Tinjauan Kepustakaan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Berkaitan Dengan Keselamatan Penerbangan Ditinjau Dari Hukum Agraria ( Studi Di Medan)

melakukan kegiatan tersebut sesuai dengan peraturan yang ada dengan memperhatikan secara khusus mengenai keselamatan penerbangan.

D. Keaslian Penulisan

“Sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan dtinjau dari segi hukum agraria studi di medan”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ada penulis lain yang mengemukakannya, dan penulis telah mengkonfirmasikannya kepada Sekretaris Departemen Hukum Agraria. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada melalui referensi buku-buku, pendapat hukum, putusan pengadilan, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak, dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sinkronisasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkron berarti pada waktu yang sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal Universitas Sumatera Utara menyinkronkan, penyerentakan. Dan sama juda dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan. 6 1. Sinkronisasi Vertikal Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substasi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi suplementer, saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat 1 menetapkan bahwa jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 6 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta, 2005. Universitas Sumatera Utara c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah; Di samping harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam sinkronisasi vertikal, harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 2. Sinkronisasi Horisontal Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Harmonisasi hukum ditegaskan pula dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional PROPENAS, sub- program pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa “sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Sinkronisasi vertikal dan horisontal menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang berlaku bagi suatu bidang yang sama itu sinkron. 7 Di Indonesia dalam konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998, Pasal 2 yang berbunyi sebagai 7 DR. Kusnu Goesniadhie S., SH., M.Hum, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, Halaman 23-24, JP Books, PT. Temprina Media Grafika Surabaya, cetakan pertama, 2006. Universitas Sumatera Utara berikut : “Dalam rangka penharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan ideologi negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD 1945, GBHN, undang-undang yang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tersebut. Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 18 ayat 2 menyebutkan “Pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang- undangan”. Prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara, merupakan salah satu asas materi muatan setiap peraturan perundang-undangan. 8 2. Pengertian Keselamatan Penerbangan Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, Pasal 1 angka 3 maka pengertian Keselamatan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya. 8 Ibid, Halaman 69-70. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481 selanjutnya disingkat UURI No. 1592, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan atau tinggal landas pesawat udara, naik turunnya penumpang dan atau bongkar muat kargo dan atau pos serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi. 9 Menurut data yang dapat diketemukan, tingkat kecelakaan pesawat udara berada di bandar udara dan sekitarnya, terutama pada saat tinggal landas dan atau pada saat mendarat approach. Menurut data tingkat kecelakaan pada Berdasarkan pasal tersebut di atas, untuk menjamin keselamatan penerbangan di bandar udara harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas navigasi penerbangan seperti Non-Directional Beacon NBD, VHF Very High Frequency Omni RangDistance Measuring Equipment VORDME, Instrument Landing System ILS, Primary Surveillance RadarSecondary Suveillance Radar PSSRSSR, Communication Comm, Visual Approach Slope IndicatorRunway End Indicator LightApproach Light System VASIREILALS bahkan pada bandar udara yang besar disediakan Microwave Landing System MLS yang lebih canggih dibandingkan ILS. Semua peralatan tersebut di atas harus andal sesuai dengan persyaratan dalam buku pedoman yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya, oleh karena itu setiap peralatan harus dikalibrasi agar dapat memenuhi persyaratan Pasal 20 UURI No. 1592 yang mengharuskan keandalan peralatan tersebut. 9 K. Martono, SH, LLM, Hukum Udara, Amgkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Halaman 119, CV. Mandar Maju, Cetakan Pertama, 1995, Bandung. Universitas Sumatera Utara saat tinggal landas mencapai 13-19 dari total kecelakaan pesawat udara sedangkan pada saat pesawat mendarat sejak approach mencapai 81-87 dari total kecelakaan pesawat udara. Memang pada saat terbang jelajah cruising level dapat juga terjadi kecelakaan pesawat udara, tetapi jumlahnya kecil sekali sehingga prosentasenya dapat diabaikan. 10 Berdasarkan data tersebut di atas, di bandar udara maupun sekitarnya harus bebas dari segala bentuk penghalang untuk menjamin keselamatan penerbangan, karena itu sesuai dengan Pasal 28 UURI No. 1592, siapapun juga dilarang berada di bandar udara, mendirikan bangunan, memiliki bangunan atau melakukan kegiatan-kegiatan lain dalam maupun di sekitar bandar udara yang membahayakan keselamatan penerbangan. Untuk itu telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 50 Tahun 1986 selanjutnya disebut PP No.5086. Di dalam PP No.5086 tersebut di atas telah di atur penyediaan tanah dan ruang udara untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan serta pemanfaatan fasilitas navigasi penerbangan, penetapan batas-batas keselamatan penerbangan, pengelolaan tanah di dalam bandar udara, pembagian beberapa kawasan yang membatasi penggunaan lahan di bawahnya. 11 Kawasan-kawasan di bandar udara dan sekitarnya ditetapkan oleh pemerintah. Kawasan-kawasan tersebut antara lain Kawasan Pendekatan dan Tinggal Lamdas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan Di atas Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Kerucut dan Permukaan Transisi dan lain-lain. Tanah-tanah di bawah kawasan tersebut pada prinsipnya diperbolehkan untuk dipergunakan tetapi harus memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan 10 Ibid, Halaman 120. 11 Ibid Universitas Sumatera Utara yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Persyaratan tersebut berbeda-beda antar bandar udara satu dengan bandar udara yang lain. Pada saat ini telah terdapat 10 keputusan Menteri Perhubungan yang mengatur batas-batas keselamatan operasi penerbangan yaitu bandar udara Bali Ngurah Rai International Airport di Bali, Juanda di Surabaya, Polonia di Medan, Sepinggan di Balikpapan, Hasanuddin di Ujung Pandang, SM Badaruddin II di Palembang, Tabing di Padang, Achmad Yani di Semarang, Adi Sumarno di Solo dan Frans Kaiseppo di Biak. Di dalam keputusan Menteri Perhubungan KM 32 Tahun 1994 tentang Batas-batas keselamatan Operasi Penerbangan di sekitar Bandara Udara Frans Kaiseppo di Biak, antara lain diatur batas-batas kawasan penerbangan di sekitar bandar udara Frans Kaiseppo yang terdiri dari Kawasan Pendekatan dan Lepas Landas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan Di bawah Permukaan Transisi, Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Di bawah Permukaan Kerucut, Kawasan di sekitar Penempatan Alat Navigasi Penerbangan yang ditetapkan berdasarkan persyaratan kategori I Nomor Kode 4 Annex 14 konvensi Chicago 1944 yang telah disahkan sebagai hukum nasional. 12 Semua kawasan Pendekatan dan Lepas Landas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan di bawah Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Di Bawah Permukaan Kerucut digambarkan dalam bentuk garis- garis yang menghubungkan titik-titik tertentu sehingga mudah ditemukan lokasinya. Di dalam keputusn tersebut di atas di samping mengatur berbagai kawasan juga di atur peralatan navigasi penerbangan yang dipergunakan serta 12 Ibid, halaman 121. Universitas Sumatera Utara penempatannya untuk bandar udara Frans Kaiseppo di Biak. Dikatakan alat navigasi penerbangan yang dipergunakan antara lain Non-Directional Beacon NBD, Very High Frequency Omni RangeDistance Measuring Equipment DME, Instrument Landing System ILS yang terdiri dari Localizer, Glide Path, Middle Marker dan Outer Marker, Radar dan Approach Lighting System ALS. Penempatan alat navigasi penerbangan tersebut juga digambarkan dalam lampiran keputusan tersebut dalam bentuk garis-garis yang menghubungkan titik-titik tertentu. Batas ketinggian pada masing-masing kawasan tersebut di atas juga ditetapkan. Menurut Pasal 18 tidak diperkenankan untuk mendirikan, mengubah atau melestarikan bangunan serta tidak diperkenankan menanam atau memelihara benda tumbuh di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan yang terdapat dalam Kawasan Pendekatan dan Lepas Landas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan Di Bawah Transisi, Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Di bawah Permukaan Kerucut dan Kawasan Penempatan Alat Navigasi Penerbangan. Setiap penggunaan air, tanah maupun udara di kawasan tersebut di atas tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap isyarat-isyarat navigasi penerbangan atau hubungan komunikasi antara petugas bandar udara dengan pesawat udara, menyulitkan penerbang yang membedakan antara lampu-lampu bandar udara dengan lampu lainnya; menyebabkan silau pada mata penerbang yang akan mempergunakan bandar udara; mengundang datangnya burung atau serangga atau dengan cara lain yang dapat membahayakan atau mengganggu pendaratan pesawat udara yang akan mempergunakan bandar udara. 13 13 Ibid, halaman 122. Universitas Sumatera Utara Pengecualian larangan tersebut di atas hanya ada ijin Menteri Perhubungan setelah mendengarkan pertimbangan Direktur Jenderal Perhubungan Udara melalui kajian khusus aeronautika sesuai dengan ketentuan teknis dan operasi keselamatan penerbangan bahwa bangunan atau ketinggian tersebut memang mutlak diperlukan adanya, tetapi harus dipasang lampu atau tanda-tanda lainnya atau beban biaya pada pemiliknya. Bangunan atau suatu benda yang ada secara alami berada di kawasan operasi keselamatan penerbangan dan ketinggiannya masih dalam batas ketinggian yang diperkenankan, tetapi diduga dapat membahayakan keselamatan operasi penerbangan, harus diberi tanda atau dipasangi lampu terhadap bangunan atau benda tersebut atas beban biaya pemiliknya. Pemberian tanda maupun pemberian lampu tersebut di atas atas dasar pedoman yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pengendalian batas-batas operasi keselamatan penerbangan baik di dalam lingkungan kerja bandar udara maupun di lingkungan kepentingan bandar udara dilakukan oleh Direktorat Jendral Perhubungan Udara, demikian pula pembangunan dan atau menanam pohon yang terletak di luar lingkungan kerja bandar udara tetap memerlukan rekomendasi dari Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Pelanggaran terhadap ketentuan batas-batas operasi keselamatan penerbangan diancam hukuman dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000,00 lima ribu rupiah disamping ancaman hukuman lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 14 14 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pada prinsipnya apapun yang berada di dalam bandar udara merupakan penghalang baik yang secara pisik dapat dilihat oleh manusia maupun tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Benda-benda bersifat sementara seperti gundukan tanah, tumpukan barang-barang bekas, bangunan, gedung yang menonjol di atas permukaan yang ditetapkan serta perbaikan landasan merupakan penghalang. Demikian pula penggunaan frekuensi radio di bandar udara juga merupakan penghalang. Instrument Landing System ILS sebagaimana disebutkan di atas sebenarnya juga merupakan penghalang obstacle karena dipasang diujung landasan, tetapi hal itu diperbolehkan apabila telah memenuhi persyaratan. Bahan- bahan yang dipergunakan untuk membuat ILS sedemikian rupa sehingga apabila ILS tersentuh pesawat udara tidak akan membahayakan pesawat udara. Demikian pula gedung terminal, DME, menara pengawas tower dan lampu-lampu landasan lainnya semuanya merupakam penghalang. 15 3. Pengertian Hukum Agraria Land berpendapat bahwa hukum itu adalah seperangkat peraturan- peraturan yang harus ditaati manusia-manusia dalam suatu masyarakat. Utrecht menyatakan bahwa hukum ialah himpunan petunjuk-petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, pelanggaran atas petunjuk-petujuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan-tindakan dari pihak pemerintah. Pengertian agraria dan hukum agraria dalam kamus. Bahasa Latin : Ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius yang berarti perladangan, 15 Ibid, halaman 123. Universitas Sumatera Utara persawahan pertanian. Bahasa Inggris : agrariam yang selalu diartikan sebagai tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Hukum agraria Belanda = agrarisch recht, Inggris = agrarian law adalah ketentuan-ketentuan keseluruhan dari Hukum Perdata, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Hukum Tata Usaha Negara yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenangnya. 16 Dimana didalam penjelasan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yakni “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. Landasan hukum pembentukan Hukum Agraria Nasional terdapat pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 1 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’. 17 Pengertian agraria dalam UUPA sangat mendasar dan semestinya dijadikan titik tolak bagi penetapan peraturan perundang-undangan yang terkait dengannya. Dalam Penjelasan Umum UUPA point I menyatakan bahwa Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di atas salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan 16 Tampil Anshari Siregar, Undang-undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2004. hal. 1-2. 17 Ibid, halaman 3. Universitas Sumatera Utara zaman dalam segala soal agraria. Kemudian rangkaian kata “bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” terdapat pula pada pasal 1 ayat 2 UUPA yang berbunyi : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumu, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Dan dalam pasal 2 ayat 1 UUPA yang berbunyi : “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia”. Pengertian agraria dalam arti sempit adalah tanah sedangkan dalam arti luas meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 18 1 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3 hak menguasai dari negara sebagai suatu wewenang yang penggunaannya untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat., pasal 9 ayat 2 azas persamaan antara laki-laki dan wanita. serta pasal 10 ayat 1 dan 2 larangan absentee. Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya : Untuk dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia atas agraria yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dibuat perencanaannya, baik secara umum maupun khusus terutama tentang peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. Pasal 14 UUPA menyatakan : 18 Ibid, halaman 4 -5. Universitas Sumatera Utara a. untuk keperluan negara, b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan, d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu, e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmograsi dan pertambangan. 2 Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar- besarnya bagi negara dan rakyat. Perencanaan tata ruang wilayah merupakan kegiatan menentukan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang agar memenuhi berbagai kebutuhan manusia dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Dengan demikian perencanaan ini sangatlah penting. Untuk terwujudnya suatu pembangunan yang baik dan berhasil haruslah mempunyai perencanaan yang matang dan baik serta dapat dilaksanakan. Perencanaan merupakan suatu alat untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya yang tersedia dalam satu wilayah atau daerah dalam rangka mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya dalam kurun waktu tertentu. 19 1 Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 7 Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan : 19 Zaidar, Op.cit, halaman 26. Universitas Sumatera Utara 2 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. 3 Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Berdasarkan Pasal 2 UUPR UU No. 26 Tahun 2007 ditegaskan sebagai berikut: “dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: a. keterpaduan; b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c. keberlanjutan; d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; e. keterbukaan; f. kebersamaan dan kemitraan; g. perlindungan kepentingan umum; h. kepastian hukum dan keadilan; dan i. akuntabilitas.” Dengan penjelasan sebagai berikut. 20 Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Huruf a 20 Hasni, SH., MH., Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam konteks UUPA-UUPR-UUPLH, PT. Rajagrafindo Persada, 2008, Jakarta, hal. 132-133. Universitas Sumatera Utara Huruf b Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannnya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan pedesaan. Huruf c Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memerhatikan kepentingan generasi mendatang. 21 21 Ibid, halaman 133 Huruf d Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan keberhasilan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas. Huruf e Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. Huruf f Universitas Sumatera Utara Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Huruf g Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. 22 22 Ibid, halaman 134. Huruf h Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukumketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum. Huruf i Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya. Adapun yang menjadi tujuan penataan ruang ditegaskan dalam Pasal 3 UUPR bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan : Universitas Sumatera Utara a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memerhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Pengertian “aman” yang dimaksud di sini adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Kemudian yang dimaksud dengan “nyaman” adalah keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai. 23 23 Ibid, halaman 135. Sementara itu, yang dimaksud dengan “produktif” adalah proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing. “Berkelanjutan” adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam terbarukan. Perencanaan tata ruang menghasilkan apa saja dan bagaimana hierarki rencana tata ruang ditegaskan oleh Pasal 14 UUPR sebagai berikut : 1 Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan: a. rencana umum tata ruang; dan b. rencana rinci tata ruang. Universitas Sumatera Utara 2 Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a secara berhierarki terdiri atas: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Tata Ruang Provinsi; dan c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. 3 Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b terdiri atas: a. rencana tata ruang pulaukepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional; b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan c. rencana detail tata ruang kabupatenkota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupatenkota. 4 Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. 5 Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf a dan huruf b disusun apabila: a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; danatau b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan. 6 Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. Universitas Sumatera Utara 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata ruang diatur, dengan peraturan pemerintah.

F. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perlindungan Keselamatan Penumpang Sipil Dalam Penerbangan Militer Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan (Studi Kecelakaan Pesawat Hercules A-1310)

0 11 110

Perlindungan Dana Nasabah Terhadap Pencurian Dana Nasabah Melalui Internet Banking Dengan Modus Sinkronisasi Token Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Perbankan.

0 0 1

PELAKSANAAN PROYEK OPERASI NASIONAL AGRARIA DI KECAMATAN TAROGONG KALER KABUPATEN GARUT DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.

0 0 1

Aspek Hukum Perlindungan Kesetan Penumpang Sipil Dalam Penerbangan Militer Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan (Studi Kecelakaan Pesawat Hercules A-1310)

0 0 8

Aspek Hukum Perlindungan Kesetan Penumpang Sipil Dalam Penerbangan Militer Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan (Studi Kecelakaan Pesawat Hercules A-1310)

0 0 1

Aspek Hukum Perlindungan Kesetan Penumpang Sipil Dalam Penerbangan Militer Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan (Studi Kecelakaan Pesawat Hercules A-1310)

0 0 15

Aspek Hukum Perlindungan Kesetan Penumpang Sipil Dalam Penerbangan Militer Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan (Studi Kecelakaan Pesawat Hercules A-1310)

0 0 29

Aspek Hukum Perlindungan Kesetan Penumpang Sipil Dalam Penerbangan Militer Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan (Studi Kecelakaan Pesawat Hercules A-1310)

0 0 3

Aspek Hukum Perlindungan Kesetan Penumpang Sipil Dalam Penerbangan Militer Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan (Studi Kecelakaan Pesawat Hercules A-1310)

0 0 17

DISHARMONI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG AGRARIA

0 1 14