Efektivitas serbuk buah kepel (Stelechocarpus burahol) dalam menurunkan kadar amonia, trimetilamin dan fenol pada feses mencit (Mus musculus)

(1)

Fructus Simplicia on Reducing Ammonia, Trimethylamine, and Phenol Content in Mice (Mus musculus) Faecal. Supervised by HERA MAHESHWARI and SITI SA’DIAH.

Kepel (Stelechocarpus burahol) was a fruit which found in Indonesia and it was believed can reduce the odor from excreta such as faeces and urine. This research was aimed to show the effect of kepel (Stelechocarpus burahol) fructus simplicia on reducing odor emitted from excreta by ammonia, trimethylamine, and fenol content in mice faecal. Total of 18 mices (Mus musculus) were used in this study. They were devided into 2 groups; negative control group and kepel fruits peel powder treated group. The dose of kepel was 2,6 mg/ gram body weight and was given orally every day for seven days. The collected faeces was analyzed for ammonia and trymethylamine content by titration methode and for phenol content by using spectrophotometry methode. The result showed that kepel signifficantly reduce ammonia content 75,5% and phenol content 42,4 % in faeces after seven days, but it has not signifficant for trimethylamine content.


(2)

DAN FENOL PADA FESES MENCIT (

Mus musculus)

NUR ADILLA ADHA PURBA

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(3)

Fructus Simplicia on Reducing Ammonia, Trimethylamine, and Phenol Content in Mice (Mus musculus) Faecal. Supervised by HERA MAHESHWARI and SITI SA’DIAH.

Kepel (Stelechocarpus burahol) was a fruit which found in Indonesia and it was believed can reduce the odor from excreta such as faeces and urine. This research was aimed to show the effect of kepel (Stelechocarpus burahol) fructus simplicia on reducing odor emitted from excreta by ammonia, trimethylamine, and fenol content in mice faecal. Total of 18 mices (Mus musculus) were used in this study. They were devided into 2 groups; negative control group and kepel fruits peel powder treated group. The dose of kepel was 2,6 mg/ gram body weight and was given orally every day for seven days. The collected faeces was analyzed for ammonia and trymethylamine content by titration methode and for phenol content by using spectrophotometry methode. The result showed that kepel signifficantly reduce ammonia content 75,5% and phenol content 42,4 % in faeces after seven days, but it has not signifficant for trimethylamine content.


(4)

(Stelechocarpus burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin dan Fenol pada Feses Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan SITI SA’DIAH.

Kepel (Stelecocharpus burahol) atau burahol merupakan salah satu jenis buah yang hanya ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum dibudidayakan. Secara tradisional, kepel dipercaya memiliki banyak khasiat bagi tubuh. Buah ini dipercaya dapat digunakan untuk mengurangi bau badan, bau nafas, dan bau air seni.

Mencit merupakan salah satu hewan yang sering dijadikan sebagai hewan coba laboratorium karena mencit merupakan hewan yang memiliki kemampuan berkembang biak yang sangat tinggi. Selain itu, mencit juga mudah dipelihara dan reaksi obat yang diaplikasikan ke tubuhnya akan memperlihatkan efek yang cepat. Salah satu masalah yang sering muncul di laboratorium yang menjadikan mencit sebagai hewan coba adalah bau ekskreta yang dihasilkan oleh mencit (feses). Bau ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi kesehatan manusia maupun hewan itu sendiri sehingga berdampak pada hasil penelitian yang dihasilkan. Feses yang ditimbulkan dari kotoran berasal dari aktivitas mikroba pada saluran pencernaan yang menghasilkan produk amonia, trimetilamin, senyawa dekomposisi usus (indol, skatol, kresol, fenol, tiol) dan metil merkaptan yang berpotensi menimbulkan bau. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan efek pemberian serbuk buah kepel terhadap penurunan kadar amonia, trimetilamin dan fenol pada feses mencit.

Total mencit yang digunakan berjumlah 18 ekor yang dikelompokkan menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu kelompok yang diberi serbuk buah kepel dan kelompok yang diberi akuades sebagai kontrol negatif. Dosis yang diberikan adalah 2,6 mg/ gram berat badan melalui oral selama 7 hari. Feses yang diekskresikan dikumpulkan kemudian dianalisa dengan metode titrasi untuk mengetahui jumlah amonia dan trimetilamin, dan menggunakan spektrofotometri untuk mengetahui jumlah fenol.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian serbuk buah kepel pada mencit selama 7 hari dapat menurunkan kadar amonia dalam feses sebesar 75,5%, kadar fenol sebesar 42,4% dan kadar trimetilamin sebesar 75% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, penurunan kadar trimetilamin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.


(5)

DALAM MENURUNKAN KADAR AMONIA, TRIMETILAMIN DAN FENOL PADA FESES MENCIT (Mus musculus)

NUR ADILLA ADHA PURBA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

mencit (Mus musculus)

Nama : Nur Adilla Adha Purba

NRP : B04070154

Disetujui

Dr.drh. Hera Maheshwari, M.Sc Pembimbing I

Siti Sa’diah, S.Si, M.Si Pembimbing II

Diketahui Atas nama Dekan

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efektivitas Serbuk Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin dan Fenol pada Feses Mencit adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun karya yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Nur Adilla Adha Purba B04070154


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

hati dan Maha Pemberi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada penutup para Nabi dan Rasul, kepada keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya dengan sepenuh ihsan hingga hari akhir. Judul skripsi ini adalah Efektivitas Serbuk Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin dan Fenol pada Feses Mencit (Mus musculus) yang dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi dan Laboratorium Kimia Analitik IPB pada bulan April hingga Oktober 2010.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc,

Siti Sa’diah, S.Si, Apt, M.Si, dan drh. Huda S. Darusman, M.Si yang telah tulus membimbing sejak penelitian dimulai hingga penulisan skripsi ini selesai. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D., PAVet(K) sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing selama masa pendidikan program sarjana di FKH IPB. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada laboran Bapak Edi dan Ibu Anty yang telah banyak membantu pada penelitian ini, kepada teman-teman satu penelitian (Andrini Aditya Wardhani, Gita Alvernita, dan Azrul Zulmy) atas kerjasama, suka duka, dan canda ria selama penelitian. Semoga Allah SWT membalas kebaikannya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan untuk Papa (Effendy Purba), Mama (Siti Amaliah), Kakak (Putri Riszkiyah Purba Sari) dan Adik (Agung Mohammad Irsyad Purba) yang senantiasa memberikan doa restu dan semangat yang tiada hentinya.

Terima kasih penulis sampaikan untuk keluarga besar DKM An Nahl FKH IPB (Budiman Jaya, Arief Purwo Mihardi, Sinta Mutia Harpa, Endah Mulia Ningsih, Zulinarti, Prastiwi Febriana, Dwiati Nirvana Bahari, Trismawati Wahid), teman-teman “power ranger” (Turman, Moro, Dimas, dan Widy), juga teman-teman Al-Iffah IPB, Salimah 1432 H (Mba Fat, Mba Jatil, Endang, Dee, Latifah Hanum, Age, Wawat, Tanti, Destia Harum, Mba Srie, Lina, Nida, Linda, Aslimah), dan Gianuzzi 44 atas ukhuwah yang sangat luar biasa.

Penulis menyadari segala kekurangan yang ada, akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan mohon ampun. Semoga langkah kearifan ini adalah bagian dari upaya mengharap ridha-Nya.

Bogor, Desember 2011 Nur Adilla Adha Purba


(10)

1989 dari pasangan Effendy Purba dan Siti Amaliah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Mis. Raudhatul Uluum Aek Nabara. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu, lulus pada tahun 2004. Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 3 Rantau Utara. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten pada mata kuliah Pengantar Agama Islam pada tahun ajaran 2008-2010 dan berhasil melaksanakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan antara lain Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Himpunan Mahasiswa Labuhan Batu (HIMLAB), LDF DKM An Nahl FKH IPB pada tahun 2007-2011, dan Himpro Ruminansia FKH IPB tahun 2008-2010.


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan dan Manfaat ... 2

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kepel (Stelechocarpus burahol) ... 4

Deodoran Oral ... 6

Amonia dan Volatil Amin ... 8

Fenol dan Indol dalam Feses ... Mencit (Mus musculus) ... 10 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Penelitian ... 15

Persiapan Hewan Coba ... 15

Pencekokan Serbuk Buah Kepel ... ... 15

Penentuan Kadar Amonia ... 15

Penentuan Kadar Trimetilamin ... Penentuan Kadar Fenol ... ... 16 17 Analisis Data ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 26

Saran ... 26


(12)

Halaman 1 Pohon, dan dan buah kepel ...5 2 Mencit (Mus musculus) ...12 3 Kadar amonia pada feses mencit akibat pemberian serbuk buah kepel ...20 4 Kadar trimetilamin pada feses mencit akibat pemberian serbuk buah

kepel ... 22


(13)

Halaman

1 Pengaruh amonia terhadap manusia dan ternak ...9

2 Konsentrasi amonia dalam feses mencit ...20

3 Konsentrasi trimetilamin dalam feses mencit ...21


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan negara lain yang terletak pada daerah subtropis dan daerah kutub. Baik hewan dan tumbuhan yang endemik maupun yang langka dan memiliki sifat unggul serta potensial untuk dikembangkan banyak ditemukan di Indonesia. Pengembangan ini tentu akan memberikan dampak positif di berbagai bidang, salah satunya adalah bidang tanaman obat untuk manusia, hewan dan lingkungan.

Kepel (Stelecocharpus burahol) atau burahol merupakan salah satu jenis buah yang hanya ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum dibudidayakan. Tanaman ini bahkan dimasukkan pada kategori buah yang langka dan akan punah jika masih belum ada tindakan berarti yang dilakukan pada tanaman ini. Secara tradisional, kepel dipercaya memiliki banyak khasiat bagi tubuh. Buah ini dipercaya dapat dijadikan sebagai pengharum bau badan, bau nafas, dan bau air seni. Selain itu, kepel juga dapat digunakan sebagai pencegah radang ginjal dan peluruh air seni. Penelitian-penelitian yang sudah berjalan membuktikan bahwa kepel mengandung zat antioksidan yang tinggi dan daunnya dapat digunakan untuk mengatasi asam urat dan menurunkan kadar fenol (INN 2002).

Mencit merupakan salah satu hewan yang sering dijadikan sebagai hewan coba laboratorium karena mencit merupakan hewan yang memiliki kemampuan berkembang biak yang sangat tinggi. Selain itu, mencit juga mudah dipelihara dan reaksi obat yang diaplikasikan ke tubuhnya akan memperlihatkan efek yang cepat. Salah satu masalah yang sering muncul di laboratorium yang menjadikan mencit sebagai hewan coba adalah bau ekskreta yang dihasilkan oleh mencit (feses). Bau yang diperantarai oleh senyawa-senyawa tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi kesehatan manusia maupun hewan itu sendiri sehingga berdampak pada hasil penelitian yang dihasilkan. Bau yang ditimbulkan dari kotoran berasal dari aktivitas mikroba pada saluran pencernaan yang menghasilkan produk


(15)

amonia, trimetilamin, senyawa dekomposisi usus (indol, skatol, kresol, fenol, tiol) dan metil merkaptan yang berpotensi menimbulkan bau. Khusus senyawa amonia, selain menyebabkan bau, emisi senyawa ini juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan terutama pada saluran pernafasan (Setiawan 1996).

Salah satu cara yang dilakukan untuk mengurangi bau badan adalah dengan menggunakan deodoran. Deodoran yang diberikan secara topikal berfungsi untuk menghambat laju pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bau badan. Selain deodoran topikal, penggunaan deodoran juga dapat dilakukan secara oral. Deodoran oral merupakan deodoran yang diaplikasikan melalui makanan atau pakan yang berbasis herbal dan secara efektif dapat mengurangi bau pada ekskreta tubuh termasuk urine dan feses. Selain menurunkan bau pada feses, deodoran oral juga mampu meningkatkan populasi bakteri bifidobakter yang akan menurunkan populasi bakteri penghasil dekomposisi usus, sehingga bau dapat berkurang (Yamakoshi et al. 2001).

Berdasarkan khasiat yang ada pada buah kepel, tidak menutup kemungkinan jika kepel dapat dikembangkan menjadi sediaan deodoran oral yang diberikan pada hewan laboratorium guna menurunkan bau yang dihasilkan melalui ekskreta dan menurunkan jumlah senyawa dekomposisi usus yang bersifat karsinogenik. Pemberian deodoran oral juga dapat diaplikasikan pada hewan kesayangan, ternak, maupun unggas. Pemberian ini diharapkan dapat mengurangi bau emisi yang dihasilkan oleh feses hewan.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh pemberian serbuk daging buah kepel yang diaplikasikan sebagai deodoran oral terhadap bau pada feses mencit yang diperantarai oleh senyawa amina (amonia dan trimetilamin) dan fenol. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk mengawali proses perkembangan deodoran oral herbal untuk meningkatkan manajemen kesehatan pada hewan laboratorium dan juga sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan keinginan masyarakat untuk membudidayakan tanaman kepel.


(16)

1.3 Hipotesis

Hipotesis nol (H0) pada pengujian serbuk buah kepel sebagai deodoran oral diartikan apabila serbuk buah kepel tidak mampu untuk menurunkan bau yang dihasilkan melalui eksreta melalui perhitungan jumlah amonia, trimetilamin dan fenol. Sedangkan hipotesis satu (H1) diartikan apabila serbuk buah kepel mampu menurunkan bau yang dihasilkan ekskreta melalui perhitungan jumlah amonia, trimetilamin dan fenol.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepel (Stelechocarpus burahol)

Kepel (Stelechocarpus burahol) dikenal oleh masyarakat Jawa dengan sebutan kepel, kecindul atau cindul, sedangkan untuk daerah Pasundan dikenal dengan nama burahol. Pohon ini memiliki taksonomi sebagai berikut:

kingdom : Plantae famili : Annonaceae genus : Stelechocarpus

spesies : Stelechocarpus burahol (Blume) Hook F. & Thomson

Pohon kepel merupakan pohon tradisi yang erat dengan adat Jawa, terutama di daerah Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Konon jaman dahulu kepel hanya boleh ditanam oleh Bangsawan atau Pejabat Tinggi Keraton yang menunjukkan kewibawaan pejabat tinggi saat itu, dalam arti dapat memimpin punggawa keraton dengan baik. Ada juga yang mengartikan bahwa orang yang memiliki pohon kepel adalah bangsawan yang dekat atau kepercayaan raja (Sunarto 1992).

Buah kepel berbentuk bulat dengan pangkal meruncing seperti buah buni dan berwarna coklat tua dan menempel pada batang. Daging buah rasanya manis dan berair. Setiap buah memiliki biji yang keras sebanyak 4-6 biji, karena kulit biji sangat keras maka untuk perkecambahan (perkembangbiakannya) membutuhkan perlakuan mekanis. Ketinggian pohonnya dapat mencapai 15-20 meter dengan diameter batang 60 cm. Batang berwarna pepagan cokelat tua dengan permukaan tidak merata karena bekas tempat bunga dan buah keluar. Daunnya berbentuk elip-lonjong hingga bundar-lanset dengan panjang 12-27 cm dan lebar 5-9 cm. Bunga jantan terdapat pada batang bagian atas dan cabang lebih tua, dan bunga betina terdapat pada batang bagian bawah (BKKHN 2011).

Kepel merupakan bagian dari famili Annonaceae dengan nama latin Stelechocarpus burahol, dapat tumbuh di daerah yang memiliki ketinggian 150-300 meter di atas permukaan laut dan berbunga setelah berumur 8 tahun pada bulan September-Oktober, namun buah dapat dipanen selama 6 bulan setelah berbunga yaitu pada bulan Maret-April. Di Jawa, tanaman ini sudah jarang


(18)

ditemukan karena isi buah yang sebagian besar adalah biji sehingga tidak ada orang yang tertarik untuk membudidayakannya dan juga karena adanya sistem kepercayaan yang menganggap bahwa pohon ini hanya layak ditanam oleh warga keraton. Bagian pohon ini terdiri dari biji, buah, daun dan kayu yang secara keseluruhan mempunyai nilai manfaat yang besar. Buahnya dapat dimakan segar dan berkhasiat sebagai bahan obat maupun kosmetika. Daging buahnya yang berwarna jingga dan mengandung sari buah telah memberikan aroma seperti bunga viola pada ekskresi tubuh. Selain itu, buah ini dipercaya memiliki banyak khasiat. Daging buah kepel dapat memperlancar air kencing dan mencegah inflamasi ginjal (INN 2002).

Gambar 1 Pohon, daun dan buah Kepel (TO 2008).

Daging buah kepel ini digunakan oleh para wanita bangsawan di Jawa sebagai parfum . Kayunya dapat digunakan sebagai bahan industri atau bahan perabot rumah tangga dan bahan bangunan yang tahan lebih dari 50 tahun. Daun kepel bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat. Lalap daun kepel mampu menurunkan kadar kolesterol. Di samping itu pohon kepel juga


(19)

mempunyai nilai estetika sebagai tanaman hias berpotensial, daunnya yang muncul secara serentak berubah dari merah muda pucat menjadi merah sebelum berubah lagi menjadi hijau cemerlang. Pohonnya berbentuk piramid dengan banyak cabang lateral yang tersusun secara sistematik, dan sifatnya yang kaulifor (cauliflory) menambah keindahannya (Sunarto 1992).

2.2 Deodoran Oral

Odoran yang dihasilkan dari aktivitas tubuh berasal dari makanan, tubuh hewan, urine dan feses atau campuran dari keduanya. Tetapi bau yang paling signifikan berasal dari ekskreta seperti urine dan feses (Phung et al. 2005). Dari tubuh sendiri, kelenjar apokrin merupakan kelenjar yang berperan untuk menghasilkan keringat. Permasalahan bau badan pada manusia umumnya berasal dari sekresi apokrin yang difermentasi oleh bakteri aksiler sehingga menimbulkan bau yang sangat menyengat (Yamakoshi et al. 2002).

Bau pada ekskreta tubuh, seperti urine dan feses dapat disebabkan karena aktivitas mikroba saluran pencernaan yang menghasilkan nitogen volatil (amonia), senyawa amina (trimetilamin), senyawa produk dekomposisi usus (indol, skatol, kresol, fenol, tiol) dan senyawa sulfida (metil merkaptan) (Curtis et al. 2004). Curtis juga telah mengelompokkan odoran-odoran yang dihasilkan tubuh yaitu amonia dan volatil amin, komponen sulfur, volatile fatty acid (VFA) pada ruminansia, indol dan fenol, alkohol, dan karbonil (Curtis 1993).

Senyawa-senyawa odoran dapat bersumber dari pakan yang dimakan sehari-hari. Perbedaan pola makan yang terdapat di berbagai daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah senyawa odoran yang dihasilkan (Phung et al. 2005). Faktor lain yang sangat mempengaruhi konsentrasi senyawa odoran adalah komposisi pakan dan faktor lingkungan.

Banyak cara yang dilakukan agar dapat menghilangkan bau badan, salah satunya adalah dengan menggunakan deodoran. Deodoran saat ini bekerja dengan dua cara, yaitu menutup bau dan mengikat senyawa penghasil bau . Umumnya, deodoran diaplikasikan secara topikal pada permukaan tubuh yang banyak mengeluarkan keringat seperti aksila. Deodoran yang diberikan secara topikal tersebut berfungsi untuk menghambat laju pertumbuhan mikroorganisme. Selain


(20)

deodoran topikal, penggunaan deodoran juga dapat dilakukan secara oral. Deodoran oral merupakan deodoran yang diaplikasikan melalui makanan atau pakan yang berbasis herbal dan secara efektif dapat mengurangi bau pada ekskreta tubuh termasuk urine dan feses (Yamakoshi et al. 2002).

Deodoran oral yang efektif dan ekonomis dalam mengurangi bau ekskreta telah dipatenkan oleh Yamakoshi et al. (2002), yakni dengan mengombinasikan proantosianidin dari ekstrak biji anggur dan ekstrak jamur champignon. Perpaduan kedua zat ini secara signifikan mampu menurunkan bau dari ekskreta. Efektivitas pengujian yang dilakukan adalah uji organoleptik, pengukuran kadar metil merkaptan, amonia, metil-amin, dan aktivitas mikroba bifidobakter serta produk dekomposisi usus (Yamakoshi et al. 2002).

Deodoran oral bekerja secara efektif menurunkan zat-zat yang menyebabkan bau tubuh seperti metil merkaptan, amonia dan metil-amin yang diekskresikan oleh tubuh. Selain itu, deodoran oral juga dapat meningkatkan aktivitas bifidobakteri sebagai mikroflora normal usus dalam menekan populasi enterobakter. Peningkatan aktivitas tersebut ditandai dengan meningkatnya populasi bakteri sehingga dapat mendegradasi produk-produk dekomposisi usus yaitu fenol, kresol, indol, dan skatol yang terdapat dalam feses (Yamakoshi et al. 2002).

Usaha lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan produksi senyawa odoran adalah dengan memberikan diet yang berfokus pada jumlah protein pakan. Semakin tinggi kandungan protein pada pakan maka akan semakin menaikkan jumlah senyawa odoran yang dihasilkan. Selain memberikan diet yang berfokus pada protein, pemberian feed additive pada pakan merupakan hal yang dapat mengurangi senyawa odor dari hewan. Prinsip yang digunakan oleh feed additive untuk mengurangi produksi senyawa odoran adalah dengan mengubah jumlah mikroflora yang terdapat dalam saluran pencernaan, merubah pH sehingga kondisi menjadi kurang baik untuk senyawa odoran, dan dengan menyerap odor (Ritter 1989).

Menurut Canh et al. (1998), mengubah pH merupakan prinsip yang banyak diperhatikan oleh para peneliti. Pada pH rendah, amonia akan membentuk ion amonium sehingga emisi amonia akan berkurang. Beberapa garam yang


(21)

ditambahkan pada pakan untuk mengurangi emisi amonia dengan cara menurunkan nilai pH adalah garam yang mengandung Ca seperti CaSO4, CaCl2,

dan kalsium benzoat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian garam ini dapat mengurangi emisi gas amonia sebesar 30%, 33% dan 54%. Namun pada pH rendah, emisi amonia akan berkurang tetapi kondisi ini dapat menambah emisi hidrogen sulfida. Hal ini menunjukkan bahwa mengurangi senyawa odor dengan cara mengubah pH merupakan cara yang belum terevaluasi dengan hasil yang baik.

2.3 Amonia dan Volatil Amin

Kotoran merupakan sisa dari makanan yang tidak dicerna dan mengandung protein, lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. Amonia yang merupakan salah satu hasil dekomposisi protein adalah gas alkalin yang mempunyai daya iritasi tertinggi dan dapat dihasilkan juga melalui dekomposisi senyawa organik. Dari kotoran yang berkaitan dengan nitrogen inilah menjadi sumber bagi mikroorganisme yang menghasilkan gas amonia, nitrit, nitrat dan sulfida yang menyebabkan bau.

Amonia dan volatil amin merupakan senyawa yang memiliki bau tajam dan dapat bersumber dari urea (Spoelstra 1980). Konsentrasi amonia pada kandang domba mencapai 8 ppm, pada kandang babi mencapai 5-18 ppm, dan pada kandang unggas mencapai 5-30 ppm. Salah satu penelitian di USA juga melaporkan bahwa amonia dengan konsentrasi sebesar 7 ppm sudah dapat menyebabkan gejala klinis pada pekerja (Donham et al. 1989). Hewan babi, ayam pedaging dan ayam petelur akan merasakan gangguan jika konsentrasi amonia mencapai 20 ppm (Wathes et al. 2002).

Amonia yang muncul pada feses banyak bersumber dari pemecahan urea. Urea dibentuk di hati sebagai produk akhir dari metabolisme protein dan akan diekskresikan melalui urine. Urea yang terdapat pada urine dan berkontak langsung dengan feses akan mengalami proses hidrolisis oleh enzim urease yang terdapat pada feses. Hal ini menyebabkan urea akan berubah menjadi ion amonium dan beberapa ion amonium ini akan diubah menjadi amonia bebas (Aarnink et al. 1993). Jumlah amonia yang diemisikan ke udara bergantung pada


(22)

konsentrasi amonia, pH, dan suhu. Jumlah amonia akan bertambah jika pH feses semakin besar. Feses yang memiliki pH sekitar 7 maka amonia akan muncul sebagai ion amonium dan kondisi ini dapat mengurangi volatilitas gas amonia (Aarnink 1997).

Diantara gas-gas yang diekskresikan melalui feses, gas yang paling banyak menimbulkan masalah bagi kesehatan dan produktifitas adalah gas amonia. Menurut H. Setiawan 1996, pengaruh yang ditimbulkan dari berbagai kadar amonia terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1 Pengaruh amonia terhadap manusia dan ternak

Kadar amonia (ppm) Gejala/pengaruh yang ditimbulkan pada manusia dan ternak

5 Kadar paling rendah yang tercium baunya

6 Mulai timbul iritasi pada mukosa mata dan saluran nafas

11 Penurunan produktifitas ternak

25 Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 8 jam

35 Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 10 menit

40 Mulai menyebabkan sakit kepala, mual, dan hilang nafsu makan pada manusia

50 Penurunan drastis pada produktivitas ternak dan juga terjadi pembengkakan bursa fabricious pada ayam

Sumber: Setiawan (1996)

Volatil amin yang merupakan senyawa odoran yaitu metilamin, trimetilamin, etilamin, cadaverin, dan putrescin (Phung et al. 2005). Trimetilamin merupakan basa nitrogen volatil yang sangat mudah menguap, sehingga tidak jarang trimetilamin digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kesegaran suatu makanan, terutama pada ikan dengan menghitung nilai total volatil nitrogen (TVN). Pada proses pembusukan ikan, trimetilamin dihasilkan melalui aktivitas bakteri proteolitik dalam menguraikan protein menjadi senyawa protein yang lebih sederhana dan mereduksi trimetilamin oksida menjadi trimetilamin. Semakin tinggi aktivitas bakteri maka semakin tinggi nilai TVN (Siagian 2002).


(23)

Volatil amin merupakan senyawa yang didapatkan melalui metabolisme kandungan protein yang terjadi pada kondisi anaerobik. Volatil amin diproduksi melalui reaksi dekarboksilasi dari asam amino. Selain itu, volatil amin juga dapat diproduksi melalui proses aminasi dari aldehid dan reaksi demetilasi dari senyawa kolin (Drasar & Hill 1974).

2.4 Fenol dan Indol dalam Feses

Fenol merupakan salah satu zat metabolik toksik hasil fermentasi protein oleh bakteri pembusuk yang ada dalam usus. Selain fenol, zat metabolik toksik hasil fermentasi protein adalah amoniak dan senyawa amina, hidrogen sulfida, histamine, nitrosamin, kresol, indol dan skatol, esterogen, dan lain-lain. Fenol dan kresol merupakan hasil degradasi tirosin oleh mikroba di saluran pencernaan hewan. Tirosin akan dideaminasi membentuk 4-hydroxyphenylpropionic acid. Senyawa ini akan mengalami dekarboksilasi membentuk 4-ethylphenol kemudian dioksidasi menjadi 4-hydroxyphenylacetic acid. Setelah itu, senyawa ini akan mengalami dekarboksilasi kembali menjadi p-kresol dan dioksidasi menjadi 4-hydroxybenzoic acid, kemudian senyawa inilah yang juga akan mengalami dekarboksilasi membentuk fenol. Seluruh proses ini juga dipengaruhi oleh peran bakteri Clostridium dan Escherichia coli (Drasar & Hill 1974).

Fenol diserap di usus besar dan mengalami detoksifikasi di hati melalui reaksi konjugasi dengan asam glukuronat menghasilkan glucuronides atau asam sulfur dan berakhir menjadi sulfat. Urine yang mengandung glucuronides jika berkontak langsung dengan feses akan dihidrolisis oleh enzim β-glucuronidase yang terdapat pada feses dan kembali membentuk fenol (Smith & Williams 1966). Pada dasarnya senyawa-senyawa ini bersifat basa karena 40-50 % padatan feses adalah bakteri. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap 300 gram feses basah terdapat 186 mg kadar amonia, 1,4 mg fenol, 12,2 mg para-kresol, 8,5 mg indol, dan 3,3 mg skatol. Selain itu juga terbentuk N-dimetilnitrosamin sekitar 0,067-0,67 mg per hari per 75 kg berat badan manusia. Proses pembusukan yang dilakukan oleh mikroba tidak hanya terjadi di usus saja, zat metabolik toksik hasil fermentasi protein juga diperoleh jika mikroba yang ada


(24)

dalam udara menyerang protein, peptida, dan asam amino pada telur, ikan, dan daging (Silalahi 2006).

Indol dan skatol adalah senyawa yang diproduksi di usus besar hewan dan merupakan hasil fermentasi dari asam amino triptophan. Senyawa ini akan diserap dan mengalami detoksifikasi di hati dan kemudian akan diekskresikan melalui urine. Bagian indol dan skatol yang tidak terserap akan dibuang melalui feses. Bakteri yang berpengaruh dalam proses fermentasi triptophan menjadi indol dan skatol adalah E.coli dan Proteus (Capel et al. 1974). Proses yang sama seperti pada fenol, indol yang terdapat pada urine apabila kontak langsung dengan feses juga akan dihidrolisis membentuk indol kembali.

Pada usus besar, triptophan diubah menjadi asam indol-3-asetik oleh bakteri E.coli terjadi melalui proses dekarboksilasi (Chung et al. 1975). Kemudian asam ini akan didegradasi oleh Lactobacillus menjadi skatol (Yokoyama & Carlson 1974). Menurut penelitian yang dilakukan Mikkelsen & Jensen (1996) ditemukan bahwa bakteri Clostridium scatologenes dapat mengubah senyawa indol secara langsung menjadi skatol.

Hasil metabolik toksik ini berbahaya bagi tubuh karena dapat menimbulkan berbagai penyakit. Hidrogen sulfida dan amonia adalah toksin yang mampu merusak lever, histamin dapat memperbesar berbagai penyakit alergi, indol dan fenol dianggap sebagai zat karsinogen (zat-zat yang dapat menyebabkan kanker). Pada kondisi konstipasi, zat-zat ini akan di absorpsi tubuh sehingga dapat menyebabkan intestinal toksemia yang dimana kondisi ini sangat berbahaya bagi penderita sirosis hati. Hal ini dikarenakan adanya kolon yang statis sehingga menyebabkan terjadinya pemecahan urea oleh bakteri yang akan mempercepat timbulnya hepatic encephalopati pada penderita sirosis hati (Silalahi 2006).

Substansi-substansi yang dihasilkan mikroba pembusuk (amonia, fenol, kresol, indol, skatol, dsb) merupakan penyebab timbulnya bau yang tidak sedap. Bau makanan yang telah basi merupakan salah satu proses alami yang didupliksi dalam sistem pencernaan oleh mikroba dalam usus, sehingga amonia, fenol, kresol, indol, dan lain-lain merupakan penyebab terjadinya bau pada feses. Semua substansi ini diproduksi secara alami dalam sistem pencernaan makanan (Silalahi 2006).


(25)

2.5 Mencit (Mus musculus)

Hewan percobaan yang sering digunakan untuk peneltian di bidang kedokteran terbagi atas 5 kelompok, yaitu hewan laboratorium berukuran kecil (mencit, tikus, kelinci), karnivora (kucing dan anjing), primata (Macaca dan babon), hewan domestik besar (domba, sapi, babi), dan kelompok hewan lainnya (unggas) (Wolfenshon & Lloyd 1998). Menurut Malole dan Parmano (1998), pemilihan hewan laboratorium untuk penelitian harus mempertimbangkan spesies dan kondisi fisiologisnya. Pada penelitian yang berkaitan dengan antraks dan rabies sebaiknya menggunakan mencit, begitu pula penelitian yang berkaitan dengan enterobaktericeae juga menggunakan mencit dan tikus sebagai hewan laboratorium. Kelinci biasa digunakan untuk penelitian hiperkolesterolemia karena peka terhadap kolesterol dan biasa menyimpan lemak tubuh dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005).

Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang sering digunakan untuk penelitian dan mempelajari teratologi, genetik, gerontologi, toksikologi, dan karsinogenitas. Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut

kingdom : Animalia

filum : Chordata subfilum : Vertebrata

kelas : Mamalia

subkelas : Theria

ordo : Rodensia

subordo : Sciurognathi

famili : Muridae

subfamili : Murinae

genus : Mus

spesies : Mus musculus (Besselsen 2004)

Penggunaan mencit sebagai hewan coba dapat dikarenakan mencit memiliki sistem manajemen pemeliharaan yang mudah sehingga dapat dipelihara dalam jumlah banyak, selain itu mencit juga memiliki variasi genetik yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya yang terkarakterisasi dengan baik


(26)

(Malole & Pramono 1989). Mencit juga memiliki potensial reproduksi yang tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka hidup yang pendek, berukuran kecil, dan harga relatif murah (Sirois 2005).

Gambar 2 Mencit (Mus musculus) (DetoxiProt 2009).

Mencit memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga mudah untuk dikendalikan. Pada bagian ekor mencit juga terdapat rambut-rambut halus yang menutupi bagian permukaannya. Mencit juga memiliki beberapa kelenjar seperti saliva, paratiroid, submaksilari, sublingual, dan kelenjar Harderian. Rata-rata umur yang dimiliki oleh mencit adalah 1 sampai 3 tahun dengan berat badan umum mencit jantan dewasa berkisar 20 sampai 40 gram dan betina 22 sampai 63 gram. Mencit memasuki usia dewasa pada umur 6 minggu dan memiliki masa kebuntingan selama 19 sampai 21 hari (Sirois 2005).


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap selama bulan April-Oktober 2010. Tahap pertama adalah proses pencekokan serbuk buah kepel dan akuades dilakukan di Bagian Farmakologi dan Toksikologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Tahap kedua adalah pengukuran dan analisis kadar amonia, trimetilamin, dan fenol pada feses yang dilaksanakan di laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia (FMIPA) IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serbuk buah kepel (Stelechocarpus burahol), akuades, dan hewan coba berupa mencit (Mus musculus) kelamin jantan dengan rerata berat 20 gram. Serbuk buah kepel yang digunakan diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka IPB. Bahan yang digunakan untuk menghitung kadar amonia dalam feses mencit adalah asam perklorat 6%, NaOH 20%, H3BO4 3%, Na2B4O7 0,02 N, dan beberapa indikator (fenolftalein,

tashiro dan metil merah). Bahan yang digunakan untuk menentukan kadar trimetilamin pada feses mencit adalah larutan TCA 7%, K2CO3, H3BO3 2%,

formalin pekat, indikator Conway, dan HCl 0,02 N. Bahan yang digunakan untuk menghitung kadar fenol pada feses adalah etanol, akuades, reagen Folin-Ciocalteau 50%, dan larutan natrium bikarbonat 5%.

Alat yang digunakan untuk menentukan kadar amonia dan trimetilamin pada feses mencit adalah buret, mikroburet, corong gelas, erlenmeyer, gelas piala, labu takar, pipet volumetrik dengan volume 0,5 ml, 1 ml, dan 2 ml, kertas saring kasar, inkubator, perangkat alat destilasi uap, cawan Conway, dan timbangan analitik dengan ketelitian 0,0001 gram. Alat yang digunakan untuk menentukan kadar fenol dalam feses mencit adalah kertas saring Whatman #42, rotavapor, spektrofotometri, dan tabung reaksi. Alat lain yang digunakan pada penelitian ini adalah spoit, sonde lambung, kandang metabolik, botol film, dan timbangan.


(28)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan Hewan Coba

Sebelum diberi perlakuan, seluruh mencit diaklimatisasi terlebih dahulu selama tujuh hari. Pada hari pertama aklimatisasi, seluruh mencit diberi obat anti cacing untuk mencegah infeksi cacing selama perlakuan. Dalam tahap aklimatisasi, mencit juga dicekok dengan akuades sebanyak 1 ml/ekor setiap hari. Hal ini dilakukan agar mencit terbiasa dengan proses pencekokan. Selain itu, mencit diberi pakan berupa pelet dan air minum secara ad libitum.

Pengujian ini dirancang untuk dua kelompok mencit, yaitu kelompok yang diberi serbuk buah kepel dan kelompok yang diberi akuades sebagai kontrol negatif dengan jumlah masing-masing kelompok sebanyak sembilan ekor mencit. Sembilan ekor mencit tersebut ditempatkan pada tiga kandang metabolik sehingga masing-masing kandang metabolik berisi tiga ekor mencit.

3.3.2 Pencekokan Larutan Serbuk Buah Kepel

Proses pembuatan larutan serbuk buah kepel diawali dengan penimbangan serbuk buah kepel dan dilarutkan dalam akuades. Hewan dikelompokkan menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah kelompok hewan yang diberi akuades dan kelompok kedua adalah kelompok yang diberi serbuk daging buah kepel. Seluruh sampel diaplikasikan secara per oral selama 7 hari. Kemudian feses yang diekskresikan oleh mencit dari masing-masing kelompok perlakuan dikumpulkan dalam botol film dan disimpan dalam lemari es hingga proses perhitungan kadar amonia dan trimetilamin. Proses pengambilan feses dilakukan setiap hari sejak satu hari sebelum pencekokan hingga satu hari setelah pencekokan terakhir. Tahap pengukuran amonia, trimetilamin, dan fenol dalam feses mencit dilakukan pada hari ke-0, hari ke-4, dan hari ke-8.

3.3.3 Penentuan Kadar Amonia Dalam Feses Mencit

Uji secara in vivo diarahkan untuk mengkaji khasiat deodoran oral tanaman kepel. Metode yang digunakan adalah metode pendeteksian gas amonia yang sesuai dengan SNI 2354.8:2009. Langkah awal yang dilakukan untuk perhitungan kadar amonia adalah membuat ekstraksi dari sampel feses. Feses


(29)

diekstrak menggunakan asam perklorat 6%, kemudian ekstrak yang didapat dimasukkan dalam tabung destilasi dan ditambahkan indikator fenolftalein. Tabung destilasi dipasang pada peralatan destilasi uap dan dimasukkan larutan NaOH 20% ke dalamnya (BSN 2009).

Destilasi dilakukan selama 10 menit dan hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang telah diisi larutan H3BO4 3% dan indikator tashiro yang

berwarna ungu. Hasil destilasi yang bercampur dengan larutan dalam erlenmeyer akan menghasilkan larutan berwarna hijau. Tahap selanjutnya adalah destilasi larutan blanko dengan cara mengganti ekstrak sampel dengan PCA 6%. Setelah itu destilat dari sampel dan blanko dititrasi menggunakan larutan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi adalah dengan menemukan kembali larutan berwarna ungu. Kadar amonia dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Vc = volume HCl contoh

Vb = volume HCl pada titrasi blanko N = normalitas larutan HCl

W = bobot contoh

14,007 = massa relatif atom nitrogen 2 = faktor pengenceran

3.3.4 Penentuan Kadar Trimetilamin Dalam Feses Mencit

Proses penentuan kadar trimetilamin dalam feses diketahui melalui ekstraksi sampel feses dengan larutan asam tricloro asetat (TCA) 7%. Filtrat yang terbentuk dimasukkan ke dalam salah satu sisi outer chamber cawan conway yang pada bagian tutupnya telah diolesi oleh vaselin. Setelah itu larutan K2CO3

dimasukkan pada sisi lain dari outer chamber cawan conway dan ditambahkan formalin pekat ke dalamnya. Pada bagian inner chamber dimasukkan larutan H3BO3 dan ditambahkan indikator conway ke dalamnya. Setelah itu, cawan


(30)

pada kedua sisi outer chamber bercampur. Dilakukan uji blanko dengan cara mengganti larutan filtrat dengan larutan TCA 7%. Cawan conway yang berisi larutan filtrat dan blanko diinkubasi pada suhu 35°C selama dua jam atau pada suhu ruang selama satu malam. Selanjutnya hasil inkubasi dititrasi dengan menggunakan larutan HCl 0,02 N sampai terbentuk kembali larutan berwarna merah muda. Kadar trimetilamin dapat diketahui dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut:

Keterangan:

Vc = volume HCl contoh

Vb = volume HCl pada titrasi blanko N = normalitas larutan HCl

W = bobot contoh

14,007 = massa relatif atom nitrogen fp = faktor pengenceran

3.3.5 Penentuan Kadar Fenol dalam Feses Mencit

Prosedur pengujian kadar fenol feses diawali dengan mencampurkan sampel feses dan etanol, kemudian dihomogenkan menggunakan mesin penggoyang (shaker) selama tiga jam. Campuran yang dihasilkan dipanaskan dalam penangas air pada suhu 70ºC selama satu jam dan disaring menggunakan kertas saring Whatman #42. Residu yang tersisa dicuci dengan menggunakan etanol panas (suhu 70ºC) kemudian kedua filtrat dicampur. Filtrat kembali disaring secara manual dengan Whatman #42 dan kemudian diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40ºC.

Ekstrak feses yang diperoleh dianalisis kandungan total fenolnya dengan metode spektrofotometri. Ekstrak etanol feses yang mengandung 5-10 mg bahan kering dilarutkan dalam 2 ml etanol 95% lalu ditambahkan 5 ml akuades dan 0,5


(31)

ml reagen Folin-Ciocalteau 50% (v/v). Setelah lima menit ditambahkan 1 ml larutan natrium bikarbonat (Na2CO3) 5% (w/v).

Campuran dihomogenisasi dan diinkubasi pada keadaan gelap selama satu jam, kemudian ditentukan absorbansi pada panjang gelombang 725 nm. Kurva standar fenol dibuat dengan menggunakan standar asam galat 25-200 ppm sebagai pengganti sampel dengan perlakuan yang sama.

3.4 Analisis Data

Hasil pengukuran parameter dinyatakan dalan rataan dan simpangan baku. Data yang diperoleh dianalisis secara statistika dengan menggunakan metode uji T-student. Untuk memudahkan proses analisis digunakan piranti lunak SPSS 17.0.


(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bau yang dihasilkan tubuh melalui feses dapat dihitung melalui perhitungan kadar senyawa odoran seperti amonia, trimetilamin dan fenol dalam feses. Pemberian serbuk buah kepel pada mencit dilakukan untuk melihat pengaruh yang terjadi pada kadar senyawa odoran yang terdapat pada feses mencit yang dicekok serbuk buah kepel. Dosis pemberian serbuk buah pada hewan coba berdasarkan pada informasi empiris masyarakat, yaitu banyaknya asupan buah kepel yang dapat menimbulkan efek deodoran pada manusia. Secara rerata jumlah kepel yang dikonsumsi untuk mendapatkan khasiat buah kepel sebagai deodoran adalah sebanyak dua buah. Bobot rata-rata dari dua buah kepel adalah 100 gram. Dosis pada manusia tersebut dikonversi berdasarkan tabel konversi Laurence & Bacharah (1964) menjadi dosis mencit, sehingga didapat dosis pada mencit sebesar 2,6 mg/gram bobot mencit. Mencit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bobot rata-rata 20 gram, sehingga serbuk daging buah kepel yang untuk tiap ekor mencit sebanyak 52 mg.

Amonia merupakan senyawa volatil yang dapat merusak kesehatan. Amonia pada feses ditemukan dari hasil dekomposisi protein pada tubuh. Protein dalam tubuh dapat diperoleh melalui konsumsi makanan sehari-hari. Pada penelitian ini, kandungan protein yang diberikan secara merata pada pakan mencit adalah sebesar 22% atau 22 gram protein dalam 100 gram pakan mencit. Protein ini akan diserap melalui dinding usus dan dipecah menjadi asam amino, kemudian asam amino ini akan dibawa ke hati untuk dijadikan protein darah dan ditransportasikan ke dalam darah sebagai asam amino bebas sehingga dapat digunakan oleh organ-organ lain. Setelah itu, asam amino ini akan mengalami deaminasi di hati dan menghasilkan urea yang akan dibuang melalui urine. Amonia pada feses dapat dihasilkan melalui aktivitas fermentasi di kolon oleh mikroba usus sehingga menghasilkan senyawa berupa amonia (Muchtadi 2009). Kadar amonia dalam feses dapat menurun seiring dengan penurunan kadar protein yang diberi pada pakan hewan (Otto et al. 2003).


(33)

Pengaruh pemberian serbuk buah kepel terhadap kadar amonia yang dihasilkan pada feses mencit disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Konsentrasi amonia dalam feses mencit (mg/100g)

Jenis Odoran Hari ke- Akuades Serbuk Buah Kepel

Amonia 0 313,47 ± 102,18 316,23 ± 86,13

4 387,96 ± 66,23 167,81 ± 13,41a

8 201,82 ± 61,17 77,44 ± 20,01b

(perbedaan huruf superscript menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada mencit perlakuan dapat dilihat bahwa kadar amonia feses mencit mengalami penurunan yang signifikan pada pengukuran hari ke-4 yaitu sebesar 46,93% dan kadar amonia semakin menurun pada pengukuran hari ke-8 yaitu sebesar 53,85%. Secara keseluruhan, mencit yang diberi serbuk buah kepel selama 7 hari mengalami penurunan kadar amonia sebesar 75,5%. Hasil juga menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan mencit kontrol meskipun kadar amonia feses mencit kontrol juga mengalami penurunan, namun penurunan tersebut tidak terjadi secara signifikan. Amonia merupakan senyawa yang larut air. Pencekokan akuades pada mencit kontrol menyebabkan senyawa ini terlarut dalam air dan diekskresikan melalui urine sehingga kadar amonia pada feses mencit kontrol juga mengalami penurunan.

Gambar 3 Kadar amonia pada feses mencit akibat pemberian serbuk daging buah kepel.


(34)

Berkurangnya kadar amonia pada mencit yang diberi serbuk buah kepel dapat disebabkan karena kerja buah kepel sebagai adsorben. Senyawa adsorben digolongkan ke dalam sediaan obat yang bekerja secara lokal yang bersifat protektifa, demulsensia, astringensia dan emoliensia (Webster 2001). Berdasarkan Darusman (2010), serbuk daging buah kepel merupakan adsorben yang sangat baik terhadap senyawa amonia dan metil merkaptan. Hal ini disebabkan karena senyawa adsorbensia berupa tanin dan proantosianidin (flavanoid) yang teruji secara fitokimia terkandung dalam buah kepel (Darusman 2010).

Tanin merupakan senyawa astringensia yang bekerja sebagai penyamak atau mempresipitasikan protein di permukaan sehingga dapat melindungi bagian bawahnya. Adanya tanin dalam buah kepel dapat bekerja sebagai deodoran oral karena lapisan saluran pencernaan yang terlindungi oleh tanin terlindungi dari invasi mikroba patogen atau zat kimia beracun yang dapat merusak sel-sel usus. Saluran pencernaan yang bekerja dengan baik secara tidak langsung akan mempengaruhi bau pada feses yang didominasi oleh mikroba, senyawa amina dan sulfida, serta produk dekomposisi usus (Darusman 2010).

Proantosianidin merupakan flavonoid terpolimerasi yang terdiri dari flavan-3-ol atau flavane-3,4-diol dan biasa ditemukan di biji anggur, buah apel, kacang merah, kayu pinus, dan lain-lain. Proantosianidin juga telah dipatenkan sebagai senyawa aktif penyusun deodoran oral oleh Yamakoshi et al. (2002). Senyawa ini juga melepaskan senyawa antosianidin seperti sianidin, delfinidin dan pelargonidin (Yamakoshi et al. 2002). Menurut Mitsunaga et al. 1999, struktur molekul proantosianidin memiliki satu sisi aktif yang berpotensi secara elektrostatis terhadap senyawa odoran. Potensi elektrostatis tersebut terdistribusi secara merata dan memungkinkan terjadinya ikatan silang antara proantosianidin dan odoran membentuk sebuah ikatan kompleks (Mitsunaga et al. 1999).

Trimetilamin merupakan senyawa yang diekskresikan pada feses akibat aktivitas bakteri usus. Trimetilamin bersumber dari kolin yang dapat diperoleh melalui makanan seperti telur, ikan, hati, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Pengaruh pemberian serbuk buah kepel terhadap kadar trimetilamin yang dihasilkan pada feses mencit disajikan pada tabel 4.


(35)

Tabel 4 Konsentrasi trimetilamin dalam feses mencit (mg/100g)

Jenis Odoran Hari ke- Akuades Serbuk Buah Kepel

Trimetilamin 0 20,46 ± 3,23 19,91 ± 4,15

4 12,43 ± 6,33 8,92 ± 1,35a

8 7,87 ± 3,19 4,91 ± 1,05b

(perbedaan huruf superscript menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05)

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa kadar trimetilamin pada mencit kontrol mengalami penurunan pada pengukuran hari ke-4 dan hari ke-8. Hal ini dikarenakan mencit sehat dapat mengoksidasi trimetilamin dari dalam tubuh menjadi trimetilamin-oksida yang akan diekskresikan melalui urine. Jumlah trimetilamin pada mencit yang diberi serbuk buah kepel juga mengalami penurunan yang signifikan pada pengukuran hari ke-4 yaitu sebesar 55,2%. Kadar trimetilamin ini semakin mengalami penurunan pada pengukuran hari ke-8 yaitu sebesar 44,9%. Secara keseluruhan, mencit yang diberi serbuk buah kepel selama 7 hari mengalami penurunan kadar trimetilamin sebesar 75,%. Tetapi jika dibandingkan dengan mencit kontrol, kadar trimetilamin pada feses mencit perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Menurunnya kadar trimetilamin pada feses mencit yang dicekok serbuk buah kepel dapat disebabkan karena proantosianidin yang terdapat dalam buah kepel yang dapat menghambat pertumbuhan enterobakteri sehingga kadar trimetilamin menurun.

Gambar 4 Kadar trimetilamin pada feses mencit akibat pemberian serbuk daging buah kepel.


(36)

Tubuh mengandung enzim yang disebut flavinmonoxygenases (FMOs) yang berfungsi untuk memecah racun dalam tubuh. Salah satu komponen dari enzim ini, yang disebut FMO3, berfungsi untuk menghilangkan komponen nitrogen yang terkandung dalam makanan. Senyawa kolin yang diperoleh melalui makanan akan dipecah oleh bakteri usus menjadi Me3N. Selanjutnya, Me3N ini

secara normal akan dioksidasi di dalam hati menjadi senyawa trimetilamin-oksida yang tidak berbau dan akan diekskresikan dari dalam tubuh manusia melalui urine. Tetapi, ketika kemampuan untuk mengoksidasi trimetilamin ini terganggu, maka sejumlah besar amina tidak dikeluarkan sehingga dapat memproduksi bau tubuh yang biasa disebut sindrom bau ikan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah trimetilaminuria (MOTM 2003).

Trimetilaminuria merupakan gangguan metabolisme karena seseorang tidak dapat memecah trimetilamin menjadi senyawa yang lebih kecil. Trimetilaminuria disebabkan karena trimetilamin yang terakumulasi dalam tubuh dan bau yang dihasilkan dilepaskan melalui keringat, urine, cairan reproduksi, nafas, dan feses. Seseorang dapat menderita trimetilaminuria karena kekurangan enzim FMO3 yang dihasilkan dalam hati dan bertanggung jawab untuk memecah nitrogen, sulfur, dan fosfor (Eugene 2002).

Fenol merupakan senyawa yang dihasilkan dalam proses fermentasi asam amino fenilalanin dan tirosin (Birkett et al. 1996). Fenol pada feses dapat diperoleh karena aktivitas fermentasi yang dilakukan oleh enterobakter di usus. Pengaruh pemberian serbuk buah kepel terhadap kadar fenol yang dihasilkan pada feses mencit disajikan pada tabel 5.

Tabel 5 Konsentrasi fenol dalam feses mencit (mg/g)

Jenis Odoran Hari ke- Akuades Serbuk Buah Kepel

Fenol 0 0,660 ± 0,047 0,700 ± 0,290

4 0,51 ± 0,10 0,450 ± 0,035

8 0,59 ± 0,08 0,403 ± 0,02a

(perbedaan huruf superscript menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05)


(37)

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kadar fenol pada mencit yang diberi serbuk buah kepel mengalami penurunan yang signifikan pada pengukuran hari ke-4 yaitu sebesar 35,7%. Kadar fenol pun semakin menurun pada pengukuran hari ke-8 yaitu sebesar 10,4%. Secara keseluruhan, mencit yang diberi serbuk buah kepel mengalami penurunan kadar fenol sebesar 42,4%. Namun, jika dibandingkan antara mencit kontrol dan mencit perlakuan, kadar fenol pada feses baru menunjukkan perbedaan yang nyata setelah pengukuran hari ke-8.

Gambar 5 Kadar fenol pada feses mencit akibat pemberian serbuk daging buah kepel.

Fenol merupakan zat hasil fermentasi protein yang terjadi di kolon. Proses fermentasi ini dilakukan oleh bakteri-bakteri pencernaan seperti Escherichia colli, Clostridium, Streptococcus faecalis, dan Proteus. Jumlah populasi bakteri ini akan berkurang apabila terjadi peningkatan jumlah bakteri baik atau bifidobakteri, karena bifidobakteri akan menekan pertumbuhan bakteri-bakteri pembusuk (Silalahi 2006). Berdasarkan Darusman (2010), serbuk daging buah kepel merupakan prebiotik yang sangat baik dalam menekan pertumbuhan bakteri-bakteri penghasil fenol dan amonia dengan cara meningkatkan populasi bakteri-bakteri baik seperti Lactobacillus sp. dan Bifidobacter sp. (Darusman 2010). Dengan berkurangnya jumlah populasi bakteri penghasil fenol ini, maka jumlah fenol dan amonia yang dihasilkan juga akan mengalami penurunan. Namun penurunan ini


(38)

terlihat signifikan pada pengukuran hari ke-8, karena pada pengukuran ke-4 serbuk daging buah kepel masih belum menunjukkan pengaruhnya terhadap pencernaan mencit.

Hal lain yang menyebabkan kadar fenol mengalami penurunan adalah karena serat yang terkandung pada buah kepel. Serat merupakan bagian makanan yang berasal dari tanaman yang tidak dapat dihancurkan oleh enzim dan bakteri yang ada di dalam saluran pencernaan, sehingga serat dapat menjaring mikroba dan senyawa dekomposisi usus yang terdapat di saluran pencernaan (Rusilanti 2007).


(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian serbuk buah kepel dengan dosis 2,6 mg/gram BB mencit selama 7 hari secara signifikan dapat menurunkan kadar amonia dan fenol masing-masing sebesar 75,5% dan 42,4%. Namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar trimetilamin.

4.2 Saran

Saran yang dapat disumbangkan untuk penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek penggunaan serbuk buah kepel lebih dari 7 hari.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Aarink AJA, Hoeksma P & Ouwerkerk ENJ. 1993. Factors affecting ammonium concentration in slurry from fattening pigs. In Nitrogen Flow in Pig Production and Environmental Consequences. Eur Assoc Anim Prod (69): 413-420.

Aarink AJA. 1997. Ammonia emission from houses for growing pigs as affected by pen design, indoor climate and behaviour [thesis]. Wageningen Agricultural University, The Netherlands.

[BKKHN] Balai Kliring Keanekaragaman Hayati Nasional. 2011. Kepel. [terhubung berkala]. http://bk.menlh.go.id/?module=florafauna&opt= flora&id=15&PHPSE SSID=85056f014ae6560b9a53f5f9182a0f02 [19 Mei 2011].

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Cara Uji Kimia Bagian 8: Penentuan Kadar Total Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dan Trimetil Amin (TMA) pada Produk Perikanan. Standar Nasional Indonesia SNI 2354.8: 2009.

Besselsen DG. 2004. Biology of Laboratory Rodent. [terhubung berkala]. http:///www.ahsc.arizona.edu/ [22 Desember 2006].

Birkett A, Muir J, Phillips J, Jones G, O’Dea K. 1996. Resistent starch lower fecal

concentrations of ammonia and phenols in humans. Am J Clin Nutr (63):766-772. Canh TT, Aarnink AJA, Mroz Z, Jongbloed AW, Schrama JW & Verstegen MWA. 1998.

Influences of electrolyte balance and acidifying calcium salts in the diet of growing-finishing pigs on urinary pH, slurry pH and ammonia volatilisation from slurry. Lives Prod Sci (112): 1-13.

Capel ID, Millburn P & Williams RT.1974. The Conjugation of 1- and 2-naphtols and other Phenols in the Cat and Pig. Xenobiotica (4): 601-605.

Chung KL, Anderson GM & Fulk GE. 1975. Formation of indoleacetic acid by intestinal anaerobs. J Bacteriol (124): 573-575.

Curtis V, Aunger R, Rabie T. 2004. Evidence that disgust evolved to protect from risk of disease. Proc Biol Sci (271): S131-3. PMID 15252963 [30 Maret 2010].

Curtis SE. 1993. Environmental Management in Animal Agriculture. Ames, IA: Iowa State University.


(41)

Darusman HS. 2010. Aktivitas farmakologis tanaman kepel (Stelechocarpus burahol(BL) Hookf & Thoms.) sebagai deodoran topikal dan oral [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

DetoxiProt. 2009. What is Detoxiprot. http://lifecenter.sgst.cn/detoxiprot/ [9 November 2011].

Donham KJ, Haglind P, Petersen Y, Rylander R & Berlin L. 1989. Environmental Health Studies of Farm Workers in Swedish Confinement Buildings. Brit J Ind Med (46): 31-37.

Drasar BS & Hill MJ. 1974. Human Intestinal Flora. London, New York, and San Fransisco: Academic Press.

Eugene M. 2002. Trimethylaminuria. Orphanet encyclopedia http://www.orpha. net/data/patho/GB/uk-FOS.pdf. [30 Maret 2010].

[INN] Indonesian Nutrition Network. 2002. Kepel, Deodoran Sekaligus Penyembuh Asam Urat. [terhubung berkala]. http://www.gizi.net/ cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid 1024300348,60462, [19 Mei 2011].

Laurence J, Bacharah M. 1964. Analytical Toxicology. Philadelphia: CRC Press.

Malole, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laaboratorium. Bogor: PAU IPB.

Mitsunaga T, Saitoh Y, Abiko S, Mizuno D. 1999. Ability of lactoferrin to promote the growth of Bifidobacterium spp. in vitro is independent of receptor binding capacity and iron saturation level. J Med Microbiol (48): 541-549.

Mikkelsen LL & Jensen BB. 1996. Growth and skatole (3-methylindole) production by Clostridium scatolonges grown in batch and continuous cultures. J Appl Bacteriol (81), XVIII.

[MOTM] Molecul of the Month. 2003. Trimethylamine. [terhubung berkala]. http://www.chm.bris.ac.uk/motm/trimethylamine/tmah.htm [18 Mei 2011].

Muchtadi D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Alfabeta.

Otto ER, M Yokoyama, S Hengemuehle, RD von Bermuth, T van Kempen & NL Trottier. 2003. Ammonia, Volatile Fatty Acids, Phenolics, and Odor Offensiveness in Manure from Growingg Pigs Fed Diets Reduced in Protein Concentration. J Anim Sci. 81(7); ProQuest.


(42)

Phung D. Le, Andre JA Aarink, Nico WM Ogink, Petra MB & Martin WA. 2005. Odour from Animal Production Facilities: its Relationship to Diet. Nut Res Rev (18): 3-30.

Ritter WF. 1998. Odour control of livestock wastes: state-of-the-art in North America. J Agr Eng Res (42): 51-62.

Rusilanti & Clara MK. 2007. Sehat dengan Makanan Berserat. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Setiawan H. 1996. Amonia, sumber pencemar yang meresahkan. Dalam: Infovet (Informasi Dunia Kesehatan Hewan). Edisi 037. Agustus. hal. 12.

Siagian A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Medan: USU Digital Library.

Silalahi J. 2006. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Kanisius.

Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine. United of State America: Mosby, Inc. hlm 87-115.

Smith RL & Williams RT. 1966. Glucoronic Acid. Free and Combine. New York and London: Academic Press.

Spoelstra SF. 1980. Origin of objectionable odorous components in piggery wastes and possibility of applying indicator components for studying odour development. Agr Env (5): 241-260.

Sunarto AT. 1992. Stelechocarpus burahol (Blume) Hook.f. & Thomson. In Coronel, R.E. & Verheij, E.W.M. (Eds.): Plant Resources of South-East Asia. No. 2: Edible fruits and nuts. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. pp. 290-291.

[TO] Tanaman Obat. 2008. Kepel. [terhubung berkala]. http://tanamanobat.org/ 452/kepel/ [18 Mei 2011].

Wathes CM, Jones JB, Kristensen HH, Jones EKM & Webster AJF. 2002. Aversion of pigs and domestic fowl to atmospheric ammonia. Trans Am Soc Agr Eng 45: 1605-1610.

Webster CRL. 2001. Clinical Pharmacology. Jackson: Titon New Media.

Wolfensohn S, Lloyd M. 1998. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare. Second Edition. USA: Blackwel Sci.


(43)

Yamakoshi J, Kataoka S, Hosoyama H, Ariga T. 2001. Effect of proanthocyanidin rich extract from grape seed on human fecal flora and fecal odor. Microbio Ecol Health Dis (7) 25-31.

Yamakoshi J, Kataoka S, Hosoyama H, Ariga T. 2002. Deodoant agents for oral use for discharges and method for relieving odor of discharges. US Patent 6395280. Yokoyama MT & Carlson JR. 1974. Dissimilation of tryptophan and related compounds


(44)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan negara lain yang terletak pada daerah subtropis dan daerah kutub. Baik hewan dan tumbuhan yang endemik maupun yang langka dan memiliki sifat unggul serta potensial untuk dikembangkan banyak ditemukan di Indonesia. Pengembangan ini tentu akan memberikan dampak positif di berbagai bidang, salah satunya adalah bidang tanaman obat untuk manusia, hewan dan lingkungan.

Kepel (Stelecocharpus burahol) atau burahol merupakan salah satu jenis buah yang hanya ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum dibudidayakan. Tanaman ini bahkan dimasukkan pada kategori buah yang langka dan akan punah jika masih belum ada tindakan berarti yang dilakukan pada tanaman ini. Secara tradisional, kepel dipercaya memiliki banyak khasiat bagi tubuh. Buah ini dipercaya dapat dijadikan sebagai pengharum bau badan, bau nafas, dan bau air seni. Selain itu, kepel juga dapat digunakan sebagai pencegah radang ginjal dan peluruh air seni. Penelitian-penelitian yang sudah berjalan membuktikan bahwa kepel mengandung zat antioksidan yang tinggi dan daunnya dapat digunakan untuk mengatasi asam urat dan menurunkan kadar fenol (INN 2002).

Mencit merupakan salah satu hewan yang sering dijadikan sebagai hewan coba laboratorium karena mencit merupakan hewan yang memiliki kemampuan berkembang biak yang sangat tinggi. Selain itu, mencit juga mudah dipelihara dan reaksi obat yang diaplikasikan ke tubuhnya akan memperlihatkan efek yang cepat. Salah satu masalah yang sering muncul di laboratorium yang menjadikan mencit sebagai hewan coba adalah bau ekskreta yang dihasilkan oleh mencit (feses). Bau yang diperantarai oleh senyawa-senyawa tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi kesehatan manusia maupun hewan itu sendiri sehingga berdampak pada hasil penelitian yang dihasilkan. Bau yang ditimbulkan dari kotoran berasal dari aktivitas mikroba pada saluran pencernaan yang menghasilkan produk


(45)

amonia, trimetilamin, senyawa dekomposisi usus (indol, skatol, kresol, fenol, tiol) dan metil merkaptan yang berpotensi menimbulkan bau. Khusus senyawa amonia, selain menyebabkan bau, emisi senyawa ini juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan terutama pada saluran pernafasan (Setiawan 1996).

Salah satu cara yang dilakukan untuk mengurangi bau badan adalah dengan menggunakan deodoran. Deodoran yang diberikan secara topikal berfungsi untuk menghambat laju pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bau badan. Selain deodoran topikal, penggunaan deodoran juga dapat dilakukan secara oral. Deodoran oral merupakan deodoran yang diaplikasikan melalui makanan atau pakan yang berbasis herbal dan secara efektif dapat mengurangi bau pada ekskreta tubuh termasuk urine dan feses. Selain menurunkan bau pada feses, deodoran oral juga mampu meningkatkan populasi bakteri bifidobakter yang akan menurunkan populasi bakteri penghasil dekomposisi usus, sehingga bau dapat berkurang (Yamakoshi et al. 2001).

Berdasarkan khasiat yang ada pada buah kepel, tidak menutup kemungkinan jika kepel dapat dikembangkan menjadi sediaan deodoran oral yang diberikan pada hewan laboratorium guna menurunkan bau yang dihasilkan melalui ekskreta dan menurunkan jumlah senyawa dekomposisi usus yang bersifat karsinogenik. Pemberian deodoran oral juga dapat diaplikasikan pada hewan kesayangan, ternak, maupun unggas. Pemberian ini diharapkan dapat mengurangi bau emisi yang dihasilkan oleh feses hewan.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh pemberian serbuk daging buah kepel yang diaplikasikan sebagai deodoran oral terhadap bau pada feses mencit yang diperantarai oleh senyawa amina (amonia dan trimetilamin) dan fenol. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk mengawali proses perkembangan deodoran oral herbal untuk meningkatkan manajemen kesehatan pada hewan laboratorium dan juga sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan keinginan masyarakat untuk membudidayakan tanaman kepel.


(46)

1.3 Hipotesis

Hipotesis nol (H0) pada pengujian serbuk buah kepel sebagai deodoran oral diartikan apabila serbuk buah kepel tidak mampu untuk menurunkan bau yang dihasilkan melalui eksreta melalui perhitungan jumlah amonia, trimetilamin dan fenol. Sedangkan hipotesis satu (H1) diartikan apabila serbuk buah kepel mampu menurunkan bau yang dihasilkan ekskreta melalui perhitungan jumlah amonia, trimetilamin dan fenol.


(47)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepel (Stelechocarpus burahol)

Kepel (Stelechocarpus burahol) dikenal oleh masyarakat Jawa dengan sebutan kepel, kecindul atau cindul, sedangkan untuk daerah Pasundan dikenal dengan nama burahol. Pohon ini memiliki taksonomi sebagai berikut:

kingdom : Plantae famili : Annonaceae genus : Stelechocarpus

spesies : Stelechocarpus burahol (Blume) Hook F. & Thomson

Pohon kepel merupakan pohon tradisi yang erat dengan adat Jawa, terutama di daerah Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Konon jaman dahulu kepel hanya boleh ditanam oleh Bangsawan atau Pejabat Tinggi Keraton yang menunjukkan kewibawaan pejabat tinggi saat itu, dalam arti dapat memimpin punggawa keraton dengan baik. Ada juga yang mengartikan bahwa orang yang memiliki pohon kepel adalah bangsawan yang dekat atau kepercayaan raja (Sunarto 1992).

Buah kepel berbentuk bulat dengan pangkal meruncing seperti buah buni dan berwarna coklat tua dan menempel pada batang. Daging buah rasanya manis dan berair. Setiap buah memiliki biji yang keras sebanyak 4-6 biji, karena kulit biji sangat keras maka untuk perkecambahan (perkembangbiakannya) membutuhkan perlakuan mekanis. Ketinggian pohonnya dapat mencapai 15-20 meter dengan diameter batang 60 cm. Batang berwarna pepagan cokelat tua dengan permukaan tidak merata karena bekas tempat bunga dan buah keluar. Daunnya berbentuk elip-lonjong hingga bundar-lanset dengan panjang 12-27 cm dan lebar 5-9 cm. Bunga jantan terdapat pada batang bagian atas dan cabang lebih tua, dan bunga betina terdapat pada batang bagian bawah (BKKHN 2011).

Kepel merupakan bagian dari famili Annonaceae dengan nama latin Stelechocarpus burahol, dapat tumbuh di daerah yang memiliki ketinggian 150-300 meter di atas permukaan laut dan berbunga setelah berumur 8 tahun pada bulan September-Oktober, namun buah dapat dipanen selama 6 bulan setelah berbunga yaitu pada bulan Maret-April. Di Jawa, tanaman ini sudah jarang


(48)

ditemukan karena isi buah yang sebagian besar adalah biji sehingga tidak ada orang yang tertarik untuk membudidayakannya dan juga karena adanya sistem kepercayaan yang menganggap bahwa pohon ini hanya layak ditanam oleh warga keraton. Bagian pohon ini terdiri dari biji, buah, daun dan kayu yang secara keseluruhan mempunyai nilai manfaat yang besar. Buahnya dapat dimakan segar dan berkhasiat sebagai bahan obat maupun kosmetika. Daging buahnya yang berwarna jingga dan mengandung sari buah telah memberikan aroma seperti bunga viola pada ekskresi tubuh. Selain itu, buah ini dipercaya memiliki banyak khasiat. Daging buah kepel dapat memperlancar air kencing dan mencegah inflamasi ginjal (INN 2002).

Gambar 1 Pohon, daun dan buah Kepel (TO 2008).

Daging buah kepel ini digunakan oleh para wanita bangsawan di Jawa sebagai parfum . Kayunya dapat digunakan sebagai bahan industri atau bahan perabot rumah tangga dan bahan bangunan yang tahan lebih dari 50 tahun. Daun kepel bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat. Lalap daun kepel mampu menurunkan kadar kolesterol. Di samping itu pohon kepel juga


(49)

mempunyai nilai estetika sebagai tanaman hias berpotensial, daunnya yang muncul secara serentak berubah dari merah muda pucat menjadi merah sebelum berubah lagi menjadi hijau cemerlang. Pohonnya berbentuk piramid dengan banyak cabang lateral yang tersusun secara sistematik, dan sifatnya yang kaulifor (cauliflory) menambah keindahannya (Sunarto 1992).

2.2 Deodoran Oral

Odoran yang dihasilkan dari aktivitas tubuh berasal dari makanan, tubuh hewan, urine dan feses atau campuran dari keduanya. Tetapi bau yang paling signifikan berasal dari ekskreta seperti urine dan feses (Phung et al. 2005). Dari tubuh sendiri, kelenjar apokrin merupakan kelenjar yang berperan untuk menghasilkan keringat. Permasalahan bau badan pada manusia umumnya berasal dari sekresi apokrin yang difermentasi oleh bakteri aksiler sehingga menimbulkan bau yang sangat menyengat (Yamakoshi et al. 2002).

Bau pada ekskreta tubuh, seperti urine dan feses dapat disebabkan karena aktivitas mikroba saluran pencernaan yang menghasilkan nitogen volatil (amonia), senyawa amina (trimetilamin), senyawa produk dekomposisi usus (indol, skatol, kresol, fenol, tiol) dan senyawa sulfida (metil merkaptan) (Curtis et al. 2004). Curtis juga telah mengelompokkan odoran-odoran yang dihasilkan tubuh yaitu amonia dan volatil amin, komponen sulfur, volatile fatty acid (VFA) pada ruminansia, indol dan fenol, alkohol, dan karbonil (Curtis 1993).

Senyawa-senyawa odoran dapat bersumber dari pakan yang dimakan sehari-hari. Perbedaan pola makan yang terdapat di berbagai daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah senyawa odoran yang dihasilkan (Phung et al. 2005). Faktor lain yang sangat mempengaruhi konsentrasi senyawa odoran adalah komposisi pakan dan faktor lingkungan.

Banyak cara yang dilakukan agar dapat menghilangkan bau badan, salah satunya adalah dengan menggunakan deodoran. Deodoran saat ini bekerja dengan dua cara, yaitu menutup bau dan mengikat senyawa penghasil bau . Umumnya, deodoran diaplikasikan secara topikal pada permukaan tubuh yang banyak mengeluarkan keringat seperti aksila. Deodoran yang diberikan secara topikal tersebut berfungsi untuk menghambat laju pertumbuhan mikroorganisme. Selain


(50)

deodoran topikal, penggunaan deodoran juga dapat dilakukan secara oral. Deodoran oral merupakan deodoran yang diaplikasikan melalui makanan atau pakan yang berbasis herbal dan secara efektif dapat mengurangi bau pada ekskreta tubuh termasuk urine dan feses (Yamakoshi et al. 2002).

Deodoran oral yang efektif dan ekonomis dalam mengurangi bau ekskreta telah dipatenkan oleh Yamakoshi et al. (2002), yakni dengan mengombinasikan proantosianidin dari ekstrak biji anggur dan ekstrak jamur champignon. Perpaduan kedua zat ini secara signifikan mampu menurunkan bau dari ekskreta. Efektivitas pengujian yang dilakukan adalah uji organoleptik, pengukuran kadar metil merkaptan, amonia, metil-amin, dan aktivitas mikroba bifidobakter serta produk dekomposisi usus (Yamakoshi et al. 2002).

Deodoran oral bekerja secara efektif menurunkan zat-zat yang menyebabkan bau tubuh seperti metil merkaptan, amonia dan metil-amin yang diekskresikan oleh tubuh. Selain itu, deodoran oral juga dapat meningkatkan aktivitas bifidobakteri sebagai mikroflora normal usus dalam menekan populasi enterobakter. Peningkatan aktivitas tersebut ditandai dengan meningkatnya populasi bakteri sehingga dapat mendegradasi produk-produk dekomposisi usus yaitu fenol, kresol, indol, dan skatol yang terdapat dalam feses (Yamakoshi et al. 2002).

Usaha lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan produksi senyawa odoran adalah dengan memberikan diet yang berfokus pada jumlah protein pakan. Semakin tinggi kandungan protein pada pakan maka akan semakin menaikkan jumlah senyawa odoran yang dihasilkan. Selain memberikan diet yang berfokus pada protein, pemberian feed additive pada pakan merupakan hal yang dapat mengurangi senyawa odor dari hewan. Prinsip yang digunakan oleh feed additive untuk mengurangi produksi senyawa odoran adalah dengan mengubah jumlah mikroflora yang terdapat dalam saluran pencernaan, merubah pH sehingga kondisi menjadi kurang baik untuk senyawa odoran, dan dengan menyerap odor (Ritter 1989).

Menurut Canh et al. (1998), mengubah pH merupakan prinsip yang banyak diperhatikan oleh para peneliti. Pada pH rendah, amonia akan membentuk ion amonium sehingga emisi amonia akan berkurang. Beberapa garam yang


(51)

ditambahkan pada pakan untuk mengurangi emisi amonia dengan cara menurunkan nilai pH adalah garam yang mengandung Ca seperti CaSO4, CaCl2,

dan kalsium benzoat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian garam ini dapat mengurangi emisi gas amonia sebesar 30%, 33% dan 54%. Namun pada pH rendah, emisi amonia akan berkurang tetapi kondisi ini dapat menambah emisi hidrogen sulfida. Hal ini menunjukkan bahwa mengurangi senyawa odor dengan cara mengubah pH merupakan cara yang belum terevaluasi dengan hasil yang baik.

2.3 Amonia dan Volatil Amin

Kotoran merupakan sisa dari makanan yang tidak dicerna dan mengandung protein, lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. Amonia yang merupakan salah satu hasil dekomposisi protein adalah gas alkalin yang mempunyai daya iritasi tertinggi dan dapat dihasilkan juga melalui dekomposisi senyawa organik. Dari kotoran yang berkaitan dengan nitrogen inilah menjadi sumber bagi mikroorganisme yang menghasilkan gas amonia, nitrit, nitrat dan sulfida yang menyebabkan bau.

Amonia dan volatil amin merupakan senyawa yang memiliki bau tajam dan dapat bersumber dari urea (Spoelstra 1980). Konsentrasi amonia pada kandang domba mencapai 8 ppm, pada kandang babi mencapai 5-18 ppm, dan pada kandang unggas mencapai 5-30 ppm. Salah satu penelitian di USA juga melaporkan bahwa amonia dengan konsentrasi sebesar 7 ppm sudah dapat menyebabkan gejala klinis pada pekerja (Donham et al. 1989). Hewan babi, ayam pedaging dan ayam petelur akan merasakan gangguan jika konsentrasi amonia mencapai 20 ppm (Wathes et al. 2002).

Amonia yang muncul pada feses banyak bersumber dari pemecahan urea. Urea dibentuk di hati sebagai produk akhir dari metabolisme protein dan akan diekskresikan melalui urine. Urea yang terdapat pada urine dan berkontak langsung dengan feses akan mengalami proses hidrolisis oleh enzim urease yang terdapat pada feses. Hal ini menyebabkan urea akan berubah menjadi ion amonium dan beberapa ion amonium ini akan diubah menjadi amonia bebas (Aarnink et al. 1993). Jumlah amonia yang diemisikan ke udara bergantung pada


(52)

konsentrasi amonia, pH, dan suhu. Jumlah amonia akan bertambah jika pH feses semakin besar. Feses yang memiliki pH sekitar 7 maka amonia akan muncul sebagai ion amonium dan kondisi ini dapat mengurangi volatilitas gas amonia (Aarnink 1997).

Diantara gas-gas yang diekskresikan melalui feses, gas yang paling banyak menimbulkan masalah bagi kesehatan dan produktifitas adalah gas amonia. Menurut H. Setiawan 1996, pengaruh yang ditimbulkan dari berbagai kadar amonia terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1 Pengaruh amonia terhadap manusia dan ternak

Kadar amonia (ppm) Gejala/pengaruh yang ditimbulkan pada manusia dan ternak

5 Kadar paling rendah yang tercium baunya

6 Mulai timbul iritasi pada mukosa mata dan saluran nafas

11 Penurunan produktifitas ternak

25 Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 8 jam

35 Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 10 menit

40 Mulai menyebabkan sakit kepala, mual, dan hilang nafsu makan pada manusia

50 Penurunan drastis pada produktivitas ternak dan juga terjadi pembengkakan bursa fabricious pada ayam

Sumber: Setiawan (1996)

Volatil amin yang merupakan senyawa odoran yaitu metilamin, trimetilamin, etilamin, cadaverin, dan putrescin (Phung et al. 2005). Trimetilamin merupakan basa nitrogen volatil yang sangat mudah menguap, sehingga tidak jarang trimetilamin digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kesegaran suatu makanan, terutama pada ikan dengan menghitung nilai total volatil nitrogen (TVN). Pada proses pembusukan ikan, trimetilamin dihasilkan melalui aktivitas bakteri proteolitik dalam menguraikan protein menjadi senyawa protein yang lebih sederhana dan mereduksi trimetilamin oksida menjadi trimetilamin. Semakin tinggi aktivitas bakteri maka semakin tinggi nilai TVN (Siagian 2002).


(1)

DAN FENOL PADA FESES MENCIT (Mus musculus)

NUR ADILLA ADHA PURBA

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aarink AJA, Hoeksma P & Ouwerkerk ENJ. 1993. Factors affecting ammonium concentration in slurry from fattening pigs. In Nitrogen Flow in Pig Production and Environmental Consequences. Eur Assoc Anim Prod (69): 413-420.

Aarink AJA. 1997. Ammonia emission from houses for growing pigs as affected by pen design, indoor climate and behaviour [thesis]. Wageningen Agricultural University, The Netherlands.

[BKKHN] Balai Kliring Keanekaragaman Hayati Nasional. 2011. Kepel. [terhubung berkala]. http://bk.menlh.go.id/?module=florafauna&opt= flora&id=15&PHPSE SSID=85056f014ae6560b9a53f5f9182a0f02 [19 Mei 2011].

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Cara Uji Kimia Bagian 8: Penentuan Kadar Total Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dan Trimetil Amin (TMA) pada Produk Perikanan. Standar Nasional Indonesia SNI 2354.8: 2009.

Besselsen DG. 2004. Biology of Laboratory Rodent. [terhubung berkala]. http:///www.ahsc.arizona.edu/ [22 Desember 2006].

Birkett A, Muir J, Phillips J, Jones G, O’Dea K. 1996. Resistent starch lower fecal concentrations of ammonia and phenols in humans. Am J Clin Nutr (63):766-772. Canh TT, Aarnink AJA, Mroz Z, Jongbloed AW, Schrama JW & Verstegen MWA. 1998.

Influences of electrolyte balance and acidifying calcium salts in the diet of growing-finishing pigs on urinary pH, slurry pH and ammonia volatilisation from slurry. Lives Prod Sci (112): 1-13.

Capel ID, Millburn P & Williams RT.1974. The Conjugation of 1- and 2-naphtols and other Phenols in the Cat and Pig. Xenobiotica (4): 601-605.

Chung KL, Anderson GM & Fulk GE. 1975. Formation of indoleacetic acid by intestinal anaerobs. J Bacteriol (124): 573-575.

Curtis V, Aunger R, Rabie T. 2004. Evidence that disgust evolved to protect from risk of disease. Proc Biol Sci (271): S131-3. PMID 15252963 [30 Maret 2010].

Curtis SE. 1993. Environmental Management in Animal Agriculture. Ames, IA: Iowa State University.


(3)

Darusman HS. 2010. Aktivitas farmakologis tanaman kepel (Stelechocarpus burahol(BL) Hookf & Thoms.) sebagai deodoran topikal dan oral [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

DetoxiProt. 2009. What is Detoxiprot. http://lifecenter.sgst.cn/detoxiprot/ [9 November 2011].

Donham KJ, Haglind P, Petersen Y, Rylander R & Berlin L. 1989. Environmental Health Studies of Farm Workers in Swedish Confinement Buildings. Brit J Ind Med (46): 31-37.

Drasar BS & Hill MJ. 1974. Human Intestinal Flora. London, New York, and San Fransisco: Academic Press.

Eugene M. 2002. Trimethylaminuria. Orphanet encyclopedia http://www.orpha. net/data/patho/GB/uk-FOS.pdf. [30 Maret 2010].

[INN] Indonesian Nutrition Network. 2002. Kepel, Deodoran Sekaligus Penyembuh Asam Urat. [terhubung berkala]. http://www.gizi.net/ cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid 1024300348,60462, [19 Mei 2011].

Laurence J, Bacharah M. 1964. Analytical Toxicology. Philadelphia: CRC Press.

Malole, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laaboratorium. Bogor: PAU IPB.

Mitsunaga T, Saitoh Y, Abiko S, Mizuno D. 1999. Ability of lactoferrin to promote the growth of Bifidobacterium spp. in vitro is independent of receptor binding capacity and iron saturation level. J Med Microbiol (48): 541-549.

Mikkelsen LL & Jensen BB. 1996. Growth and skatole (3-methylindole) production by Clostridium scatolonges grown in batch and continuous cultures. J Appl Bacteriol (81), XVIII.

[MOTM] Molecul of the Month. 2003. Trimethylamine. [terhubung berkala]. http://www.chm.bris.ac.uk/motm/trimethylamine/tmah.htm [18 Mei 2011].

Muchtadi D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Alfabeta.

Otto ER, M Yokoyama, S Hengemuehle, RD von Bermuth, T van Kempen & NL Trottier. 2003. Ammonia, Volatile Fatty Acids, Phenolics, and Odor Offensiveness in Manure from Growingg Pigs Fed Diets Reduced in Protein Concentration. J Anim Sci. 81(7); ProQuest.


(4)

Phung D. Le, Andre JA Aarink, Nico WM Ogink, Petra MB & Martin WA. 2005. Odour from Animal Production Facilities: its Relationship to Diet. Nut Res Rev (18): 3-30.

Ritter WF. 1998. Odour control of livestock wastes: state-of-the-art in North America. J Agr Eng Res (42): 51-62.

Rusilanti & Clara MK. 2007. Sehat dengan Makanan Berserat. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Setiawan H. 1996. Amonia, sumber pencemar yang meresahkan. Dalam: Infovet (Informasi Dunia Kesehatan Hewan). Edisi 037. Agustus. hal. 12.

Siagian A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Medan: USU Digital Library.

Silalahi J. 2006. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Kanisius.

Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine. United of State America: Mosby, Inc. hlm 87-115.

Smith RL & Williams RT. 1966. Glucoronic Acid. Free and Combine. New York and London: Academic Press.

Spoelstra SF. 1980. Origin of objectionable odorous components in piggery wastes and possibility of applying indicator components for studying odour development. Agr Env (5): 241-260.

Sunarto AT. 1992. Stelechocarpus burahol (Blume) Hook.f. & Thomson. In Coronel, R.E. & Verheij, E.W.M. (Eds.): Plant Resources of South-East Asia. No. 2: Edible fruits and nuts. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. pp. 290-291.

[TO] Tanaman Obat. 2008. Kepel. [terhubung berkala]. http://tanamanobat.org/ 452/kepel/ [18 Mei 2011].

Wathes CM, Jones JB, Kristensen HH, Jones EKM & Webster AJF. 2002. Aversion of pigs and domestic fowl to atmospheric ammonia. Trans Am Soc Agr Eng 45: 1605-1610.

Webster CRL. 2001. Clinical Pharmacology. Jackson: Titon New Media.

Wolfensohn S, Lloyd M. 1998. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare. Second Edition. USA: Blackwel Sci.


(5)

Yamakoshi J, Kataoka S, Hosoyama H, Ariga T. 2001. Effect of proanthocyanidin rich extract from grape seed on human fecal flora and fecal odor. Microbio Ecol Health Dis (7) 25-31.

Yamakoshi J, Kataoka S, Hosoyama H, Ariga T. 2002. Deodoant agents for oral use for discharges and method for relieving odor of discharges. US Patent 6395280. Yokoyama MT & Carlson JR. 1974. Dissimilation of tryptophan and related compounds


(6)

(Stelechocarpus burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin dan Fenol pada Feses Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh HERA

MAHESHWARI dan SITI SA’DIAH.

Kepel (Stelecocharpus burahol) atau burahol merupakan salah satu jenis buah yang hanya ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum dibudidayakan. Secara tradisional, kepel dipercaya memiliki banyak khasiat bagi tubuh. Buah ini dipercaya dapat digunakan untuk mengurangi bau badan, bau nafas, dan bau air seni.

Mencit merupakan salah satu hewan yang sering dijadikan sebagai hewan coba laboratorium karena mencit merupakan hewan yang memiliki kemampuan berkembang biak yang sangat tinggi. Selain itu, mencit juga mudah dipelihara dan reaksi obat yang diaplikasikan ke tubuhnya akan memperlihatkan efek yang cepat. Salah satu masalah yang sering muncul di laboratorium yang menjadikan mencit sebagai hewan coba adalah bau ekskreta yang dihasilkan oleh mencit (feses). Bau ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi kesehatan manusia maupun hewan itu sendiri sehingga berdampak pada hasil penelitian yang dihasilkan. Feses yang ditimbulkan dari kotoran berasal dari aktivitas mikroba pada saluran pencernaan yang menghasilkan produk amonia, trimetilamin, senyawa dekomposisi usus (indol, skatol, kresol, fenol, tiol) dan metil merkaptan yang berpotensi menimbulkan bau. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan efek pemberian serbuk buah kepel terhadap penurunan kadar amonia, trimetilamin dan fenol pada feses mencit.

Total mencit yang digunakan berjumlah 18 ekor yang dikelompokkan menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu kelompok yang diberi serbuk buah kepel dan kelompok yang diberi akuades sebagai kontrol negatif. Dosis yang diberikan adalah 2,6 mg/ gram berat badan melalui oral selama 7 hari. Feses yang diekskresikan dikumpulkan kemudian dianalisa dengan metode titrasi untuk mengetahui jumlah amonia dan trimetilamin, dan menggunakan spektrofotometri untuk mengetahui jumlah fenol.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian serbuk buah kepel pada mencit selama 7 hari dapat menurunkan kadar amonia dalam feses sebesar 75,5%, kadar fenol sebesar 42,4% dan kadar trimetilamin sebesar 75% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, penurunan kadar trimetilamin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.