Tinjauan Mengenai Pendidikan Inklusif

20 khusus, pemikiran kreatif dan produktif, kemampuan memimpin, seni visual dan pertunjukan, dan kemampuan psikomotor.

B. Tinjauan Mengenai Pendidikan Inklusif

1. Pengertian Pendidikan Inklusif Inklusif merujuk pada layanan pendidikan bagi semua. Pendidikan untuk semua ini didasarkan pada deklarasi universal tentang Konvensi Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 yang menyatakan bahwa pendidikan dasar wajib bagi setiap anak. Abin Syamsudin Tarmansyah, 2007: 1 menegaskan bahwa semua hak-hak berlaku bagi semua anak tanpa pengecualian. Hal tersebut karena semua anak memiliki hak yang sama untuk belajar tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi lainnya. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban bagi negara untuk melindungi setiap anak dari segala bentuk diskriminasi dalam hal apapun, sehingga negara harus menyediakan layanan yang cukup bagi anak. Pendidikan inklusif tidak hanya merupakan pengintegrasian anak dan remaja yang menyandang kecacatan fisik, sensori atau intelektual kedalam sekolah reguler atau hanya sebuah akses pendidikan bagi anak yang terkucilkan. Inklusi merupakan sebuah proses untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar dan mengidentifikasi serta mengurangi atau menghilangkan hambatan untuk belajar dan berpartisipasi. Pendidikan inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan gaya hidup sehat pada siswa. Tujuannya adalah agar siswa dapat menggunakan 21 informasi yang diperolehnya untuk melindungi diri dari penyakit yang berbahaya dan gangguan kesehatan lainnya. Pendidikan inklusif juga mendorong guru, pengelola sekolah, siswa, keluarga, dan masyarakat untuk membantu pembelajaran siswa. Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Seperti dikemukakan oleh Stainback Tarmansyah, 2007: 82, bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, akan tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan individu siswanya. Sekolah inklusi juga merupakan tempat dimana siswa dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan dapat saling membantu bersama dengan guru dan siswa lainnya serta anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan siswa tersebut. Hildegun Olsen Tarmansyah, 2007: 82 menyatakan pendidikan inklusif adalah sekolah yang seharusnya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial-emosional, linguistik, atau kondisi lainnya. Termasuk di dalamnya adalah anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-anak jalanan dan pekerja, anak-anak yang berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah, anak- anak dari kelompok etnis atau budaya minoritas, dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung. 22 Freiberg Tarmansyah, 2007: 83 mengungkapkan melalui pendidikan inklusif, siswa berkelainan dididik bersama siswa-siswa lainnya yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal tersebut dilandasi oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat anak-anak normal dan anak-anak berkelainan atau berkebutuhan khusus termasuk anak dengan kecacatan yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sebagai suatu komunitas manusia dan sebagai makhluk sosial. Istilah inklusif dalam arti sempit diartikan dengan mengikutsertakan siswa berkelainan di kelas reguler bersama siswa lain yang normal. Namun pengertian inklusif secara luas menurut Tarmansyah 2007: 85 berarti melibatkan seluruh anak tanpa kecuali seperti anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa pengantar di kelas, anak yang berisiko putus sekolah, anak dari golongan agama atau kasta yang berbeda, anak yang hamil, anak yang terinfeksi HIVAIDS, dan anak usia sekolah tapi tidak sekolah. Dalam pendidikan inklusif, guru bertanggung jawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan bagi semua siswa. Sedangkan dalam konsep pendidikan luar biasa, dikemukakan oleh Wahyu Sri Ambar Arum 2005: 106, pendidikan inklusif diartikan sebagai penggabungan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan pendidikan reguler dalam satu sistem pendidikan yang dipersatukan. David Smith 2006: 45 juga mengartikan inklusi sebagai penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, 23 interaksi sosial, dan konsep diri serta visi misi sekolah. Dalam hal ini, anak-anak yang memiliki hambatan harus dipandang oleh semua pendidik sebagai hak dan tanggung jawab bersama dan yang paling utama adalah bahwa semua anak harus mempunyai tempat dan diterima di kelas-kelas reguler. Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mempersatukan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dengan pendidikan reguler dalam sebuah sistem pendidikan atau dengan kata lain memberikan tempat bagi siswa luar biasa di sekolah reguler atau sekolah biasa. Dengan adanya pendidikan inklusif ini diharapkan agar semua siswa luar biasa atau berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah terdekat yang mampu menerima semua siswa baik siswa normal maupun siswa dengan kebutuhan khusus sehingga tidak lagi terjadi deskriminasi bagi siswa berkebutuhan khusus dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi yang terdapat dalam dirinya dibalik kekurangan yang mereka miliki. 2. Elemen-elemen Dasar Pendidikan Inklusif Penyelenggaraan pendidikan inklusif bukalah suatu pekerjaan yang mudah. Menurut Wahyu Sri Ambar Arum 2005: 115, setidaknya ada 10 elemen dasar yang memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sepuluh elemen dasar tersebut adalah sikap positif terhadap keragaman, interaksi promotif, kompetensi akademik dan sosial yang 24 seimbang, pembelajaran adaptif, konsultasi kolaboratif, hidup dan belajar dalam masyarakat, hubungan kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat, pemahaman kebutuhan individual siswa, belajar dan berpikir independen, serta prinsip belajar sepanjang hayat. a. Sikap positif terhadap keragaman Johnson dan Johnson Wahyu Sri Ambar Arum, 2005: 115 menjelaskan, sikap guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan melalui pemberian informasi yang akurat tentang kondisi siswa dan cara penanganannya. b. Interaksi promotif Wahyu Sri Ambar Arum 2005: 115 menjelaskan, interaksi promotif merupakan upaya untuk saling menolong dan saling mendorong atau memberi motivasi dalam belajar. Hal tersebut dapat terjadi jika terdapat rasa saling menghargai dan saling memberikan dukungan untuk meraih keberhasilan belajar bersama. c. Kompetensi akademik dan sosial yang seimbang Wahyu Sri Ambar Arum 2005: 117 mengemukakan, pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pada pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk kompetensi akademik saja akan tetapi juga dalam bentuk kompetensi sosial. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembelajaran tidak hanya untuk pencapaian tujuan akademik tetapi juga keterampilan sosial yaitu bekerjasama yang 25 mencakup keterampilan untuk memimpin, memahami perasaan dan pemikiran orang lain, serta tenggang rasa. d. Pembelajaran adaptif Program pembelajaran adaptif dalam pendidikan inklusif ini dinamakan Program Pembelajaran Individual PPI yang berupa program remidiasi, akselerasi, eskalsi, atau program-program lain sesuai kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Program tersebut bertujuan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan khusus siswa yang membutuhkan layanan pendidikan luar biasa di kelas reguler. Penyusunan program tersebut melibatkan guru kelas dan atau guru bidang studi, guru PLB, konselor, orang tua, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. e. Konsultasi kolaboratif Wahyu Sri Ambar Arum 2005: 118 menjelaskan konsultasi kolaboratif merupakan kegiatan saling tukar infrmasi antara profesional dari semua disiplin terkait untuk memperoleh keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan layanan PLB. Profesional yang dimaksud dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas, guru bidang studi, konselor, psikolog, dan ahli-ahli lain yang terkait. f. Hidup dan belajar dalam masyarakat Dalam pendidikan inklusi, hendaknya kelas diseting sebagai suatu bentuk mini dari kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam 26 kelaspun harusnya diciptakan suasana yang saling mencerdaskan, saling menghargai, mencintai, dan tenggang rasa. Melalui suasana belajar semacam itu diharapkan siswa akan memiliki kebiasaan hidup bersama yang baik sehingga dapat memudahkannya ketika kelak memasuki kehidupan di masyarakat. Siswa juga diajarkan untuk memandang siswa lain sebaga individu yang unik dan memiliki potensi kemausiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan. g. Hubungan kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat Sekolah, keluarga, dan masyarakat pada hakikatnya memiliki fungsi yang sama maka hendaknya sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat menjalin kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat berkembang secara optimal dan terintegrasi. Hal tersebut karena keluarga memiliki informasi yang akurat mengenai keunikan, kekuatan, kelemahan, dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi tersebut, baik dari keluarga maupun sekolah, menjadi landasan penting dalam penyekenggaraan pendidikan inklusi. h. Pemahaman kebutuhan individual siswa Seluruh tenaga kependidikan yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah harus memahami bahwa setiap siswa itu unik, memiliki kebutuhan individual yang berbeda antara seorang 27 siswa dengan siswa lainnya. Seluruh tenaga kependidikan juga hendaknya memahami kebutuhan individu siswa sehingga layanan pendidikan yang bersifat umum harus diimbangi dengan layanan yang bersifat individual. i. Belajar dan berpikir independen Dari hasil-hasil penelitian mengenai anak berkesulitan belajar, Wong Wahyu Sri Ambar Arum, 2005: 121 memaparkan, guru hendaknya mengetahui bahwa anak berkesulitan belajar menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar, cenderung bergantung pada orang lain, dan kurang memiliki strategi untuk belajar, serta kurang mampu dalam mengontrol diri. Oleh karena itu, seiring semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam pendidikan inklusif, guru hendaknya mendorong siswa agar memiliki keterampilan belajar dan kreatif sehingga siswa mampu berpikir independen. j. Prinsip belajar sepanjang hayat. Pendidikan inklusif memandang bahwa bahwa manusia belajar sepanjang hayatnya, sedangkan belajar di sekolah hanya merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia. Belajar sepanjang hayat tidak hanya untuk menguasai berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum untuk dapat naik kelas atau lulus ujian, tetapi juga belajar untuk dapat berpikir kritis untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan 28 pada pengalaman belajar yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar siswa kelak dalam kehidupan masyarakat. 3. Prinsip Pembelajaran dalam Pendidikan Inklusif Direktorat PLB Tarmansyah, 2007: 191 memaparkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan dalam setting inklusi, mengacu pada pembelajaran yang ramah, sehingga guru-guru yang mengajar hendaknya selain menerapkan prinsip-prinsip umum dalam pembelajaran juga mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Prinsip umum meliputi memotivasi siswa, memanfaatkan sumber dari lingkungan sekitar, keterarahan yang meliputi memusatkan tujuan, menyiapkan alat dan strategi pembelajaran yang tepat, mengoptimalkan interaksi sosial, belajar sambil bekerja, mengenali karakteristik masing-masing siswa, mengupayakan siswa untuk dapat aktif menemukan pemecahan masalah dari masalah yang dihadapinya, serta melatih siswa untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkan masalah sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan prinsip khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa yang memiliki kebutuhan khusus. 4. Pelaksanaan Pembelajaran Sebelum melaksanakan pembelajaran, hendaknya kegiatan pembelajaran harus direncanakan terlebih dahulu oleh guru. Perencanaan tersebut meliputi topik yang diajarkan terdapat dalam kurikulum dan disesuaikan dengan kebutuhan kelas berdasar pada latar belakang, 29 kemampuan, dan keragaman siswa. Hal lain yang harus direncanakan adalah bagaimana isi kurikulum diajarkan dengan memanfaatkan berbagai metode dan sumber belajar yang didasarkan pada cara belajar siswa untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran. Selain itu, penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran dapat digunakan untuk mengembangkan psiko-sosial siswa. Direktorat PLB Tarmansyah, 2007: 194-195 menguraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal-hal tersebut meliputi merencanakan kegiatan pembelajaran yang meliputi kegiatan merencanakan pengelolaan kelas, pengorganisasian bahanmateri, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pemanfaatan sumber belajar, dan penilaian. Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang meliputi menyajikan materi-bahan pelajaran, mengimplementasikan metode, sumber belajar, dan bahan latihan sesuai dengan kemampuan awal siswa, mendorong siswa untuk terlibat secara aktif, mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan, serta mengelola waktu, ruang, bahan, dan perlengkapan pembelajaran. Membina hubungan pribadi yang meliputi bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa, menampilkan kegairahan dan kesungguhan, serta mengelola interaksi antar pribadi. Dan yang terakhir adalah melaksanakan evaluasi yang meliputi melakukan penilaian selama kegiatan pembelajaran berlangsung, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui pengamatan dan mengadakan tindak lanjut. 30 Setelah merancang kegiatan pembelajaran, hal selanjutnya yang dilakukan adalah melaksanakan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran bertujuan agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai siswa, dimana sistem penyampaian dan indikator pencapaian belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan pembelajaran disusun. Pelaksanaan pembelajaran memiliki urutan yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir yang didalamnya terdapat evaluasi dan tindak lanjut. a. Kegiatan awal Setelah melakukan perencanaan pembelajaran yang didasarkan atas asesmen terhadap siswa kemudian pembelajaran dimulai dengan kegiatan awal atau disebut juga dengan kegiatan pendahuluan. Dalam kegiatan awal, penting untuk membawa siswa ke dalam situasi pembelajaran. Dalam kegiatan awal biasanya dimulai dengan pemberian apersepsi yang dapat berupa melakukan permainan atau menyanyikan lagu yang sudah dikenal siswa dan berkaitan dengan materi pembelajaran yang akan disajikan. Mengulang kembali materi sebelumnya secara singkat juga perlu untuk dilakukan serta memberikan motivasi kepada siswa. Kemudian siswa mulai diarahkan ke materi yang akan diajarkan dengan mengajukan permasalahan untuk dipecahkan oleh siswa melalui pemberian pertanyaan terbuka atau gambar-gambar untuk didiskusikan yang mengarah pada kegiatan inti. 31 b. Kegiatan inti Kegiatan inti pada dasarnya meliputi uraian mengenai penjelasan konsep, prinsip, dan prosedur yang akan dipelajari oleh siswa, dan latihan menerapkan konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan inti, guru diharapkan dapat membuat siswa mecapai sasaran pembelajaran. Cara yang digunakan bisa dengan melakukan kegiatan yang bervariasi seperti penugasan kelompok atau berpasangan. Selain itu tentukan juga strategi dan metode dalam mengajar serta media yang digunakan dalam menyampaikan materi pembelajaran. Tetapkan juga waktu yang cukup kepada siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Selain itu, perlu diingat untuk memberikan bantuan kepada siswa yang membutuhkan layanan tambahan. c. Kegiatan akhir Dalam kegiatan akhir atau disebut juga kegiatan penutup, pilihlah salah satu kegiatan misalnya diskusi untuk memperkuat tujuan pembelajaran. Guru perlu bertanya kepada siswa tentang apa yang mereka pahami dan yang belum mereka pahami dari pembelajaran yang telah dilakukan. Untuk mengukur kemajuan belajar siswa, maka perlu dilakukan evaluasi yang berbentuk tes ataupun non-tes maupun umpan balik. Dimyati dan Mudjiono 2006: 221 memaparkan evaluasi pembelajaran sebagai suatu proses untuk menentukan nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian 32 danatau pengukuran yang mencakup pembuatan pertimbangan tentang nilai atau manfaat program, hasil, dan proses pembelajaran. Hasil evaluasi harus diberitahukan kepada siswa. Setelah melakukan evaluasi maka akan muncul dua kemungkinan yaitu siswa telah mencapai tujuan pembelajaran sehingga materi pembelajaran dilanjutkan ke materi selanjutnya atau siswa belum mencapai tujuan pembelajaran sehingga materi pembelajaran harus diulang kembali. 5. Hambatan-hambatan dalam Pembelajaran pada Pendidikan Inklusif Hambatan belajar dapat dipahami dari dua dimensi yaitu dimensi proses dan dimensi produk. Dalam dimensi proses, Sunardi dan Sunaryo 2007: 8 menafsirkan hambatan belajar sebagai gangguan dalam pemrosesan informasi karena faktor internal ataupun eksternal, sehingga individu gagal dalam mengubah suatu kejadian tertentu menjadi suatu bentuk kognitif sesuai dengan aturan-aturan tertentu. Dalam dimensi produk, Sunardi dan Sunaryo 2007: 9 juga menjelaskan, hambatan belajar merupakan suatu bentuk kegagalan individu dalam mencapai prestasi sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, atau dengan kata lain kegagalan individu dalam meraih tujuan belajar yang diharapkan kepadanya. Dari dua dimensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hambatan belajar merupakan kegagalan individu dalam memproses informasi atau dalam mencapai suatu prestasi tertentu sebagai akibat dari faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal, faktor eksternal, atau interaksi keduanya. Akibat 33 dari kelainan yang dialami, anak berkebutuhan khusus rentan terhadap munculnya berbagai hambatan dalam belajar. Perbedaan faktor yang dialami tiap anak berkebutuhan khusus juga membuat hambatan tiap anak menjadi beragam tergantung pada jenis kelainannya, lingkungan, serta hasil interaksi antara keduanya sehingga hambatan yang dialami tiap anak bersifat unik atau khas. Pekerjaan sebagai guru memiliki banyak tantangan. Tantangan tersebut berupa usaha untuk mengetahui dan mengorganisasi minat siswa, serta mengelola pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan bagi siswa. Apa yang harus diajarakan, materi apa yang dibahas, darimana sumber belajar diperoleh, bagaimana mengajar kelas yang siswanya beragam, serta bagaimana merancang pembelajaran yang ramah juga menjadi tantangan bagi guru dalam mengajar siswa di kelas. Kegiatan kelas yang dikelola dengan teratur akan membantu siswa untuk dapat bekerja dengan cepat dan bermakna. Disamping itu, siswa hendaknya dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kelas. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengajarkan rasa tanggung jawab kepada siswa serta membantu guru dalam mengelola kelas. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, Dimyati dan Mudjiono 2006: 235 mengungkapkan bahwa ditemukan hal-hal seperti guru telah mengajar dengan baik dan siswa yang belajar dengan giat, namun ada juga siswa yang belajar dengan setengah hati, ada siswa yang pura-pura belajar, bahkan ada pula siswa yang tidak belajar. Oleh karena itu, guru 34 hendaknya memahami bahwa dalam kegiatan pembelajaran ternyata ada hambatan-hambatan belajar yang dialami oleh siswa. Bahkan guru hendaknya juga memahami bahwa kondisi lingkungan siswa juga dapat menjadi sumber timbulnya hambatan-hambatan belajar. Hambatan tersebut muncul karena ketidaksiapan siswa untuk belajar sesuatu atau ketidaksiapan dalam merespon situasi yang dihadapkan kepada siswa tersebut. Pada ABK, ketidaksiapan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor fisik, mental, emosi, dan sosial anak serta faktor lain dari lingkungan, budaya, maupun ekonomi. Secara umum, hambatan belajar yang dialami oleh ABK meliputi keterampilan motorik, bahasa, kognitif, persepsi, emosi, dan perilaku adaptif. Pada anak yang telah mengikuti pendidikan di sekolah, hambatan tersebut dapat ditinjau dari aspek kemampuan akademiknya seperti dalam hal membaca, menulis, ataupun berhitung. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi proses belajar yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Dimyati dan Mudjiono 2006: 260 memaparkan faktor intern berasal dari siswa yang meliputi: 1 sikap terhadap belajar; 2 motivasi belajar; 3 konsentrasi belajar; 4 kemampuan mengolah bahan pelajaran, menyimpan perolehan hasil belajar, dan menggali hasil belajar yang telah tersimpan; 5 kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar; 6 rasa percaya diri; 7 intelegensi dan keberhasilan belajar; 8 kebiasaan belajar; dan 9 cita-cita siswa. Faktor ekstern belajar meliputi: 1 guru sebagai pembina belajar; 2 sarana dan 35 prasarana pembelajaran; 3 kebijakan penilaian; 4 lingkungan sosial siswa di sekolah; dan 5 kurikulum sekolah. Pada dasarnya hambatan belajar dapat terjadi oleh beberapa faktor. Menurut Abdul Majid 2006: 232, faktor faktor tersebut dapat digolongkan atas faktor yang bersumber dari siswa, dari lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah serta masyarakat. Yang termasuk dalam faktor yang bersumber dari siswa itu sendiri meliputi: 1 tingkat kecerdasan siswa yang rendah; 2 kesehatan siswa yang sering terganggu; 3 organ penglihatan atau pendengaran yang kurang berfungsi dengan baik; 4 gangguan alat perseptual yang artinya adalah tanggapan yang diterima oleh alat indera tidak dapat diartikan sebagaimana mestinya oleh siswa; dan 5 siswa tidak menguasai cara-cara belajar yang baik. Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga meliputi: 1 kemampuan ekonomi orang tua yang kurang memadai; 2 anak kurang mendapat perhatian dan pengawasan dari orang tuanya; 3 harapan orang tua yang terlalu tinggi pada anak; dan 4 orang tua yang pilih kasih terhadap anaknya. Faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah meliputi: 1 kurikulum yang kurang sesuai; 2 guru kurang menguasai materi pelajaran; 3 metode yang digunakan untuk mengajar kurang sesuai; dan 4 alat-alat atau media pengajaran yang kurang memadai. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, hambatan lain yang dialami oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran yaitu dalam hal pengelolaan kelas. Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain 2013: 36 173, pengelolaan kelas merupakan masalah tingkah laku yang kompleks dan guru menggunakannya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efisien dan memungkinkan siswa dapat belajar dengan baik. Menurut Made Pidarta Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2013: 195 hambatan dalam pengelolaan kelas yang berhubungan dengan tingkah laku siswa diantaranya adalah: a. Kurang kesatuan karena adanya kelompok-kelompok, klik-klik, dan pertentangan jenis kelamin. b. Tidak ada standar perilaku dalam bekerja kelompok, misalnya ribut, bercakap-cakap, pergi ke sana ke mari, dan sebagainya. c. Reaksi negatif terhadap anggota kelompok, misalnya bermusuhan, mengucilkan, merendahkan kelompok bodoh, dan sebagainya. d. Kelas mentoleransi kekeliruan-kekeliruan temannya yaitu menerima dan mendorong perilaku siswa yang keliru. e. Mudah mereaksi negatifterganggu, misalnya bila didatangi monitor, tamu-tamu, iklim yang berubah, dan sebagainya. f. Moral rendah, permusuhan, agresif, misalnya dalam lembaga dengan alat-alat belajar kurang, kekurangan uang, dan sebagainya. g. Tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah, seperti tugas-tugas tambahan, anggota kelas yang baru, situasi baru, dan sebagainya. Dari sisi guru sebagai pembelajar, maka peranan guru dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam pembelajaran merupakan prasyarat terlaksananya siswa dapat belajar. Guru sebagai pembelajar memiliki kewajiban untuk mencari, menemukan, dan diharapkan dapat memecahkan hambatan-hambatan belajar siswa. J. David Smith 2006: 46 mengungkapkan bila hambatan dipandang sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu siswa, pikiran kita mungkin berubah sekaligus merefleksikan keterbukaan dan penerimaan yang lebih besar 37 bagi seseorang, serta optimisme yang lebih besar dalam memperlakukan para penyandang hambatan dengan lebih santun.

C. Pertanyaan Penelitian