BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru 1998 bisa dikatakan berlangsung cukup dramatis sehingga ada yang menganggap
Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar third largest democracy in the world
setelah India dan Amerika. Hal ini ditandai dengan tumbuh suburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan
desentralisasi kekuasaan dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagai hasil revisi Undang-undang nomor 22 tahun 1999.
Namun ledakan demokrasi pada pertengahan 1998 ini belum mampu meningkatkan partisipasi politik masyarakat di tingkat lokal secara signifikan. Hal ini
disebabkan pemerintahan sentralistik-militeristik dan kebijakan massa mengambang yang diterapkan Orde Baru selama tiga puluh dua tahun ternyata benar-benar telah
melumpuhkan wacana demokrasi dalam kehidupan masyarakat hingga menyingkirkan praktik-praktik seleksi kepemimpinan secara fair yang berdasarkan kompetensi,
kapabilitas, dan integritas individu. Bersamaan dengan itu pendidikan kewarganegaraan civic education selama masa transisi demokrasi ini belum mampu meningkatkan
partisipasi politik masyarakat yang cukup berarti dalam mendorong terwujudnya good governance
di pemerintahan lokal. Pengaruh agama, budaya, rendahnya tingkat
pendidikan serta kondisi ekonomi masyarakat bawah masih menjadi penghambat upaya pembangunan kekuatan civil society sebagai pilar demokrasi.
1
Namun, pada saat ini partisipasi politik sebagai peran serta masyarakat secara kolektif di dalam proses penentuan pemimpin, pembuatan kebijakan publik, dan
pengawasan proses pemerintahan mulai nampak secara kasat mata dan membanggakan. Hal ini terbukti ketika di beberapa daerah mulai melaksanakan suksesi kepemimpinan di
wilayah mereka melalui Pemilihan Kepala Daerah Pilkada baik tingkat I Gubernur ataupun tingkat II WalikotaBupati seperti yang telah dilaksanakan di Depok,
Sukabumi, Pekalongan, Cilegon dan Banten serta di berbagai wilayah lainnya. Dan kita bisa melihat sebagian besar masyarakat aktif dalam kegiatan-kegiatan
yang terkait dengan tiga fungsi partisipasi politik, yaitu menentukan kedudukan pada posisi kekuasaan, mempengaruhi pembuatan kebijakan dan mengawasi proses politik.
Partisipasi secara harfiah berarti keikutsertaan. Dalam konteks politik hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Partisipasi politik
adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut dalam
pelaksana keputusan.
2
Partisipasi juga berarti semua perilaku dan aktifitas masyarakat yang terlibat dalam semua proses politik yang berlangsung dalam sebuah sistem atau
mekanisme politik tertentu.
1
Elizabeth Kumala Dewi, “Tanpa Civilian Supremacy, Reformasi Hanya Mimpi” artikel diakses pada 10 September 2006 dari http.
www.inovasionline.com ,
2
“Partisipasi Politik,” diakses pada 10 September 2006 dari http.wikipedia.orgwikipartisipasi_politik.
Peran serta atau partisipasi politik masyaralat merupakan andalan utama dari dinamika perubahan dan kebebasan. Pembangunan nasional, mengandalkan partisipasi
masyarakat secara luas. Dalam prespektif politik, setidaknya menurut Huntington, partisipasi merupakan ciri khas modernisasi politik. Di sini, kemajuan demokrasi dapat
dilihat dari seberapa besar partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik adalah suatu pemberdayaan sekaligus sikap responsif terhadap aspirasi politik masyarakat, partisipasi
politik masyarakat merupakan sarana sekaligus bagian integral dari tujuan pembangunan nasional.
3
Pada bulan Nov ember 2006 propinsi Banten untuk pertama kalinya melakukan proses demokratisasi politik masyarakatnya melalui pemilihan kepala daerah Pilkada
Propinsi Banten secara langsung. Proses pelaksanaan Pilkada merupakan bagian penting dari pembelajaran politik masyarakat. Dan pada Pilkada ini dapat dilihat sejauh mana
tingkat partisipasi politik masyarakat, serta pembelajaran politik masyarakat dalam mengiringi proses demokratisasi di propinsi Banten.
Untuk membaca tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pilkada, ada baiknya kita berkaca pada sejumlah daerah yang telah melakukan pesta demokrasi di
tingkat lokal itu. Menurut data yang dihimpun oleh Desk Pilkada Pusat, tingkat partisipasi politik masyarakat di lima kabupaten yang telah melakukan Pilkada rerata
kurang dari 75 persen. Di Kutai Kartanegara, jumlah pemilih yang memberikan suaranya hanya 70,67 persen, Cilegon 74,07 persen, Pekalongan 67,96 persen,
Kebumen 72,16 persen dan Indragiri Hulu 60,58 persen. Dan ternyata pada Pilkada
3
Syarwan Hamid, “Mewadahi Peran Serta Politik Masyarakat; Pokok-Pokok Pemikiran Syarwan Hamid” disampaikan pada Dialog Nasional CIDES, 26 Agustus 1996
Banten 2006, dari daftar pemilih yang dikeluarkan oleh KPUD Banten sebanyak 6.208.951, yang melaksanakan hak pilihnya hanya 3.914.137 atau 63 persen
4
. Ada yang menarik dari data yang ditampilkan di atas, ternyata tingkat partisipasi
politik masyarakat di Kutai Kartanegara lebih tinggi daripada masyarakat Banten. Padahal Banten jauh lebih dekat dengan Jakarta yang memiliki aksesbilitas informasi
lebih mudah dibandingkan Kutai Kartanegara. Keadaan ini ternyata didukung oleh sosialisasi Pilkada yang lebih intensif di Kabupaten tersebut
Dan kecamatan Ciputat adalah wilayah yang secara georgraifs cukup strategis. Kecamatan ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tangerang Propinsi Banten, wilayah
ini menghubungkan tiga propinsi yaitu Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat maka tidak heran Kecamatan Ciputat berkembang begitu pesatnya, pemukiman dan perumahan
penduduk yang terus bertambah, laju pertumbuhan ekonomi dan usaha juga meningkat, dan yang paling penting akses informasi dapat dicapai dengan mudah di wilayah ini.
Setidaknya ada tiga variabel yang bisa dikatakan mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pilkada, yaitu sosialisasi Pilkada oleh stakeholder,
pendidikan politik masyarakat, dan yang terakhir kemandirian politik masyarakat. Di sini, pengetahuan publik atas informasi well informed menjadi salah satu
faktor penting dalam peningkatan partisipasi politik. Masyarakat tahu apa itu Pilkada, kapan Pilkada dilaksanakan, siapa kontestannya, hingga mengapa mereka perlu
berpartisipasi dalam proses pemilihan tersebut. Kekurangtahuan dan kekurangpahaman
4
“Ratu Atut-Masduki Meraih Suara Terbanyak”, Republika, 7 Desember 2006 h.12
masyarakat terhadap pelaksanaan Pilkada terkait sejauh mana sosialisasi pilkada yang telah dilakuakn.
Media informasi, seperti televisi, koran, bahkan spanduk, leaflet, brosur, stiker dan media sosialisasi lainnya diasumsikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam
mensosialisaikan suksesi kepemimpinan daerah ini. Oleh karenanya atas dasar pemikiran di atas penulis bermasksud melakukan
penelitian dengan judul
“Pengaruh Media terhadap Tingkat Partisipasi Politik.” Studi Kasus: Partisipasi Politik Masyarakat Ciputat pada Pilkada Propinsi Banten Tahun 2006.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah