjelaskan, hambatan belajar merupakan suatu bentuk kegagalan individu dalam mencapai prestasi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, atau dengan kata lain kegagalan individu dalam meraih tujuan belajar yang diharapkan kepadanya. Dari dua dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hambatan belajar merupakan kegagalan individu dalam memproses informasi atau dalam mencapai suatu prestasi tertentu sebagai akibat dari faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal, faktor eksternal, atau interaksi keduanya. Akibat


(47)

33

dari kelainan yang dialami, anak berkebutuhan khusus rentan terhadap munculnya berbagai hambatan dalam belajar. Perbedaan faktor yang dialami tiap anak berkebutuhan khusus juga membuat hambatan tiap anak menjadi beragam tergantung pada jenis kelainannya, lingkungan, serta hasil interaksi antara keduanya sehingga hambatan yang dialami tiap anak bersifat unik atau khas.

Pekerjaan sebagai guru memiliki banyak tantangan. Tantangan tersebut berupa usaha untuk mengetahui dan mengorganisasi minat siswa, serta mengelola pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan bagi siswa. Apa yang harus diajarakan, materi apa yang dibahas, darimana sumber belajar diperoleh, bagaimana mengajar kelas yang siswanya beragam, serta bagaimana merancang pembelajaran yang ramah juga menjadi tantangan bagi guru dalam mengajar siswa di kelas. Kegiatan kelas yang dikelola dengan teratur akan membantu siswa untuk dapat bekerja dengan cepat dan bermakna. Disamping itu, siswa hendaknya dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kelas. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengajarkan rasa tanggung jawab kepada siswa serta membantu guru dalam mengelola kelas.

Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, Dimyati dan Mudjiono (2006: 235) mengungkapkan bahwa ditemukan hal-hal seperti guru telah mengajar dengan baik dan siswa yang belajar dengan giat, namun ada juga siswa yang belajar dengan setengah hati, ada siswa yang pura-pura belajar, bahkan ada pula siswa yang tidak belajar. Oleh karena itu, guru


(48)

34

hendaknya memahami bahwa dalam kegiatan pembelajaran ternyata ada hambatan-hambatan belajar yang dialami oleh siswa. Bahkan guru hendaknya juga memahami bahwa kondisi lingkungan siswa juga dapat menjadi sumber timbulnya hambatan-hambatan belajar.

Hambatan tersebut muncul karena ketidaksiapan siswa untuk belajar sesuatu atau ketidaksiapan dalam merespon situasi yang dihadapkan kepada siswa tersebut. Pada ABK, ketidaksiapan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor fisik, mental, emosi, dan sosial anak serta faktor lain dari lingkungan, budaya, maupun ekonomi. Secara umum, hambatan belajar yang dialami oleh ABK meliputi keterampilan motorik, bahasa, kognitif, persepsi, emosi, dan perilaku adaptif. Pada anak yang telah mengikuti pendidikan di sekolah, hambatan tersebut dapat ditinjau dari aspek kemampuan akademiknya seperti dalam hal membaca, menulis, ataupun berhitung.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi proses belajar yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Dimyati dan Mudjiono (2006: 260) memaparkan faktor intern berasal dari siswa yang meliputi: 1) sikap terhadap belajar; 2) motivasi belajar; 3) konsentrasi belajar; 4) kemampuan mengolah bahan pelajaran, menyimpan perolehan hasil belajar, dan menggali hasil belajar yang telah tersimpan; 5) kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar; 6) rasa percaya diri; 7) intelegensi dan keberhasilan belajar; 8) kebiasaan belajar; dan 9) cita-cita siswa. Faktor ekstern belajar meliputi: 1) guru sebagai pembina belajar; 2) sarana dan


(49)

35

prasarana pembelajaran; 3) kebijakan penilaian; 4) lingkungan sosial siswa di sekolah; dan 5) kurikulum sekolah.

Pada dasarnya hambatan belajar dapat terjadi oleh beberapa faktor. Menurut Abdul Majid (2006: 232), faktor faktor tersebut dapat digolongkan atas faktor yang bersumber dari siswa, dari lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah serta masyarakat. Yang termasuk dalam faktor yang bersumber dari siswa itu sendiri meliputi: 1) tingkat kecerdasan siswa yang rendah; 2) kesehatan siswa yang sering terganggu; 3) organ penglihatan atau pendengaran yang kurang berfungsi dengan baik; 4) gangguan alat perseptual yang artinya adalah tanggapan yang diterima oleh alat indera tidak dapat diartikan sebagaimana mestinya oleh siswa; dan 5) siswa tidak menguasai cara-cara belajar yang baik. Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga meliputi: 1) kemampuan ekonomi orang tua yang kurang memadai; 2) anak kurang mendapat perhatian dan pengawasan dari orang tuanya; 3) harapan orang tua yang terlalu tinggi pada anak; dan 4) orang tua yang pilih kasih terhadap anaknya. Faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah meliputi: 1) kurikulum yang kurang sesuai; 2) guru kurang menguasai materi pelajaran; 3) metode yang digunakan untuk mengajar kurang sesuai; dan 4) alat-alat atau media pengajaran yang kurang memadai.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, hambatan lain yang dialami oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran yaitu dalam hal pengelolaan kelas. Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2013:


(50)

36

173), pengelolaan kelas merupakan masalah tingkah laku yang kompleks dan guru menggunakannya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efisien dan memungkinkan siswa dapat belajar dengan baik. Menurut Made Pidarta (Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2013: 195) hambatan dalam pengelolaan kelas yang berhubungan dengan tingkah laku siswa diantaranya adalah:

a. Kurang kesatuan karena adanya kelompok-kelompok, klik-klik, dan pertentangan jenis kelamin.

b. Tidak ada standar perilaku dalam bekerja kelompok, misalnya ribut, bercakap-cakap, pergi ke sana ke mari, dan sebagainya. c. Reaksi negatif terhadap anggota kelompok, misalnya

bermusuhan, mengucilkan, merendahkan kelompok bodoh, dan sebagainya.

d. Kelas mentoleransi kekeliruan-kekeliruan temannya yaitu menerima dan mendorong perilaku siswa yang keliru.

e. Mudah mereaksi negatif/terganggu, misalnya bila didatangi monitor, tamu-tamu, iklim yang berubah, dan sebagainya.

f. Moral rendah, permusuhan, agresif, misalnya dalam lembaga dengan alat-alat belajar kurang, kekurangan uang, dan sebagainya.

g. Tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah, seperti tugas-tugas tambahan, anggota kelas yang baru, situasi baru, dan sebagainya.

Dari sisi guru sebagai pembelajar, maka peranan guru dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam pembelajaran merupakan prasyarat terlaksananya siswa dapat belajar. Guru sebagai pembelajar memiliki kewajiban untuk mencari, menemukan, dan diharapkan dapat memecahkan hambatan-hambatan belajar siswa. J. David Smith (2006: 46) mengungkapkan bila hambatan dipandang sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu siswa, pikiran kita mungkin berubah sekaligus merefleksikan keterbukaan dan penerimaan yang lebih besar


(51)

37

bagi seseorang, serta optimisme yang lebih besar dalam memperlakukan para penyandang hambatan dengan lebih santun.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apa saja hambatan yang dialami guru kelas pada saat kegiatan pembelajaran yang meliputi:

a. Kegiatan awal pembelajaran b. Kegiatan inti pembelajaran c. Kegiatan akhir pembelajaran

2. Apa saja yang dapat menghambat kelancaran pembelajaran yang bersumber dari siswa?

3. Apa saja yang dapat menghambat kelancaran pembelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah?

4. Apa saja hambatan yang dialami guru dalam pengelolaan kelas selama proses pembelajaran?


(52)

38 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lexy J. Moleong (2012: 6) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Metode penelitian kualitatif ini digunakan dengan maksud mendapatkan data yang mendalam dan mengandung makna. Penelitian ini tidak menekankan pada generalisasi.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif bila digolongkan berdasarkan tujuannya. Suharsimi Arikunto (2010: 3) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi, atau hal-hal lain yang sudah disebutkan yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. Secara lebih khusus, penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus (case studies). Penelitian ini untuk menemukan dan mendeskripsikan hambatan-hambatan yang dirasakan oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran pada kelas inklusi di SD Negeri Giwangan, Yogyakarta secara mendalam.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Maret s.d Mei 2015 di SD Negeri Giwangan, Yogyakarta yang beralamatkan di jalan Tegalturi no. 45, Umbulharjo, Yogyakarta. Sekolah tersebut merupakan sekolah inklusi yang memiliki visi unggul dalam prestasi, berbudaya, berwawasan lingkungan,


(53)

39

berdasar iman dan taqwa, serta salah satu misinya yaitu melaksanakan pendidikan untuk semua (education for all).

C. Penentuan Subjek Penelitian

Penelitian kualitatif mengkaji suatu kasus pada situasi sosial tertentu. Oleh karena itu, penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi dan hasil kajiannya tidak diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain yang mempunyai situasi sosial yang sama. Sampel dalam penelitian kualitatif tidak disebut sebagai responden, tetapi narasumber (Sugiyono, 2009: 216). Sampling bertujuan untuk memilih sejumlah sampel yang tidak harus representatif, tetapi mengarah pada pemahaman yang mendalam (Lexy J. Moleong, 2012: 35-36). Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif jumlahnya kecil dan ditentukan dengan teknik purposive. Sugiyono (2009: 216) menambahkan bahwa dalam teknik purposive, sumber data pada narasumber dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah guru kelas III A di SD Negeri Giwangan, Yogyakarta.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Menurut Sugiyono (2009: 224-225) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang alami (natural setting), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data


(54)

40

lebih banyak pada observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut.

1. Wawancara

Menurut Lexy J. Moleong (2012: 186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Sugiyono (2009: 231), wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Esterberg (Sugiyono, 2009: 233) mengemukakan wawancara ada beberapa macam, yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi terstruktur, dan wawancara tidak terstruktur.

Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur karena dalam pelaksanannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Jenis wawancara ini bertujuan untuk menemukan permasalahan secara terbuka dan peneliti juga dapat menambah pertanyaan diluar pedoman wawancara untuk mengungkap pendapat dan ide-ide responden.

2. Observasi

Menurut S. Margono (Nurul Zuriah, 2007: 173), observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Suharsimi Arikunto (2010: 199) observasi


(55)

41

atau yang juga disebut pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Menurut Sugiyono (2009: 145) dalam pelaksanaan pengumpulan data observasi dibedakan menjadi participant observation (observasi berperanserta) dan non participant observation, selanjutnya dari segi instrumen yang digunakan observasi dibedakan menjadi observasi terstruktur dan tidak terstruktur.

Peneliti menggunakan observasi nonpartisipan dalam pelaksanaan pengumpulan data, jadi peneliti tidak terlibat dengan aktifitas yang diamati sehingga peneliti hanya berperan sebagai pengamat independen. Teknik observasi yang digunakan peneliti adalah teknik observasi deskriptif dimana peneliti melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Sedangkan dalam instrumen, peneliti menggunakan observasi terstruktur dimana observasi dirancang secara sistematis tentang apa yang akan diamati serta kapan dan dimana tempatnya.

3. Dokumentasi

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar (2006: 73) mengemukakan bahwa teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data melalui dokumen-dokumen. Suharsimi Arikunto (2010: 201), dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya adalah barang-barang tertulis. Menurut Trianto (2010: 278), dokumentasi adalah


(56)

42

mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.

Sugiyono (2009: 240), dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Suharsimi Arikunto (2010: 274-275) menjelaskan bahwa dalam menggunakan metode dokumentasi, peneliti memegang check list untuk mencari variabel yang sudah ditentukan.

E. Instrumen Penelitian

Menurut Nasution (Sugiyono, 2009: 223) menyatakan bahwa dalam penelitian kulitatif, manusia adalah instrumen utama, karena segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, semuanya belum dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Oleh karena itu, yang menjadi intrumen adalah peneliti sendiri, yang bisa bertindak sebagai alat yang adaptif serta responsif. Penelitian ini dibantu dengan instrumen pedoman wawancara, pedoman observasi, serta dokumentasi. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan pedoman observasi dan pedoman wawancara.


(57)

43 1. Instrumen Observasi

Observasi digunakan untuk memperoleh data situasi sosial yang terdiri dari tempat (Place), pelaku (Actor), dan kegiatan (Activity). Peneliti menggunakan pedoman observasi:

a. Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi di SD Negeri Giwangan Yogyakarta.

b. Hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi di SD Negeri Giwangan Yogyakarta.

Kisi-kisi pedoman observasi adalah sebagai berikut. Tabel 1. Kisi-Kisi Pedoman Observasi

No. Aspek Indikator Sub Indikator Butir Observasi 1. Hambatan

dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi 1. Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi 1. Kegiatan awal 2. Kegiatan inti 3. Kegiatan akhir

1. Kegiatan yang

dilakukan oleh guru saat kegiatan awal pembelajaran.

2. Kegiatan yang

dilakukan oleh guru saat kegiatan inti pembelajaran.

3. Kegiatan yang

dilakukan oleh guru saat kegiatan akhir pembelajaran. 2. Hambatan yang dialami guru kelas inklusi 1. Hambatan yang bersumber dari siswa 2. Hambatan yang bersumber dari lingkungan sekolah

1. Hal-hal yang dapat menghambat kelancaran

pembelajaran yang bersumber dari siswa.

2. Hal-hal yang dapat menghambat kelancaran

pembelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah.


(58)

44

3. Pengelolaan kelas

3. Hambatan yang

terjadi selama proses

pembelajaran

dalam hal

pengelolaan kelas.

2. Instrumen Wawancara

Wawancara bertujuan untuk memperoleh data melalui tanya jawab secara langsung. Wawancara dilakukan dengan guru kelas untuk mengidentifikasi hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi di SD Negeri Giwangan, Yogyakarta. Wawancara dilaksanakan dengan menggunakan pedoman wawancara tentang:

a. Apa saja hambatan yang dialami guru kelas pada saat kegiatan pembelajaran yang meliputi:

1) Kegiatan awal pembelajaran? 2) Kegiatan inti pembelajaran? 3) Kegiatan akhir pembelajaran

b. Apa saja yang dapat menghambat kelancaran pembelajaran yang bersumber dari siswa?

c. Apa saja yang dapat menghambat kelancaran pembelajaran yang bersumber dari lingkungan sekolah?

d. Apa saja hambatan yang dialami guru dalam pengelolaan kelas selama proses pembelajaran?


(59)

45

Kisi-kisi pedoman wawancara adalah sebagai berikut. Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara

No. Aspek Indikator Sub Indikator Butir Wawancara 1. Hambatan

dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi 1. Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi 1. Kegiatan awal 2. Kegiatan inti 3. Kegiatan akhir

1, 2, 3, 4 5, 6, 7, 8, 9 10, 11, 12, 13, 14 2. Hambatan yang dialami guru kelas inklusi 1. Hambatan yang bersumber dari siswa 2. Hambatan yang bersumber dari lingkungan sekolah 3. Hambatan dalam pengelolaan kelas

15, 16, 17, 18, 19, 20, 21

22, 23, 24, 25, 26, 27, 28

29

F. Teknik Analisis Data

Lexy J. Moleong (2011: 280), mendefinisikan analisis data sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Sedangkan menurut Bogdan (Sugiyono, 2009: 244), analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.


(60)

46

Miles dan Huberman (Sugiyono, 2009: 246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Aktivitas dalam melakukan analisis data diantaranya data reduction, data display, dan conclusion: drawing/verification. Aktivitas analisis data tersebut dapat digambarkan seperti berikut.

Gambar 1. Komponen dalam analisis data-interactive model (Sugiyono, 2009: 247)

1. Reduksi data (Data Reduction)

Reduksi data dapat diartikan sebagai kegiatan merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya, hingga diperoleh gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti dalam pengumpulan data selanjutnya. Singkatnya, menurut Patilima (Trianto, 2010: 287), reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul pada catatan lapangan.

Data Collection

Drawing/ Verification Data Display

Data Reduction


(61)

47 2. Penyajian data (Data Display)

Setelah mereduksi data, kegiatan selanjutnya adalah penyajian data. Penyajian data merupakan kegiatan penyusunan sekelompok informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisasikan sehigga makin mudah dipahami.

3. Penarikan kesimpulan (Drawing/Verification)

Langkah selanjutnya setelah penyajian data adalah penarikan kesimpulan. Dalam penarikan kesimpulan penelitian kualitatif ini akan diungkapkan makna dari data yang dikumpulkan.

G. Keabsahan Data

Menurut Lexy J. Moleong (2011: 320-321), keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus dapat mendemonstrasikan nilai yang benar, menyediakan dasar agar dapat diterapkan, dan memperbolehkan keputusan luar yang dapat dilihat konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya. Sugiyono (2009: 270), uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal),

transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan

confirmability (obyektivitas). Dalam uji keabsahan data, peneliti menggunakan uji kredibilitas.

Dalam menguji kredibilitas data, peneliti menggunakan triangulasi, bahan referensi, serta member check. Triangulasi yang digunakan peneliti adalah triangulasi teknik. Sugiyono (2009: 274), triangulasi teknik digunakan untuk


(62)

48

menguji kredibilitas data dengan cara memeriksa atau mencocokkan data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda yaitu obsevasi, wawancara, dan dokumentasi. Apabila dengan tiga teknik pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain untuk memastikan data mana yang dianggap benar.

Peneliti juga menggunakan bahan referensi yaitu adanya pendukung untuk membuktikan data yang ditemukan oleh peneliti, serta mengadakan

member check yaitu dengan pemeriksaan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data.


(63)

49 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Lokasi Penelitian a. Lokasi Sekolah

Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Giwangan yang merupakan Sekolah Dasar Negeri inklusi. Berlokasi di jalan Tegalturi no. 45, Umbulharjo, tidak jauh dari terminal Giwangan Yogyakarta.

Kompleks SD Negeri Giwangan Yogyakarta sebelumnya terdiri dari 2 sekolah yaitu SD Negeri Nitikan I dan SD Negeri Giwangan. SD Negeri Nitikan I semula merupakan SD Terpadu. Saat terjadi gempa pada 26 Desember 2006, gedung SD Negeri Nitikan I dan SD Negeri Giwangan roboh total. Semenjak itu, kedua SD Negeri tersebut kemudian di-regrouping menjadi SD Negeri Giwangan Yogyakarta. Kompleks sekolah berada di tengah kepadatan kota Yogyakarta dan gedung perkantoran. Hal ini menyebabkan udara disekitar sekolah kurang segar karena tercemar polusi dari asap kendaraan bermotor. Oleh karena itu, sekolah menanam beberapa tanaman untuk menyegarkan udara di lingkungan sekolah.

b. Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah 1) Visi

“Unggul dalam prestasi, berbudaya, berwawasan lingkungan, berdasar iman dan taqwa.”


(64)

50 2) Misi

a) Peningkatan kualitas manajemen berbasis sekolah. b) Peningkatan profesionalisme tenaga pendidik. c) Peningkatan kualitas proses belajar mengajar.

d) Peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

e) Peningkatan sarana dan prasarana belajar. f) Peningkatan kegiatan ekstrakurikuler. g) Peningkatan sistem informasi manajemen. h) Peningkatan partisipasi masyarakat.

i) Melaksanakan pendidikan berbasis lingkungan hidup. j) Melaksanakan pendidikan berbasis teknologi informatika. k) Melaksanakan pendidikan untuk semua (education for all). 3) Tujuan

a) Dapat mengamalkan ajaran agama hasil proses pembelajaran pada kegiatan pembiasaan.

b) Meraih prestasi akademik maupun non akademik minimal tingkat kecamatan.

c) Menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. d) Menjadi sekolah pelopor dan penggerak di lingkungan

masyarakat sekitar.


(65)

51

f) Menjadi sekolah berwawasan lingkungan hidup (education school of development).

g) Menjadi sekolah berwawasan budaya.

h) Terwujudnya hubungan harmonis dan dinamis baik dalam sekolah maupun dengan masyarakat.

c. Deskripsi subjek penelitian

Nama : Ya

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : guru kelas III A SD Negeri Giwangan Yogyakarta.

Latar belakang pendidikan : S1

Ya sebagai subjek merupakan seorang guru kelas, diangkat menjadi PNS pada tahun 1979. Beliau mengampu kelas III A dan baru dua tahun terakhir ini mengajar di SD Negeri Giwangan Yogyakarta. Sebelum mengajar di SD Negeri Giwangan, beliau mengajar di SD Negeri Karang Waru selama 15 tahun dan kemudian menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SD Negeri di Yogyakarta baik SD Negeri umum maupun SD Negeri inklusi. Setiap hari beliau berangkat dengan menggunakan mobil. Jarak rumah dengan sekolah yang dekat membuat Ya selalu datang pagi dan menyapa siswa-siswinya di gerbang sekolah. Suara Ya yang lantang saat menyampaikan materi dan memberi pertanyaan, membuat seluruh siswa bisa mendengar dengan jelas apa yang disampaikan.


(66)

52

Akan tetapi penguasaan kelasnya masih kurang, karena dalam kelas masih sering siswa gaduh dan tidak mengerjakan sesuai instruksi yang disampaikan. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi siswanya, karena kelas III A ini memiliki siswa ABK yang lebih banyak dibanding di kelas lain. Idealnya dalam satu kelas inklusi memiliki maksimal tiga siswa ABK, akan tetapi di kelas III A yang diampu oleh Ya memiliki empat siswa ABK.

Dalam mengajar terkadang Ya menggunakan media/alat peraga untuk menyampaikan materi pembelajaran, akan tetapi belum efektif karena terhambat dengan ketersediaan media yang ada di sekolah. Ya sering mengulang materi karena ada siswa yang masih bingung/belum jelas, bahkan pernah dalam satu hari penuh hanya diisi satu mata pelajaran karena siswa belum memahami materi/masih bingung terhadap materi yang diajarkan.

Berdasarkan observasi, metode yang digunakan Ya dalam pembelajaran sehari-hari kurang bervariasi. Ya sering menggunakan ceramah dan tanya jawab dalam penyampaian materi kemudian meminta siswa untuk mengerjakan soal.

2. Deskripsi Hasil Penelitian

Berdasarkan observasi, dokumentasi dan wawancara dengan guru kelas III A di SD Negeri Giwangan Yogyakarta didapatkan hasil penelitian dalam pelaksanaan dan hambatan-hambatan dalam pembelajaran serta


(67)

53

manajemen pendidikan inklusif. Berikut merupakan deskripsi hasil penelitian yang diperoleh peneliti.

a. Pelaksanaan Pembelajaran di Kelas Inklusi

Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan dokumentasi, peneliti mendapatkan hasil bahwa kegiatan awal pada pembelajaran telah dirancang dengan baik oleh guru. Dalam mengawali pembelajaran guru selalu memberi salam terlebih dahulu pada siswa kemudian mempresensi kehadiran siswa. Ketika memulai pembelajaran, guru mengalami hambatan dalam memusatkan perhatian siswa. Guru senantiasa memanggil siswa ABK untuk memusatkan perhatian sebelum guru memulai pembelajaran. Apersepsi dan memotivasi siswa juga dirancang dengan baik oleh guru, meski dalam kegiatan pembelajaran guru tidak selalu menyampaikan kepada siswa. Guru juga selalu mengulang secara singkat materi yang telah diajarkan pada pertemuan sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman siswa. Pada kegiatan mengajukan permasalahan untuk mengarahkan siswa ke materi yang akan diajarkan dilakukan oleh guru dengan menyesuaikan pada materi yang akan dipelajari.

Ya : “Disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, pengelolaan materi untuk siswa normal dilakukan sesuai kurikulum, silabus, dan RPP, akan tetapi materi untuk siswa ABK dikelola oleh guru bersama GPK sekolah dengan disesuaikan dengan tingkat kemampuan


(68)

masing-54

masing siswa ABK. Namun berdasarkan hasil observasi, siswa yang hiperaktif mendapat materi sama seperti siswa normal lain sedangkan siswa slow learner dan siswa tuna grahita mendapat materi atau mengerjakan tugas yang sama satu sama lain. Seperti pada materi luas dan keliling bangun persegi dan persegi panjang, siswa normal dan siswa hiperaktif mengerjakan soal menghitung luas dan keliling bangun persegi dan persegi panjang, sedangkan siswa slow learner

dan tuna grahita hanya diminta menggambar bangun persegi dan persegi panjang sama seperti yang ada di buku. Dalam mengerjakan tugas dari guru, siswa normal mengerjakan di meja masing-masing. Untuk siswa ABK, terkadang guru menunggui satu persatu siswa ABK di mejanya atau guru meminta siswa ABK membawa kursi mereka ke meja guru kemudian duduk mengelilingi meja guru dan dibimbing oleh guru dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Strategi dan metode pembelajaran yang diterapkan guru sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Berdasarkan hasil observasi strategi yang diterapkan guru adalah strategi ekspositori dimana guru menyampaikan materi kepada siswa.

Ya : “Strategi yang dilakukan adalah menyampaikan materi kemudian memberikan siswa soal atau permasalahan untuk mereka selesaikan baik secara individu atau diskusi dengan teman semeja”.

Metode yang digunakan oleh guru diantaranya adalah ceramah, tanya jawab, demonstrasi, dan pemberian tugas. Guru tidak menggunakan media dalam pembelajaran selama penelitian berlangsung.


(69)

55

Ya : “Metode sesuai yang ada di kurikulum saja, mbak. Seperti ceramah, diskusi dengan teman semeja, tanya jawab, pemberian tugas, dan demonstrasi”.

Berdasarkan pada penuturan guru, guru hanya memanfaatkan media yang disediakan oleh sekolah. Dalam RPP, guru mencantumkan media yang digunakan untuk pembelajaran. Akan tetapi saat melaksanakan pembelajaran, guru tidak menggunakan media. Hal tersebut dikarenakan media untuk materi yang diajarkan saat penelitian berlangsung tidak tersedia sehingga guru tidak menggunakan media dalam pembelajaran. Selama pembelajaran berlangsung, guru senantiasa memberikan bantuan kepada setiap siswa yang membutuhkan dan secara intensif membimbing siswa ABK dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.

Pada akhir kegiatan pembelajaran, tidak terlihat kegiatan guru dalam menegaskan inti-inti dari materi yang telah dipelajari kepada siswa dalam memperkuat tujuan pembelajaran. Namun guru selalu memastikan apakah siswa sudah memahami atau belum materi yang diajarkan. Evaluasi dilakukan jika materi yang diajarkan sudah selesai dan diaksanakan dalam ulangan harian, ujian tengan semester, ujian semester, dan ujian kenaikan kelas. Evaluasi berbentuk tes tertulis dengan soal yang berbeda untuk siswa normal dan siswa ABK. Soal tes untuk masing-masing siswa ABK juga dibuat berbeda karena disesuaikan dengan tingkat kemampuan masing-masing siswa ABK.


(1)

(2)

(3)

(4)

133 Lampiran 12.


(5)

(6)