Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai Dasar Penentuan Perbaikan Jalan.

(1)

EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN SEBAGAI

DASAR PENENTUAN PERBAIKAN JALAN

040404081

MIKAEL ABDI MANURUNG

Disetujui Oleh :

Pembimbing

NIP. 19731109 200012 1001

Yusandy Aswad ST. MT

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK USU

2010


(2)

ABSTRAK

Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat

pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Didalam undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang prasarana jalan, disebutkan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam mewujudkan perkembangan kehidupan bangsa. Maka jalan darat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Seiring dengan berjalannya waktu, lapisan perkerasan jalan akan mengalami penurunan tingkat pelayanan. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi pada setiap segmen di sepanjang ruas jalan dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, maka akan dapat memperburuk kondisi lapisan perkerasan sehingga dapat mempengaruhi keamanan, kenyamanan, dan kelancaran dalam berlalu lintas, sehingga perlu dilakukan program pemeliharaan dan rehabilitasi. Pemeliharaan dan rehabilitasi kerusakan jalan ini juga

memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu diperlukan evaluasi kondisi kerusakan jalan untuk menentukan jenis pemeliharaan dan penanganan apa yang tepat untuk dilaksanakan.

Studi evaluasi kondisi kerusakan jalan pada studi ini dilakukan melalui survei visual, yaitu dengan mengukur panjang, lebar, dalam serta luasan dari tiap kerusakan yang terjadi. Kategori jenis kerusakan yang ditinjau adalah alligator cracking, bleeding, block cracking, bumps and sags, corrugation, depression, edge cracking, joint reflection, lane/shoulder drop off, longitudinal and transverse cracking, patching and utility cut patching, polished aggregate, potholes, railroad crossings, rutting, shoving, slippage cracking, swell, weathering and ravelling. Untuk analisa pengambilan keputusan digunakan beberapa metode pendekatan yaitu metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI).

Studi dilakukan terhadap ruas jalan Setia Budi Medan, dengan panjang jalan yang diamati sepanjang 5.4 km yang dibagi dalam 54 segmen jalan dimana tiap segmen panjangnya 100 m. Jenis kerusakan yang terjadi pada ruas jalan Setia Budi Medan terdiri dari ravelling, alligator cracking, patching, longitudinal and transverse cracking, shoving, corrugation, depression, potholes dan rutting. Hasil analisa menggunakan metode Bina Marga didapat nilai urutan prioritas adalah 8.167 dengan program pemeliharaan rutin sebagai alternatif pemeliharaan yang sesuai. Hasil analisa menggunakan metode PCI didapat nilai PCI jalan adalah 66.444 dimana jalan termasuk dalam tingkat jalan dengan kondisi baik (good) sehingga alternatif jenis pemeliharaan yang sesuai adalah program pemeliharaan rutin.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan menempuh ujian sarjana pada Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tugas akhir ini adalah “ Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai Dasar Penentuan Perbaikan Jalan ”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penulisan Tugas Akhir ini banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, untuk segala rahmat dan berkat-Nya.

2. Bapak Yusandy Aswad, ST.MT sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran ataupun masukan yang sangat berharga dalam penyusunan/penulisan Tugas Akhir ini hingga selesai.

3. Bapak Prof.Dr.Ing. Johannes Tarigan sebagai ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Ir. Terunajaya, Msc sebagai sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak dan Ibu Dosen Pembanding yang telah memberikan masukan dan waktunya dalam penyelesaian Tugas akhir ini.

6. Istimewa untuk orang tua tercinta, st.B.A. Manurung dan dra. L. Sirait yang senantiasa mencurahkan segenap kasih sayang dan segala dukungan yang tidak dapat terbalas oleh penulis.


(4)

7. Untuk keluarga besar penulis Dr. Argen Manurung / Ria Yap, Bsc serta sheryll (keluarga abang penulis), Hotman Dolok Saribu, ST / Sofia Manurung, Amd serta cecia (keluarga kakak penulis), dan adik (Reni Manurung, Amd), terima kasih atas cinta, doa dan dukungannya kepada penulis.

8. Buat semua sahabat penulis (Mejen, leo, Bens, Cot Dogol, Jon Dod, Waloed, Bolon, Jun, Lae Cecep, Lae Suryo, Ical, Gajut, Ijal, Perdi, Jong Elak, Jack, Samm, Mario, Joko, Nuek, Ndre, Pre Robb, Pe2ng, Gober, Emir, Ari, Royhan, Sulaiman, Amrin, Rustxell) beserta semua teman-teman stambuk 04, 05, 06, 07 dan 08 yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas segala doa dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta referensi yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik demi perbaikan pada masa-masa yang akan datang.

Medan, 2010

04 0404 081


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

DAFTAR PUSTAKA ... x

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 3

I.3 Pembatasan Masalah ... 4

I.4 Tujuan Penulisan ... 5

I.5 Metodologi Penulisan ... 5

I.6 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA II.1 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan ... 10

II.2 Konstruksi Perkerasan Lentur ... 11

II.3 Sifat Perkerasan Lentur ... 15

II.4 Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur ... 17

II.5 Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur ... 18

II.5.1 Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga ... 18 II.5.2 Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Pavement


(6)

Condition Index (PCI) ... 33

II.6 Jenis Pemeliharaan Jalan ... 42

BAB III METODOLOGI III.1 Tujuan Metodologi ... 43

III.2 Bagan Alir (Flowcart) Studi ... 43

III.3 Metode Pendekatan Penilaian Kondisi Perkerasan Lentur... 45

III.3.1 Metode Bina Marga ... 45

III.3.1.1 Penilaian Kondisi Perkerasan ... 45

III.3.1.2 Urutan Prioritas ... 47

III.3.2 Metode Pavement Condition Index (PCI) ... 50

III.3.2.1 Penilaian Kondisi Perkerasan ... 50

III.3.2.2 Klasifikasi Kualitas Perkerasan dan Penentuan Jenis Pemeliharaan ... 72

BAB IV PENGUMPULAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA IV.1 Pengumpulan Data ... 74

IV.1.1 Data Kondisi Jalan ... 74

IV.1.2 Data Kondisi Kerusakan Jalan ... 75

IV.1.3 Data Lalu Lintas ... 80

IV.2 Pengolahan Data ... 82

IV.2.1 Analisa Data dengan Metode Bina Marga ... 82

IV.2.1.1 Penilaian Kondisi Jalan ... 83

IV.2.1.2 Penentuan Urutan Prioritas ... 89

IV.2.2 Analisa Data dengan Metode Pavement Condition Index (PCI) ... 89


(7)

IV.2.2.2 Klasifikasi Jenis Perkerasan dan Program Pemeliharaan .. 110 IV.3 Perbandingan Hasil Analisa Data Menurut Metode Bina Marga dan

Metode Pavement Condition Index (PCI) ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan ... 113 V.2 Saran ... 114


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Antara Perkerasan Lentur dan Perkerasan Kaku .... 11

Tabel 2.2 Tingkat Kerusakan Lubang (Potholes) ... 39

Tabel 3.1 Nilai Kondisi Jalan ... 48

Tabel 3.2 Kelas Lalu Lintas untuk Penilaian Kondisi Jalan ... 49

Tabel 4.1 Data Luas Kerusakan Jalan ... 76

Tabel 4.2 Data Volume Lalu Lintas ... 81

Tabel 4.3 Penilaian Kondisi Jalan Tiap Segmen ... 87

Tabel 4.4 Nilai Deduct Value Tiap Jenis dan Tingkat Kerusakan ... 105


(9)

ABSTRAK

Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat

pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Didalam undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang prasarana jalan, disebutkan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam mewujudkan perkembangan kehidupan bangsa. Maka jalan darat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Seiring dengan berjalannya waktu, lapisan perkerasan jalan akan mengalami penurunan tingkat pelayanan. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi pada setiap segmen di sepanjang ruas jalan dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, maka akan dapat memperburuk kondisi lapisan perkerasan sehingga dapat mempengaruhi keamanan, kenyamanan, dan kelancaran dalam berlalu lintas, sehingga perlu dilakukan program pemeliharaan dan rehabilitasi. Pemeliharaan dan rehabilitasi kerusakan jalan ini juga

memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu diperlukan evaluasi kondisi kerusakan jalan untuk menentukan jenis pemeliharaan dan penanganan apa yang tepat untuk dilaksanakan.

Studi evaluasi kondisi kerusakan jalan pada studi ini dilakukan melalui survei visual, yaitu dengan mengukur panjang, lebar, dalam serta luasan dari tiap kerusakan yang terjadi. Kategori jenis kerusakan yang ditinjau adalah alligator cracking, bleeding, block cracking, bumps and sags, corrugation, depression, edge cracking, joint reflection, lane/shoulder drop off, longitudinal and transverse cracking, patching and utility cut patching, polished aggregate, potholes, railroad crossings, rutting, shoving, slippage cracking, swell, weathering and ravelling. Untuk analisa pengambilan keputusan digunakan beberapa metode pendekatan yaitu metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI).

Studi dilakukan terhadap ruas jalan Setia Budi Medan, dengan panjang jalan yang diamati sepanjang 5.4 km yang dibagi dalam 54 segmen jalan dimana tiap segmen panjangnya 100 m. Jenis kerusakan yang terjadi pada ruas jalan Setia Budi Medan terdiri dari ravelling, alligator cracking, patching, longitudinal and transverse cracking, shoving, corrugation, depression, potholes dan rutting. Hasil analisa menggunakan metode Bina Marga didapat nilai urutan prioritas adalah 8.167 dengan program pemeliharaan rutin sebagai alternatif pemeliharaan yang sesuai. Hasil analisa menggunakan metode PCI didapat nilai PCI jalan adalah 66.444 dimana jalan termasuk dalam tingkat jalan dengan kondisi baik (good) sehingga alternatif jenis pemeliharaan yang sesuai adalah program pemeliharaan rutin.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, telah banyak mengalami peningkatan yang pesat dalam intensitas aktifitas sosial ekonomi seiring dengan kemajuan ekonomi yang telah terjadi. Aktifitas masyarakat seiring dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat di suatu wilayah merupakan faktor utama pembangkit kebutuhan perjalanan sehingga pada akhirnya perlu adanya tingkat efisiensi, keamanan, serta kenyamanan dalam perjalanan. Peningkatan jumlah pergerakan yang terjadi juga akan menuntut kualitas maupun kuantitas prasarana yang harus seimbang.

Perkembangan suatu negara sangat berhubungan dengan perkembangan jaringan jalan pada negara tersebut. Jaringan jalan sebagai urat nadi pembangunan nasional merupakan prioritas pertama dan utama dalam perkembangan suatu negara dan juga merupakan prasarana bagi masyarakat dalam melakukan aktifitas.

Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Didalam undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang prasarana jalan, disebutkan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam mewujudkan perkembangan kehidupan


(11)

bangsa. Maka jalan darat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Lapisan perkerasan jalan akan mengalami penurunan tingkat pelayanan. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi pada setiap segmen di sepanjang ruas jalan dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, maka akan dapat memperburuk kondisi lapisan perkerasan sehingga dapat mempengaruhi keamanan, kenyamanan, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pada umumnya, jalan direncanakan memiliki umur rencana pelayanan tertentu sesuai kebutuhan dan kondisi lalu lintas yang ada, misalnya 10 sampai dengan 20 tahun, dengan harapan bahwa jalan masih tetap dapat melayani lalu lintas dengan tingkat pelayanan pada kondisi yang baik. Untuk mencapai pelayanan pada kondisi yang baik selama umur rencana tersebut, diperlukan adanya upaya pemeliharaan jalan.

Pemeliharaan jalan disini adalah kegiatan mempertahankan, memperbaiki, menambah ataupun mengganti bangunan fisik yang telah ada agar fungsinya tetap dapat dipertahankan atau ditingkatkan untuk waktu yang lebih lama. Pemeliharaan rutin adalah penanganan jalan yang hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk dapat meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun. Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan jalan yang dilakukan pada waktu – waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kemampuan struktural. Peningkatan adalah penanganan jalan guna memperbaiki


(12)

pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan geometriknya agar mencapai tingkat pelayanan sesuai dengan yang direncanakan.

Pemeliharaan jalan merupakan suatu kegiatan untuk memperpanjang atau setidaknya dapat mencapai umur rencana jalan, dimana upaya pemeliharaan jalan ini mempunyai tujuan utama yaitu :

1. Melindungi permukaan dan struktur jalan serta mengurangi tingkat kerusakan jalan sehingga dapat memperpanjang umur rencana.

2. Memperkecil biaya pengoperasian kendaraan pada jalan dengan membuat permukaan jalan halus dan nyaman.

3. Menjaga agar jalan tetap dalam keadaan kokoh dan aman, sehingga memberikan keamanan bagi pengemudi yang menggunakan jalan, dan dapat memberikan kondisi pelayanan terhadap transportasi yang dapat diandalkan.

Pemeliharaan dan rehabilitasi kerusakan jalan ini juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu diperlukan evaluasi kondisi kerusakan perkerasan untuk menentukan jenis pemeliharaan dan penanganan apa yang tepat untuk dilaksanakan.

I.2. Perumusan Masalah

Prasarana jalan yang terbebani oleh volume lalu lintas yang tinggi dan berulang-ulang akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas jalan. Sebagai indikatornya dapat diketahui dari kondisi permukaan jalan, baik kondisi struktural maupun kondisi fungsionalnya yang mengalami kerusakan.


(13)

Oleh sebab itu maka perlu dilakukan penelitian awal terhadap kondisi permukaan jalan yaitu dengan melakukan survai secara visual yang berarti dengan cara melihat dan menganalisa kerusakan tersebut berdasarkan jenis dan tingkat kerusakannya untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan pemeliharaan dan perbaikan.

I.3. Pembatasan Masalah

Agar penulisan tugas akhir ini dapat terarah dan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan pembatasan masalah, yaitu sebagai berikut :

1. Penulis hanya membahas kondisi kerusakan pada perkerasan jalan lentur (flexible pavement) sebagai dasar penentuan jenis penanganan.

2. Kerusakan-kerusakan yang ditinjau adalah keretakan jalan (cracking), kerusakan tepi (edge break), alur (rutting), keriting (corrugations), lubang-lubang (patholes), jembul (shoving), penurunan setempat (deformations), kegemukan aspal (bleeding), pelepasan butiran (ravelling), tambalan (patching), pengausan (polished aggregate), pembengkakan jalan (swell), tonjolan (bumps and sags), penurunan pada bahu jalan (lane/shoulder drop off), dan perlintasan kereta api pada jalan raya (railroad crossing).

3. Data – data yang digunakan didapat melalui survei visual yaitu berupa data panjang, lebar, luasan, serta kedalaman tiap jenis kerusakan yang terjadi. Dan juga data volume lalu lintas harian.

4. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI).


(14)

I.4. Tujuan Penulisan

Sehubungan dengan permasalahan kerusakan pada lapisan perkerasan jalan yang mempengaruhi tingkat pelayanan jalan, maka tugas akhir ini bertujuan untuk :

1. Menilai kondisi perkerasan jalan guna mengetahui jenis dan tingkat kerusakan yang terjadi serta menentukan jenis pemeliharaan yang sesuai. 2. Membandingkan hasil analisa metode Bina Marga dengan metode

Pavement Condition Index (PCI) dalam mengevaluasi kerusakan jalan.

I.5. Metodologi Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah :

a. Studi literatur yaitu dengan mengumpulkan data-data dan keterangan dari buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan pada tugas akhir ini serta masukan-masukan dari dosen pembimbing. Data – data yang digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan jalan yaitu berupa data panjang, lebar, luasan, serta kedalaman tiap jenis kerusakan yang terjadi. Dan juga data volume lalu lintas harian.

b. Untuk analisis data dalam menentukan tingkat kerusakan jalan sebagai dasar untuk menentukan upaya perbaikan jalan dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pendekatan antara lain dengan metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI).


(15)

a. Metode Bina Marga

Penilaian kondisi jalan berdasarkan metode bina marga yaitu dengan melakukan survey di lapangan dan hasil survey dibagi dalam beberapa segmen. Kerusakan yang dilihat antara lain adalah keretakan (cracking), alur (rutting), lubang (potholes) atau tambalan (patching), dan amblas (depression). Dalam menentukan nilai tiap kerusakan, dapat dilakukan dengan mengukur luas, lebar atau dalam yang dilihat di lapangan dan masing – masing keadaan tersebut menunjukkan skala kondisi jalan, mulai dari keadaan rusak berat sampai ringan.

Selanjutnya, kita dapat menentukan tingkat urutan prioritas jalan tersebut yang digunakan untuk mengetahui skala prioritas suatu kondisi perkerasan suatu jalan. Sehingga dapat diambil keputusan dalam menentukan jenis pemeliharaan yang sesuai untuk kondisi suatu ruas jalan.

b. Metode Pavement Condition Index (PCI)

Pavement Condition Index (PCI) adalah sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat dan luas kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai PCI ini memiliki rentang 0 – 100 dengan kriteria sempurna (excellent), sangat baik (very good), baik (good), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), dan gagal (failed). Adapun penilaian kondisi kerusakan dengan menggunakan metode Pavement Condition Index yaitu dengan meneliti:

1. Density (Kadar kerusakan)

Density atau kadar kerusakan adalah persentasi luasan dari suatu jenis kerusakan terhadap luasan suatu unit segmen yang diukur


(16)

dalam meter persegi atau meter panjang. Nilai density suatu jenis kerusakan juga dibedakan berdasarkan tingkat kerusakan. 2. Deduct Value (Nilai pengurangan)

Deduct value adalah nilai pengurangan untuk tiap jenis kerusakan yang diperoleh dari kurva hubungan antara density dan deduct value. Deduct value juga dibedakan atas tingkat jenis kerusakan.

3. Total Deduct Value (TDV)

Adalah nilai total deduct value untuk tiap jenis kerusakan dan tingkat kerusakan pada suatu unit penelitian.

4. Corrected Deduct Value (CDV)

Corrected deduct value diperoleh dari kurva hubungan antara nilai TDV dengan nilai CDV dengan pemilihan lengkung kurva sesuai dengan jumlah nilai individual deduct value yang mempunyai nilai lebih besar dari 5. Jika nilai CDV diketahui, maka nilai PCI untuk tiap unit dapat diketahui dengan rumus:

PCI(s) = 100 – CDV dengan :

PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit CDV = Corrected Deduct Value untuk tiap unit 5. Klasifikasi Kualitas Perkerasan

Dari nilai PCI masing-masing unit penelitian daapat diketahui kualitas lapis perkerasan untuk unit segmen berdasarkan kondisi tertentu yaitu sempurna (excellent), sangat baik (very good),


(17)

baik (good), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), dan gagal (failed).

c. Analisa hasil keputusan dari kedua metode yang digunakan.

I.6. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai tujuan penulisan tugas akhir ini dilakukan beberapa tahapan yang dianggap perlu. Metode dan prosedur pelaksanaannya secara garis besar adalah sebagai berikut.

BAB.I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian ini, ruang lingkup pembahasan dan sistematika penulisan.

BAB.II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini meliputi pengambilan teori dari berbagai sumber bacaan yang mendukung analisa permasalahan yang berkaitan dengan Tugas Akhir ini.

BAB.III METODOLOGI PENULISAN

Bab ini membahas tentang pendiskripsian dan langkah-langkah kerja serta tata cara yang akan dilakukan dalam mengevaluasi tingkat kerusakan serta upaya perbaikan dan pemeliharaan berdasarkan metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI).

BAB.IV PENGUMPULAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA


(18)

metode Pavement Condition Index (PCI) untuk mendapatkan beberapa kesimpulan.

BAB.V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan logis berdasarkan analisa data, temuan dan bukti yang disajikan sebelumnya yang menjadi dasar untuk menyusun suatu saran sebagai suatu usulan


(19)

BAB II

PERKERASAN JALAN RAYA

2.1. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat.

Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan atas :

a. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

b. Konstruksi perkerasan kaku (Rigit Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasat dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.

c. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentur.


(20)

Tabel 2.1. Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku Perkerasan lentur Perkerasan kaku

1 Bahan pengikat Aspal Semen

2 Repetisi beban Timbul Rutting (lendutan pada jalur roda)

Timbul retak-retak pada permukaan

3 Penurunan tanah dasar

Jalan bergelombang (mengikuti tanah dasar)

Bersifat sebagai balok diatas perletakan 4 Perubahan

temperatur

Modulus kekakuan berubah.

Timbul tegangan dalam yang kecil

Modulus kekakuan tidak berubah.

Timbul tegangan dalam yang besar

Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung

Sesuai dengan pembatasan masalah, maka untuk pembahasan selanjutnya hanya akan dibahas tentang konstruksi perkerasan lentur saja.

2.2. Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan

Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu sendiri adalah material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu temperatur tertentu, aspal dapat menjadi lunak / cair sehingga dapat membungkus partikel agregat pada waktu pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis). Sifat aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh sehingga daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini dapat diatasi / dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan langkah-langkah yang baik dalam proses pelaksanaan.

Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk


(21)

Lapisan Permukaan (surface course)

Lapisan Pondasi Atas (base course)

Lapisan Pondasi Bawah (sub base course)

Lapisan Tanah Dasar (subgrade) menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :

Gambar 2.1. Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur a. Lapisan permukaan (Surface Course)

Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis pondasi.

Fungsi lapis permukaan antara lain :

• Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.

• Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca.

• Sebagai lapisan aus (wearing course)

Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu


(22)

mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

b. Lapisan pondasi atas (Base Course)

Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar.

Fungsi lapis pondasi antara lain :

• Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.

• Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen, aspal, pozzolan, atau kapur.

c. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course)

Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :

• Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda.


(23)

• Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya konstruksi).

• Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.

• Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.

Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR > 20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen portland, dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

d. Lapisan tanah dasar (Subgrade)

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR (Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.

MR (psi) = 1.500 x CBR


(24)

• Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu sebagai akibat beban lalu-lintas.

• Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.

• Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau akibat pelaksanaan konstruksi.

• Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas untuk jenis tanah tertentu.

• Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.

2.3. Sifat Perkerasan Lentur Jalan

Aspal yang dipergunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai:

a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dengan agregat dan antara aspal itu sendiri.

b. Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang ada dari agregat itu sendiri.

Dengan demikian, aspal haruslah memiliki daya tahan (tidak cepat rapuh) terhadap cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat elastis yang baik.


(25)

a. Daya tahan (durability)

Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat, campuran dengan aspal, faktor pelaksanaan dan sebagainya.

b. Adhesi dan Kohesi

Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadi pengikatan.

c. Kepekaan terhadap temperatur

Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperature bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil produksi aspal berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut mempunyai jenis yang sama.

d. Kekerasan aspal

Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat yang telah disiapkan pada proses peleburan. Pada waktu proses pelaksanaan, terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas (viskositas bertambah tinggi). Peristiwa perapuhan terus berlangsung setelah masa pelaksanaan selesai. Jadi selama masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi dan polimerisasi yang


(26)

besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.

2.4. Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan

Kerusakan pada konstruksi perkerasan lentur dapat disebabkan oleh: a. Lalu lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.

b. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik dan naiknya air akibat kapilaritas.

c. Material konstruksi perkerasan. Dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengolahan bahan yang tidak baik.

d. Iklim, Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi, yang dapat merupakan salah satu penyebab kerusakan jalan.

e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh system pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat tanah dasarnya yang memang kurang bagus.

f. Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.

Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling berkaitan. Sebagai contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis dibawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dengan


(27)

agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang-lubang disamping dan melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya.

2.5. Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur

Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari kondisi kerusakan fungsional dan struktural.

Kerusakan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan kerusakan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan.

Kegagalan fungsional pada dasarnya tergantung pada derajat atau tingkat kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan oleh lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar.

2.5.1. Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur dapat dibedakan atas:

1. Retak (cracking) 2. Distorsi (distortion)

3. Cacat permukaan (disintegration) 4. Pengausan ( polished aggegate) 5. Kegemukan (bleeding / flushing)


(28)

a. Retak (Cracking) dan penanganannya

Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas : 1. Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama

dengan 3 mm, penyebab adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak halus ini dapat meresapkan air ke dalam permukaan dan dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah seperti retak kulit buaya bahkan kerusakan seperti lubang dan amblas. Retak ini dapat berbentuk melintang dan memanjang, dimana retak memanjang terjadi pada arah sejajar dengan sumbu jalan, biasanya pada jalur roda kendaraan atau sepanjang tepi perkerasan atau pelebaran, sedangkan untuk retak melintang terjadi pada arah memotong sumbu jalan, dapat terjadi pada sebagian atau seluruh lebar jalan.

Metode pemeliharaan dan penanganan :

• Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan renggang, dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat).

• Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan rapat, dilakukan metode perbaikan P3 (penutupan retak).

• Untuk lebar retakan (> 2 mm) lakukan perbaikan P4 (pengisian retak). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.


(29)

Gambar 2.2. Retak Halus

2. Retak kulit buaya (alligator crack), lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. Saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapisan permukaan kurang stabil, atau bahan pelapis pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah naik). Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban lalu lintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut. Retak kulit buaya dapat diresapi oleh air sehingga lama kelamaan akan menimbulkan lubang-lubang akibat terlepasnya butir-butir.

Untuk retak kulit buaya dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat) dan P5 (penambalan lubang/patching) sesuai dengan tingkat kerusakan retak yang terjadi. Urutan pelaksanaan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.

Perbaikan juga harus disertai dengan perbaikan drainase disekitarnya, sehingga nantinya air tidak tergenang di badan jalan yang dapat mempengaruhi umur jalan.


(30)

Gambar 2.3. Retak Kulit Buaya

3. Retak pinggir (edge crack), retak memanjang jalan, dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu. Retak ini disebabkan oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap yang dapat semakin merusak lapisan permukaan. Retak dapat diperbaiki dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir. Perbaikan drainase harus dilakukan, bahu diperlebar dan dipadatkan. Jika pinggir perkerasan mengalami penurunan, elevasi dapat diperbaiki dengan mempergunakan hotmix. Retak ini lama kelamaan akan bertambah besar disertai dengan terjadinya lubang-lubang.


(31)

Gambar 2.4. Retak Pinggir

4. Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack), retak memanjang, umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk daripada di bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk / kendaraan berat dibahu jalan. Perbaikan dapat dilakukan seperti perbaikan retak refleksi.

Gambar 2.5. Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan

5. Retak sambungan jalan (lane joint cracks), retak memanjang, yang terjadi pada sambungan 2 lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan tidak baiknya ikatan sambungan kedua lajur. Perbaikan dapat dilakukan dengan memasukkan campuran aspal cair dan pasir ke dalam celah-celah yang terjadi. Jika tidak diperbaiki, retak dapat berkembang menjadi lebar karena terlepasnya butir-butir pada tepi retak dan meresapnya air ke dalam lapisan.


(32)

6. Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks), adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Hal ini disebabkan oleh perbedaan daya dukung di bawah bagian pelebaran dan bagian jalan lama, dapat juga disebabkan oleh ikatan antara sambungan tidak baik. Perbaikan dilakukan dengan mengisi celah-celah yang timbul dengan campuran aspal cair dan pasir. Jika tidak diperbaiki, air dapat meresap masuk ke dalam lapisan perkerasan melalui celah-celah, butir-butir dapat lepas dan retak dapat bertambah besar.

Gambar 2.6. Retak Sambungan Pelebaran Jalan

7. Retak refleksi (reflection cracks), retak memanjang, melintang, diagonal atau membentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan (overlay) yang menggambarkan pola retakan dibawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan overlay dilakukan. Retak refleksi dapat pula terjadi jika terjadi gerakan vertical / horizontal dibawah lapis tambahan sebagai akibat perubahan kadar air pada jenis tanah yang ekspansif. Untuk retak memanjang, melintang dan diagonal perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran


(33)

aspal cair dan pasir. Untuk retak berbentuk kotak perbaikan dilakukan dengan membongkar dan melapis kembali dengan bahan yang sesuai.

Gambar 2.7. Retak Refleksi

8. Retak susut (shrinkage cracks), retak yang saling bersambungan membentuk kotak-kotak besar dengan susut tajam. Retak disebabkan oleh perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar. Perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir serta dilapisi dengan burtu.

Gambar 2.8. Retak Susut

9. Retak slip (slippage cracks), retak yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit. Hal ini terjadi disebabkan oleh kurang baiknya ikatan antar lapis permukaan dan lapis dibawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan


(34)

oleh adanya debu, minyak air, atau benda non adhesive lainnya, atau akibat tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat antar kedua lapisan. Retak selip pun dapat terjadi akibat terlalu banyaknya pasir dalam campuran lapisan permukaan, atau kurang baiknya pemadatan lapisan permukaan. Perbaikan dapat dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dengan dan menggantikannya dengan lapisan yang lebih baik.

Gambar 2.9. Retak Slip b. Distorsi (distortion)

Distorsi / perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar, pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan akibat beban lalu lintas. Sebelum perbaikan dilakukan sewajarnyalah ditentukan terlebih dahulu jenis dan penyebab distorsi yang terjadi. Dengan demikian dapat ditentukan jenis penanganan yang tepat.

Distorsi dapat dibedakan atas :

1. Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur dapat merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul


(35)

retak-retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat pula menimbulkan deformasi plastis.

Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan P6 (perataan) untuk kerusakan alur ringan. Untuk kerusakan alur yang cukup parah dilakukan perbaikan P5 (penambalan lubang) yang pelaksanaan serta bahan dan peralatannya dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.10. Alur

2. Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Dengan timbulnya lapisan permukaan yang berkeriting ini pengemudi akan merasakan ketidaknyamanan dalam mengemudi. Penyebab kerusakan ini adalah rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasal dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk butiran dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunyai penetrasi yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum


(36)

perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair). Perbaikan terhadap kerusakan ini dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan P6 (perataan) dan juga perbaikan P5 (penambalan lubang) jika keriting juga disertai dengan timbulnya lubang-lubang pada permukaan jalan. Kerusakan ini juga dapat diperbaiki dengan :

a. Jika lapis permukaan yang berkeriting itu memiliki lapisan pondasi agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan mengaruk kembali, dicampur dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis permukaan baru.

b. Jika lapis permukaan dengan bahan pengikat memiliki ketebalan > 5 cm, maka lapis tipis yang mengalami keriting tersebut diangkat dan diberi lapis permukaan yang baru.

Gambar 2.11. Keriting

3. Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, ditempat kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan terjadi dengan atau tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan keriting. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara perbaikan P6 (perataan) dan


(37)

perbaikan P5 (penambalan lubang). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.12. Sungkur

4. Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air yang tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan permukaan yang akhirnya menimbulkan lobang. Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement. Perbaikan dapat dilakukan dengan :

a. Untuk amblas yang < 5cm, lakukan metode perbaikan P6 (perataan). b. Untuk amblas yang > 5 cm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan

lubang).

c. Periksa dan perbaiki selokan dan gorong-gorong agar air lancar mengalir. d. Periksa dan perbaiki bahu jalan yang mengalami kerusakan.

Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.


(38)

Gambar 2.13. Amblas

5. Jembul (upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah yang ekspansif. Perbaikan dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisnya kembali.

c. Cacat permukaan (disintegration)

Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah :

1. Lubang (potholes), berupa mangkuk, ukuran bervariasi dari kecil sampai besar. Lubang-lubang ini menampung dan meresapkan air ke dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.

Lubang dapat terjadi karena :

a. Campuran material lapis permukaan jelek, seperti :

- Kadar aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah lepas. - Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik. - Temperatur campuran tidak memenuhi persyaratan.


(39)

b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat pengaruh cuaca.

c. Sistem drainase jelek, sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul pada lapis permukaan.

d. Retak-retak yang terjadi tidak segera ditangani sehingga air meresap masuk dan mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.

Lubang-lubang tersebut diperbaiki dengan cara:

• Untuk lubang yang dangkal ( < 20 mm ), lakukan metode perbaikan P6 (perataan).

• Untuk lubang yang > 20 mm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan lubang).

Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.


(40)

2. Pelepasan butir (raveling), dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek serta disebabkan oleh hal yang sama dengan lubang. Dapat diperbaiki dengan memberikan lapisan tambahan diatas lapisan yang mengalami pelepasan butir setelah lapisan tersebut dibersihkan, dan dikeringkan.

Gambar 2.15. Pelepasan Butiran

3. Pengelupasan lapisan permukaan (stripping), dapat disebabkan oleh kurangnya ikatan antar lapisan permukaan dan lapis dibawahnya, atau terlalu tipisnya lapis permukaan. Dapat diperbaiki dengan cara digarus, diratakan dan dipadatkan. Setelah itu dilapis dengan buras.

d. Pengausan (polished aggregate)

Permukaan menjadi licin, sehingga membahayakan kendaraan. Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk cubical. Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan latasir, buras, atau latasbum.


(41)

Gambar 2.16. Pengausan e. Kegemukan (bleeding / flushing)

Permukaan jalan menjadi licin dan tampak lebih hitam. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda. Berbahaya bagi kendaraan karena bila dibiarkan, akan menimbulkan lipatan-lipatan (keriting) dan lubang pada permukaan jalan. Kegemukan (bleeding) dapat disebabkan pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pekerjaan prime coat atau tack coat. Dapat diatasi dengan penanganan P1 (Penebaran Pasir) yaitu dengan menaburkan agregat panas dan kemudian dipadatkan, atau lapis aspal diangkat dan kemudian diberi lapisan penutup.


(42)

f. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

Penurunan yang terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat. Dapat diperbaiki dengan dibongkar kembali dan diganti dengan lapis yang sesuai.

Gambar 2.18. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

2.5.2. Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Pavement Condition Index (PCI)

Menurut Metode Pavement Condition Index (PCI), jenis dan tingkat kerusakan perkerasan lentur jalan raya dibedakan menjadi :

a. Alligator Cracking

Retak yang saling merangkai membentuk kotak – kotak kecil yang menyerupai kulit buaya. Kerusakan ini disebabkan karena konstruksi perkerasan yang tidak kuat dalam mendukung beban lalu lintas yang berulang ulang. Pada mulanya terjadi retak – retak halus, akibat beban lalu lintas yang berulang menyebabkan retak – retak halus terhubung membentuk serangkaian kotak – kotak kecil yang memiliki sisi tajam sehingga menyerupai kulit buaya. Retak


(43)

buaya biasa terjadi hanya di daerah yang dilalui beban lalu lintas yang berulang dan biasanya disertai alur, sehingga tidak akan terjadi di seluruh daerah kecuali seluruh area jalan dikenakan arus lalu lintas. Cara mengukur kerusakan yang terjadi adalah dengan menghitung luasan retak.

Tingkat kerusakan alligator cracking (retak kulit buaya) dibagi menjadi kerusakan ringan (low) yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung tanpa ada retakan yang pecah, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang mulai pecah, dan kerusakan berat (high) yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya alur bahkan lubang pada jalan.

b. Bleeding

Kegemukan (bleeding) biasanya ditandai dengan permukaan jalan yang menjadi lebih hitam dan licin. Permukaan jalan menjadi lebih lunak dan lengket. Ini disebabkan pemakaian aspal yang berlebih. Cara mengukur kerusakan adalah dengan menghitung luasan kegemukan yang terjadi.

Tingkat kerusakan dibagi menjadi kerusakan ringan (low) yang ditandai dengan permukaan jalan yang hitam, aspal tidak menempel pada roda kendaraan, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan permukaan aspal hitam, aspal menempel pada kendaraan selama beberapa minggu dalam setahun, kerusakan berat (high) yang di tandai dengan permukaan yang berwarna hitam dan terdapat jejak roda kendaraan akibat aspal yang menempel pada roda kendaraan.


(44)

c. Block Cracking

Hampir sama dengan retak kulit buaya, merupakan rangkaian retak berbentuk persegi dengan sudut tajam, tetapi bentuknya saja yang lebih besar dari retak kulit buaya. Block craking ini tidak hanya terjadi di daerah yang mengalami arus lalu lintas berulang, tetapi juga dapat terjadi di daerah yang jarang dilalui arus lalu lintas.

d. Bums and Sags

Merupakan tonjolan kecil yang terjadi pada permukaan perkerasan, berbeda dengan jembul (shoving) yang di sebabkan oleh ketidak stabilan aspal, bumps and sags ini dapat disebabkan oleh penumpukan material pada suatu celah jalan yang diakibatkan oleh beban lalu lintas.

Gambar 2.19. Bumps and Sags e. Corrugation

Keriting (corrugation) Kerusakan lapian perkerasan tampak seperti bergelombang dimana jarak antara tiap gelombang sangat dekat. Tingkat kerusakan diukur dari beda tinggi antar lembah dan puncak gelombang. Penyebab


(45)

kerusakan dimungkinkan oleh terjadinya pergeseran bahan perkerasan, lapis perekat antara lapis permukaan dan lapis pondasi tidak memadai, pengaruh kendaraan yang sering berhenti dan berjalan secara tiba – tiba. Tingkat kerusakan keriting dapat diukur berdasarkan kedalaman keriting yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan ringan (low) kedalaman < ½ inchi, untuk (medium) kedalaman ½ – 1 inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 1 inchi.

f. Depression

Amblas (depression) merupakan kerusakan yang terjadi dimana suatu permukaan lapisan perkerasan lebih rendah daripada lapisan permukaan di sekitarnya, sehingga kondisi jalan tampak seperti membentuk kubangan atau lengkungan. Kerusakan ini terjadi karena beban lalu lintas yang berlebih tidak sesuai dengan perencanaan. Tingkat kerusakan amblas dapat diukur berdasarkan kedalaman amblas yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan ringan (low) kedalaman ½ - 1 inchi, untuk (medium) kedalaman 1 – 2 inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 2 inchi.

g. Edge Cracking

Kerusakan yang terjadi pada tepi lapis perkerasan yang tampak berupa retakan, kerusakan jenis ini biasanya terjadi akibat kepadatan lapis permukaan di tepi perkerasan tidak memadai, juga disebabkan seringnya air yang dari bahu jalan.

h. Joint Reflection Cracking

Retak refleksi merupakan jenis kerusakan jalan yang berbentuk seperti retak memanjang dan melintang membentuk kotak. Retak refleksi ini merupakan gambaran dari retak perkerasan sebelumnya.


(46)

i. Lane / Shoulder Drop Off

Ditandai dengan adanya perbedaan elevasi antara badan jalan dengan bahu jalan. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh erosi tanah pada bahu jalan, penurunan tanah dasar pada bahu, dan juga perencanaan jalan tanpa menyesuaikan tingkat bahu jalan. Kerusakan ini sangat berbahaya bagi pengendara karena perbedaan elevasi yang besar antara badan jalan dan bahu jalan dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Gambar 2.20. Lane/Shoulder Drop Off j. Longitudinal and Transverse Cracking

Retak memanjang (longitudinal cracking) merupakan retak yang terjadi searah dengan sumbu jalan, retak melintang (transverse cracking) merupakan retak yang terjadi tegak lurus sumbu jalan. Retak ini disebabkan oleh kesalahan pelaksanaan, terutama pada sambungan perkerasan atau pelebaran, dan juga dapat disebabkan penyusutan permukaan aspal akibat suhu rendah atau pengerasan aspal.


(47)

k. Patching and Utility Cut Patching

Tambalan (patching) adalah wilayah perkerasan yang telah diganti menjadi baru untuk memperbaiki perkerasan yang ada. Tambalan dianggap merupakan cacat jalan walaupun sudah di kerjakan dengan sangat baik. Idetifikasi terhadap tambalan ini biasanya diukur dengan menghitung luasan tambalan. Tambalan dibagi berdasarkan tingkat kerusakannya yaitu tingkat kerusakan rendah (low), sedang (medium), dan berat (high), sesuai dengan bentuk tambalannya.

Gambar 2.21. Patching l. Polished Aggregate

Kerusakan ini ditandai dengan aggregat pada permukaan jalan menjadi halus dan licin akibat beban lalu lintas yang berulang ulang. Ini menyebabkan daya saling mengikat antara ban kendaraan dengan aspal menjadi berkurang sehingga berbahaya pada saat mengemudi kencang karena jalan memiliki tingkat kekasaran (skid resistance) yang rendah. Cara mengukur adalah dengan menghitung luasan yang mengalami polished aggregate, tetapi jika disertai dengan kerusakan kegemukan (bleeding), maka polished aggregate diabaikan.


(48)

m. Potholes

Lubang (potholes) biasanya berukuran tidak begitu besar (diameter < 90 cm). berbentuk seperti mangkuk yang tidak beraturan dengan pinggiran tajam. pertumbuhan lubang semakin besar diakibatkan kondisi air yang tergenang pada badan jalan. Lubang pada dasarnya bermula dari retak-retak yang semakin parah akibat air meresap hingga ke lapisan jalan sehingga menyebabkan sifat saling mengikat aggregat dalam lapisan menjadi berkurang.

Berdasarkan tingkat kerusakannya, lubang dapat di bagi menjadi kerusakan rendah (low), sedang (medium), dan buruk (high). Ketentuannya dapat di jelaskan pada tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2. Tingkat Kerusakan Lubang (Potholes)

Kedalaman (inchi) Diameter (inchi)

4 - 8 > 8 – 18 > 18 - 30

0,5 - 1 L L M

> 1 - 2 L M H

> 2 M M H

Sumber : Departement Of Defense, (2004), Pavement Maintenance Management, UFC 3-270-08,

Unified Facilities Criteria (UFC), USA

n. Railroad Crossing

Kerusakan ini merupakan lintasan jalur kereta api yang terdapat dalam jalan raya. Terdapat benjolan dan lengkugan pada daerah lintasan ini sehingga mengganggu kenyamanan pengendara. Cara mengukur adalah dengan menghitung luasan jalur kereta yang melintasi jalan dan juga diukur sesuai dengan tingkat kerusakannya.


(49)

Gambar 2.22. Railroad Crossing o. Rutting

Alur (rutting) adalah penurunan setempat yang terjadi pada jalur roda kendaraan, alur pada permukaan jalan ada yang disertai retak dan tanpa disertai retak. Alur tidak terjadi di seluruh permukaan badan jalan, hanya pada daerah yang dilalui roda kendaraan. Dapat disebabkan adanya muatan yang berlebih sehingga menyebabkan deformasi yang permanen pada permukaan jalan. Jika alur sering tergenang air maka dapat meningkat menjadi lubang.

Berdasarkan tingkat kerusakannya, alur di bagi menjadi 3 yaitu, tingkat kerusakan rendah (low) dengan kedalaman peurunan ¼ - ½ inchi, tingkat kerusakan sedang (medium) dengan kedalaman penurunan > ½ - 1 inchi, dan tingkat kerusakan buruk (high) dengan kedalaman penurunan > 1 inchi.

p. Shoving

Jembul (shoving) umumya terjadi di sekitar alur roda kendaraan di tepi perkerasan dan sifatnya permanen. Kerusakan ini disebabkan oleh arus lalu lintas yang melebihi beban standar. Cara mengukur jembul adalah dengan mengukur luasan permukaan sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi.


(50)

q. Slippage Cracking

Retak selip (slippage cracking) merupakan retak menyerupai bulan sabit atau setengah retak berbentuk bulan yang memiliki dua ujung menunjuk jauh kearah lalu lintas. Cara mengukur retak selip adalah dengan mengukur luasan permukaan sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi mulai dari rendah (low), sedang (medium), dan buruk (high).

r. Swell

Pembengkakan jalan (swell) merupakan kerusakan yang di tandai dengan tonjolan di sekitar permukaan jalan dan dapat mencapai panjang sekitar 3 m pada permukaan jalan, dapat juga disertai retak permukaan. Ini disebabkan kepadatan tanah dasar yang kurang. Memiliki tingkatan kerusakan mulai dari rendah (low), sedang (medium), dan buruk (high).

s. Weathering and Ravelling

Kerusakan ini ditandai dengan permukaan perkerasan yang kasar dan rusak akibat hilangnya bahan pengikat aspal atau tar sehingga menyebabkan pelepasan butiran aggregat. Pelepasan butiran ini menunjukkan kualitas aspal serta campuran yang rendah atau ada kesalahan dalam pencampuran. Pelepasan butiran ini juga dapat di sebabkan adanya lalu lintas yang berlebih.

Berdasarkan tingkat kerusakannya dapat dibedakan menjadi kerusakan rendah (low) ditandai dengan dimulainya pelepasan butiran pada permukaan jalan, kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan pelepasan butiran yang menyebabkan permukaan jalan menjadi tidak rata dan kasar, kerusakan berat (high) yang ditandai dengan pelepasan butiran yang menyebabkan permukaan


(51)

menjadi tidak rata, kasar, dan tidak jarang disertai dengan adanya lubang disekitar kerusakan.

2.6. Jenis Pemeliharaan Jalan

Pemeliharaan jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan, rehabilitasi, penunjangan, dan peningkatan. Adapun jenis pemeliharaan jalan ditinjau dari waktu pelaksanaannya adalah :

1. Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya pada lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun.

2. Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kekuatan struktural.

3. Peningkatan jalan adalah penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya guna mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan.


(52)

BAB III

METODOLOGI

3.1. Tujuan Metodologi

Tujuan metodologi ini adalah menjelaskan tata cara dalam mendapatkan data-data pokok baik data primer maupun data lain yang diperlukan, yang selanjutnya akan digunakan dalam pengolahan dan juga analisa data dalam rangka mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yaitu memberi penilaian terhadap kondisi jalan berdasarkan jenis dan tingkat kerusakan yang terjadi pada perkerasan lentur jalan sebagai dasar penentuan jenis perbaikan jalan yang sesuai.

3.2. Bagan Alir (Flowcart) Studi

Berdasarkan studi pustaka yang sudah dibahas sebelumnya, maka untuk memudahkan dalam pembahasan dan analisa dibuat suatu diagram alir atau flowchart , seperti pada gambar 3.1.

Diagram alir ini merupakan tahapan studi yang akan dilakukan dalam rangka menyelesaikan studi ini. Dengan demikian, studi ini dapat diselesaikan dengan sistematis dan mendapatkan hasil yang valid serta sesuai dengan tujuan yang diharapkan.


(53)

{

Pengumpulan Data

Data Primer Metode Bina Marga •Data panjang, lebar , luasan,

kedalaman pada tiap jenis kerusakan jalan, yaitu :

1. Retak (Cracks) 2. Alur (Ruts)

3. Tambalan (Patching) 4. Lubang (Potholes) 5. Kekasaran Permukaan 6. Amblas (Depressions)

•Data volume lalu lintas harian.

Analisa perbandingan hasil keputusan kedua metode

Kesimpulan dan saran

Data Primer Metode PCI •Data panjang, lebar , luasan, kedalaman

pada tiap jenis kerusakan jalan, yaitu : 1. Retak (Cracks)

2. Alur (Ruts)

3. Tambalan (Patching) 4. Lubang (Potholes) 5. Amblas (Depressions) 6. Keriting (Corrugation) 7. Kegemukan Aspal (Bleeding) 8. Jembul (Shoving)

9. Pelepasan Butiran (Ravelling) 10. Pengausan (Polished Aggregate) 11. Swell

12. Bums and Sags 13. Lane/Shoulder Drop Off 14. Railroad Crossing

Analisa Data Metode Bina Marga •Dari data yang ada, maka dapat

ditentukan : Nilai kondisi jalan Nilai kelas LHR

•Penentuan urutan prioritas

Urutan prioritas = 17 – (Kelas LHR + nilai kondisi jalan)

•Penentuan jenis pemeliharaan terhadap kerusakan berdasarkan urutan prioritas

Analisa Data Metode PCI •Dari data yang ada, maka didapat :

Kadar kerusakan (density) Nilai pengurangan (deduct value)

Total Deduct Value (TDV) Corrected Deduct Value (CDV) •Penilaian Kondisi Perkerasan

Nilai PCI = 100 – CDV

•Klasifikasi Kualitas Perkerasan dan penentuan jenis pemeliharaan jalan.

Tujuan Penelitian :

•Menilai kondisi perkerasan jalan guna mengetahui jenis dan tingkat kerusakan yang terjadi serta menentukan jenis pemeliharaan yang sesuai.

•Membandingkan hasil analisa metode Bina Marga dengan metode Pavement Condition Index (PCI) dalam mengevaluasi kerusakan jalan.


(54)

Gambar 3.1. Bagan Alir ( Flowchart ) Studi

3.3. Metode Pendekatan Penilaian Kondisi Perkerasan Lentur

3.3.1. Metode Bina Marga

Penilaian kondisi jalan berdasarkan metode bina marga yaitu dengan melakukan survey di lapangan dan hasil survey dibagi dalam beberapa segmen. Kerusakan yang dilihat antara lain adalah keretakan (cracking), alur (rutting), lubang (potholes) atau tambalan (patching), kekasaran permukaan dan amblas (depression). Dalam menentukan nilai tiap kerusakan, diperlukan data luasan, lebar atau dalam yang dilihat di lapangan dan juga volume lalu lintas harian selama 24 jam.

Selanjutnya, kita dapat menentukan tingkat urutan prioritas jalan tersebut yang digunakan untuk mengetahui skala prioritas suatu kondisi perkerasan suatu jalan. Sehingga dapat diambil keputusan dalam menentukan jenis pemeliharaan yang sesuai untuk kondisi suatu ruas jalan.

3.3.1.1. Penilaian Kondisi Perkerasan

Dalam melaksanakan penilaian kondisi perkerasan, maka pada tahap awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi jenis kerusakan yang akan ditinjau dan juga besar atau luasan kerusakan yang terjadi.

Jenis kerusakan yang ditinjau berdasarkan metode bina marga adalah : 1. Keretakan (Cracking), jenis keretakan yang di tinjau adalah retak kulit

buaya, acak, melintang, memanjang (dengan skala kerusakan 5, 4, 3, 1), dengan ketentuan lebar retakan 2 mm, 1 – 2 mm, < 1 mm (dengan skala


(55)

(dengan skala kerusakan 3, 2, 1). Masing-masing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. (lihat tabel 3.1)

2. Alur (Rutting), diukur berdasarkan kedalaman kerusakan mulai dari skala > 20 mm, 11 – 20 mm, 6 – 10 mm, 0 – 5 mm (dengan skala kerusakan 7, 5, 3, 1). Masing-masing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. (lihat tabel 3.1)

3. Lubang (Potholes) dan Tambalan (Patching), diukur berdasarkan luasan kerusakan yang terjadi yang dimulai dari skala > 30 %, 20 – 30 %, 10 – 20 %, < 10 % (dengan skala kerusakan 3, 2, 1, 0). Masing-masing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. (lihat tabel 3.1)

4. Kekasaran permukaan, jenis kerusakan yang ditinjau adalah pengelupasan (Desintegration), pelepasan butir (raveling), kekurusan (hungry), kegemukan (fatty/bleeding), dan permukaan rapat (close texture). Dengan skala kerusakan 4, 3, 2, 1, 0. (lihat tabel 3.1)

5. Amblas (Depression), diukur berdasarkan kedalaman kerusakan yang terjadi dimulai dari skala > 5/100 m, 2 – 5 /100 m, 0 – 2 /100 m (dengan skala kerusakan 4, 2, 1). Masing-masing keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. (lihat tabel 3.1)

Dari hasil pengamatan tersebut, maka di dapat nilai dari tiap jenis kerusakan yang diidentifikasi, sehingga untuk menentukan penilaian kondisi jalan didapat dengan cara menjumlahkan seluruh nilai kerusakan perkerasan yang terjadi, dapat diketahui bahwa semakin besar angka


(56)

kerusakan kumulatif maka akan semakin besar pula nilai kondisi jalan, yang berarti bahwa jalan tersebut memiliki kondisi yang buruk sehingga membutuhkan pemeliharaan yang lebih baik.

3.3.1.2. Urutan Prioritas

Setelah ditentukan nilai kondisi jalan, maka perlu diketahui urutan prioritas penanganan yang perlu untuk dilaksanakan. Dalam menentukan urutan prioritas diperlukan data kelas lalu lintas harian untuk pekerjaan pemeliharaan yang skala nya dapat dilihat pada tabel 3.2. Penilaian urutan prioritas penanganan terhadap kondisi jalan dapat dihitung dengan rumus :

Urutan prioritas = 17 – ( Kelas LHR + Nilai Kondisi Jalan ) Dimana :

Kelas LHR = Kelas lalu lintas (tabel 3.2)

Nilai Kondisi Jalan = Nilai yang diberikan terhadap kondisi jalan

(tabel 3.1)

Dari hasil perhitungan urutan prioritas diatas, maka dapat ditentukan skala pengambilan keputusan terhadap program pemeliharaan yaitu sebagai berikut :

1. Urutan prioritas A (dengan nilai > 7)

Jalan yang berada pada urutan prioritas ini dimasukkan dalam program pemeliharaan rutin.

2. Urutan prioritas B (dengan nilai 4 – 6)

Jalan yang berada pada urutan prioritas ini dimasukkan dalam program pemeliharaan berkala.


(57)

3. Urutan prioritas C (dengan nilai 0 – 3)

Jalan yang berada pada urutan prioritas ini dimasukkan dalam program peningkatan kondisi jalan.

Tabel 3.1. Nilai Kondisi Jalan PENILAIAN KONDISI Angka 26-29 22-25 19-21 16-18 13-15 10-12 7-9 4-6 0-3 Nilai 9 8 7 6 5 4 3 2 1 RETAK RETAK Tipe E. Buaya D. Acak C. Melintang B. Memanjang A. Tidak ada

Lebar

D. >2mm C. 1-2mm B. <1mm A. Tidak ada

Angka 5 4 3 1 1 Angka 3 2 1 0 JUMLAH KERUSAKAN Luas D. >30% C. 10-30% B. <10% A. 0 Angka 3 2 1 0 ALUR Kedalaman E. >20mm D. 11-20mm C. 6-10mm B. 0-5mm A. Tidak ada

Angka 7 5 3 1 0 TAMBALAN DAN LUBANG

Luas D. >30% C. 20-30% B. 10-20% A. <10% Angka 3 2 1 0


(58)

KEKASARAN PERMUKAAN

Tipe

E. Desintegration

D. Pelepasan Butir (Ravelling) C. Kekurusan (Hungry)

B. Kegemukan (Fatty / Bleeding) A. Permukaan Rapat (Close Texture)

Angka 4 3 2 1 0 AMBLAS Kedalaman D. >5/100m C. 2-5/100m B. 0-2/100m A. tidak ada

Angka

4 2 1 0

Sumber : Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota

Tabel 3.2. Kelas Lalu Lintas Untuk Penilaian Kondisi Jalan

Kelas Lalu Lintas LHR

0 1 2 3 4 5 6 7 8 <20 20-50 50-200 200-500 500-2000 2000-5000 5000-20000 20000-50000 >50000


(59)

3.3.2. Metode Pavement Condition Index (PCI)

Pavement Condition Index (PCI) adalah sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat dan luas kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Adapun penilaian kondisi kerusakan jalan dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap jenis – jenis kerusakan yang akan ditinjau. Menurut metode Pavement Condition Index (PCI), jenis – jenis kerusakan jalan yang ditinjau adalah alligator cracking, bleeding, block cracking, bumps and sags, corrugation, depression, edge cracking, joint reflection, lane/shoulder drop off, longitudinal and transverse cracking, patching and utility cut patching, polished aggregate, potholes, railroad crossings, rutting, shoving, slippage cracking, swell, weathering and ravelling.

Jenis – jenis kerusakan perkerasan jalan tersebut akan di identifikasi berdasarkan tingkat kerusakan pada tiap – tiap jenis kerusakan (severity level). Tingkat kerusakan yang akan digunakan dalam metode PCI adalah low severity level (L), medium severity level (M), dan high severity level (H).

3.3.2.1. Penilaian Kondisi Perkerasan

Dalam melaksanakan penilaian kondisi perkerasan di lakukan dalam beberapa tahap pekerjaan. Tahap awal adalah dengan mengevaluasi jenis – jenis kerusakan yang terjadi sesuai dengan tingkat kerusakannya (severity level). Yaitu dengan cara mengukur panjang, luas dan kedalaman terhadap tiap – tiap kerusakan. Kemudian pada tahap berikutnya perlu dihitung nilai density, deduct value, total deduct value, corrected deduct value, sehingga kemudian akan didapat nilai PCI yang merupakan acuan dalam penilaian kondisi perkerasan jalan.


(60)

a. Density (Kadar Kerusakan)

Density atau kadar kerusakan adalah persentasi luasan dari suatu jenis kerusakan terhadap luasan suatu unit segmen yang diukur dalam meter persegi atau meter panjang. Nilai density suatu jenis kerusakan juga dibedakan berdasarkan tingkat kerusakan.

Rumus mencari nilai density :

Untuk jenis kerusakan alligator cracking, bleeding, block cracking, corrugation, depression, patching and utility cut patching,polished aggregate,railroad crossing, rutting, shoving, slippage cracking, swell, wheatering and ravelling adalah :

Density = Ad

As × 100%

Untuk jenis kerusakan bumps and sags, edge cracking, joint reflection cracking, lane and shoulder drop off, long and trans cracking adalah :

Density = Ld

As × 100%

Untuk jenis kerusakan potholes adalah : Density = N

As × 100%

dimana :

Ad = luas total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m2 As = luas total unit segmen (m

)

2

Ld = panjang total jenis kerusakan tiap tingkat kerusakan (m) )


(61)

b. Deduct Value (Nilai Pengurangan)

Deduct value adalah nilai pengurangan untuk tiap jenis kerusakan yang diperoleh dari kurva hubungan antara density dan deduct value. Deduct value juga dibedakan atas tingkat jenis kerusakan.

1. Alligator Cracking

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan alligator cracking dapat dilihat pada gambar 3.2 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).

DISTRESS DENSITY - PERCENT


(62)

2. Bleeding

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan bleeding dapat dilihat pada gambar 3.3 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.3. Kurva Deduct Value Untuk Bleeding

3. Block Cracking

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan block cracking dapat dilihat pada gambar 3.4 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low


(63)

severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.4. Kurva Deduct Value Untuk Block Cracking

4. Bums and Sags

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan bums and sags dapat dilihat pada gambar 3.5 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(64)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.5. Kurva Deduct Value Untuk Bums and Sags

5. Corrugation

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan corrugation dapat dilihat pada gambar 3.6 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(65)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.6. Kurva Deduct Value Untuk Corrugation

6. Depression

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan depression dapat dilihat pada gambar 3.7 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(66)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.7. Kurva Deduct Value Untuk Depression

7. Edge Cracking

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan edge cracking dapat dilihat pada gambar 3.8 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(67)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.8. Kurva Deduct Value Untuk Edge Cracking

8. Joint Reflection Cracking

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan joint reflection cracking dapat dilihat pada gambar 3.9 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(68)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.9. Kurva Deduct Value Untuk Joint Reflection Cracking

9. Lane/Shoulder Drop Off

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan lane/shoulder drop off dapat dilihat pada gambar 3.10 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(69)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.10. Kurva Deduct Value Untuk Lane/Shoulder Drop Off

10. Longitudinal and Transverse Cracking

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan longitudinal and transverse cracking dapat dilihat pada gambar 3.11 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(70)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.11. Kurva Deduct Value Untuk Longitudinal and Transverse Cracking

11. Patching and Utility Cut Patching

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan patching and utility cut patching dapat dilihat pada gambar 3.12 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(71)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.12. Kurva Deduct Value Untuk Patching and Utility Cut Patching

12. Polished Aggregat

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan polished aggregate dapat dilihat pada gambar 3.13 dibawah ini.


(72)

DISTRESS DENSITY - PERCENT

Gambar 3.13. Kurva Deduct Value Untuk Polished Aggregate

13. Potholes

Adapun kurva hubungan antara density dan deduct value untuk jenis kerusakan potholes dapat dilihat pada gambar 3.14 dibawah ini. Sesuai dengan tingkatan kerusakannya, L (low severity level), M (medium severity level), dan H (high severity level).


(1)

4.2.2.2. Klasifikasi Jenis Perkerasan dan Program Pemeliharaan

Dari hasil perhitungan diatas, maka didapat nilai PCI untuk jalan Setia Budi adalah 66.444. Dari hasil nilai PCI jalan ini, maka Jalan Setia Budi termasuk dalam klasifikasi kualitas baik (good). Berdasarkan nilai PCI maka jalan tersebut termasuk dalam program pemeliharaan rutin.

4.3. Perbandingan Hasil Analisa Data Menurut Metode Bina Marga dan Metode Pavement Condition Index (PCI)

Dari evaluasi tingkat kerusakan jalan, didapatkan beberapa perbedaan sebagai perbandingan antara metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI). Adapun perbandingan evaluasi dari kedua metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Metode Bina Marga

• Dalam evaluasi tingkat kerusakan dengan menggunakan metode Bina Marga, terdapat 5 jenis kerusakan yang ditinjau, antara lain :

 Retak

Retak yang dimaksud dapat berupa retak buaya, retak acak, retak melintang, dan retak memanjang.

 Alur

 Tambalan dan Lubang  Kekasaran permukaan

Kekasaran permukaan yang dimaksud dapat berupa pengelupasan permukaan jalan (desintegration), pelepasan butir (ravelling), kekurusan (hungry), dan kegemukan (fatty / bleeding).


(2)

 Amblas

• Data yang digunakan adalah data panjang, lebar, luasan, serta kedalaman dari tiap jenis kerusakan yang ditinjau. Serta data volume lalu lintas harian.

• Pengambilan data dan analisadata dilakukan tiap segmen jalan, dimana masing – masing segmen panjangnya 100 m.

• Prosedur analisa data dengan metode Bina Marga, yaitu :

 Dari data yang ada, maka dapat ditentukan nilai kondisi jalan dan nilai kelas LHR yang ketentuannya dapat dilihat pada tabel 3.1 dan tabel 3.2.

 Penentuan urutan prioritas dengan rumus :

Urutan Prioritas = 17 – (Kelas LHR + Nilai Kondisi Jalan)

 Penentuan jenis pemeliharaan terhadap kerusakan berdasarkan urutan prioritas.

• Hasil analisa dari evaluasi kerusakan jalan yang didapatkan untuk jalan Setia Budi Medan diperoleh urutan prioritas = 8.167 (urutan prioritas > 7), yang dimasukkan kedalam urutan prioritas kelas A, dimana jalan yang berada pada urutan prioritas ini dimasukkan kedalam program pemeliharaan rutin.

b. Metode Pavement Condition Index (PCI)

• Kategori jenis kerusakan yang ditinjau menurut metode PCI lebih spesifik, terdapat 19 jenis kerusakan yang ditinjau, antara lain alligator cracking, bleeding, block cracking, bumps and sags, corrugation, depression, edge cracking, joint reflection, lane/shoulder drop off,


(3)

longitudinal and transverse cracking, patching and utility cut patching, polished aggregate, potholes, railroad crossings, rutting, shoving, slippage cracking, swell, weathering and ravelling.

• Data yang digunakan adalah data panjang, lebar, luasan, serta kedalaman dari tiap jenis kerusakan yang ditinjau.

• Pengambilan data dan analisadata dilakukan tiap segmen jalan, dimana masing – masing segmen panjangnya 100 m.

Prosedur analisa data dengan menggunakan metode Pavement Condition Index (PCI), yaitu :

 Dari data yang ada, maka dapat ditentukan nilai kadar kerusakan (density), nilai pengurangan (deduct value), nilai total deduct value (TDV), dan nilai corrected deduct value (CDV). Yang ketentuannya dapat dilihat pada bab metodologi.

 Penilaian kondisi perkerasan jalan dengan rumus : Nilai PCI = 100 – CDV

 Klasifikasi kualitas perkerasan jalan dan penentuan jenis pemeliharaan jalan yang sesuai.

• Hasil analisa data didapat nilai PCI untuk jalan Setia Budi adalah 66.444. Dari hasil nilai PCI jalan ini, maka Jalan Setia Budi termasuk dalam klasifikasi kualitas baik (good). Berdasarkan nilai PCI, maka jalan tersebut termasuk dalam program pemeliharaan rutin.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil studi dan analisa yang dilakukan pada jalan Setia Budi Medan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari hasil evaluasi kerusakan pada jalan Setia Budi Medan, dapat dilihat bahwa total kerusakan yang terjadi adalah seluas 3305.79 m2

Pelepasan butir (Ravelling), dengan luas 1805 m

. Dan jenis kerusakan jalan yang terjadi dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah sebagai berikut :

2

Retak Kulit Buaya (Alligator Cracking), dengan luas 983.6 m (54.6 %).

2

Tambalan (Patching), dengan luas 369.6 m (29.75%).

2

Retak Memanjang / Melintang (Long and Trans Cracking), dengan luas 82.7 m

(11.18 %).

2

Jembul (Shoving), dengan luas 17 m (2.50 %).

2

Keriting (Corrugtion), dengan luas 16 m

(0.51 %). 2

Amblas (Depression), dengan luas 14.1 m

(0.48 %). 2

Lubang (Potholes), dengan luas 10.59 m

(0.43 %). 2

Alur (Rutting), dengan luas 7.2 m

(0.32 %). 2

2. Hasil evaluasi kerusakan jalan berdasarkan metode Bina Marga menunjukkan bahwa urutan prioritas untuk jalan Setia Budi Medan adalah 8.167 (urutan prioritas > 7), adalah urutan prioritas kelas A. Sehingga jenis


(5)

pemeliharaan yang sesuai untuk jalan Setia Budi Medan adalah program pemeliharaan rutin.

3. Hasil evaluasi kerusakan jalan berdasarkan metode Pavement Condition Index (PCI) menunjukkan bahwa nilai kondisi jalan atau nilai PCI jalan Setia Budi Medan adalah 66.444 yang termasuk dalam klasifikasi kualitas perkerasan dengan tingkat baik (good). Berdasarkan nilai PCI tersebut , maka jenis pemeliharaan yang sesuai untuk jalan Setia Budi Medan adalah program pemeliharaan rutin.

5.2. Saran

1. Prioritas penanganan yang utama dilakukan pada unit atau segmen jalan yang memiliki nilai kondisi jalan yang rendah, sehingga kerusakan yang terjadi pada ruas jalan tidak menjadi lebih parah.

2. Survei dilakukan dengan survai visual, sehingga masih diperlukan studi lanjutan dengan menggunakan alat yang penilaiannya lebih akurat, seperti alat NAASRA Roughometer untuk menghitung nilai kekasaran permukaan sehingga dapat dijadikan acuan dalam penentuan tingkat pelayanan jalan. 3. Evaluasi yang diamati dalam tugas akhir ini merupakan evaluasi terhadap

perkerasan jalan, sehingga untuk mendukung program pemeliharaan yang lebih kompleks, maka diperlukan juga studi lanjutan terhadap sistem drainase jalan, trotoar dan bahu jalan, serta perhitungan anggaran biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan. Sehingga dapat tercipta suatu sistem pemeliharaan jalan yang lebih tepat, efisien dan lebih ekonomis.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pekerjaan Umum, (1992), Petunjuk Praktis Pemeliharaan Rutin Jalan Upr. 02.1 Pemeliharaan Rutin Perkerasan Jalan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta, Indonesia.

Departemen Pekerjaan Umum, (1990), Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota, No. 018/T/BNKT/1990, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta, Indonesia.

Direktorat Pembinaan Jalan Kota, (1991), Tata Cara Survai Kondisi Jalan Kota, No: 05/T/BNKT/1991, Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta, Indonesia.

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, (2004), Survai Pencacahan Lalu Lintas Dengan Cara Manual, Pd. T-19-2004-B, Direktorat Bina Teknik. Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Pedesaan, Jakarta, Indonesia.

Departement Of Defense, (2004), Pavement Maintenance Management, UFC 3-270-08, Unified Facilities Criteria (UFC), USA.

Departement Of Defense, (2001), Paver Asphalt Surfaced Airfields Pavement Condition Index(PCI), UFC 3-270-06, Unified Facilities Criteria (UFC), USA. Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung. Suwandi, S., Sartono, W., Christady, H., (2008), Evaluasi Tingkat Kerusakan

Jalan Dengan Metode Pavement Condition Index (PCI) untuk Menunjang Pengambilan Keputusan, Forum Teknik Sipil No.XVIII, Yogyakarta, Indonesia.

Walker, D., Entine, L., Kummer, S., (2002), Pavement Surface Evaluation and Rating Asphalt Roads Manual, University of Wisconsin, Madison.


Dokumen yang terkait

Berbagai Bahan Stabilisasi Tanah Dasar untuk Perkerasan Jalan Raya

17 160 90

Evaluasi Tingkat Pelayanan Jalan Sebagai Penunjang Perencanaan dan Pengembangan Pemanfaatan Lahan (Studi Kasus : Jalan Kolonel Yos Sudarso Kelurahan Pematang Pasir Kecamatan Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)

2 55 139

EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN BERDASARKAN NILAI SEVERITY INDEX RESIKO KERUSAKAN JALAN (Studi Kasus: Jalan Mawar Kecamatan Arjasa-Kecamatan Kalisat, Jember)

2 9 100

Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai Dasar Penentuan Perbaikan Jalan Menggunakan Metode Pavement Condition Index (PCI)

0 10 1

Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai Dasar Penentuan Perbaikan Jalan Menggunakan Metode Pavement Condition Index (PCI)

3 20 62

EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN DENGAN METODE EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN DENGAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) SEBAGAI DASAR PENENTUAN PERBAIKAN JALAN (STUDI KASUS : JALAN SETURAN RAYA).

3 13 13

PENDAHULUAN EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN DENGAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) SEBAGAI DASAR PENENTUAN PERBAIKAN JALAN (STUDI KASUS : JALAN SETURAN RAYA).

0 2 5

TINJAUAN PUSTAKA EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN DENGAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) SEBAGAI DASAR PENENTUAN PERBAIKAN JALAN (STUDI KASUS : JALAN SETURAN RAYA).

0 2 24

LANDASAN TEORI EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN DENGAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) SEBAGAI DASAR PENENTUAN PERBAIKAN JALAN (STUDI KASUS : JALAN SETURAN RAYA).

0 3 17

KESIMPULAN DAN SARAN EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN DENGAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI) SEBAGAI DASAR PENENTUAN PERBAIKAN JALAN (STUDI KASUS : JALAN SETURAN RAYA).

0 3 37