Analisa Yuridis Putusan Pengadila Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

(1)

ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM

(STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

OLEH : ANNISAA LUBIS

NIM : 100200314

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM

(STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

OLEH : ANNISAA LUBIS

NIM : 100200314

DISETUJUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP : 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Husni, SH, MH Muhammad Hayat, SH NIP : 1958020219880310004 NIP : 195008081980021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : ANNISAA LUBIS

NIM : 100200314

DEPARTEMEN : HUKUM PERDATA BW

JUDUL SKRIPSI : ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILA TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat denga sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 3 April 2014

Nama : Annisaa Lubis Nim : 100200314


(4)

ABSTRAK

Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk di mana dan apabila Undang-Undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris tunduk dengan aturan-aturan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan Hukum lain yang berlaku umum.

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian normatif, artinya penelitian ini cenderung menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Analisa data dilakukan setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab batalnya suatu akta atau dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan adalah dengan tidak dipenuhinya syarat materil dan syarat formil dalam suatu akta yaitu syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Notaris bertanggung jawab apabila terbukti secara pidana telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Notaris dapat dijatuhi hukuman pidana dan akta tersebut dapat menjadi batal bila akta tersebut diproses di peradilan perdata dan bila Notaris terbukti salah maka Notaris diwajibkan membayar ganti rugi, dan biaya kepada pihak yang mengalami kerugian.

Dalam menghadapi perkara yang berkaitan dengan pembatalan akta Notaris, hakim harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila Notaris melakukan kesalahan dalam pembuatan akta, maka hakimlah yang dapat menilai kemudian memutuskan apakah akta tersebut dapat dibatalkan ataupun diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji hanya bagi Allah SWT. Tuhan yang menguasai segala ilmu pengetahuan dan memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-nya. Tidak ada sebab utama selesainya penulisan skripsi ini, kecuali karena ridha Allah SWT semata. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW ketegaran dan kesabaran beliau senantiasa menjadi teladan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “ANALISA YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG BATAL DEMI HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI MEDAN)”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah berusaha dengan segala upaya agar tulisan ini dapat selesai dalam susunan yang sempurna. Namun penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis sangat bersyukur karena tidak sendiri dalam proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini diselesaikan berkat bimbingan, bantuan dan dukungan banyak orang. Karenanya tidak pantas jika penulis tidak memberikan ucapan terima kasih pada kesempatan ini.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas


(6)

yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala waktu, bimbingan, saran, pengarahan dan kesabarannya.

5. Bapak Muhammad Hayat, S.H, selaku Komisi Pembimbing dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala waktu, bimbingan, saran, pengarahan dan kesabarannya.

6. Ibu Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan masukan dan saran-saran kepada Penulis dalam penyusunan skripsi ini. 7. Kedua orang tua terhebat sejagat raya, papa H. Muhammad Syafii Lubis

dan mama Sri Yuliati, S.H., SpN., MKn, yang telah membesarkan dan mendidik dengan memberikan kasih sayang yang tulus dan semangat kepada Penulis, sehingga penulis menjadi kuat dan tabah dalam


(7)

mengerjakan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan, keselamatan dan rejeki yang berlimpah.

8. Abang dan dua orang adik Penulis Ahmad Ridho Lubis, Muhammad Fayyadh Lubis, dan Almira Lubis yang telah banyak memberikan dukungan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, semoga Allah SWT memberikan kesehatan, keselamatan dan rejeki yang berlimpah.

9. Sahabat kesayangan Dian Padena Harahap (depe), Fithri Chairunnisa (chabelita), Devi Puspita Sari Daulay (dole idong) yang telah memberikan waktu dan dukungannya kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan dan persaudaraan serta kasih sayang yang tulus yang kalian berikan yang membuat Penulis bersemangat menyelesaikan skripsi ini.

10.Kakak-kakak senior kak Nella, kak Fiqih terima kasih atas pinjaman bukunya atas bantuannya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.Adik-adik junior Randa, Hadis, Haris dan yang lainnya tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan semangatnya 12.My Tamtam (Rustam Efendi Hasibuan), yang telah meluangkan waktunya

membantu penulis mencari bahan untuk menyelesaikan skripsi ini, dan tiada hentinya setiap hari setiap saat memberikan semangat, support, doa, tenaga, pikiran dan kasih sayang kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih ya.


(8)

13.Teman-teman seperjuangan Grup E Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terima kasih banyak atas doa dan dukungannya.

14.Para Dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 15.Kepada para Staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

16.Serta kepada para pihak yang telah membantu, memberikan data-data, informasi dan mendukung Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang nama-namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Rasanya tidak mungkin penulis membalas semua kebaikan mereka yang disebutkan diatas, semoga bantuan dan dukungan serta kebaikan mereka mendapat imbalan dan rahmat dari Allah SWT. Akhirnya penulis memohon doa kiranya Allah SWT tetap menunjuki jalan yang benar bagi penulis dalam melaksanakan kewajiban penulis dan diharapkan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia akademis maupun praktisi dimasa kini dan mendatang.

Medan , April 2014 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ………. iii

DAFTAR ISI ………..………. vii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ………..…… 1

B. Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ………. 6

D.Keaslian Penulisan ……… 7

E. Tinjauan Kepustakaan ……….. 8

F. Metode Penelitian ………. 17

G. Sistematika Penulisan ……… 20

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta….. 22

B. Bentuk-Bentuk Akta Notaris …………... 29


(10)

D. Faktor-Faktor yang dapat Menyebabkan Suatu Akta dapat Di Batalkan ... 33

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA

A. Pengertian Notaris dan Syarat Pengangkatan Notaris……… 38

B. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris………. 40

C. Kode Etik yang Harus di Patuhi Notaris ... 44

D. Pertanggungjawaban Notaris atas Akta yang Dinyatakan Batal Demi Hukum ... 49

BAB IV PERTIMBANGAN PENGADILAN DALAM MEMBATALKAN AKTA NOTARIS TERHADAP PUTUSAN No.Perk.297/Pdt.G/2009/PN.Mdn

A. Kewenangan Badan Peradilan dalam Mempertimbangkan Pembatalan Akta Notaris……….. 53 B. Faktor-Faktor Pertimbangan Hakim dalam

Membatalkan Akta Notaris Terhadap Kasus Perdata No.Perk.297/Pdt.G/2009/PN.Mdn…… 59


(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71


(12)

ABSTRAK

Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk di mana dan apabila Undang-Undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris tunduk dengan aturan-aturan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan Hukum lain yang berlaku umum.

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian normatif, artinya penelitian ini cenderung menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Analisa data dilakukan setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab batalnya suatu akta atau dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan adalah dengan tidak dipenuhinya syarat materil dan syarat formil dalam suatu akta yaitu syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Notaris bertanggung jawab apabila terbukti secara pidana telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Notaris dapat dijatuhi hukuman pidana dan akta tersebut dapat menjadi batal bila akta tersebut diproses di peradilan perdata dan bila Notaris terbukti salah maka Notaris diwajibkan membayar ganti rugi, dan biaya kepada pihak yang mengalami kerugian.

Dalam menghadapi perkara yang berkaitan dengan pembatalan akta Notaris, hakim harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila Notaris melakukan kesalahan dalam pembuatan akta, maka hakimlah yang dapat menilai kemudian memutuskan apakah akta tersebut dapat dibatalkan ataupun diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum.


(13)

ABSTRAK

Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk di mana dan apabila Undang-Undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris tunduk dengan aturan-aturan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan Hukum lain yang berlaku umum.

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian normatif, artinya penelitian ini cenderung menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Analisa data dilakukan setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab batalnya suatu akta atau dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan adalah dengan tidak dipenuhinya syarat materil dan syarat formil dalam suatu akta yaitu syarat subjektif dan syarat objektif perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Notaris bertanggung jawab apabila terbukti secara pidana telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Notaris dapat dijatuhi hukuman pidana dan akta tersebut dapat menjadi batal bila akta tersebut diproses di peradilan perdata dan bila Notaris terbukti salah maka Notaris diwajibkan membayar ganti rugi, dan biaya kepada pihak yang mengalami kerugian.

Dalam menghadapi perkara yang berkaitan dengan pembatalan akta Notaris, hakim harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila Notaris melakukan kesalahan dalam pembuatan akta, maka hakimlah yang dapat menilai kemudian memutuskan apakah akta tersebut dapat dibatalkan ataupun diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan atau terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk di mana dan apabila Undang-Undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.1

Kehadiran Notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membuktikan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.2

Menurut Pasal 1 Instructice voor de Notarissen in Indonesia, Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan

1

G.H.S. Lumban Tobing, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), hal.2

2


(15)

kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.3

Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 menyebutkan:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Dalam pasal 1 tersebut tersirat hal penting, yaitu ketentuan yang menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta otentik.

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral terhadap akta yang dibuatnya. Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata.

Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare

Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai

pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris.4

3

G.H.S. Lumban Tobing, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, op. Cit. hal.20

4

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet2, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal.27


(16)

Dalam pelaksanaan tugasnya, Notaris tunduk dengan aturan-aturan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan Hukum lain yang berlaku umum.

Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 menyebutkan;

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.

Akta Otentik sebagai alat bukti kuat dan terpenuh, mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Akta Otentik makin meningkat sejalan dengan perkembangan tuntunan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan. Melalui akta otentik dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa.

Untuk membuat akta yang bersifat otentik, diperlukan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata “adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek perjanjian dan adanya sebab yang halal.

Pengertian akta otentik sendiri adalah apa yang dirumuskan dalam Buku IV KUHPerdata tentang hukum pembuktian yang mengatur mengenai syarat-syarat agar suatu akta dapat berlaku sebagai akta otentik, hal ini


(17)

terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat”.5

Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata:

Ketentuan pasal tersebut menunjukkan tanpa adanya kedudukan sebagai pejabat umum, maka seseorang tidak mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik.

- Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. - Namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di

bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditanda tangani para pihak.

Keberadaan akta Notaris adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh Undang-Undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak pemberian tanda kepercayaan kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat.

Notaris dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuatnya ternyata mengandung cacat hukum. Maka semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan selalu dimintakan pertanggungjawaban. Apabila Notaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam membuat akta maka Notaris dapat diminta

5


(18)

pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Oleh karenanya, Notaris dituntut untuk selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.

Kelalaian Notaris bukan merupakan sebab utama pembatalan akta Notaris. Pembatalan akta Notaris dapat juga disebabkan kesalahan atau kelalaian kedua belah pihak yang menimbulkan gugatan dari salah satu pihak dalam akta.

Sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka akta yang dimintakan pembatalannya tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat sesuatu, artinya pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas.6

Istilah batal demi hukum (nietig) merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan sebab yang tidak dilarang (een geoorloofde oorzaak), dan istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toetsemming van degenen die zich verbinden) dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan).7

6

Prof. Subekti,SH, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2005), hal.20 7

Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, op. Cit. hal.9


(19)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah

1. Faktor apakah yang menyebabkan akta Notaris dapat dibatalkan?

2. Bagaimana pertanggungjawaban Notaris atas aktanya yang menjadi batal demi hukum?

3. Bagaimana pertimbangan badan peradilan dalam membatalkan akta Notaris?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan akta Notaris dapat dibatalkan

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Notaris atas aktanya yang menjadi batal demi hukum

c. Untuk mengetahui pertimbangan badan peradilan dalam membatalkan akta Notaris

2. Manfaat a. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan secara akademis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan mengenai ilmu hukum bidang kenotariatan khususnya akta Notaris yang batal demi hukum oleh putusan pengadilan.


(20)

b. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan serta pertimbangan dalam ilmu pengetahuan bagi kalangan praktisi hukum dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan akta Notaris yang batal demi hukum oleh putusan pengadilan.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, Penelitian tentang “Analisa Yuridis Putusan Pengadilan Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan” merupakan hal yang baru, belum pernah dibahas oleh mahasiswa/i lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan kalaupun ada lokasinya berbeda maka keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Dan juga terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

Dengan ini peneliti memberikan pernyataan apabila skripsi ini kedapatan meniru atau mencuri ide (Plagiat) dari tulisan orang lain maka penulis bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merugikan orang lain.


(21)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian-Pengertian Notaris dan Tinjauan Tentang Suatu Akta Otentik a. Menurut Reglement Op Het Notarisambt (Peraturan Jabatan Notaris)

Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki atau dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse (salinan sah), salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

b. Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No.M.01-HT.03.01 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemindahan dan Pemberhentian Notaris

Dalam Pasal 1 ayat (1), Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.

c. Menurut Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dengan Undang-Undang ini.


(22)

d. Menurut Kamus Indonesia

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Peraturan Jabatan Notaris.

Dari pengertian-pengertian Notaris diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “Pejabat Umum”. Dari pengertian-pengertian diatas ada hal penting yang tersirat, bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik, jadi Notaris merupakan pejabat umum sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1868 KUHPerdata.

Sedangkan pengertian akta otentik terdapat di dalam hukum pembuktian yang diatur dalam Buku IV KUHPerdata, mengenai syarat-syarat agar suatu akta berlaku sebagai akta otentik, hal ini diatur di dalam pasal 1868 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta tersebut dibuat.

Akta otentik menurut Soepomo adalah surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai surat bukti.8

8


(23)

Menurut Wiryono Projodikoro, pengertian akta otentik adalah surat yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu.9

Berdasarkan pengertian akta otentik diatas, dapat dilihat beberapa unsur untuk dikatakan sebagai akta otentik, Yaitu;

1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum 2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum

3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat di mana akta itu dibuat, jadi akta itu harus dibuat di tempat wewenang pejabat yang membuatnya.

Dari pengertian akta otentik diatas juga dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum.

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak karena akta tersebut memuat perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, jadi apabila terjadi sengketa antara pihak yang membuat perjanjian, maka yang tersebut dalam akta itu merupakan bukti yang sempurna dan tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti lain, sepanjang pihak lain tidak dapat membuktikan sebaliknya.

Akta sebagai alat bukti tertulis dalam hal-hal tertentu, merupakan bukti yang kuat bagi pihak-pihak yang bersangkutan, mereka yang menandatangani suatu akta bertanggung jawab dan terikat akan isi akta.10

9

R. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1988), hal.108


(24)

Kekuatan pembuktian dari akta Notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian;

1) Kekuatan pembuktian yang lahiriah

Yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan supaya suatu akta Notaris dapat berlaku sebagai akta otentik sesuai dengan Pasal 1868 KUHPerdata. 2) Kekuatan pembuktian formal

Yaitu kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta, benar-benar dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh para pihak yang menghadap.

Akta otentik menjamin kebenaran mengenai:11 a. Tanggal akta dibuat

b. Semua tandatangan yang tertera dalam akta c. Identitas yang hadir menghadap Notaris

d. Semua pihak yang menandatangani akta itu mengakui apa yang diuraikan dalam akta itu

e. Tempat dimana akta tersebut dibuat 3) Kekuatan pembuktian materil

Yaitu kepastian bahwa apa yang disebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak yang berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya.

10

Komar Andasamita, Notaris I, (Bandung: sumur, 1984), hal.47 11

Soetardjo, Soemoatmodjo, apakah, Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, (Yogyakarta: Liberty, 1986),


(25)

2. Kewenangan Notaris Membuat Akta Otentik dan Syarat Suatu Surat dapat dikatakan Akta Otentik

Tugas yang paling pokok Notaris dapat juga dikatakan sebagai salah satu penegak hukum, karena Notaris berwenang membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat, bahwa akta Notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai alat bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi yang dapat membuktikan, bahwa apa yang diterangkan oleh Notaris dalam aktanya itu tidak benar.12

Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Pasal 1 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan agar dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kebenaran tanggalnya, menyimpan minutanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Notaris juga diberi hak dan wewenang untuk mengesahkan akta-akta yang dibuat di bawah tangan serta dapat memberikan nasehat atau penyuluhan hukum dan menjelaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

12

Liliana, Tedjosaputro, Mal Praktek Notaris Dalam Hukum Pidana, (Semarang: CV. Agung, 1991), hal.4


(26)

Dalam pembuatan akta yang dilakukan Notaris, setiap kata yang dibuat dalam akta harus terjamin otentisitasnya, maka dalam proses pembuatan dan pemenuhan persyaratan-persyaratan pembuatan akta memerlukan tingkat kecermatan yang memadai. Jika kecermatan itu diabaikan, maka memungkinkan adanya faktor-faktor yang menghilangkan otensitas akta yang dibuat semakin tinggi.

Dari beberapa pengertian akta diatas, jelaslah tidak semua surat dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat yang dipenuhi. Maka untuk dapat dikatakan sebagai akta, suatu surat harus memenuhi syarat-syarat:13

a. Surat itu harus ditandatangani

Keharusan ditandatangani suatu surat untuk dapat disebut akta dikemukakannya dalam pasal 1869 KUHPerdata yang berbunyi:

“Suatu akta yang karena tidak berkuasa untuk atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan, jika ditandatangani oleh pihak-pihak”.

Jelas tanda tangan berfungsi untuk memberikan ciri atau mengindividualisir sebuah akta.

b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau peristiwa.

Sesuai dengan peruntukkan sesuatu akta sebagai alat pembuktian demi keperluan siapa surat itu, maka jelas bahwa surat itu harus berisikan

13

Suharjono, “Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123”, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, (Desember 1995), hal.129-130


(27)

keterangan yang dapat dijadikan bukti yang dibutuhkan. Peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu dan yang dibutuhkan sebagai pembuktian harus peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau peristiwa.

c. Surat tersebut sengaja dibuat sebagai alat bukti

maksudnya dimana didalam surat tersebut dimaksudkan untuk pembuktian suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan hak atau perikatan.

3. Perbuatan Melawan Hukum Merupakan Sebab Pembatalan Akta

Telah dibahas diatas, bahwa Notaris membuat akta sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dijelaskan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh yang berkepentingan, dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, maka wewenangnya berhubungan dengan perbuatan, perjanjian dan ketetapan sebagaimana dimaksud dari ketentuan pasal diatas.

Notaris dapat digugat secara perdata maupun pidana. Dalam hal apabila pembuatan aktanya menimbulkan kerugian bagi pihak yang dirugikan oleh Notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat suatu akta otentik dalam hal perbuatan, perjanjian maupun ketetapan.

Dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang yang mengakibatkan suatu


(28)

akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Sedangkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, diwajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Unsur yang terkandung dalam Pasal 1365 KUHPerdata antara lain; a. Harus adanya perbuatan

b. Perbuatan itu melanggar hukum

c. Harus ada mengakibatkan kerugian bagi orang lain d. Adanya kesalahan dari si pembuat

M.A. Moegini Djojodiharjo, berpendapat bahwa Pasal 1365 KUHPerdata tidaklah memberikan perumusan, melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan sukses.14

M.A. Moegni Djojodiharjo, merumuskan bahwa perbuatan melawan hukum diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda,

14

M.A. Moegni Djojodiharjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1982), hal.26


(29)

sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.

Menurut Munir Fuady, rumusan-rumusan tentang perbuatan melawan hukum diantaranya, suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, atau pun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.15

a. Kesalahan, kesengajaan, kelalaian

Kesalahan yang dimaksud oleh Pasal 1365 KUHPerdata mengandung “gradasi dari mulai perbuatan yang disengaja, sampai perbuatan yang tidak disengaja.

b. Tanggung Gugat atau Pertanggung Jawaban

Seseorang dapat dimintai tanggung jawabnya untuk memberikan ganti kerugian atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya atau kerugian yang ditimbulkan oleh binatang atau benda yang berada dalam tanggung jawabnya, karena itu istilah tanggung gugat seiring juga disebut pertanggungjawaban.

c. Kerugian dan Ganti Rugi

Ganti rugi adalah suatu konsekuensi dari perbuatan kesalahan yang menimbulkan kerugian. Dalam hukum perdata terdapat dua bidang hukum yang terkait dengan ganti rugi yaitu:

15


(30)

1. Ganti rugi karena wanprestasi atas kontrak

2. Ganti rugi karena perikatan yang lahir, berdasarkan Undang-Undang termasuk perbuatan melawan hukum.

Ganti rugi yang dimaksudkan adalah ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum dengan tujuan mengembalikan penderita pada keadaan seandainya perbuatan melawan hukum tidak terjadi.

F. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini, penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Untuk memperkuat argumentasi dari penulisan skripsi ini, perlu didukung oleh data-data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena data-data ini merupakan suatu hal yang amat penting untuk mendukung kebenaran ilmiah dari skripsi ini.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk kategori yang bersifat yuridis normatif. Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum adalah kaedah, norma atau Das Sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta atau Das Sein. Deskriptif artinya mampu memberi gambaran secara jelas


(31)

dan sistematis tentang masalah yang akan diteliti. Analisis artinya menganalisis secara teliti permasalahan berdasarkan gambaran dan fakta sehingga mampu menjawab permasalahan yang berkaitan dengan Analisa Yuridis Putusan Pengadilan Terhadap Akta Notaris Yang Batal Demi Hukum.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenani asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).16

2. Jenis Data dan Sumber Data

Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data primer. Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan bahan hukum dari zaman penjajahan hingga kini masih berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku, makalah, dan hasil penelitian di bidang hukum.

Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Primer yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu berupa Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.

16

Dr. Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, MH, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,


(32)

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain: tulisan atau pendapat para pakar hukum.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data-data dari skripsi ini diperoleh dari Library Research yaitu penelitian yang dilaksanakan melalui tinjauan kepustakaan untuk memperoleh informasi dan data yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan analisa terhadap masalah yang akan dibahas. Adapun data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yaitu penelitian dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data. Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yakni berfikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif. Analisa data dilakukan setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.


(33)

G. Sistematika Pembahasan

Suatu gambaran dari isi skripsi ini, di sini dapatlah dikemukakan sistematika penulisan dari skripsi ini yang meliputi:

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Terhadap Akta Serta Kekuatan Pembuktian Akta Notaris

Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian akta dan macam-macam akta, bentuk-bentuk akta otentik, kekuatan pembuktian akta Notaris, dan faktor-faktor yang menyebabkan suatu akta dapat dibatalkan.

BAB III : Tinjauan Umum Terhadap Notaris Dan Kewenangannya

Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian Notaris dan syarat pengangkatan Notaris, kewenangan, kewajiban dan larangan bagi Notaris, kode etik yang harus dipatuhi Notaris serta pertanggungjawaban Notaris atas akta yang dinyatakan batal demi hukum.


(34)

BAB IV : Pertimbangan Pengadilan Dalam Membatalkan Akta Notaris Terhadap Kasus Perdata

No.Perk.297/Pdt.G/2009/PN.Mdn

Pada bab ini akan dibahas tentang kewenangan badan peradilan dalam mempertimbangkan pembatalan akta Notaris dan faktor-faktor pertimbangan hakim dalam membatalkan akta Notaris pada kasus perdata No.Perk.297/Pdt.G/2009/PN.Mdn

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(35)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS

A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau “akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed” menurut pendapat umum mempunyai dua arti, yaitu:

1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling).

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu.

Pengertian akta menurut Pasal 165 Staatslad Tahun 1941 Nomor 84 adalah

“surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perhal pada akta itu”

Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi.

Dengan demikian, maka unsur penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Syarat penandatangan akta tersebut dilihat dari Pasal 1874


(36)

KUHPerdata dan Pasal 1 Ordonansi No. 29 Tahun 1867 yang memuat ketentuan-ketentuan tentang pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan yang dibuat oleh orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka.

Secara etimologi menurut S. J. Fachema Andreae, kata “akta” berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrift” atau surat.17 Menuut R. Subekti dan R. Tjitro Sudibo, kata-kata berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak dari kata “actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.18 A. Pitlo, yang dikutip Suharjono mengemukakan bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.19 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.20

Disamping akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam perbuatan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta yang sama sekali bukanlah surat melainkan perbuatan.

Berdasarkan bentuknya akta terbagi menjadi atas akta otentik dan akta dibawah tangan. Yang menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 1867

17

Suharjono, “Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123”, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, (Desember 1995), hal.128

18

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hal.9 19

Suharjono, op. cit.,hal.43 20


(37)

KUHPerdata yaitu pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan-tulisan-tulisan di bawah tangan.

1. Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Dalam pasal 165 HIR dan 285 Rbg, akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan dengan perihal pada akta itu. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Pencatat Sipil, Hakim dan sebagainya.

Dalam Pasal 101 ayat (a) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta otentik adalah surat yang diuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.


(38)

Kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik, untuk dapat suatu akta memiliki otensitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu:

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (tenberstaan) seorang pejabat umum, yang berarti akta-akta Notaris yang isinya mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan Notaris sebagai pejabat umum.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta tersebut kehilangan otensitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap (comparanten)

c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang Notaris hanya dapat melakukan atau menjalankan jabatannya di dalam daerah hukum yang telah ditentukan baginya. Jika Notaris membuat akta yang berada di luar daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.

Menurut C.A.Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:21

21

Herlien Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), hal.148


(39)

a. Suatu tulisan dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan atau jabatan pejabat yang membuatnya) d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan

pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

2. Akta di Bawah Tangan

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani oleh para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja.


(40)

Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.22

Dalam Pasal 101 ayat (b) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta dibawah tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

Dalam Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.

Adapun yang termasuk akta di bawah tangan adalah:23 a. Legalisasi

Yaitu akta dibawah tangan yang belum ditandatangani, diberikan pada Notaris dan dihadapan Notaris ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan, setelah isi akta dijelaskan oleh Notaris kepada mereka. Pada legalisasi, tanda tangannya dilakukan dihadapan yang melegalisasi.

b. Waarmerken

Yaitu akta dibawah tangan yang didaftarkan untuk memberikan tanggal yang pasti. Akta yang sudah ditandatangani diberikan kepada Notaris untuk didaftarkan dan beri tanggal yang pasti. Pada waarmerken tidak

22

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal.125

23


(41)

menjelaskan mengenai siapa yang menandatangani dan apakah penandatangan memahami isi akta. Hanya mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian tanda tangan.

Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah sebagai berikut:

a. Akta Otentik – Pasal 1868 KUHPerdata

o Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang

o Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti (perhatikan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris yang mengatakan “menjamin kepastian tanggalnya dan seterusnya)

o Harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang o Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan

eksekutorial seperti putusan hakim. Terutama mengenai waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya.

o Kemungkinan akan hilangnya akta otentik sangat kecil b. Akta di Bawah Tangan

o Akta di bawah tangan tidak terikat bentuk formal, melainkan bebas o Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan o Tanggal dari akta yang dibuat di bawah tangan tidak selalu pasti o Akta yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai


(42)

o Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar

o Apabila penandatanganan di akui oleh pihak yang menandatangani akta atau tidak disangkal kebenarannya, akta tersebut sama halnya seperti akta otentik.

B. Bentuk-Bentuk Akta Otentik

Dari pengertian yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata maka bentuk akta otentik ada dua, yaitu:24

a. Akta Partij atau akta pihak

Yaitu akta yang dibuat di hadapan Notaris. Artinya, akta yang dibuat berdasar keterangan atau perbuatan pihak yang menghadap Notaris, dan keterangan atau perbuatan itu agar dikonstatir oleh Notaris untuk dibuatkan akta.

b. Akta Relaas atau akta pejabat

Yaitu akta yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum yang memuat uraian secara otentik tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat, dialami, dan disaksikan oleh Notaris sendiri. Misalnya berita acara RUPS.

Perbedaan antara akta partij dengan akta relaas adalah;25

24

F. Eka. Sumarningsih, Peraturan Jabatan Notaris, (Semarang: Diktat Kuliah Program Studi Notariat, Fakultas Hukum, Universitas Dipenogoro,2001) hal.7

25


(43)

a. Akta partij atau akta pihak

Undang-Undang mengharuskan adanya penandatanganan oleh para pihak, dengan ancaman kehilangan otensitasnya atau hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah setidak-tidaknya Notaris mencantumkan keterangan alasan tidak ditandatanganinya akta oleh salah satu pihak pada akhir akta, misalnya salah satu pihak mengalami cedera tangan sehingga tidak bisa menandatangani akta, sebagai ganti nya maka menggunakan cap jempol dan alasan tersebut harus dicantumkan dalam akta Notaris dengan jelas oleh Notaris yang bersangkutan.

b. Akta relaas atau akta pejabat

Tidak menjadi persoalan terhadap orang-orang yang hadir menandatangani akta atau tidak, akta tersebut masih sah sebagai alat pembuktian. Misalnya para pemegang saham telah pulang sebelum akta ditandatangani, Notaris cukup haya menerangkannya dalam akta.

Perbedaan di atas sangat penting dalam kaitannya dengan pembuktian sebaliknya terhadap isi akta, dengan demikian terhadap kebenaran isi akta pejabat atau akta relaas tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta tersebut palsu, sedangkan pada akta partij atau pihak kebenaran, isi akta partij dapat digugat tanpa menuduh kepalsuannya dengan menyatakan bahwa keterangan dari pihak tidak benar.

Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan


(44)

dan permintaan para pihak tidak ada, maka Pejabat Umum tidak akan membuat akta yang dimaksud.

C. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris

Hal terpenting dalam masalah kekuatan pembuktian suatu akta otentik ialah kekuatan pembuktiannya yang lengkap. Bukti lengkap ialah bukti yang dapat menghasilkan kepastian yang cukup untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh penggugat, tanpa mengurangi adanya kemungkinan bukti tentang kebalikannya.

Menurut Pasal 1870 KUHPerdata, suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna.26

Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian sebagai berikut:27

1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan akta itu sendiri untuk membuktikan kebasahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari lahirnya sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku

26

Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2005), hal.27 27

Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, op. Cit. hal.72-74


(45)

sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keontetikan akta Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya awal akta sampai dengan akhir akta.

2. Formal (Formale Bewisjskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta benar dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal bulan, tahun, waktu menghadap, dan para pihak yang menghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak atau penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau kpeterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain,


(46)

pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.

3. Materill (Materile Bewijskracht)

Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggungjawab para pihak sendiri. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

D. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Suatu Akta dapat Dibatalkan Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk syarat sahnya perjanjian-perjanjian harus memenuhi 4 syarat yaitu:


(47)

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat perikatan 3. Hal yang tertentu

4. Adanya sebab yang halal

Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya, setiap perjanjian harus memenuhi 4 syarat di atas. Apabila ingin perjanjian yang sah, dari empat syarat pokok itu dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

1. Kelompok syarat subjektif

Yaitu kelompok syarat-syarat yang berhubungan dengan subjeknya, yang terdiri dari:

a. Kesepakatan b. Kecakapan

2. Kelompok syarat objektif

Yaitu kelompok syarat-syarat yang berhubungan dengan objeknya, yang terdiri dari:

a. Hal tertentu b. Sebab yang halal

Perbedaan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam 2 kelompok ini dikategorikan, apabila tidak memenuhi syarat kelompok subjektif maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan apabila tidak memenuhi syarat yang objektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum.


(48)

Para ahli hukum Indonesia umunya berpendapat, bahwa dalam hal syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu bukanlah batal demi hukum melainkan dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, perjanjian ini sah atau mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan itu.28

Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta dapat dibatalkan adalah sebagai berikut:

1. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan akta yang tidak sesuai dengan Undang-Undang

Undang-Undang yang dimaksud disini adalah Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 84.

Misalnya:

o Ketentuan Pasal 52 UUJN No. 30 Tahun 2004 mengenai Notaris yang membuat akta untuk dirinya sendiri, istri dan keluarganya. o Ketentuan Pasal 44 UUJN No. 30 Tahun 2004 mengenai akta

Notaris harus ditandatangani.

2. Adanya kesalahan ketikan pada salinan akta Notaris.

Apabila ada kesalahan ketik pada salinan akta Notaris seharusnya kita kembali pada ketentuan Undang-Undang. Yang mempunyai nilai sebagai akta otentik sebetulnya adalah akta asli dari akta Notaris tersebut. Pasal 1888 KUHPerdata menentukan kekuatan pembuktian dari akta otentik ada

28

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal.45


(49)

pada aslinya. Salinan akta hanya mempunyai kekuatan yang sama dengan akta aslinya apabila salinan tersebut sama dengan aslinya. Kalau ada salinan akta yang bunyinya tidak sama dengan aslinya (karena ada kesalah ketikan) maka yang bersangkutan dapat meminta kembali salinan yang sama bunyinya. Salinan yang salah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

3. Adanya kesalahan bentuk akta Notaris

Kesalahan bentuk dari akta Notaris itu bisa terjadi seperti yang seharusnya berbentuk Berita Acara Rapat, oleh Notaris dibuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat.

4. Adanya kesalahan atas isi akta Notaris

Kesalahan yang terjadi pada isi akta bisa terjadi apabila para pihak memberikan keterangan yang pada saat pembuatan akta dianggap benar, tetapi setelah itu kemudian ternyata tidak benar.

Misalnya:

o Yang bersangkutan mengaku bahwa perempuan yang dibawanya adalah istrinya, kemudian ternyata bukan istrinya.

o Yang bersangkutan mengaku telah dewasa ternyata kemudian belum dewasa.

o Yang bersangkutan mengaku sebagai Warga Negara Indonesia, kemudian ternyata Warga Negara Asing.

o Yang bersangkutan memberikan bukti-bukti pemilikan atas objek perjanjian, yang dikemudian hari ternyata bukti palsu.


(50)

5. Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris dalam pembuatan akta

Yaitu perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Misalnya, seorang Notaris yang membuat suatu akta dimana Notaris mengetahui perbuatan hukum yang diinginkan dalam akta tersebut nyata-nyata merugikan salah satu pihak.

Dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.


(51)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA

A. Pengertian Notaris dan Syarat Pengangkatan Notaris

Menurut pengertian Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam Pasal 1 disebutkan pengertian Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.29

Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.01-HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris, dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.

29


(52)

Notaris adalah pejabat umum maksudnya adalah seseorang yang diangkat, diberi wewenang dan kewajiban oleh Negara untuk melayani publik dalam hal tertentu.

Notaris merupakan pejabat publik yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, guna memberi perlindungan dan jaminan hukum demi tercapainya kepastian hukum dalam masyarakat.

Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik negara, yang khususnya di bidang hukum perdata.

Bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum”. Jadi dalam pengertian-pengertian Notaris diatas ada hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa Notaris adalah pejabat umum dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik, jadi Notaris merupakan pejabat umum sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1868 KUHPerdata.

Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah: a. Warga negara Indonesia;

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berumur paling sedikit 27 tahun;

d. Sehat jasmani dan rohani;


(53)

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

B. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris

Dalam pengertian Notaris, tersirat bahwa Notaris berwenang untuk membuat akta otentik, hanya apabila hal itu dikehendaki atau diminta oleh yang berkepentingan, hal mana berarti bahwa Notaris tidak berwenang membuat akta otentik secara jabatan (ambtshalve). Wewenang Notaris dinyatakan dengan perkataan-perkataan “mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan”.30

Wewenang Notaris meliputi 4 hal, yaitu:31

a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;

b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;

c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta dibuat. d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

30

G.H.S. Lumban Tobing, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, op. Cit. hal.39 31


(54)

Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

Menurut pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris berwenang pula:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau


(55)

Mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk:

a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta atau kutipan akta berdasarkan Minuta akta;

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain;

f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;


(56)

i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;

m. Menerima magang calon Notaris.

Mengenai larangan bagi Notaris diatur dalam Pasal 17 dimana Notaris dilarang:

a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta;


(57)

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan Notaris;

h. Menjadi Notaris Pengganti, atau

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

C. Kode Etik Yang Harus Dipatuhi Notaris

Notaris dalam menjalankan jabatannya selain mengacu kepada Undang-Undang Jabatan Notaris, juga harus bersikap sesuai dengan etika profesinya. Etika profesi adalah sikap etis yang dituntut untuk dipenuhi oleh profesional dalam mengemban profesinya. Etika profesi diwujudkan secara formal ke dalam suatu kode etik.

Para Notaris yang berpraktek di Indonesia bergabung dalam suatu perhimpunan organisasi yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI). Oleh karena itu sebagai dan merupakan organisasi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan Notaris yang terbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

Notaris dengan organisasi profesi jabatannya menjabarkan etika profesi tersebut kedalam kode etik Notaris. Kode etik Notaris menurut organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) pada tanggal 28 Januari 2005 yang diadakan di Bandung, diatur dalam Pasal 1 angka 2. Menyebutkan bahwa


(58)

kode etik Notaris adalah seluruh kaedah moral yang ditentukan oleh perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya disebut “perkumpulan” berdasar keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.

Melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan Notaris. Kode etik adalah tuntunan, bimbingan, pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau merupakan daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam mempraktekkannya.32

Kode etik Notaris menurut Abdulkadir Muhammad meliputi:

Dengan demikian kode etik Notaris adalah tuntunan, bimbingan, pedoman moral atau kesusilaan Notaris baik selaku pribadi maupun pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat umum khususnya dalam bidang pembuatan akta.

33

a. Etika Kepribadian Notaris sebagai pejabat umum maupun sebagai profesional

o Memiliki moral, akhlak dan kepribadian yang baik;

32

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta; Bigraf Publishing, 1995) hal.29

33


(59)

o Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris;

o Taat hukum berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, sumpah jabatan dan AD ART Ikatan Notaris Indonesia

o Memiliki perilaku profesional

o Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan dan kenotariatan.

b. Etika melakukan tugas jabatan

o Bertindak jujur, mandiri tidak berpihak penuh rasa tanggung jawab;

o Menggunakan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan jabatannya sehari-hari;

o Memasang papan nama di depan kantornya menurut ukuran yang berlaku;

o Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta yang dilakukan di kantor kecuali dengan alasan-alasan yang sah;

o Tidak melakukan promosi melalui media cetak ataupun elektronik; o Dilarang bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang


(60)

c. Etika pelayanan terhadap klien

o Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara;

o Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik tanpa membedakan status ekonominya dan atau status sosialnya;

o Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotariatan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium; o Dilarang menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya

telah dipersiapkan oleh orang lain;

o Dilarang mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani; o Dilarang berusaha agar seseorang berpindang dari Notaris lain

kepadanya;

o Dilarang melakukan pemaksaan kepada klien menahan berkas yang telah diserahkan dengan maksud agar klien tetap membuat akta kepadanya.

d. Etika hubungan sesama rekan Notaris o Aktif dalam organisasi Notaris;

o Saling membantu, saling menghormati sesama rekan Notaris dalam suasana kekeluargaan;

o Harus saling menjaga kehormatan dan membela kehormatan dan nama baik korps Notaris;

o Tidak melakukan persaingan yang merugikan sesama Notaris, baik moral maupun material;


(61)

o Tidak menjelekkan ataupun mempermasalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan Notaris lainnya dan ditemui kesalahan-kesalahan yang serius atau membahayakan kliennya, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan dengan cara tidak menggurui, untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut;

o Dilarang membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi;

o Tidak menarik karyawan Notaris lain secara tidak wajar.

Kode etik ini wajib diikuti oleh seluruh anggota maupun seseorang yang menjalankan profesi Notaris. Hal ini mengingat bahwa profesi Notaris sebagai pejabat umum yang harus memberikan rasa aman serta keadilan bagi para pengguna jasanya. Untuk memberikan rasa aman bagi para pengguna jasanya, Notaris harus mengikuti kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris maupun Kode Etik Notaris. Notaris harus bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan terhadap apa yang ia lakukan terhadap klien maupun masyarakat.


(62)

D. PertanggungJawaban Notaris Atas Akta Yang Dinyatakan Batal Demi Hukum

Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa Notaris dalam membuat akta tidak mungkin disalahkan, karena apabila dikaitkan dengan sejarah dari lembaga Notariat itu sendiri, tugas Notaris hanya sebagai sekretaris dari masyarakat yang menghendaki perbuatan atau peristiwa dalam masyarakat dituangkan dalam suatu akta otentik. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang diberikan kepadanya, apa yang dilihat dan dialaminya saja, dan mencatatkannya kedalam sebuah akta.

Tetapi tidak dapat juga dikatakan Notaris lepas dari tanggung jawab apabila terjadi pembatalan akta yang dibuat olehnya. Notaris hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan yang mungkin saja terjadi dalam praktek kehidupan dalam masyarakat yang semakin kompleks.

Dengan adanya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 semakin mempertegas adanya tanggung jawab Notaris terhadap akta yang diperbuatnya. Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris, apabila Notaris melanggar ketentuan-ketentuan pasal yang ada didalam Pasal 84 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sehingga menimbulkan kerugian terhadap para pihak maka Notaris wajib atau dapat dituntut untuk mengganti kerugian tersebut.


(63)

Pada prinsipnya wujud pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dinyatakan batal demi hukum adalah:

1. Pertanggungjawaban secara administratif

Apabila seorang Notaris terbukti melakukan pelanggaran Pasal 85 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur tentang kewajiban dan larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya. Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris menerangkan apabila Notaris melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1), huruf a s/d k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan atau Pasal 63 dapat dikenakan sanksi berupa:

a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis;

c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; e. Pemberhentian dengan tidak hormat. 2. Pertanggungjawaban menurut Hukum Perdata

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian”. Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan akta, apabila dilanggar oleh Notaris akan berakibat suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan


(64)

atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Hal ini dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Notaris yang karena kelalaiannya dalam membuat akta telah merugikan orang lain maka apabila di pengadilan terbukti bersalah, Notaris tersebut dapat dihukum untuk mengganti kerugian, bunga, biaya atau memulihkan keadaan hukum seseorang karena perbuatannya, kesalahannya telah menimbulkan kerugian yang tidak dikehendaki.

3. Pertanggungjawaban menurut Hukum Pidana

Apabila dalam pemeriksaan pengadilan Notaris terbukti bersalah dalam mengakibatkan akta yang batal demi hukum, maka bentuk pertanggungjawaban Notaris secara Hukum Pidana dapat berupa:

a. Hukuman Pokok: o Penjara o Kurungan o Denda

b. Hukuman tambahan

o Pencabutan beberapa hak tertentu

o Perampasan beberapa benda tertentu yang menjadi barang bukti Tanggung jawab dan ketelitian Notaris dituntut sangat besar dalam membuat suatu akta. Notaris bukan saja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan Notaris bertanggung jawab kepada pihak lain yang dirugikan.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kelalaian Notaris bukan merupakan sebab utama pembatalan akta Notaris. Pembatalan akta Notaris dapat juga disebabkan kesalahan atau kelalaian kedua belah pihak yang menimbulkan gugatan dari salah satu pihak dalam akta.

Sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka akta yang dimintakan pembatalannya tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi syarat subjektif maupun syarat objektif perjanjian.

Apabila tidak memenuhi syarat kelompok subjektif maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan apabila tidak memenuhi syarat yang objektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

2. Notaris dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuatnya ternyata mengandung cacat hukum. Maka semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan selalu dimintakan pertanggungjawaban. Apabila Notaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam membuat akta maka Notaris dapat diminta pertanggungjawaban baik secara administratif, pidana maupun perdata.


(2)

Pertanggungjawaban secara administratif, Apabila seorang Notaris terbukti melakukan pelanggaran Pasal 85 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur tentang kewajiban dan larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya.

Pertanggungjawaban menurut Hukum Perdata, Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian”.

Pertanggungjawaban Notaris secara Hukum Pidana dapat berupa Hukuman Pokok (penjara, kurungan, dan denda) dan Hukuman Tambahan (pencabutan beberapa hak tertentu dan perampasan beberapa benda tertentu yang menjadi barang bukti)

3. Dalam menghadapi perkara yang berkaitan dengan pembatalan akta Notaris, hakim harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila Notaris melakukan kesalahan dalam pembuatan akta, maka hakimlah yang dapat menilai kemudian memutuskan apakah akta tersebut dapat dibatalkan ataupun diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum.

B. Saran

1. Hendaknya seorang Notaris sebagai pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang-Undang dalam membuat akta otentik, haruslah bertindak lebih cermat dan teliti dalam setiap pembuatan aktanya, khususnya mengenai


(3)

syarat subjektif dan syarat objektif dalam pembuatan akta haruslah terpenuhi agar akta yang dibuatnya tidak menjadi masalah dikemudian hari.

2. Tanggung jawab dan ketelitian Notaris dituntut sangat besar dalam membuat suatu akta. Notaris bukan saja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan Notaris bertanggung jawab kepada pihak lain yang dirugikan. Untuk menghindari sanksi yang akan dibebankan kepada Notaris karena melakukan penyimpangan, maka Notaris dalam menjalankan jabatannya harus selalu tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris yang merupakan pedoman bagi seluruh Notaris di Indonesia dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris dan mentaati segala ketentuan yang ada di kode etik Notaris.

3. Diharapkan kepada Notaris dalam melakukan tugasnya sebagai pejabat yang membuat akta otentik harus lebih berhati-hati dalam menghadapi para penghadap yang datang ke kantornya. Cara yang paling baik untuk menghindarkan terjadinya sengketa yang setiap saat dapat saja bersumber dari akta yang dibuat oleh Notaris adalah dengan memastikan bahwa orang yang datang menghadap adalah orang yang harus berkepentingan dengan isi akta. Selain itu juga para penghadap yang datang harus membawa bukti formal atau syarat-syarat yang lengkap sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan sebelum akta ditandatangani oleh para pihak, hendaknya Notaris harus membaca dan menjelaskan isi dan maksud dari akta tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cetakan 2, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Andasamita, Komar, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1984.

Djojodiharjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 1982.

Fajar ND, Dr. Mukti, Yulianto Achmad, MH, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Aditya Bhakti, Bandung, 2002.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Kohar, A, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, 1984.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981.

__________, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998.

Projodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1988.


(5)

Rusli, Hardijan, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002.

Soemoatmodjo, Soetardjo, apakah, Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, Liberty, Yogyakarta, 1986.

Soerojo, Herlien, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003.

Subekti, Prof, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2005.

________, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2005.

Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Desember, Jakarta, 1995.

Sumarningsih, F. Eka, Peraturan Jabatan Notaris, Diktat Kuliah Program Studi Notariat, Fakultas Hukum, Universitas Dipenogoro, Semarang, 2001.

Tedjosaputro, Liliana, Mal Praktek Notaris Dalam Hukum Pidana, CV. Agung, Semarang, 1991

Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris dalam penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995.


(6)

B. Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Medan No.297/Pdt.G/2009/PN.Mdn

C. Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

D. Internet

Wiratni Ahmadi, Kode Etik Notaris,

diakses tanggal 9 Maret 2014 jam 15.27