Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
1.2.2 Koping apakah yang digunakan lansia pada masa pensiun yang
berorientasi pada ego dan yang berorientasi pada tugas di Kelurahan Pardomuan Kecamatan Siantar timur Timur Kota Madya Pematangsiantar
Tahun 2008? 1.3
Tujuan Penelitian 1.3.1 Mengidentifikasi stres lansia pada masa pensiun yang bersuber dari diri
sendiri, keluarga, masyarakat lingkungan, di Kelurahan Pardomuan
Kecamatan Siantar Timur Kota Madya Pematangsiantar Tahun 2008. 1.3.2 Mengidentifikasi koping yang digunakan lansia pada masa pensiun di yang
berorientasi pada ego dan yang berorientasi pada tugas, di Kelurahan Pardomuan Kecamatan Siantar Timur Kota Madya Pematangsiantar Tahun
2008.
1.4 Manfaat Penelitian
14.1. Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi tambahan untuk dapat memberikan pemecahan masalah yang dihadapi oleh lansia pada
masa pensiun, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal.
1.4.2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam pengembangan kurikulum keperawatan gerontik pada lansia dalam menghadapi
masa pensiun
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
1.4.3. Bagi Penelitian Keperawatan
Sebagai informasi dan data tambahan bagi penelitian keperawatan selanjutnya yang ingin melakukan penelitian keperawatan yang terkait dengan stres dan
koping pada lansia pada masa pensiun. 1.4.4. Bagi Lansia
Sebagai bahan informasi bagi lansia agar dapat menghadapi masa pensiunnya dengan nyaman dan dapat mempersiapkan diri dari stres dan
mengatasi dengan koping yang kuat serta keluarga lansia agar dapat memberi dukungan terhadap koping yang digunakan lansia.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Stres 2.1.1 Defenisi Stres
Stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi Sunaryo, 2004. Stres adalah respon individu
terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres stresor, yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya Santrock, 2003.
2.1.2 Sumber Stres
Menurut Hidayat 2004, sumber stres terdiri dari tiga 3 aspek antara lain : a. Diri sendiri
Sumber stres dari dalam diri sendiri umumnya dikarenakan konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan yang berbeda, dalam hal ini adalah
berbagai permasalahan yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu diatasi maka akan dapat menimbulkan stres.
b. Keluarga Stres ini bersumber dari masalah keluarga yang ditandai dengan adanya
perselisihan antara keluarga, masalah keuangan, serta adanya tujuan yang berbeda diantara keluarga.
c. Masyarakat dan lingkungan Sumber stres ini dapat terjadi di masyarakat dan lingkungan seperti
lingkungan pekerjaan, secara umum sebagai stres pekerja karena kurangnya
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
hubungan interpersonal serta kurang adanya pengakuan di masyarakat sehingga tidak berkembang.
2.1.3 Faktor Predisposisi Stres
Menurut Suliswati 2005 menjelaskan berdasarkan faktor predisposisi dimana berbagai jenis unsur mempengaruhi bagaimana seseorang individu
merasakan dan merespon suatu peristiwa yang menimbulkan stres. Faktor predisposisi ini sangat berperan dalam menentukan apakah suatu respon adaptif
atau maladaptif. Jenis faktor predisposisi adalah pengaruh genetik, pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini.
Pengaruh genetik adalah keadaan kehidupan seseorang yang diperole dari keturunan. Sebagai contoh, termasuk riwayat kondisi psikologis dan fisik keluarga
serta temperamen karakteristik tingkah laku pada saat lahir dan masa pertumbuhan. Pengalaman masa lalu adalah kejadian-kejadian yang
menghasilkan suatu pola pembelajaran yang dapat mempengaruhi respon penyesuian individu, termasuk pengalaman sebelumnya terhadap tekanan stres
tersebut atau tekanan lainnya, mempelajari respon penanggulangan dan tingkat penyesuian pada tekanan stres sebelumnya. Kondisi saat ini yang meliputi faktor
kerentanan yang mempengaruhi kesiapan fisik, psikologis, dan sumber-sumber sosial individu untuk menghadapi tuntutan penyesuaian diri.
2.1.4 Tanda dan Gejala Stres
Tanda dan gejala stres merupakan manifestasi tubuh terhadap stres dimana tanda-tanda fisik meliputi; gerakan motorik yang tidak disadari berupa menggigit
kuku, mengepalkan tinju, mengencangkan rahang, mengetuk-ngetuk jari, menarik bahu, mengetuk-ngetukkan kaki, dan lain sebagainya. Tanda-tanda emosi
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
meliputi; cemas, depresi, kecewa, marah atau bermusuhan, tidak berdaya, tidak sabar, mudah tersinggung, gelisah, dan lain sebagainya. Sedangkan tanda-tanda
perilaku meliputi; gangguan pola tidur, mengerjakan beberapa hal sekaligus, lekdakan emosional, meningggalkan pekerjaan yang belum selesai, reaksi
berlebih, berbicara terlalu keras atau cepat Karnadi, 1999.
2.1.5 Reaksi Tubuh Terhadap Stres
Hawari 2001, menyatakan bahwa stres dapat mengenai hampir seluruh sistem tubuh, seperti hal-hal sebagai berikut; gangguan penglihatan, pendengaran
berdenging, daya mengingat, konsentrasi dan berfikir menurun, wajah tegang, serius, tidak santai, sulit senyum, dan kedutan pada kulit wajah, bibir dan mulut
terasa kering, tenggorokkan terasa tercekik, lambung mual, kembung dan pedih, mulas, sulit defikasi atau diare, sering berkemih, otot sakit seperti tertusuk-tusuk,
pegal dan tegang, kadar gula meninggi, libido bisa menurun bisa juga meningkat.
2.1.6 Tahapan Stres
Menurut Amberg 1979, dalam Hidayat, 2004, tahapan stres dapat terbagi menjadi enam tahap yaitu:
Tahap I Pertama
Stres yang disertai dengan perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang
dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.
Tahap II Kedua
Stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar dan letih, lekas capek pada saat menjelang sore, cepat lelah sesudah makan, tidak santai, lambung
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
atau perut tidak nyaman, jantung berdebar, dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.
Tahap III Ketiga
Tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali, koordinasi
tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan.
Tahap IV Keempat
Tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari loyo, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidak adekuat,
kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.
Tahap V Kelima
Tahapan stres yang ditendai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan
pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, binggung dan panik.
Tahap VI Keenam
Tahapan stres dengan tanda-tanda, seperti jantung berdebar-debar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin, dan banyak keluar keringat, loyo, serta
pingsan.
2.1.7 Tingkatan Stres
Menurut Potter 2005, membagi stres menjadi tiga tingkatan pertama; tingkat ringan apabila stressor yag dihadapi setiap orang teratur seperti terlalu
banyak tidur, kemacetan lalu lintas, situasi seperti ini biasanya berlangsung
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
beberapa menit atau jam dan belum berpengaruh kepada fisik dan mental hanya saja mulai sedikit tegang dan was-was. Dikatakan stres sedang apabila
berlangsung lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada tingkat medium ini individu mulai kesulitan tidur, sering menyendiri dan tegang.
Dikatakan stres berat apabila situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun. Pada keadaan stres berat ini individu sudah mulai
ada gangguan fisik dan mental.
2.2 Konsep Koping
2.2.1 Pengertian Koping
Koping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu Mu’tadin, 2002.
Koping juga merupakan upaya perilaku dan kognitif seseorang dalam menghadapi ancaman fisik dan psikososial Stuart Sudden, 1997. Koping
adalah proses atau cara untuk berespon terhadap lingkungan stimulus untuk mencapai kondisi adaptasi Prayetni, 1999.
2.2.2. Sumber Koping
Individu dapat mengatasi stres dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Mekanik mengemukakan lima sumber koping yaitu: aset ekonomi,
kemampuan dan keterampilan individu, teknik-teknik pertahanan, dukungan sosial dan dorongan motivasi Hidayat, 2004.
Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek antara lain ; fisiologis dan psikososial.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
Reaksi fisiologis
Tanda dan gejala fisiologis merupakan manifestasi tubuh terhadap stres dimana pupil melebar, keringat meningkat untuk mengontrol peningkatan suhu
tubuh, denyut nadi meningkat, kulit dingin, tekanan darah meningkat, mulut kering, peristaltik menurun, pengeluaran urin menurun, kewaspadaan mental
meningkat terhadap ancaman yang serius, ketegangan otot meningkat. Reaksi
fisiologis merupakan indikasi klien dalam keadaan stres. Reaksi psikososial
a. Reaksi yang berorientasi pada ego yang sering disebut sebagai mekanisme
pertahanan mental. 1.
Denial menyangkal, menghindarkan realitas ketidaksetujuan dengan mengabaikan atau menolak untuk mengenalinya.
2. Projeksi, mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin
sendiri pada objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri pada orang lain.
3. Regresi, menghindarkan stres terhadap karakteristik perilaku dari tahap
perkembangan yang lebih awal. 4.
Displacement mengisar, mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada orang atau benda tertentu ke benda atau orang yang netral atau tidak
membahayakan.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
5. Mencari dukungan sosial, keluarga mencari dukungan atau bantuan dari
keluarga, tetangga, teman atau keluarga jauh. 6.
Reframing, mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat menanganinya dan menerimanya.
7. Mencari dukungan spiritual, mencari dan berusaha secara spiritual, berdoa,
menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah. 8.
Menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan, keluarga berusaha mencari sumber-sumber komunitas dan menerima bantuan orang lain.
b. Reaksi berorientasi pada tugas
Menurut Herawani 1999, reaksi berorientasi pada tugas merupakan reaksi yang berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situasi stres
secara realistis, dapat berupa konstruktif destruktif, misalnya: 1. Perilaku menyerang agresif, dimana reaksi yang ditampilkan oleh individu
dalam menghadapi masalah dapat konstruktif atau destruktif. Tindakan konstruktif misalnya penyelesaian masalah dengan tekhnik asertif yaitu
tindakan yang dilakukan secara terus terang tentang ketidaksukaan terhadap perlakuan yang tidak menyenangkan baginya, sedangkan tindakan destruktif
yaitu individu melakukan tindakan penyerangan terhadap stressor dapat juga merugikan dirinya sendiri, orang lain atau lingkungannya.
2. Perilaku menarik diri, dimana reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau menghindari
stressor, sedangkan reaksi psikologis berupa perilaku apatis, isolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan berlebihan.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
3. Perilaku kompromi yaitu cara yang konstruktif yang digunakan oleh individu dimana dalam menyelesaikan masalahnya individu tersebut
melakukan pendekatan negosiasi atau bermusyawarah.
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi strategi koping
Menurut Mu’tadin 2002, cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi
kesehatan fisikenergi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi.
a. Kesehatan fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha
mengatasi stres individu dituntut untuk dapat mengerahkan tenaga yang cukup besar.
b. Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan akan nasib yang mengarahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan yang akan menurunkan kemampuan strategi koping.
c. Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,
menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan
dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
d. Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah
laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.
e. Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
f. Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau
layanan yang biasanya dapat dibeli.
2.3 Konsep lansia
2.3.1 Defenisi lansia
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999. Pada lanjut usia akan terjadi proses
menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi Constantinides, 1994. Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak
distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal Darmojo dan Martono,
1999.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
2.3.2 Penggolongan lansia
Menurut Depkes dikutip dari Azis 1994 menjadi tiga kelompok yakni Kelompok lansia dini 55 – 64 tahun, merupakan kelompok yang baru memasuki
lansia, kelompok lansia 65 tahun ke atas, kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.
2.4 Konsep Pensiun 2.4.1 Defenisi Pensiun
Pensiun adalah seseorang yang sudah tidak bekerja. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang pensiun . Mereka mengatakan bahwa
pensiun adalah suatu kondisi dimana individu tersebut telah berhenti bekerja pada suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Mereka pun menerangkan batasan yang
lebih jelas dan mengatakan bahwa pensiun adalah proses pemisahan seorang individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang
digaji. Dengan kata lain masa pensiun mempengaruhi aktivitas seseorang, dari
situasi kerja ke situasi di luar pekerjaan. Sedangkan berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke
pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidupnya. lagi karena usianya sudah lanjut dan harus diperhentikan Agustina, 2008. Masa pensiun ini dapat
menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap untuk menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan
selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangnya identitas
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
diri seseorang yang sudah melekat begitu lama. Pensiun sering kali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba
sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak.
Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bias mendatangkan kepuasan karena uang, jabatan, dan
memperkuat harga diri. Oleh karena itu, sering kali terjadi orang yang pensiun bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya ada yang
justru mengalami problem serius kejiwaan ataupun fisik. Individu yang melihat masa pensiun hanya dari segi finansial kurang bisa beradaptasi dengan baik
dibandingkan dengan mereka yang dapat melihat masa pensiun sebagai masa di mana manusia beristirahat menikmati hasil jerih payahnya selama ini di masa
tuanya. Pensiun mengakibatkan hilangnya prestise, tidak mempunyai peran daam
situasi yang cocok, atau paling tidak di deenisikan secara jelas sebagai hilangnya posisi sosial dan peranan yang diharapkan agar terkenal. Sekali seseorang tidak
dapat menampilkan peranan jabatannya, pengakuannya terdahulu atau posisi sosialnya tidak penting lagi dengan demikian berarti identitas dirinya sudah
runtuh. Efek dari goncangan karena pensiun secara mendadak paling serius setelah pensiun, yaitu pada waktu individu menyesuaikan diri terhadap perubahan
keteraturan dan harus memutuskan hubungan sosial yang selama ini ia yakini Hurlock, 2002.
2.4.2 Fase Penyesuaian Diri Pada Saat Pensiun
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
Penyesuaian diri pada saat pensiun merupakan saat yang sulit, dan terdapat tiga fase proses pensiun yaitu :
1. Preretiremen phase fase prapensiun
Fase ini bisa dibagi pada 2 bagian lagi yaitu remote dan near. Pada remote phase, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang jauh. Biasanya
fase ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali mendapat pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang terebut mulai mendekati masa pensiun. Sedangkan
pada near phase, biasanya orang mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik.
Ada beberapa perusahaan yang mulai memberikan program persiapan masa pensiun.
2. Retirement phase fase pensiun.
Masa pensiun ini sendiri terbagi dalam 4 fase besar, dan dimulai dengan tahapan pertama yakni honeymoon phase. Periode ini biasanya terjadi tidak lama
setelah orang memasuki masa pensiun. Sesuai dengan istilah honeymoon bulan madu, maka perasaan yang muncul ketika memasuki fase ini adalah perasaan
gembira karena bebas dari pekerjaan dan rutinitas. Biasanya orang mulai mencari kegiatan pengganti lain seperti mengembangkan hobi. Kegiatan inipun tergantung
pada kesehatan, keuangan, gaya hidup dan situasi keluarga. Lamanya fase ini tergantung pada kemampuan seseorang. Orang yang selama masa kegiatan
aktifnya bekerja dan gaya hidupnya tidak bertumpu pada pekerjaan, biasanya akan mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan kegiatan lain yang juga
menyenangkan.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
Setelah fase ini berakhir maka akan masuk pada fase kedua yakni disenchatment phase. Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa
kosong. Untuk beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, aturan tertentu.
Pensiunan yang terpukul pada fase ini akan memasuki reorientation phase, yaitu fase dimana seseorang mulai mengembangkan pandangan yang lebih realistik
mengenai alternatif hidup. Mereka mulai mencari aktivitas baru. Setelah mencapai tahapan ini, para pensiunan akan masuk pada stability phase yaitu fase dimana
mereka mulai mengembangkan suatu set kriteria mengenai pemilihan aktivitas, dimana mereka merasa dapat hidup tenteram dengan pilihannya.
3. End of retirement fase pasca masa pensiun
Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menyerang diri seseorang, ketidak-mampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang
sangat merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.
2.4.3 Faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah pada masa pensiun.
Menurut Jacinta 2001 ada beberapa penentu terjadinya masalah pada masa pensiun diantaranya adalah :
a. Kepuasan kerja dan pekerjaan
Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan nilai dan kebanggaan pada diri sendiri
karena berprestasi atau pun kebebasan menuangkan kreativitas. Pada saat pensiun, mereka akan merasa kehilangan harga diri dan ditambah kesepian karena
tidak punya teman-teman.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
b. Usia
Banyak orang beranggapan bahwa pensiun itu merupakan pertanda dirinya sudah tidak berguna dan dibutuhkan lagi karena usia tua dan
produktivitas makin menurun sehingga tidak menguntungkan lagi bagi perusahaanorganisasi tempat mereka bekerja, sehingga mempengaruhi
persepsi seseorang menjadi over sensitif dan subyektif terhadap stimulus yang ditangkap. Kondisi ini yang membuat orang menjadi sakit-sakitan saat pensiun
tiba.
c. Kesehatan Beberapa orang peneliti melakukan penelitian dan menemukan bahwa
kesehatan mental dan fisik merupakan prekondisi yang mendukung keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap perubahan hidup yang disebabkan
oleh pensiun. Hal ini masih ditambah dengan persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau kondisi fisiknya. Jika ia menganggap bahwa kondisi fisik atau
penyakit yang dideritanya itu sebagai hambatan besar dan bersikap pesimistik terhadap hidup, maka ia akan mengalami masa pensiun dengan penuh
kesukaran. Menurut hasil penelitian, pensiun tidak menyebabkan orang jadi cepat tua dan sakit-sakitan, karena justru berpotensi meningkatkan kesehatan
karena mereka semakin bisa mengatur waktu untuk berolah tubuh lihat fakta seputar pensiun.
d. Persepsi seseorang tentang bagaimana ia akan menyesuaikan diri dengan masa pensiunnya.
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
Hal ini erat berkaitan dengan rencana persiapan yang dibuat jauh sebelum masa pensiun tiba. Menurut para ilmuwan, perencanaan yang dibuat sebelum
pensiun termasuk polagaya hidup yang dilakukan akan memberikan kepuasan dan rasa percaya diri pada individu yang bersangkutan. Bagaimana
pun juga, perencanaan untuk masa pensiun bukanlah sesuatu yang berlebihan karena banyak aspek kehidupan yang harus disiapkan, dan dipertahankan
seperti keuangan apa yang akan dilakukan untuk tetap bisa berpenghasilan ? apakah saya mau mencari kerja part time ?, kesehatan bagaimana cara supaya
bisa menjaga kesehatan, spiritualitas bagaimana supaya saya mempunyai kehidupan rohani yang sehat dan tetap memiliki hubungan yang erat dengan
Tuhan dan kehidupan sosial apa kegiatan kebersamaan dengan teman-teman kelak, saya ingin aktif dalam kegiatan seperti apa, dsb.
Namun, hal ini juga tidak terlepas dari persepsinya tentang hidup dan tentang dirinya sendiri. Orang yang kurang percaya pada potensi diri sendiri
dan kurang mempunyai kompetensi sosial yang baik akan cenderung pesimistik dalam menghadapi masa pensiunnya karena merasa cemas dan ragu,
akankah ia mampu menghadapi dan mengatasi perubahan hidup dan membangun kehidupan yang baru.
e. Status sosial sebelum pensiun Status sosial berpengaruh terhadap kemampuan seseorang menghadapi masa
pensiunnya. Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tertentu sebagai hasil dari prestasi dan kerja keras sehingga mendapatkan penghargaan dan pengakuan
dari masyarakat atau organisasi, maka ia cenderung lebih memiliki kemampuan
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
adaptasi yang lebih baik karena konsep diri yang positif dan social network yang baik. Namun jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah
prestasinya misalnya lebih karena politis dan uangharta maka orang itu justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi pensiun karena begitu pensiun,
maka kebanggaan dirinya hilang sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel pada dirinya selama ia masih bekerja.
2.4.4 Dampak Pensiun Terhadap Lansia
Dampak pensiun pada lansia berpengaruh kepada keluarga terutama terhadap anak dan istri. Pada waktu suami pensiun, seluruh pola hidup keluarga
harus disesuaikan alasannya sebagai pengganti dari kegiatan pergi ke kantor setiap hari, suami secara terus-menerus ada disekitar rumah, melakukan kerja tambahan
atau bisa saja menunggu untuk memperoleh pekerjaan tambahan. Para pensiunan lebih sering melakukan kegiatan tersebut dari pada bekerjasama dan bersikap
kritis, karena mereka merasa bosan atau merasa pengorbanannya sia-sia, atau mereka tidak punya pekerjaan. Banyak istri yang tidak suka terhadap pekerjaan
tambahan yang diperoleh suaminya setelah pensiun dan mereka juga merasa perlu untuk ikut pensiun Hurlock, 2002.
Pensiun juga mempunyai dampak pada pasangan, contohnya ketegangan dapat terjadi karena adanya perubahan peran dan dukungan serta karena ibu
rumah tangga mungkin merasa beban pekerjaan bertambah. Faktor paling kuat
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
yang mempengaruhi kepuasan hidup seorang pensiun adalah status kesehatan Potter, 2005.
BAB III KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Pensiun merupakan suatu stressor yang dialami lansia, dimana sumber stres lansia pensiun adalah diri sendiri, keluarga, masyarakat lingkungan.
Sementara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya lansia menggunakan koping tersebut dapat berorientasi pada tugas dan berorientasi pada ego.
Adapun kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut: Stres lansia pensiun:
• Diri sendiri
• Keluarga
• Masyarakat
lingkungan Koping lansia
• berorientasi pada
ego •
berorientasi pada tugas
Lansia masa pensiun
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
Skema 1. Stres dan Koping Lansia pada Masa Pensiun
3.2 Defenisi Konseptual
Stres
Merupakan perasaan tidak nyaman baik secara biopsikososio yang berupa cemas dan depresi yang dialami lansia sehingga dapat mempengaruhi
kehidupannya. Disini dapat dikategorikan stres ringan, sedang dan berat.
Stres Pada Diri Sendiri
Stres pada diri sendiri adalah sesuatu yang dapat menyebabkan permasalahan pada diri sendiri yang tidak sesuai antara keinginan dan kenyataan.
Stres Pada Keluarga
Stres pada keluarga adalah sesuatu yang dapat menyebabkan terjadinya
perselisihan dalam keluarga yang berhubungan dengan masalah perekonomian. Stres Pada Masyarakat Lingkungan
Stres pada masyarakat lingkungan adalah sesuatu yang dapat menyebabkan stres di lingkungan pekerjaan maupun hubungan interpersonal dan
kurangnya pengakuan di masyarakat.
Koping
Koping adalah suatu cara atau upaya yang dapat dilakukan lansia dalam mengatasi masalah yang akan dihadapi, dalam hal ini berhubungan dengan masa
pensiun yang dialami. 23
Erwinsyah Putra Surbakti : Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008, 2008.
USU Repository ©2009
Koping Yang Berorientasi Pada Ego
Koping yang berorientasi pada ego adalah koping yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental.
Koping Yang Berorientasi Pada Ego
Koping yang berorientasi pada tugas adalah berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situasi stres secara realistis dapat berupa
konstruktif dan destruktif.
3.3 Defenisi Operasional Stres Pada Lansia