maupun luar negeri. Dukungan-dukungan seperti ini bisa diharapkan mampu mendorong keberhasilan penerapan Indikasi Geografis Bandeng Sidoarjo.
4.5 Keunggulan dan Keterbatasan Penelitian
4.5.1 Keunggulan Penelitian
1. Penelitian ini menggunakan survei kualitatif dan kuantatif yang saling melengkapi untuk mengidentifikasi sistem produksi dan rantai pasok ikan
bandeng, sehingga bisa memberikan gambaran yang cukup lengkap mengenai kondisi nyata untuk menilai layak atau tidaknya skenario Indikasi Geografis
diterapkan. 2. Penelitian ini tidak hanya menggunakan pembudidaya dan pelaku rantai pasok
dalam pengumpulan data, namun melibatkan pemerintah lokal Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo dan Tim Ahli Indikasi Geografis, sehingga
bisa menilai peluang keberhasilan penerapan skenario Indikasi Geografis dalam aspek kekhasan produk, sumber daya masyarakat lokal, dan dukungan
pemerintah.
4.5.2 Keterbatasan Penelitian
1. Hasil analisis regresi mutu ikan bandeng memiliki nilai Nagelkerke R Square yang rendah. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor
yang memengaruhi kualitas ikan bandeng, terkait ada dan tidaknya bau tanah. 2. Penelitian ini tidak melakukan uji beda mutu ikan bandeng dari Kabupaten
Sidoarjo dan wilayah lain secara organoleptik, sehingga hasil yang didapatkan hanya interpretasi survei kualitatif dan kuantitaif saja. Pengujian organoleptik
akan memberikan hasil yang lebih akurat mengenai faktor pembeda antara ikan bandeng dari wilayah-wilayah tersebut.
3. Penelitian ini tidak membahas mengenai pembatasan wilayah produksi dalam skenario implementasi Indikasi Geografis. Namun, peneliti menyarankan untuk
menentukan wilayah produksi berdasarkan sistem produksi, bukan kecamatan atau desa, sehingga bisa menyaring ikan bandeng yang miliki ciri khas saja.
Penentuan wilayah produksi sepenuhnya diserahkan kepada produsen dan pelaku rantai pasok lain yang terlibat dalam penggunaan Indikasi Geografis.
4.6 Implikasi Kebijakan
Ikan bandeng
merupakan komoditas
perikanan yang
banyak dibudidayakan oleh masyarakat di sekitar delta Kabupaten Sidoarjo. Sejak dulu
budidaya ikan bandeng telah dilakukan secara tradisional, terutama dalam hal pakan yang menggunakan pakan alami berupa ganggang. Rupanya hal ini disebut
sebagai penyebab ikan bandeng tidak memiliki bau tanah atau lumpur seperti di wilayah lain. Reputasi ini telah terbangun lama hingga sekarang dikenal sebagai
ciri khas ikan bandeng dari Kabupaten Sidoarjo. Seiring waktu cara budidaya ikan bandeng mengalami perubahan. Jika dahulu hanya dibudidayakan secara
tradisional dengan mengandalkan alam, saat ini sebagian pembudidaya sudah menggunakan beberapa input seperti pupuk, pestidida, dan pakan konsentrat.
Selama penelitian telah diidentifikasi tiga sistem produksi, yaitu sistem produksi monokultur intensif, sistem produksi polikultur semi-intensif, dan sistem produksi
polikultur ekstensif. Identifikasi faktor alam dan manusia dalam sistem produksi menunjukkan
bahwa, secara kuantitatif, jenisn pakan, jenis obat-obatan, cara budidaya, dan pengolahan tanah tidak berpengaruh signifikan terhadap ada atau tidaknya bau
tanah pada daging ikan. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Juttner Watson 2007 dalam Suryaningrum 2010 bahwa bau lumpur pada
ikan disebabkan karena adanya fitoplankton alga hijau biru Cyanobacteria yang mati, kemudian akan terdekomposisi dan mengeluarkan senyawa geosmin.
Geosmin ini lah yang menyebabkan timbulnya bau lumpur pada ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa penyebab matinya plankton tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain kualitas air yang jelek misalnya karena adanya bahan organik yang tinggi, rasio NP rendah, CO
2
rendah, pH tinggi dan suhu air di atas 29
o
C. Yurkowski dan Tabachek 1974 dalam Erungan 1997 mengidentifikasikan 10
alga hijau biru yang memproduksi geosmin yang diperoleh dari danau yang mempunyai citarasa lumpur yaitu: 7 Oscillatoria spp., 2 Lyngbia spp., dan 1
Syntloca spp. Satu dari Lyngbia spp. menghasilkan 2-methylisoborneol MIB yang juga berbau tanah. Penelitian yang dilakukan oleh Siringoringo 1997
dalam Erungan 1997 menunjukkan bahwa pada kolam yang menghasilkan ikan bandeng bercitarasa lumpur terdapat genus Oscillatoria.
Berdasarkan keterangan dalam Buku Persyaratan Indikasi Geografis Bandeng Asap Sidoarjo, genus Oscillatoria tidak ditemukan di daerah delta
sehingga ikan bandeng tidak memiliki bau lumpur. Kondisi lingkungan seperti ini perlu dijaga agar kekhasan ikan bandeng juga bisa dinikmati secara berkelanjutan.
Budidaya secara tradisional yang ramah lingkungan juga harus dilestarikan agar tidak merusak ekosistem tambak. Penggunaan pakan konsentrat, dan obat-obatan
kimia sintetis perlu dikaji secara mendalam dampaknya terhadap kondisi hidrologi dan tanah dalam jangka panjang. Jika menimbulkan kerusakan tanah dan air
seperti pada sistem monokultur intensif, maka perlu diatur penggunaannya, bila perlu Pemerintah Daerah bisa berperan aktif melalui kebijakan dan program
sosialisasi yang mendukung pengaturan penggunaan input kimiawi sintetis dalam budidaya ikan bandeng.
Perdagangan komoditas perikanan telah berlangsung lama di Kabupaten Sidoarjo. Selama itu pula ikan bandeng berkontribusi besar terhadap
perekonomian para pelaku rantai pasok. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam rantai pasok ikan bandeng antara lain pembudidaya, borg, pengepul, supplier, pedagang
pengecer, pedagang keliling, pengolah, pabrik cold storage, dan supplier nasional. Hubungan kepercayaan dan nilai sosial lainnya terlihat sangat kental dalam
hubungan para pelaku rantai pasok. Faktor-faktor seperti pembeli ikan bandeng, teknik penjualan, kriteria pembelian, dan hubungan pelaku menunjukkan bahwa
hanya dua faktor saja yang berpengaruh signifikan terhadap harga ikan bandeng di tingkat pembudidaya, yaitu pembeli ikan bandeng dan teknik penjualan. Peran
Depo terlihat begitu dominan, karena sekitar 70 pasokan ikan bandeng di Kabupaten Sidoarjo diperdagangkan di sini setiap harinya. Dengan banyaknya
pelaku yang datang untuk bertransaksi menjual dan membeli, baik yang berasal dari Kabupaten Sidoarjo maupun kabupaten lain, menyebabkan adanya resiko
ikan bandeng segar dari wilayah lain juga ikut masuk ke dalam komoditas yang diperdagangkan.
Resiko tercampurnya ikan memang menjadi ancaman bagi sistem Indikasi Geografis, baik itu karena faktor internal atau eksternal. Faktor internal bisa
berupa tidak adanya kontrol kualitas, pelaksanaan sistem keterunutan yang tidak baik, dan kecurangan pelaku. Faktor eksternal bisa berupa penggunaan nama
“Sidoarjo” pada produk sejenis di wilayah lain. Perlu adanya penguatan dalam hal kontrol kualitas dan penjaminan keterunutan. Namun sebelum itu, perlu disepakati
bersama antara FKMT dan lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat mengenai teknis pelaksanaan sistem keterunutan yang layak dan mampu dijalankan secara
kolektif, sehingga bisa diterapkan secara mudah dan berkelanjutan. Permasalahan tidak dijalankannya sistem kontrol kualitas dan keterunutan
saat ini terjadi pada Bandeng Asap Sidoarjo yang telah terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Durand dkk 2013 menjelaskan s
t
udi lapangan di Indonesia menunjukkan bahwa aktor lokal belum menggunakan perangkat kualifikasi
Indikasi Geografis secara ekstensif. Pada produk-produk Indikasi Geografis yang sudah terdaftar, tidak ada pelaksanaan sistem keterunutan atau kontrol kualitas.
Hal ini berarti bahwa pendaftaran Indikasi Geografis tidak memiliki efek, karena beberapa efek seharusnya sudah terlihat meskipun tahap aktivasi Indikasi
Geografis belum tercapai. Produk bandeng asap dan kemasannya seharusnya mencantumkan kode keterunutan untuk menjamin keaslian asal ikan bandeng,
namun sampai saat ini para penjual belum melaksanakannya. Skenario Indikasi Geografis yang digunakan untuk Bandeng Asap Sidoarjo
adalah ikan bandeng yang berasal dari semua sistem produksi. Padahal masing- masing sistem produksi memiliki ikan bandeng dengan ciri yang berbeda. Pada
Gambar 4.25 di bawah ini bisa dilihat jika ikan bandeng nomor 1 memiliki bagian lemak lebih sedikit tipis, sedangkan ikan bandeng nomor 2 memiliki bagian
lemak yang lebih banyak tebal. Ikan bandeng nomor 1 adalah ikan bandeng yang dibudidayakan pada sistem produksi polikultur ekstensif. Pemberian pakan alami
berupa algae hijau dan tanpa menggunakan pakan konsentrat membuat daging ikan bandeng tidak memiliki banyak kandungan lemak, terutama pada bagian
abdomen. Hal sebaliknya terjadi pada ikan bandeng nomor 2 yang dibudidayakan pada sistem produksi monokultur intensif atau polikultur semi intensif. Pemberian
pakan konsentrat yang memiliki protein tinggi menyebabkan daging ikan bandeng lebih gemuk dan memiliki lebih banyak kandungan lemak pada bagian
abdomennya. Dari hal ini saja sudah bisa diidentifikasi bahwa meski dibudidayakan dalam satu area, namun dengan sistem produksi yang berbeda,
akan menghasilkan ikan bandeng dengan ciri yang berbeda juga.
Gambar 4.25 Bandeng Asap
Kekhasan ikan bandeng yang tidak berbau tanah dan konsentrat menjadi acuan penting untuk penentuan produk yang akan didaftarkan sebagai Indikasi
Geografis. Namun, jika dikaji dampak positif pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, seharusnya menggunakan ikan bandeng mentah yang berasal dari
sistem produksi polikultur ekstensif yang secara kualitatif diperkirakan memiliki dampak positif terbesar. Dari ikan bandeng mentah yang digunakan sebagai
produk Indikasi Geografis, maka secara otomatis produk olahan berbasis ikan
bandeng ini juga diakui sebagai produk dengan bahan baku ikan bandeng asli dari Kabupaten Sidoarjo, dan berhak menggunakan logo Indikasi Geografisnya.
Ciri ikan bandeng mentah juga perlu diperhatikan secara seksama, karena memiliki perbedaan yang sangat jelas dan bisa diidentifikasi dengan indera
penglihatan. Pada Gambar 4.26 di bawah ini bisa dilihat 2 macam organ dalam ikan bandeng, yaitu pada Area 1 dan 2. Kedua macam organ dalam tersebut
berasal dari ikan bandeng yang dibudidayakan pada sistem produksi yang berbeda, terutama berkaitan erat dengan pemberian pakan. Berdasarkan data yang
diperoleh selama penelitian, diasumsikan jenis pakan membuat ciri morfologi organ dalam ikan bandeng berbeda pada masing-masing sistem produksi.
Gambar 4.26 Organ Dalam Ikan Bandeng
Organ dalam pada Area 1 berukuran lebih kecil dan memiliki warna lebih gelap. Organ dalam ini biasa dijumpai pada ikan bandeng dari sistem polikultur
ekstensif atau tradisional. Pemberian pakan alami berupa algae hijau membuat organ dalam ikan bandeng tersebut tidak mengandung banyak lemak sehingga
ukurannya lebih kecil dan berwarna lebih gelap. Sebaliknya, organ dalam pada Area 2 berasal dari ikan bandeng sistem produksi monokultur intensif atau
polikultur semi intensif yang diberi pakan konsentrat, sehingga organ dalamnya mengandung lebih banyak lemak dan mengakibatkan warna organ dalamnya lebih
cerah dan berukuran lebih besar. Sistem produksi monokultur intensif dan polikultur semi-intensif
menggunakan input kimia, sehingga beresiko merusak kondisi air dan tanah dalam jangka panjang. Selain itu, penggunaan input kimia juga memerlukan biaya yang
tinggi sehingga menjadi beban secara ekonomi. Oleh karena itu, jika kedua sistem tersebut dilindungi dengan Indikasi Geografis akan memiliki resiko yang bisa
merugikan di masa depan. Sistem produksi polikultur ekstensif atau tradisional adalah sistem budidaya ikan bandeng yang sejak awal memang digunakan oleh
pembudidaya perikanan di Kabupaten Sidoarjo dan telah menjadi warisan leluhur saat ini. Oleh karena itu, sistem ini menjadi sistem yang paling sesuai untuk
didaftarkan dalam Indikasi Geografis. Keberhasilan penerapan skenario Indikasi Geografis sangat bergantung
pada kesiapan Forum Komunikasi Masyarakat Tambak FKMT sebagai lembaga yang mengelolanya. FKMT tergolong lembaga yang baru mengenal Indikasi
Geografis, sehingga masih membutuhkan pembinaan. Untuk menjalankan sistem kontrol kualitas dan keterunutan, FKMT bisa mencontoh beberapa produk
Indikasi Geografis yang sukses, misalnya Keju Gruyere Swiss, yang
menggunakan jasa suatu badan sertifikasi, sehingga standard mutu bisa dikontrol dan diawasi secara ketat sesuai dengan yang ditentukan dalam Buku
Persyaratannya. Adanya dukungan Pemerintah Daerah serta peran kerja sama internasional
bisa membantu menguatkan FKMT sebagai lembaga pengelola Indikasi Geografis yang nantinya diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan
masyarakat tambak. Khusus mengenai kerja sama internasional, yaitu antara Pemerintah Indonesia dengan Swiss yang berlaku sampai Maret 2016, bisa
dimanfaatkan untuk meminta bantuan teknis atau tenaga ahli untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM dalam mengelola produk Indikasi Geografis
dari hulu ke hilir.
BAB 5. KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI