Teori Cash Holding Landasan Teori

Marfuah dan Zulhilmi 2014 menyatakan bahwa net working capital mampu berperan sebagai subsitusi terhadap cash holding suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam mengubah net working capital ke dalam bentuk kas saat perusahaan memerlukannya. Tetapi, menurut Jinkar 2013 tidak setiap saat aset lancar selain kas dapat menjadi subsitusi bagi kas. Pada beberapa kondisi khusus sebagai contoh pada saat krisis, aset lancar tidak dapat dengan mudah diubah menjadi kas. Oleh karena itu, manajer perusahaan biasanya akan membuat cadangan kas yang tinggi pula untuk menjaga likuiditas meskipun net working capital perusahaan juga tinggi.

3. Cash Conversion Cycle

Syarief dan Wilujeng 2009 mendefinisikan cash conversion cycle CCC sebagai waktu dalam satuan hari yang diperlukan untuk mendapatlan kas dari hasil operasi perusahaan yang berasal dari penagihan piutang ditambah penjualan persediaan dikurangi dengan pembayaran utang. Cash conversion cycle menunjukkan seberapa cepat perusahaan menghasilkan produknya, dari membayar biaya persediaan hingga mengumpulkan kas dari konsumen dalam bentuk pembayaran atas produk jadi. Semakin lama siklus ini terjadi, semakin besar kebutuhan pendanaan internal perusahaan untuk membayar kebutuhan bahan baku perusahaan. Siklus yang pendek, semakin cepat perusahaan akan menerima kas yang selanjutnya kas tersebut dapat digunakan untuk diinvestasikan kembali ke perusahaan. Perusahaan seharusnya memiliki jumlah persediaan sesedikit mungkin selama tidak ada kekurangan produk untuk dijual dimana akan berimbas pada hilangnya penjualan, sesedikit mungkin jumlah piutang dapat mengumpulkan piutang dengan cepat, dan sebanyak mungkin jumlah hutang yang dimiliki perusahaan dengan catatan dapat menunda pembayaran selama mungkin. Menurut Opler et al. 1999, perusahaan dengan beberapa lini produk dan perusahaan dengan persediaan barang yang siap dijual rendah memiliki siklus konversi kas pendek akan memegang aset lancar dalam jumlah yang lebih sedikit. Bigelli dan Vidal 2009 menyatakan bahwa jika perusahaan dapat mengelola siklus konversi kas mereka menjadi lebih singkat, maka mereka akan membutuhkan saldo kas dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki siklus konversi kas yang panjang.

4. Growth Opportunity

Growth Opportunity kesempatan pertumbuhan merupakan suatu perpaduan antara kemungkinan peluang investasi di masa depan dengan aktiva nyata yang dimiliki oleh suatu perusahaan William dan Fauzi, 2013. Myers 1977 dalam Jinkar 2013 mengungkapkan bahwa growth opportunity perusahaan berhubungan dengan tingkat leverage yang digunakan oleh perusahaan. Perusahaan yang memiliki growth opportunity biasanya memiliki informational disadvantage yang berakibat pembiayaan eksternal menjadi lebih mahal. Financial distress cost menjadi lebih tinggi karena growth opportunity memiliki nature intangible dan nilainya cepat hilang saat terjadi financial distress. Oleh karena itu, perusahaan dengan growth opportunity menggunakan aset likuid seperti kas sebagai polis asuransi untuk mengurangi kemungkinan munculnya financial distress dan untuk mengambil kesempatan investasi yang baik terlebih dahulu saat pembiayaam eksternal mahal. Sesuai dengan pecking order theory, maka growth opportunity yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk membuat kebijakan dengan lebih memilih memegang kas dalam jumlah yang tinggi guna membiayai kesempatan investasinya. Umumnya, suatu perusahaan menginginkan tersedianya kas untuk memenuhi kebutuhan akan proyek – proyek investasi yang menguntungkan di masa mendatang. Melalui alasan ini, maka dapat dikatakan bahwa memiliki aset dalam bentuk likuid akan lebih mengutungkan untuk perusahaan yang memiliki peluang investasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki ketidakpastian akan peluang investasi dikarenakan masalah keuangan yang dihadapinya. William dan Fauzi, 2013

5. Leverage

Purnasiwi dan Sudarno 2011 mendefinisikan leverage sebagai alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya, sedangkan perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang lebih rendah menunjukkan bahwa pendanaan perusahaan berasal dari modal sendiri. Dalam penelitian ini, digunakan leverage keuangan dimana menyangkut penggunaan dana yang diperoleh dari utang atau mengeluarkan saham preferen. Penggunaan dana tersebut menimbulkan biaya tetap yaitu bunga atau dividen. Bunga dan dividen saham preferen merupakan biaya tetap finansial yang harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat laba perusahaan. Pada pembiayaan dengan utang, suku bunga yang digunakan adalah suku bunga tetap. Hutang yang digunakan pada umumnya merupakan utang jangka panjang atau berupa obligasi. Ferreira dan Vilela 2004 berpendapat bahwa jumlah utang akan meningkat ketika kebutuhan investasi melebihi laba ditahan yang dimiliki perusahaan dan akan menurunkan ketika kebutuhan investasi kurang dari laba laba yang ditahan perusahaan. Perusahaan dengan rasio utang yang tinggi memiliki cadangan kas yang rendah dikarenakan mereka harus membayar cicilan utang mereka ditambah dengan bunganya Opler et al, 1999. Jadi, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan memiliki cash holding yang rendah.

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian Wiiliam dan Fauzi 2013 yang berjudul “Analisis Pengaruh Growth Opportunity, Net Working Capital, dan Cash Conversion Cycle