1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhan- kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder, maupun
tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, dalam perkembangan
perekonomian masyarakat yang semakin meningkat, muncul jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank syariah dan
lembaga keuangan non bank syariah. Indonesia merupakan negara dengan sekitar delapan puluh tujuh
persen dari 200 juta penduduknya memeluk agama Islam Badan Pusat Statistik dalam Laporan Tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Indonesia, 2012:13. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat umum dan masyarakat muslim khususnya, terdapat keinginan untuk
melakukan transaksi utang piutang dengan prinsip syariah Islam Supramono, 2009:132. Hal tersebut dikarenakan Islam tidak
menghendaki riba, salah satu ayat Al-Quran yang melandasi prinsip ini yaitu:
ابِّلا َّحو عيبلا ه لا َّحأو.....
“.... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” QS. Al-Baqarah: 275
Semakin banyaknya kebutuhan akan layanan jasa perbankan yang
berprinsip syariah dan dengan dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 1998
2
tentang perubahan undang-undang No.7 Tahun 1992 serta dikeluarkannya Fatwa Bunga Bank Haram dari Majelis Ulama Indonesia MUI tahun
2003, banyak bank konvensional yang mendirikan biro-biro syariah maupun pendirian bank syariah itu sendiri Iriyadi dan Oktafiyanthi,
2007:1. Hal ini juga disebabkan karena bank syariah mampu bertahan pada saat perbankan nasional mengalami krisis cukup parah pada tahun
1998 Djuarni, 2011:1. Bank syariah merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau bentuk-bentuk lainnya
berdasarkan prinsip syariah dan dalam menarik imbalan jasa berdasarkan sistem bagi hasil. Terdapat beberapa jenis pembiayaan didalam bank
syariah, yaitu murabahah, mudharabah, musyarakah, salam, dan istishna. Komposisi pembiayaan pada bank umum syariah dan unit usaha
syariah dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Komposisi Pembiayaan Pada Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah Milyar Rupiah
Akad 2007
2008 2009
2010 2011
2012 Mudharabah
5.578 6.205
6.597 8.631
10.229 12.023
Musyarakah 4.406
7.411 10.412
14.624 18.960
27.667 Murabahah
16.533 22.486
26.321 37.508
56.365 88.004
Salam Istishna
351 369
423 347
326 376
Ijarah 516
765 1.305
2.341 3.839
7.345 Qardh
540 959
1.829 4.731
12.937 12.090
Lainnya Total
27.994 38.195
46.886 68.181 102.655 147.505
Sumber: Statistik Perbankan Syariah – Bank Indonesia
3
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan murabahah merupakan jenis pembiayaan dengan kontribusi terbesar dalam
komposisi pembiayaan yang diberikan oleh bank umum syariah dan unit usaha syariah. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan margin yang disepakati oleh penjual dan pembeli Widodo, 2010:19. Terkait dengan transaksi
murabahah sebagai pemberi kontribusi terbesar dalam pembiayaan, PT Bank Syariah Mandiri merupakan salah satu bank syariah dengan jumlah
pembiayaan murabahah terbesar dibandingkan dengan pembiayaan yang lain, meskipun jumlahnya tidak jauh berbeda dengan transaksi ijarah.
Tabel 1.2 Pertumbuhan Pembiayaan
Murabahah Dibandingkan Transaksi Pembiayaan Lain
PT Bank Syariah Mandiri
Jenis Pembiayaan
2009 2010
2011 Piutang
murabahah Rp 8.114.527.271.903 Rp 12.681.133.009.729 Rp 19.773.813.386.544
Piutang Ijarah
Rp 7.822.981.065.484 Rp 12.368.814.579.379 Rp 19.336.318.545.470 Pembiayaan
mudharabah dan
musyarakah Rp 6.276.294.769.699
Rp 8.394.986.953.161 Rp 9.702.953.278.657
Sumber: Laporan keuangan tahunan PT Bank Syariah Mandiri Murabahah dalam pengertiannya adalah moda jual-beli dan bukan
instrumen pembiayaan. Murabahah sebagai moda pembiayaan pada awalnya muncul saat dipergunakan oleh Islamic Development Bank dalam
operasional usahanya pada tahun 1975 Tariqullah Khan dalam Widodo,
4
2010:19. Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada praktik murabahah di perbankan syariah, namun hal ini mengindikasikan bahwa
produk murabahah direspon secara luas Rahmawaty, 2007:193. Pada tataran aplikasinya, pembiayaan murabahah mengindikasikan adanya
duplikasi pinjaman atau kredit dari bank konvensional, dengan realisasi perhitungan marjinnya mengacu ke bunga bank konvensional Widodo,
2010:34. Hal ini diperjelas dengan adanya Fatwa No. 84DSN- MUIXII2012 yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional DSN
Majelis Ulama Indonesia MUI pada tanggal 21 Desember 2012 mengenai metode pengakuan keuntungan tamwil bi al-murabahah. Fatwa
tersebut menyatakan bahwa pengakuan keuntungan murabahah dalam bisnis yang dilakukan oleh para pedagang al-tujjar boleh dilakukan
secara proporsional thariqah mubasyirah, yaitu telah dicantumkan dalam Pernyataan Standar Akunntansi Keuangan PSAK No. 102 tentang
Akuntansi Murabahah,
dan anuitas
thariqah al-
hisab ‘al- tanazuliyyahthariqah tanaqushiyyah selama
sesuai dengan „urf kebiasaan yang berlaku di kalangan lembaga keuangan syariah.
Selanjutnya, fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI mengundang reaksi Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan Akuntan Indonesia IAI
untuk mengeluarkan Buletin Teknis No. 9 pada tanggal 16 Januari 2013. Buletin teknis ini menjelaskan bahwa fatwa mengenai metode anuitas yang
dikeluarkan DSN MUI disebabkan karena pembiayaan murabahah yang keuntungannya diakui secara anuitas didasarkan pada fakta bahwa
5
pembiayaan murabahah adalah penyediaan dana oleh lembaga keuangan syariah yang disalurkan kepada nasabah dengan mekanisme jual-beli.
Dalam akuntansi kegiatan seperti ini secara substansi dikategorikan sebagai kegiatan pembiayaan financing, karena pengakuan keuntungan
dengan menggunakan metode anuitas dihitung dari outstanding pokok pembiayaan dan bukan dari pokok pembiayaan. Menurut Widodo 2010:
44, dengan memperhatikan cara perhitungan imbalan atau return murabahah tersebut, tampaklah secara jelas bahwa metode perhitungan
demikian telah melakukan pergeseran fondasi transaksi atau akad murabahah yang seharusnya hakekatnya adalah jual-beli dengan objek
barang menjadi utang-piutang dengan objek uang dengan wujud yang dinamakan pembiayaan.
Selanjutnya, buletin teknis yang dikeluarkan oleh IAI menjelaskan bahwa akuntansi untuk pembiayaan murabahah yang substansinya
dikategorikan sebagai kegiatan pembiayaan financing mengacu pada PSAK No. 55 tentang Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran,
PSAK No. 50 tentang Instrumen Keuangan: Penyajian, PSAK No. 60 tentang Instrumen Keuangan: Pengungkapan, dan PSAK lain yang
relevan. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah yang menerapkan anuitas untuk pengakuan laba transaksi pembiayaan murabahah sesuai
Fatwa DSN No.84DSN-MUIXII2012 harus melakukan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan pembiayaan murabahah sesuai
dengan PSAK-PSAK tersebut, termasuk akuntansi untuk penurunan nilai
6
dari pembiayaan murabahah dan pengungkapan risiko secara kualitatif dan kuantitatif yang timbul dari pembiayaan tersebut.
Dengan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai metode pengakuan keuntungan pembiayaan
murabahah dan pedoman PSAK yang digunakan oleh PT Bank Syariah Mandiri dalam pencatatan akuntansinya. Keunggulan penelitian ini adalah
peneliti menganalisis metode anuitas di dalam penelitian ini dan membandingkannya dengan metode proporsional sehingga dapat diketahui
pengakuan keuntungannya masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul
“Analisis Metode Pengakuan Keuntungan Pembiayaan
Murabahah Pada PT Bank Syariah Mandiri
”. B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode dan pencatatan akuntansi pengakuan pengakuan keuntungan pembiayaan murabahah di PT Bank Syariah Mandiri?
2. Apakah metode tersebut telah sesuai dengan PSAK No. 102 tentang Akuntansi Murabahah?
C. Tujuan dan Manfaat Penlitian