Karakterisasi dan evaluasi aksesi pamelo {citrus maxima (burm) Merr} berbiji dan tidak berbiji asli Indonesia
KARAKTERISASI DAN EVALUASI AKSESI PAMELO
{Citrus maxima (Burm.) Merr.}
BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI ASLI INDONESIA
ARIFAH RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
(2)
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Arifah Rahayu
(3)
ABSTRACT
ARIFAH RAHAYU. Characterization and Evaluation of Seeded and Seedless Indonesian Pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Accessions. Under supervision of SLAMET SUSANTO as chairman, BAMBANG S. PURWOKO and ISWARI S. DEWI as members of the advisory committee.
Indonesia has many accessions of pummelo germplasms, but only a small number of the accessions are planted commercially. Genetic variation in the seed number per fruit in pummelo is high, ranging from seedless to very seedy. Thus pummelo is categorized as seeded, potentially seedless and seedless. The objectives of this research were: 1) to identify morphological, biochemical (isozyme) and molecular (ISSR) characters, and ploidy level of seeded and seedless pummelo accessions originated from Sumedang, Pati, Kudus and Magetan, 2) to identify fruit formation of seeded and seedless pummelo, 3) to evaluate fruit quality of seeded and seedless pummelo fruit quality during storage.
The characterization research showed that morphological characters contributed in grouping pummelo accessions were epicarp thickness, leaf lamina margin, vesicle length, epicarp color, petiole wing width and fruit shape, while based on isozyme characters were MDH (Rf 0.11 and 0.14) and ACP (Rf 0.24 and 0.33). ACP band at Rf 0.24 could be used as marker to differentiate seeded and seedless pummelo accessions. Molecular characters supported in classification of pummelo accessions were PKBT8 500 bp, PKBT8 375 bp, PKBT7 750 bp, PKBT3 750 bp, PKBT8 625 bp and PKBT12 500 bp. Separation between seeded and seedless cultivars based on morphological characters occured at similarity coefficient of 0.63, while on isoenzyme characters occured at similarity coefficient of 0.49. Both seeded and seedless pummelo accessions were diploid (2n = 2x = 18). Observation on fruit formation between selected seeded and seedless pummelo demonstrated that those pummelo accessions were able to produce parthenocarpic fruits, but bored seeded fruits when self pollination was induced, thus indicated self-compatibility. Natural self-pollination on ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2, ‘Nambangan’ and ‘Bageng’ yielded seedless fruits, but most of ‘Jawa 3’ was seeded. Artificial self-pollination on those accessions produced seeded fruits, thus showed ovule fertility. ‘Bali Merah 2’ was shown to have high parthenocarpic degree as indicated by less seed number (<10 seed per fruit) in all pollination treatments. Therefore seedlessness in those pummelo accessions was caused by parthenocarpy, was not by pollen and ovule sterility, self-incompatibility, or poliploidy. Evaluation of pummelo fruit quality showed seedless pummelos have higher vitamin C, naringin content and acidity than seeded accessions. Vitamin C and titratable acidity (TA) content decreased, but total soluble solids (TSS) and TSS/AT ratio increased during storage period. During storage, percentage of edible portion increased, mainly due to the decrease of peel weight. Percentage of fruit axis of seedless accessions was smaller than those of seeded accessions. Sensory analysis indicated ‘Jawa 1’ seedless accessions have superior quality based on hedonic and scale quality test.
Key Words: similarity coefficient, self-compatible, parthenocarpy, fruit quality, pummelo
(4)
RINGKASAN
ARIFAH RAHAYU. Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima
(Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia. Dibimbing oleh Slamet Susanto sebagai ketua, Bambang S Purwoko dan Iswari S Dewi sebagai anggota komisi pembimbing.
Indonesia memiliki banyak plasma nutfah pamelo, walaupun baru sebagian saja yang dikomersialkan. Pamelo dapat dikategorikan sebagai pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji berdasarkan perbedaan jumlah biji per buah.
Namun, untuk pasar pamelo segar, buah tidak berbiji merupakan sifat yang banyak
diminati. Tanaman dianggap menghasilkan buah tidak berbiji jika mampu menghasilkan buah tanpa biji sama sekali, biji mengalami aborsi atau memiliki sejumlah biji yang tereduksi. Sementara itu, tanaman disebut potensial menghasilkan buah tidak berbiji, bila dalam satu pohon terdapat buah berbiji dan tidak berbiji.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi karakter morfologi, biokimia (dengan isoenzim), molekuler (dengan ISSR/Inter-Simple Sequence Repeat), dan tingkat ploidi (set kromosom) tanaman pamelo berbiji dan tidak berbiji; (2) mengidentifikasi pembentukan buah pamelo berbiji dan tidak berbiji melalui uji viabilitas tepung sari dan uji penyerbukan; (3) mengevaluasi karakter kualitas buah pamelo berbiji dan tidak berbiji yang berasal dari Sumedang, Kudus, Pati dan Magetan selama penyimpanan.
Hasil karakterisasi menunjukkan karakter morfologi yang berperan dalam pengelompokan pamelo adalah tebal epikarp, pinggiran helai daun, panjang kantong jus, warna kulit buah masak, lebar sayap daun dan bentuk buah, sedangkan karakter isoenzim adalah MDH (Rf 0.11 dan 0.14) dan ACP (Rf 0.24 dan 0.33). Pita ACP 0.24 dapat dijadikan penanda untuk membedakan aksesi berbiji dan tidak berbiji. Karakter molekuler yang berperan dalam pengelompokan adalah PKBT8 500 bp, PKBT8 375 bp, PKBT7 750 bp, PKBT3 750 bp, PKBT8 625 bp dan PKBT12 500 bp. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi memisahkan kelompok aksesi berbiji dan tidak berbiji pada koefisien kemiripan 0.63, sedangkan berdasarkan isoenzim pada koefisien kemiripan 0.48. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi dan isoenzim dapat membedakan antara aksesi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji. Hasil pemetaan komponen utama kongruen dengan dendrogram, yaitu dapat memisahkan aksesi berbiji maupun tidak berbiji, berdasarkan karakter morfologi, isoenzim maupun kombinasinya. Baik pamelo berbiji maupun tidak berbiji adalah diploid dengan jumlah kromosom 2n = 2x = 18.
Aksesi pamelo yang diamati memiliki tepung sari yang fertil, dan viabilitas tepung sari kelompok aksesi berbiji dan potensial tidak berbiji lebih besar dibandingkan aksesi tidak berbiji. Aksesi pamelo yang diamati mampu membentuk buah partenokarpik. Penyerbukan sendiri secara alami pada ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2, ‘Nambangan’ dan ‘Bageng Taji’ menghasilkan buah tidak berbiji, tetapi pada ‘Jawa 3’, sebagian buah berbiji. Dengan penyerbukan sendiri secara buatan kelima aksesi pamelo mampu membentuk buah berbiji, dengan jumlah beragam, yang mengindikasikan adanya sifat self-compatible. Penyerbukan silang maupun penyerbukan terbuka pada semua aksesi
(5)
iv
menghasilkan buah berbiji dengan derajat yang berbeda, yang menunjukkan fertilitas ovul. ‘Bali Merah 2’ diduga memiliki derajat partenokarpi yang tinggi, dilihat dari jumlah biji yang rendah (<10 biji per buah) pada semua perlakuan penyerbukan. Dengan demikian pembentukan buah tidak berbiji pada aksesi pamelo disebabkan oleh sifat partenokarpik, karena aksesi pamelo memiliki tepung sari dan ovul yang fertil, bersifat self-compatible dan kromosomnya diploid.
Kualitas buah pamelo dipengaruhi oleh kelompok aksesi, aksesi dan masa simpan serta interaksi antara kelompok aksesi dengan masa simpan dan aksesi dengan masa simpan. Kandungan vitamin C, naringin dan pH jus buah pamelo aksesi tidak berbiji lebih tinggi dibandingkan aksesi berbiji. Penyimpanan menyebabkan kandungan vitamin C dan ATT buah pamelo menurun, sedangkan PTT dan PTT/ATT meningkat, tetapi pH jus buah menunjukkan kecenderungan berbeda antar aksesi. Selama penyimpanan persentase bobot kulit terus menurun, yang membuat persentase bobot bagian dapat dimakan meningkat. Persentase bobot aksis buah tidak berbiji lebih rendah dibandingkan buah berbiji. Hasil analisis sensori menunjukkan aksesi tidak berbiji ’Jawa 1’ memiliki banyak keunggulan, baik dari hasil uji hedonik (kesukaan) maupun uji mutu skalar, yaitu aroma jeruk yang harum, jus berwarna merah, juici, manis, agak masam, tidak getir, tekstur kantong jus halus dan sedikit graininess. Berdasarkan keungulan-keunggulan tersebut ‘Jawa 1’ dianjurkan untuk dikembangkan lebih lanjut dan dilepas sebagai kultivar pamelo baru.
Kata kunci: koefisien kemiripan, self-compatible, partenokarpi, kualitas buah, pamelo
(6)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik ataupun tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
KARAKTERISASI DAN EVALUASI AKSESI PAMELO
{Citrus maxima (Burm.) Merr.}
BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI ASLI INDONESIA
ARIFAH RAHAYU
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(8)
Penguji Luar Komisi
Ujian Tertutup : Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc.
(Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas pertanian IPB) Dr. Ir. Darda Efendi, MS
(Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas pertanian IPB) Ujian Terbuka : Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.
(Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas pertanian IPB)
Dr. Ir. Winny D. Wibawa
(Kepala Biro Perencanaan, Kementerian Pertanian RI)
(9)
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak
Berbiji Asli Indonesia
Nama : Arifah Rahayu
NRP : A262070051
Program Studi : Agronomi dan Hortikultura
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. Dr. Ir. Iswari S. Dewi Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
(Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS) (Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.)
(10)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini. Rangkaian penelitian dalam disertasi berjudul ‘Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia’ ini dilakukan mulai April 2009 sampai Maret 2012.
Selesainya penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Slamet Susanto, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Bambang S. Purwoko dan Dr. Ir. Iswari S. Dewi selaku anggota komisi pembimbing atas bantuan, arahan dan bimbingannya kepada penulis.
2. Dr. Ir. Endah Retno Palupi M.Sc dan Dr. Ir. Darda Efendi, M.S. sebagai penguji ujian tertutup, Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. dan Dr. Ir. Winny D. Wibawa sebagai penguji ujian terbuka atas masukan dan sarannya.
3. Pimpinan, staf pengajar dan administrasi di Program Studi AGH Fakultas Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB atas pendidikan dan layanan administrasi selama penulis studi di IPB.
4. Teknisi laboratorium di lingkungan IPB (Laboratorium RGCI, Pascapanen, Mikroteknik Departemen AGH IPB, Kebun Percobaan Cikabayan, Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati IPB, Laboratorium Pusat Kajian Buah Tropika IPB), Kementerian Pertanian (Laboratorium Balai Besar Pascapanen Cimanggu Bogor), LIPI Biologi (Laboratorium Genetika Tumbuhan) dan Universitas Djuanda (Laboratorium Teknologi Pangan) atas bantuan dan dukungannya.
5. Pimpinan dan Staf Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Sumedang, Pati, Kudus dan Magetan
6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan
7. Rektor Universitas Djuanda dan Dekan Fakultas Agribisbis dan Teknologi Pangan, Universitas Djuanda atas izin studi.
(11)
x
8. Kementerian Pertanian RI dan Kementerian RISTEK yang telah membantu dana penelitian melalui program KKP3T dan Insentif Riset Terapan.
9. Pak Sukimin dan keluarga di Magetan dan Pak Parso dan keluarga di Pati yang telah membantu dan menyediakan tanaman pamelo untuk digunakan penelitian.
10.Rekan-rekan mahasiswa S2 dan S3 AGH dan PBT angkatan 2007, terutama Ir. Kartika Ning Tyas MSi. atas bantuan, masukan dan sarannya selama penelitian dan penyelesaian studi.
11.Dr. Ir. Ika Rostika Tambunan MSi.dan Dr. Dorly atas masukan dan sarannya untuk analisis kromosom, Sulassih SP, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Sobir MS atas bantuannya dalam analisis ISSR dan prosedur pelepasan varietas, Prof. Dr. Ir. Sudarsono atas interpretasi data ISSR dan Setyono Ir., M.Si. atas bantuannya dalam pengolahan data.
12.Randi Ginting, SP (AGH angkatan 42), Iwan Sarjono (AGH angkatan 45), Septari (AGT Unida angkatan 2007) yang telah membantu penelitian. 13.Ayahanda Drs. H. Moh. Slamat Anwar dan Ibunda H. Sukanah (Alm.) dan
H.Yetti Mutijah, kedua mertua Drs. Sholeh Sholahuddin dan Ibu H. D. Sumiatin, serta seluruh adik-adik dan ipar atas doa dan dukungannya.
14.Suami tercinta Iwan Ridwan (Alm.) yang telah mendorong dan mendukung penulis untuk melanjutkan studi S3, anak-anak Alfi Rahmawati, Luthfan Syah Ridwan dan Fikri Ghifari Ridwan atas pengertian dan semangatnya.
15.Teman-teman sejawat di Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan Universitas Djuanda, khususnya Ir. Wini Nahraeni, M.Si., Dr. Elis Dihansih, Ir. Sri Rejeki, M.Sc, dan Jaya Ismail S.Kom. yang telah memberikan dukungannya.
Besar harapan penulis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2012
(12)
Slamat Anwar dan Ibu Hj. Sukanah (Alm.). Penulis telah menikah dengan Ir. Iwan Ridwan MM (Alm.) pada tahun 1987 dan dikaruniai empat orang anak, Miftah Ghifari Ridwan (Alm.), Alfi Rahmawati, Luthfan Syah Ridwan dan Fikri Ghifari Ridwan.
Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi di Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999. Pada tahun 2007 penulis berkesempatan meneruskan Program Doktor di Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana perguruan tinggi yang sama. Selama studi S2 dan S3 penulis mendapat beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Sejak tahun 1990 penulis bekerja sebagai staf pengajar Kopertis Wilayah IV dipekerjakan di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Universitas Djuanda Bogor.
Sebagian dari disertasi ini telah disampaikan dalam Seminar Nasional Hortikultura tanggal 25-26 Nopember 2010 di Universitas Udayana Denpasar, Bali dan pada tanggal 23-24 Nopember 2011 di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung dan menunggu diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia edisi April 2012 dan Jurnal Hortikultura Indonesia edisi Desember 2012.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
1. PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 4
Hipotesis Penelitian ... 4
Manfaat Penelitian ... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Sistematika, Asal-Usul, dan Sifat Botani Pamelo ... 6
Kultivar Pamelo ... 8
Karakterisasi Morfologi ... 8
Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim ... 10
Karakterisasi Molekuler dengan ISSR ... 11
Tingkat Ploidi ... 12
Pembentukan Biji dan Buah pada Pamelo ... 13
Viabilitas Tepung Sari ... 14
Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perkembangan Biji dan Buah ... 14 Evaluasi Kualitas Buah ... 15
3. KARAKTERISASI MORFOLOGI, BIOKIMIA, MOLEKULER DAN TINGKAT PLOIDI PAMELO BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI ... 17
ABSTRAK ... 17
ABSTRACT ... 17
PENDAHULUAN ... 18
BAHAN DAN METODE ... 20
Waktu dan Tempat ... 20
Karakterisasi Morfologi pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 20
Bahan dan Alat ... 20
Metode ... 21
Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... 21
Bahan dan Alat ... 21
Metode ... 21
Karakterisasi Molekuler dengan ISSR pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... 24
(14)
Tidak Berbiji ... 27
Analisis Jumlah Kromosom ... 27
Bahan dan Alat ... 27
Metode ... 27
Analisis Flow Cytometry ... 28
Bahan dan Alat ... 28
Metode ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
Karakter Morfologi Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... 28
Karakteri Isoenzim Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... ... 44
Karakter ISSR Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji 48 Karakter Gabungan Penanda Morfologi dan Isoenzim... ... 52 Karakter Gabungan Penanda Morfologi dan ISSR ... 55
Karakter Gabungan Penanda Isoenzim dan ISSR ... 57
Karakter Gabungan Penanda Morfologi, Isoenzim dan ISSR ... 60 Tingkat Ploidi Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji 61 SIMPULAN ... 64
4. PEMBENTUKAN BUAH BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI PADA PAMELO ... 65
ABSTRAK ... 65
ABSTRACT ... 65
PENDAHULUAN ... 66
BAHAN DAN METODE ... 67
Waktu dan Tempat ... 67
Uji Viabilitas Tepung Sari Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 68
Uji Penyerbukan Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 69
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71
Viabilitas Tepung Sari Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji... ... 71
Evaluasi Kemampuan Pembentukan Buah Tidak Berbiji Melalui Uji Penyerbukan ... 72
SIMPULAN ... 80
5. EVALUASI KUALITAS BUAH PAMELO BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI SELAMA MASA SIMPAN... 82
ABSTRAK ... 82
ABSTRACT ... 82
(15)
BAHAN DAN METODE ... 85
Waktu dan Tempat ... 85
Bahan dan Alat ... 85
Metode ... 85
Peubah yang Diamati ... 86
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 87
Karakter Fisik yang Mempengaruhi Kualitas Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 88
Karakter Kimia yang Mempengaruhi Kualitas Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 92
Analisis Sensori pada Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 99
SIMPULAN ... 104
6. PEMBAHASAN UMUM ... 105
Keragaman Pola Pengelompokan Aksesi Pamelo Berdasarkan Penanda Morfologi, Isoenzim, ISSR dan Kombinasinya ... 105
Hubungan antara Karakterisasi Morfologi, Isoenzim dan ISSR, Analisis Ploidi dan Pembentukan Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji ... 108
Hubungan antara Karakter Morfologi dengan Karakter Kimia dan Fisik Buah Pamelo Selama Penyimpanan ... 110
Upaya Pengembangan Aksesi Pamelo yang Potensial Dijadikan Varietas Unggul Hortikultura ... 111
7. SIMPULAN DAN SARAN ... ... 114
Simpulan ... 114
Saran ... 115
DAFTAR PUSTAKA ... 116
(16)
Halaman
1. Nama dan susunan basa primer koleksi PKBT IPB ……….. 26
2. Deskripsi pohon 14 aksesi pamelo ………... 31
3. Deskripsi daun 14 aksesi pamelo ……….. 33
4. Deskripsi bunga 14 aksesi pamelo ………... 34
5. Deskripsi buah 14 aksesi pamelo ……….. 37
6. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda morfologi (pohon, daun, bunga dan buah) 42 7. Tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi ………... 43
8. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda isoenzim (EST, PER, MDH dan ACP) ... 46
9. Tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda isoenzim ………... 47
10. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda ISSR ... 50
11. Tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda ISSR ………... 52
12. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda morfologi dan isoenzim (EST, PER, MDH dan ACP) ………..………..………..………. 53
13. Kisaran tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi dan isoenzim ... 54
14. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda morfologi dan ISSR ………... 55
15. Kisaran tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi dan ISSR ... 56
16. Nilai ciri dan dua nilai komponen utama (KU) pertama berdasarkan penanda isoenzim dan ISSR ………... 58
(17)
17. Kisaran tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi
pamelo berdasarkan penanda isoenzim dan ISSR ………... 58
18. Kisaran tingkat kemiripan antar/di dalam kelompok aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi, isoenzim dan ISSR ... 61
19. Hasil konfirmasi jumlah kromosom hasil analisis dengan metode Sartrosumarjo (2006) dan flow cytometry ... 63
20. Hasil uji viabilitas tepung sari pada aksesi berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji ………..………..……… 72
21. Hasil penyerbukan pada berbagai aksesi pamelo ... 79
22 Rekapitulasi hasil penyerbukan pada berbagai aksesi pamelo … 79 23 Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh kelompok aksesi, aksesi, masa simpan dan interaksi antara kelompok aksesi dan masa simpan dan aksesi dan masa simpan ... 87
24. Persentase bobot kulit buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP .... 88
25. Persentase bobot bagian buah dapat dimakan 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 89
26. Persentase bobot sekat buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 90
27. Persentase bobot aksis buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP .... 91
28. Kandungan vitamin C 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 93
29. Kemasaman buah 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 95
30. Kandungan PTT 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 96
31. Kandungan ATT 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 97
32. Nisbah PTT/ATT 13 aksesi pamelo pada 0-8 MSP ... 98
33. Kandungan naringin 13 aksesi pamelo ... 99
34. Hasil uji kesukaan (hedonik) pada 13 aksesi pamelo ... 100
35. Hasil uji mutu skalar pada aksesi pamelo ... 101 36. Nilai koefisien kemiripan tertinggi dan terendah dan nilai
korelasi koefenetik MxComp (r) dengan penanda morfologi, isoenzim, ISSR dan kombinasinya ...
(18)
Halaman 1. Bagan alir penelitian Evaluasi Karakter Aksesi Pamelo {Citrus
maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli
Indonesia ...……... 5 2. Bentuk pohon aksesi pamelo (a) spheroid dan (b) obloid ...
29 3. Bentuk daun 14 aksesi pamelo berbiji: (a) Cikoneng ST , (b)
Jawa 2 , (c) Adas Duku , (d) Magetan , (e) Sri Nyonya , (f) Bali Putih, (g) Muria Merah 2, (h) Jawa 3, potensial tidak berbiji (i) Nambangan , (j) Bali Merah 1 dan tidak berbiji: (k) Bali Merah 2, (l) Jawa 1, (m) Muria Merah 1, (n ) Bageng
Taji ...……... 30 4. Bunga berbagai aksesi/kultivar pamelo berbiji: (a) Cikoneng
ST , (b) Jawa 2 , (c) Adas Duku , (d) Magetan , (e) Bali Putih , (f) Muria Merah 2, (g) Jawa 3 , potensial tidak berbiji (h) Nambangan , (i) Bali Merah 1 dan tidak berbiji: (j) Jawa 1, (K) Muria Merah 1, (l ) Bageng Taji dan bagian-bagian
bunga pamelo ...……... 32 5. Penampilan luar dan potongan melintang buah pamelo aksesi
berbiji: (a) Cikoneng ST, (b) Magetan, (c) Jawa 2, (d) Sri Nyonya, potensial tidak berbiji: (e) Nambangan, (f) Bali Merah 1 dan tanpa biji, (g) Jawa 1, (h) Bageng Taji, A: ellipsoid, B: spheroid, C: spheroid-pyriform, D:
pyriform... 35 6. Perbedaan bentuk buah ‘Bali Merah 2’ dalam pohon yang
sama, kiri: obloid, kanan: spheroid-pyriform ... 40 7. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo
menggunakan penanda morfologi yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang pertama. ...
42 8. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi 44 9. Pola pita isoenzim a). EST, b). PER, c). MDH, dan d).
ACP pada 14 aksesi pamelo. ... 45 10. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo
menggunakan penanda isoenzim yang dipetakan ke dalam
(19)
11. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda isoenzim .. 48 12. Profil ISSR yang diamplifikasi oleh primer (a) PKBT 2, (b)
PKBT 3, (c) PKBT 4, (d) PKBT 7, (e) PKBT 8, (f) PKBT 9, (g) PKBT 11, (h) PKBT 12, (i) RED 12 dan (j) RED 17. ...
49 13. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo
menggunakan penanda ISSR yang dipetakan ke dalam bentuk
dua sumbu komponen utama yang pertama. ... 51 14. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda ISSR ...
52 15. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo
menggunakan penanda morfologi dan isoenzim yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang
pertama. ... 53 16. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi
dan isoenzim. ... 55 17. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo
menggunakan penanda morfologi dan ISSR yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang pertama. ...
56 18. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi
dan ISSR ... 57 19. Analisis komponen utama kemiripan 14 aksesi pamelo
menggunakan penanda isoenzim dan ISSR yang dipetakan ke dalam bentuk dua sumbu komponen utama yang pertama. ...
59 20. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda isoenzim
dan ISSR ... 60 21. Dendogram 14 aksesi pamelo berdasarkan penanda morfologi,
isoenzim dan ISSR ... 61 22. Kromosom (a) Bageng, (b) Muria Merah 1, (c) Muria Merah
2, (d) Sri Nyonya, (e) Adas Duku, (f) Nambangan ... 62 23. Hasil konfirmasi ploidi antar (a) ‘Nambangan-‘Sri Nyonya’,
(b) ‘Nambangan’- ‘Magetan’, dan (c) ‘Sri Nyonya’-‘Muria
Merah 2. ... 63 24. Perbedaan warna tepung sari yang (a) viable (merah) dan
nonviable (kuning), dan (b) tepung sari yang berkecambah ... 72 25 Potongan melintang buah pamelo hasil emaskulasi(a) Jawa 3
(20)
26 Potongan melintang buah pamelohasil penyerbukan sendiri secara alami (a) ‘Jawa 3’, (b) ‘Nambangan’, (c) ‘Bali Merah 1’,(d) ‘Bali Merah 2’, (e) ‘Bageng Taji’, hanya ‘Jawa 3’ yang
buahnya sebagian berbiji ... 75 27 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan sendiri
secara buatan (a) Bali Merah 2, (b) Bageng, (b) Nambangan,
semuanya mampu menghasilkan biji ... 76 28 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan terbuka,
(a) Bali Merah 2 x Nambangan, (b) Bageng x Cikuning, (c) Bali Merah 1 x Jawa 3, semuanya berbiji banyak kecuali Bali
Merah 2 ... 76 29. Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan silang
alami (a) Bali Merah 2, berbiji sedikit, (b) Bageng tidak
berbiji, (c) Nambangan berbiji ... 76 30. Diagram laba-laba uji mutu skalar aksesi pamelo
berbiji... 102 31. Diagram laba-laba uji mutu skalar aksesi pamelo potensial
tidak berbiji... ...
103
(21)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Descriptor list pamelo ... 132
2. Komposisi larutan penyangga gel pH 6.0 (Horry 1989) ... 142
3. Komposisi larutan pengekstrak untuk volume 40 ml (Horry 1989) ... 142
4. Komposisi larutan penyangga elektroda pH 6.0 (Horry 1989) .... 142
5. Komposisi larutan penyangga fosfat pH 7.0 ... 142
6. Komposisi larutan AAT ... 142
7. Komposisi larutan CTAB 10%... 142
8. Komposisi larutan kloroform:isoamilalkohol (24:1)... 142
9. Komposisi buffer Tris-HCl 1 M pH 8.0 ... 143
10. Komposisi buffer TAE 50 x... ... 143
11. Komposisi loading dye... 143
12. Komposisi larutan etanol 70% ... 143
13. Komposisi larutan NaCl ... 143
14. Komposisi buffer ekstraksi untuk Isolasi DNA ... 143
15. Komposisi buffer TE (Tris-HCl EDTA) ... 143
16. Komposisi larutan EDTA 0.5 M pH 8.0 ... 144
17. Komposisi larutan natrium asetat 3 M pH 5.2 ... 144
18. Kuisioner uji hedonik rasa, aroma dan penerimaan pamelo umum buah ... 144
19. Kuisioner uji skoring rasa, aroma dan penerimaan umum buah pamelo ... 144 20 Deskripsi kultivar pamelo yang telah dilepas Menteri Pertanian 147
(22)
Latar Belakang
Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} merupakan salah satu di antara tiga spesies Citrus yang asli, disamping sitrun (C. medica L.) dan mandarin (C. reticulata Blanco). Spesies Citrus lainnya merupakan hasil persilangan ketiga kelompok tersebut (Campos et al. 2005). Pamelo potensial dikembangkan di Indonesia, karena karakteristiknya yang khas, yaitu berukuran besar, memiliki rasa segar, dan daya simpan yang lama sampai 4 bulan (Susanto 2004). Di samping itu kriteria buah pamelo yang potensial dikembangkan adalah memiliki warna jus merah, rasa getir rendah, mudah dikupas dan tidak berbiji. Bila dibungkus kertas dalam kotak yang berventilasi baik, buah pamelo dapat tetap baik kondisinya selama 6-8 bulan (Orwa et al. 2009).
Di antara faktor yang turut menentukan keberhasilan pengembangan pamelo adalah terdapatnya kultivar unggul yang dirakit dan/atau diseleksi dari berbagai aksesi plasma nutfah yang tersedia. Plasma nutfah pamelo banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, dengan nama daerah yang berbeda, yang dikenal sebagai kultivar lokal. Meskipun demikian baru sebagian kecil kultivar yang dimanfaatkan secara komersial, antara lain ‘Magetan’, ‘Nambangan’, ‘Raja’, ‘Ratu’ dan ‘Sri Nyonya’ (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura 2006).
Berbagai plasma nutfah tersebut merupakan sumber keragaman genetik dalam spesies pamelo yang penting sebagai bahan pemuliaan. Keragaman genetik ini dapat diukur pada berbagai tingkatan fungsional, mulai dari fenotipe hingga cetak biru (blueprint), yaitu dari keragaman morfologi, keragaman kromosom (inversi, translokasi dan poliploidi), lokus enzim dan penanda DNA (Mallet 1996). Plasma nutfah pamelo dapat diperoleh antara lain melalui eksplorasi ke sentra produksi, dan selanjutnya dilakukan karakterisasi dan evaluasi.
Karakterisasi merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi sifat-sifat penting yang bernilai ekonomi, atau yang merupakan penciri suatu aksesi/kultivar/varietas yang bersangkutan. Evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan guna mengidentifikasi kandungan senyawa gizi serta untuk mengetahui
(23)
2
reaksi varietas tanaman terhadap cekaman faktor biotik dan abiotik (Somantri et al. 2008). Kegiatan karakterisasi dan evaluasi memiliki arti dan peran penting yang akan menentukan nilai guna varietas tanaman yang bersangkutan.
Hingga kini karakterisasi dan evaluasi pamelo di Indonesia belum tuntas dilakukan, meskipun pada beberapa aksesi pamelo asal Magetan telah dilakukan karakterisasi secara morfologi (Purwanto et al. 2002a), dengan isoenzim (Purwanto et al. 2002b; Purwanto et al. 2002c), secara morfologi dan isoenzim (Rakhman 2008). Analisis biokimia dengan isoenzim pada tanaman jeruk, antara lain digunakan untuk membedakan kultivar jeruk asam (Rahman et al. 2001), mendapatkan informasi genetik pada jeruk liar (Hirai et al. 1990), dan mengidentifikasi bibit zigotik dan nuselar pada jeruk hasil persilangan antar ploidi yang berbeda (Tusa et al. 2002).
Karakterisasi morfologi dan biokimia akan lebih akurat bila disertai dengan analisis molekuler. Pada aksesi pamelo dari berbagai daerah di Indonesia telah dilakukan analisis RAPD (Agisimanto dan Supriyanto 2007), sedangkan di Turki pembedaan antara aksesi grapefruit dan pamelo digunakan ISSR (Uzun et al. 2010). Baik teknik RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA) maupun ISSR (Inter-Simple Sequence Repeat) sama-sama sederhana dan tidak memerlukan pengetahuan tentang sekuens genom yang akan diuji (Pharmawati et al. 2004). Kelebihan ISSR adalah mempunyai daya ulang (reproduceability) yang lebih tinggi, karena menggunakan primer yang lebih panjang (16-25 mer) dibandingkan dengan primer RAPD (10 mer) (Reddy et al. 2002).
Evaluasi kualitas selama penyimpanan yang meliputi kandungan padatan terlarut total (PTT), asam tertitrasi total (ATT), vitamin C, dan rasa pahit (bitterness) aksesi-aksesi pamelo belum banyak dilakukan. Rasa pahit pada pamelo terutama disebabkan oleh flavonoid (naringin) dan limonoid (limonin) (Pichaiyongvongdee dan Haurenkit 2009a). Evaluasi mengenai kandungan senyawa ini menarik untuk dilakukan, karena Tisserat dan Berhow (1998) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat ploidi dengan kandungan flavonoid pada grapefruit (Citrus paradisi Macf.). Kandungan naringin pada grapefruit tetraploid lebih tinggi dibanding pada grapefruit diploid. Hal demikian belum diketahui pada pamelo.
(24)
Berdasarkan jumlah biji per buah dapat diamati adanya aksesi pamelo yang buahnya berbiji, tidak berbiji, atau potensial tidak berbiji. Buah tidak berbiji merupakan sifat yang banyak diminati untuk pasar pamelo segar. Hal ini berkaitan dengan kemudahan penggunaannya. Selain mudah dikonsumsi, proporsi bagian dapat dimakan dari buah jeruk tidak berbiji lebih besar dibanding buah berbiji (Yamashita 1976).
Suatu tanaman dianggap menghasilkan buah tidak berbiji jika mampu menghasilkan buah tidak berbiji sama sekali, biji mengalami aborsi atau memiliki sejumlah biji yang tereduksi (Vardi et al. 2008). Pada jeruk mandarin, buah disebut tidak berbiji jika jumlah biji per buah kurang dari lima (Varoquaux et al. 2000), sedangkan pada grapefruit 0-6 biji (Chacoff dan Aizen 2007).
Buah tidak berbiji dapat dihasilkan dengan cara pemuliaan, teknik budidaya dan secara alami. Dengan cara pemuliaan, buah tidak berbiji didapat dengan mengembangkan aksesi tidak berbiji melalui produksi bibit hibrida triploid (Yamashita 1976), kultur endosperma (Raza et al. 2003) dan melalui iradiasi untuk mendapatkan mutan (Sutarto et al. 2009). Secara kultur teknis, produksi buah tidak berbiji dapat dilakukan dengan menggunakan zat pengatur tumbuh, antara lain asam giberelin (GA) (Ben-Cheikh et al. 1997). Pengembangan aksesi tidak berbiji dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan aksesi tidak berbiji sebagai tetua. Menurut Yamamoto et al. (1995), terdapat hubungan yang erat antara kemampuan berbiji tetua dengan turunan hibridanya. Tetua yang tidak berbiji atau berbiji sedikit umumnya menghasilkan keturunan tidak berbiji, sementara tetua yang berbiji atau berbiji banyak hanya menghasilkan sedikit keturunan tidak berbiji.
Kajian mekanisme pembentukan buah tidak berbiji telah dilakukan oleh Yamamoto et al. (1995), yang mempelajari hubungan antara sterilitas jantan dan betina, dan ketidakserasian-sendiri (self-incompatibility) terhadap jumlah biji pada berbagai aksesi jeruk, termasuk pamelo. Sementara itu Yamamoto dan Tominaga (2002) mempelajari hal ini pada Citrus keraji, dan mendapatkan bahwa buah tidak berbiji diakibatkan oleh sterilitas betina, self-incompatibility dan partenokarpi. Pada aksesi pamelo tidak berbiji di Indonesia mekanisme ini belum diketahui. Selain itu perbedaan antara buah berbiji dan tidak berbiji dapat dilihat dari jumlah
(25)
4
kromosomnya. Tanaman yang kromosomnya triploid (3n) akan menghasilkan buah tidak berbiji, sedangkan yang diploid (2n) berbiji. Serangkaian penelitian dilakukan dengan skema seperti tercantum pada Gambar 1.
Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan mengevaluasi aksesi pamelo yang dapat digunakan sebagai karakter dalam pengembangan pamelo tidak berbiji. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi karakter morfologi, biokimia, molekuler dan tingkat ploidi tanaman pamelo berbiji dan tidak berbiji.
2. Mengidentifikasi pembentukan buah pamelo berbiji dan tidak berbiji. 3. Mengevaluasi karakter kualitas buah pamelo berbiji dan tidak berbiji
selama masa simpan.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan karakter morfologi, biokimia, molekuler dan tingkat ploidi antar aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji.
2. Terdapat perbedaan karakter yang berhubungan dengan pembentukan buah pamelo berbiji dan tidak berbiji
3. Terdapat perbedaan karakter kualitas buah pamelo berbiji dan tidak berbiji selama masa simpan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai informasi penting yang bermanfaat dalam pengembangan kultivar pamelo tidak berbiji, melalui hasil karakterisasi morfologi, biokimia, molekuler dan tingkat ploidi, pembentukan buah pamelo berbiji dan tidak berbiji serta evaluasi kualitas buah selama masa simpan.
(26)
Gambar 1 Bagan alir penelitian Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia.
Kajian Pembentukan Buah Berbiji dan Tidak Berbiji pada Pamelo
Evaluasi Kualitas Buah: - Nutrisi selama masa
simpan
- Analisis Sensori Karakterisasi:
- Morfologi - Isoenzim - Molekuler - Tingkat ploidi
Kelompok Aksesi: - Berbiji
- Potensial tidak berbiji - Tidak berbiji
Karakter-karakter tanaman yang dapat membedakan aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji, yang dapat digunakan sebagai karakter
dalam pengembangan pamelo tidak berbiji Eksplorasi Berbagai
Plasma Nutfah Pamelo
(27)
2. TINJAUAN PUSTAKA Sistematika, Asal-Usul, dan Sifat Botani Pamelo
Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) memiliki sinonim C. grandis (L.) Osbeck, C. decumana L., C. aurantium var. grandis L. dan C. aurantium var. decumana L. (Manner et al. 2006). Tanaman ini termasuk genus Citrus, sub suku (sub-tribe) Citrinae, tribe Citriae, sub famili Aurantioideae, famili Rutaceae (Direktorat Tanaman Buah 2003). Citrinae dicirikan dengan buah hesperidium dengan adanya kulit keras dan kaku yang mengelilingi bagian dalam buah dan kantong jus (Hamilton et al. 2008). Adanya kulit yang keras dan kaku ini melindungi buah dari kerusakan selama penanganan pascapanen dan pengeringan selama penyimpanan (Albrigo dan Carter 1977).
Pamelo berasal dari Malesia, kemudian menyebar ke Indo-Cina, Cina Selatan, Jepang Selatan, India Barat, Mediterania dan Amerika Tropik (Niyomdham 1992). Walaupun tempat asal pamelo yang tepat tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar dari Malaysia, Thailand dan Indonesia, karena di daerah ini banyak dijumpai kerabat liarnya (Thulaja 2003). Kini pamelo telah diproduksi secara komersial di 74 negara baik untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor (Talon dan Gmitter Jr. 2008).
Pusat produksi pamelo dunia terdapat di Cina bagian Selatan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Taiwan dan Jepang (Hodgson 1967). Di Indonesia, sentra produksi pamelo utama terdapat di Kabupaten Magetan, sedangkan sentra produksi potensial antara lain di Kabupaten Sumedang, Pati, Kudus, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan Bireun (Aceh).
Tinggi tanaman pamelo sekitar 5-15 m dengan batang yang besar (10-30 cm), percabangan rendah dan tidak beraturan (Morton 1987). Cabang muda bersudut, seringkali berambut halus, pendek dan biasanya berduri (Orwa et al. 2009). Tajuk pohon berbentuk bulat (Christman 2008).
Daun pamelo berbentuk bulat telur sampai jorong dengan ukuran 5-20 cm x 2-12 cm. Pangkal daun membundar sampai menjantung, tepi rata sampai beringgit dangkal, dan ujung daun lancip sampai tumpul. Pada permukaan daun terdapat bintik-bintik kelenjar minyak. Tangkai daun pamelo bersayap lebar
(28)
mencapai 7 mm, berwarna hijau kuning, helai daun bagian bawah berbulu, berwarna agak suram (Niyomdham 1992).
Bunga pamelo berbau harum, tunggal atau terdiri atas 2-10 kuntum bunga di ketiak daun atau kadang-kadang berjumlah 10-15 kuntum di ujung cabang. Mahkota bunga pamelo berjumlah 4-5 helai, berwarna putih-kekuningan, panjang 1.5-3.5 cm, berbulu halus pada bagian luar. Benang sari berwarna putih, sedangkan serbuk sari jingga (Morton 1987). Kotak sari bunga pamelo terletak berhadapan dengan permukaan kepala putik dan dapat melepaskan serbuk sarinya sebelum kuncup bunga mekar. Meskipun demikian, sebagian besar aksesi pamelo bersifat self-incompatible (Niyomdham 1992). Sifat self-incompatible pada pamelo memberi peluang untuk dihasilkannya buah tidak berbiji (Yamamoto dan Tominaga 2002). Bunga jeruk mekar pada pagi hingga sore dan mencapai puncaknya pada tengah hari. Kepala putik sudah reseptif sebelum bunga mekar (Ashari 2004).
Bunga jeruk bersifat pentamerous (berbilangan lima) dan hermaprodit. Tangkai bunga memiliki dua daerah absisi, yaitu pada axil dan yang lain dekat dengan kelopak bunga (Ortiz 2002). Bunga jeruk dibedakan atas bunga tanpa daun (leafless bloom) dan bunga berdaun (leafy bloom). Bunga berdaun cenderung mampu membentuk buah (fruit set) lebih tinggi dibanding bunga tanpa daun.
Pamelo biasanya menghasilkan banyak bunga pada musim utama, yang jumlahnya bergantung pada aksesi, umur pohon dan kondisi lingkungan. Walaupun demikian persentase fruit set relatif rendah, berkisar 0.8-1.1% pada bunga tidak berdaun dan 4.8 – 6.0% pada bunga berdaun (Nakajima et al. 1993). Buah pamelo berukuran besar, dengan diameter rata-rata 15-22 cm, bahkan ada yang lebih dari 30 cm, dengan warna kulit kuning. Daging buah berwarna putih, kekuningan atau merah muda. Bobot buah rata-rata sekitar 1-2 kg, kadang-kadang dapat mencapai 9 kg (Christman 2008). Biji pamelo tidak banyak, berukuran besar dengan permukaan keriput, warnanya kekuningan dan memiliki embrio tunggal (Niyomdham 1992).
(29)
8
Kultivar Pamelo
Di Indonesia terdapat banyak kultivar pamelo, antara lain Nambangan, Besar Nambangan, Magetan, Srinyonya, Cikoneng ST, Pangkajene Merah, Buton, Bulat Hijau, Lonjong Hijau, Duku, Papermus Obesi I, Papermus Obesi II, Besar Merah, Besar Putih, Putih tanpa biji (Agismanto dan Supriyanto 2007). Selain itu dikenal pula pamelo Raja, Ratu dan Pangkep (Direktorat Tanaman Buah 2007), dan berbagai aksesi yang belum dilepas sebagai kultivar.
Di negara lain dikenal kultivar Banpeiyu (asal Malaya, diintroduksi ke Taiwan dan Jepang), Chandler (berkembang di India dan California), Hirado (Jepang), Dang Ai Chaa, Hoem Bai Toey, Kao Lang Sat, Kao Pan, Kao Phuang, Kao Ruan Tia, Kao Yai, Khun Nok, Thong Dee (Thailand), Siamese Sweet (diintroduksi oleh USDA dan ditanam di California), Tahitian (diduga berasal dari Kalimantan dibawa ke Tahiti kemudian Hawaii) dan Tresca (dari Bahama, ditanam secara komersial di California) (Morton 1987).
Karakterisasi Morfologi
Menurut Idris dan Saad (2001), karakterisasi plasma nutfah memiliki beberapa manfaat. Data karakterisasi memiliki nilai diagnostik, yaitu sebagai alat untuk mengidentifikasi bahan yang dikoleksi atau menguji keaslian plasma nutfah, untuk membedakan homonim atau nama yang hampir sama dan mengidentifikasi atau menyeleksi spesies, klon, kultivar atau varietas. Di samping itu hasil karakterisasi juga bermanfaat untuk mengklasifikasikan spesies, klon, kultivar atau varietas dan mendeteksi karakteristik yang berkaitan yang kemungkinan dapat memiliki nilai praktis.
Tahap awal identifikasi tanaman, biasanya dilakukan secara morfologi. Sifat morfologi ini dapat berupa sifat kualitatif maupun kuantitatif, yang memiliki tipe dan aksi gen yang berbeda (Fitmawati 2008). Sifat kualitatif antara lain bentuk tajuk, daun, dan buah; warna daun, bunga, kulit buah, dan daging buah, sedangkan sifat kuantitatif, diantaranya panjang dan lebar daun, panjang mahkota dan kelopak bunga serta bobot bagian-bagian buah. Penanda morfologi masih banyak digunakan oleh para peneliti untuk mendapatkan karakteristik pohon, daun
(30)
dan buah aksesi pamelo terbaik (Rahman et al. 2003), dan mendeteksi poliploidi pada jeruk (Bilquess 2004).
Malik et al. (2006) mendapatkan adanya keragaman ukuran daun, buah dan biji pada koleksi aksesi C. indica Tanaka dan C. macroptera Montr. yang dikaraktersisasi secara morfologi. Hasil penelitian Hardiyanto et al. (2007) menunjukkan karakter morfologi dapat membedakan jeruk varietas lokal (keprok Cinakonde, manis Punten dan besar Nambangan) dari kelompok lain dalam populasi spesies yang sama, sehingga varietas lokal ini dapat dipisahkan pada tingkatan takson di bawah spesies. Lebih jauh Hamilton et al. (2008) menyatakan bahwa morfologi biji, khususnya topografi permukaan biji bermanfaat sebagai alat identifikasi taksonomi pada jeruk liar Australia.
Meskipun karakterisasi secara morfologi kurang akurat, karena dipengaruhi oleh stadia pertumbuhan tanaman dan faktor lingkungan, tetapi tetap diperlukan sebagai tahap awal untuk mengetahui keragaman genetik tanaman dan untuk melengkapi data hasil analisis biokimia dan molekuler. Karakterisasi morfologi juga penting dilakukan, karena keragaman morfologi pada jeruk, terutama mandarin tidak bergantung pada keragaman genetiknya, yang tampak dari korelasi kofenetik yang rendah antara dendrogram morfologi dan molekuler (Koehler-Santos et al. 2003; Campos et al. 2005). Beberapa karakter hortikultura penting juga dikendalikan oleh banyak gen (Campos et al. 2005), dan heritabilitasnya rendah. Dalam melakukan karakterisasi perlu diperhatikan karakter-karakter yang dapat diturunkan, dapat mudah diamati dengan mata telanjang, dan diekspresikan pada semua kondisi atau lingkungan (Perry dan Battencourt 1997). Biasanya karakter ini bersifat kualitatif dan stabil pada berbagai kondisi lingkungan, contohnya warna bunga dan bentuk buah.
Menurut Suharsi (2000) perbedaan antar aksesi pamelo dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri buahnya, antara lain ukuran dan bentuk buah, bentuk ujung dan pangkal buah, warna dan tekstur flavedo (epicarp), ketebalan dan warna albedo (mesocarp), warna endokarpium, warna dan rasa vesicula atau daging buah, aroma minyak atsiri, jumlah buah pada setiap pohon dan jumlah biji pada setiap buah. Jumlah biji mempengaruhi bobot buah. Pamelo ’Banpeiyu’ yang
(31)
10
tidak berbiji (hasil penyerbukan sendiri) mempunyai bobot buah lebih ringan dibandingkan buah berbiji (hasil penyerbukan terbuka) (Yahata et al. 2005).
Kelemahan penanda morfologi adalah dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan lingkungan. Kadang-kadang sulit membedakan genotipe yang diamati, karena secara morfologi tampak sama, walaupun sebenarnya genotipe tersebut berbeda. Hal ini terjadi akibat sifat resesif tertutup oleh sifat dominan (Bakhtiar 2002).
Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim
Isoenzim merupakan enzim yang terdiri atas molekul-molekul yang mempunyai struktur kimia yang berbeda akan tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Sejumlah isoenzim diketahui berasosiasi atau terkait dengan karakter agronomi, namun jumlah isoenzim yang terbatas membuat penggunaan isoenzim menjadi terbatas pula.
Dibandingkan dengan ciri-ciri morfologi, isoenzim dan sifat-sifat biokimia lain dapat lebih menunjukkan genotipe suatu organisme. Pita-pita isoenzim dapat dievaluasi dari segi genetik (yaitu frekuensi alela pada setiap lokus) dan dari segi fenotipe (yaitu dengan menganggap setiap pita tunggal sebagai suatu karakter kodominan, yang keberadaannya dinyatakan dengan skor) (Gonzalez-Andrez et al. 1996).
Fungsi utama isoenzim adalah mengendalikan aktivitas metabolik suatu organisme. Isoenzim-isoenzim dikode oleh gen-gen yang berbeda, dan setiap gen dapat memiliki alela berbeda pada lokus yang sama. Perbedaan ukuran, konfigurasi dan muatan ion di antara isoenzim membuatnya dapat dideteksi dan ditampilkan dengan berbagai cara pemisahan melalui elektroforesis.
Kebanyakan isoenzim menunjukkan lokus kodominan yang terdistribusi mengikuti hukum Mendel dan banyak lokus diekspresikan pada seluruh stadia siklus hidup tanaman (Hamrick 1989). Walaupun demikian, isoenzim juga dapat menghasilkan pola pita yang kompleks terutama ketika enzim multimerik terlibat, yang membuat interpretasi menjadi sulit. Sistem isoenzim juga bergantung pada pewarnaan histokimia, sehingga memerlukan jumlah enzim yang optimal dari jaringan sampel (Shukor 2001). Penggunaan isoenzim memiliki beberapa
(32)
keuntungan antara lain peralatan dan bahan yang digunakan relatif murah, dapat menganalisis jumlah sampel yang banyak dalam waktu singkat, dan dapat dilakukan pada fase bibit, sehingga menghemat waktu, tempat dan biaya (Hadiati dan Sukmadjaja 2002).
Karakterisasi Molekuler dengan ISSR
Penanda molekuler merupakan alat yang bermanfaat untuk menunjukkan keragaman genetik, menentukan tetua dan mengetahui hubungan filogenetik di antara berbagai spesies jeruk (Uzun et al. 2010). Salah satu metode analisis molekuler yang dapat mengatasi kekurangan pada metode lainnya, adalah Inter-Simple Sequence Repeat (ISSR). Teknik ISSR merupakan metode berbasis PCR yang melibatkan amplifikasi segmen DNA yang ada pada jarak yang dapat diamplifikasi di antara dua wilayah mikrosatelit berulang yang menuju arah berlawanan (Reddy et al. 2002).
Metode ISSR dapat mengatasi daya ulang (reproduceability) yang rendah pada RAPD, biaya tinggi pada AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) dan perlunya pengetahuan tentang sekuens DNA tanaman yang akan dianalisis pada SSR (Reddy et al. 2002). Pada analisis keragaman jeruk siam, primer ISSR mendeteksi lebih banyak pita DNA dibandingkan dengan primer RAPD, dan mampu membangun dendrogram yang memperlihatkan keragaman besar (Agisimanto et al. 2007). Teknik ISSR juga cepat, dapat dipercaya, hanya memerlukan sejumlah kecil DNA, dan tidak bersifat radioaktif (Jabbarzadeh et al. 2010), karena selain menggunakan poliakrilamida yang dikombinasikan dengan radioaktif, hasil PCR-ISSR juga dapat dideteksi menggunakan agarose-etidium bromida (Reddy et al. 2002). Walaupun demikian pada tanaman tertentu, seperti tanaman obat Scutellaria baicalensis, tetap diperlukan pemilihan primer, karena primer yang sama dapat menunjukkan hasil amplifikasi berbeda pada spesies yang berbeda (Guo et al. 2009).
Lebih lanjut Behera et al. (2008) melaporkan bahwa pada berbagai aksesi paria (Momordica charantia L.) terdapat korelasi tinggi antara hasil analisis dengan penanda ISSR dan RAPD. Kemungkinan karena sistem penanda ini keduanya bersifat dominan, menempel (anneal) dengan mantap dan
(33)
fragmen-12
fragmen yang dideteksi hampir semuanya berukuran sama. Menurut Kumar et al. (2009) untuk identifikasi dan sertifikasi plasma nutfah jeruk penanda ISSR lebih baik dibandingkan RAPD.
Shahnavar et al. (2007) berhasil menggunakan penanda ISSR untuk membedakan aksesi-aksesi jeruk berkerabat dekat dan menjelaskan hubungan kekerabatan antara genotipe jeruk yang belum teridentifikasi dengan kultivar yang telah diketahui. Penanda ISSR juga dapat membedakan bibit jeruk nuselar dan zigotik (Krueger 2003). Sementara Emel (2010) memanfaatkan ISSR untuk mengidentifikasi DNA unik yang dapat menjadi penanda untuk menentukan kultivar gandum.
Tingkat Ploidi
Jumlah kromosom setiap sel pada semua individu dari setiap spesies adalah konstan. Spesies-spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat lebih kurang mempunyai jumlah kromosom sama, sedangkan spesies yang tidak mempunyai hubungan, memiliki jumlah kromosom berbeda (Sudarnadi 1989).
Hasil penelitian Frost (1925a) menunjukkan kultivar jeruk berbiji bersifat diploid, dengan jumlah kromosom 2n = 18. Selain itu terdapat pula kultivar jeruk yang tetraploid (Frost 1925b) dan triploid. Tanaman triploid dapat diperoleh dari hasil persilangan antara tanaman diploid dengan tetraploid (Fatima et al. 2002), hibridisasi somatik antara kultivar diploid dan haploid (Kobayashi et al. 1997), kultur endosperma (Raza et al. 2003), iradiasi (Zhang et al. 1988) atau terbentuk secara spontan (Jaskani et al. 2007). Pada jeruk, triploid spontan juga terdapat pada bibit zigotik seksual (Raza et al. 2003).
Jeruk tidak berbiji di Indonesia kemungkinan terbentuk secara spontan, sebagai hasil persilangan alami antara kultivar diploid dan tetraploid atau mutasi alami, karena mutasi alami dan sport sering terjadi pada jeruk (Raza et al. 2003). Secara morfologi, terdapat perbedaan antara tanaman jeruk yang tetraploid, triploid dan diploid. Tanaman jeruk tetraploid tumbuh lebih cepat, memiliki daun lebih lebar, lebih tebal, dan berwarna lebih gelap dibanding tanaman triploid dan diploid (Usman et al. 2006). Embrio triploid dari spesies monoembrionik mudah
(34)
diidentifikasi karena ukuran bijinya yang 1/3 sampai 1/6 kali lebih kecil dari biji diploid (Esen dan Soost 1971).
Viabilitas Tepung Sari
Penentuan viabilitas tepung sari berperan besar dalam proses reproduksi tanaman, karena dapat menunjukkan kemampuan butir tepung sari untuk menghantarkan sel sperma ke kantong embrio pada proses penyerbukan. Pengujian viabilitas ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan metode pewarnaan tepung sari dan perkecambahan tabung sari secara in vitro. Selain itu viabilitas tepung sari juga dapat diduga dari ukuran diameternya. Pada Collinsia verna (Scrophulariaceae; 2n = 14), tepung sari yang hidup (viable) memiliki diameter lebih besar dibanding yang non-viable (Kelly et al. 2002).
Metode pewarnaan banyak digunakan untuk menduga viabilitas tepung sari, karena mudah dilakukan, walaupun cara ini memiliki derajat ketepatan yang lebih rendah dibandingkan metode perkecambahan. Di antara berbagai metode pewarnaan (acetic-orcein, acetic-carmin, IKI, acridine orange, tetrazolium klorida), penggunaan tetrazolium klorida pada tepung sari Helleborus niger berkorelasi lebih baik dengan kemampuan tepung sari berkecambah (Heslop-Harrison et al. 1984).
Pembentukan Biji dan Buah pada Pamelo
Peran penyerbukan dalam proses pembentukan buah jeruk bervariasi. Aksesi dengan derajat partenokarpi tinggi (jeruk nipis ‘Tahiti’, jeruk keprok ‘Satsuma’) tidak memerlukan penyerbukan untuk membentuk buah. Sementara itu, pada aksesi dengan derajat partenokarpi rendah (grapefruit ‘Star-ruby’) penyerbukan diperlukan untuk membentuk buah (fruit set) (Varoquaux et al. 2000). Aksesi dengan derajat partenokarpi tinggi biasanya menghasilkan buah tidak berbiji (Iglesias et al. 2007), karena bakal buah mampu berkembang tanpa pembuahan pada bakal biji (Varoquaux et al. 2000).
Pada jeruk yang berbiji penyerbukan amat mempengaruhi keberhasilan fruit set dan perkembangan buah selanjutnya. Pada aksesi berbiji, bila sel telur dan inti kutub dalam kantong induk megaspora tidak dibuahi oleh sel sperma,
(35)
14
maka tidak akan terjadi perkembangan biji, dan kantong induk megaspora akan gugur ketika bunga mengalami senesen. Hal ini menunjukkan peranan biji yang amat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan buah, karena biji merupakan sumber fitohormon (Ben-Cheikh et al. 1997).
Sifat tidak berbiji pada jeruk disebabkan oleh sterilitas jantan (Yamamoto et al. 1995) dan self-incompatibility (Yamamoto et al. 2006). Self-incompatibility pada jeruk dapat disebabkan oleh pertumbuhan tabung tepung sari yang lambat, diduga akibat adanya inhibitor pada tangkai putik. Hal ini menyebabkan tangkai putik gugur sebelum tabung tepung sari dapat mencapai kantung embrio dan melepas inti sperma ke kantung induk megaspora (Krezdorn tanpa tahun). Aksesi yang self-incompatible menunjukkan derajat partenokarpi rendah, sehingga dianggap memiliki ’facultative parthenorcapy’. Dalam hal ini buah tidak berbiji hanya terbentuk ketika tidak terjadi pembuahan (Iglesias et al. 2007). Sementara itu jantan steril dapat disebabkan oleh perkembangan benang sari (stamen) yang tidak sempurna atau perkembangan tepung sari yang terganggu. Sterilitas tepung sari ditemukan pada berbagai tingkat pada banyak aksesi jeruk (Jackson dan Gmitter tanpa tahun). Pada beberapa spesies, buah tidak berbiji terbentuk sebagai hasil partenokarpi atau stenospermokarpi, yaitu pembuahan yang diikuti dengan aborsi pasca-zigotik (Gomez-Alverado et al. 2004).
Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perkembangan Biji dan Buah
Perkembangan biji dan buah merupakan proses yang saling berhubungan erat dan dipengaruhi oleh fitohormon (Gillaspy et al. 1993). Fitohormon yang terlibat antara lain auksin, sitokinin dan giberelin (GA), yang berperan pada tahap awal perkembangan buah, terutama pada fase perkembangan bakal buah dan periode pembelahan sel secara cepat (Srivastava 2002). Hal ini sejalan dengan ditemukannya peningkatan kandungan auksin, giberelin dan sitokinin pada organ-organ bunga setelah bakal buah mengalami fertilisasi, sehingga ketiga fitohormon ini efektif untuk menginduksi perkembangan buah tanpa fertilisasi (partenokarpik), seperti pada tomat dan terong (Gillaspy 1993). Walaupun demikian banyak hasil penelitian menunjukkan giberelin yang paling berpengaruh terhadap bakal buah yang sedang berkembang (Ben-Cheikh et al. 1997).
(36)
Menurut Talon et al. (1992) GA endogen pada bakal buah yang sedang berkembang berperan mengendalikan perkembangan buah partenokarpik (jeruk mandarin ’Satsuma’ dan ’Clementine’). Disamping itu konsentrasi GA pada buah partenokarpik (mandarin ’Satsuma’) lebih tinggi dibandingkan buah non-partenokarpik, seperti ’Hyuganatsu’ (Citrus unshiu) (Kojima 1997). Lebih lanjut, Altaf dan Khan (2007) menunjukkan bahwa jeruk mandarin ’Kinnow’ berbiji sedikit (0-10 biji/buah) memiliki derajat partenokarpi rendah, karena kandungan GA endogennya rendah. Pada aksesi demikian pembentukan buah tidak berbiji dapat dilakukan dengan penyemprotan GA untuk menginduksi partenokarpi.
Evaluasi Kualitas Buah
Evaluasi agronomi aksesi ditujukan untuk mempermudah pemanfaatan plasma nutfah berdasarkan sifat agronomi, antara lain berupa kualitas buah. Menurut IPGRI (1999), kualitas buah yang diamati dapat berupa kandungan minyak esensial pada kulit buah, kandungan asam tertitrasi total (ATT), gula, pH, nisbah padatan terlarut total (PTT)/ATT dan kandungan asam askorbat buah. Disamping itu evaluasi kegetiran (bitterness) merupakan hal penting pada pamelo, karena rasa getir mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap pamelo dan prospek pemanfaatannya dalam industri jus.
Hasil penelitian Mahardika dan Susanto (2003) pada pamelo ‘Sri Nyonya’, ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’ menunjukkan ‘Sri Nyonya’ memiliki kandungan PTT relatif lebih tinggi dibanding ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’. Nisbah PTT/ATT ‘Nambangan’ dan ‘Bali Merah’ lebih tinggi dibanding ‘Sri Nyonya’. Disamping itu, Ketsa (1989) menunjukkan ketebalan kulit buah pada tangerine (Citrus reticulata Blanco) tidak berpengaruh terhadap kandungan PTT dan asam askorbat, tetapi tangerine berkulit tipis memiliki ATT lebih rendah dan nisbah PTT/ATT lebih tinggi dibanding yang berkulit tebal. Hal ini membuat rasa tangerine berkulit tipis lebih enak dibanding tangerine yang berkulit tebal. Selain dipengaruhi oleh faktor genetik, kandungan PTT pada buah juga dipengaruhi oleh nisbah jumlah daun/buah. Pada tomat peningkatan rasio daun/buah akan meningkatkan kandungan PTT (Jan dan Kawabata 2011).
(37)
16
Kualitas buah juga berhubungan dengan warna jus dan rasa getir. Pamelo dengan warna jus merah memiliki kandungan fenolik total dan karotenoid lebih tinggi dibandingkan yang warna jusnya putih, sehingga merupakan sumber antioksidan yang baik dan lebih efisien dalam menangkap berbagai bentuk radikal bebas (Tsai et al. 2007). Rasa getirpada buah dan jus jeruk terutama disebabkan oleh senyawa dari kelompok flavonoid dan limonoid. Flavonoid pada buah jeruk terdiri atas flavanon (naringin), flavon (nobiletin) dan flavonol (quercetin). Naringin merupakan flavanon paling tinggi kandungannya pada jus pamelo (Pichaiyongvongdee dan Haruenkit 2009b). Pada grapefruit naringin disintesis di daun muda yang sedang tumbuh, dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lain (Moriguchi et al 2003).
Limonoid pada jeruk berada dalam bentuk aglikon limonoid dan glukosida limonoid. Dari 16 kultivar pamelo matang rata-rata mengandung 18 ppm limonin dan 29 ppm limonoid glukosida total. Dibandingkan dengan jus lain, pamelo mengandung limonin dengan konsentrasi amat tinggi dan konsentrasi limonoid glukosida amat rendah (Ohta dan Hasegawa 2006).
Konsentrasi senyawa pembuat rasa getir tertinggi umumnya ditemukan pada buah mentah. Konsentrasi senyawa penyebab rasa getir semakin menurun dengan makin masaknya buah (Hasegawa et al. 1996). Hasil penelitian Pichaiyongvongdee dan Haruenkit (2009a) menunjukkan bahwa naringin dan limonin pada pamelo tersebar pada flavedo, albedo, selaput pembungkus, jus dan biji dalam jumlah berbeda.
(38)
3. KARAKTERISASI MORFOLOGI, BIOKIMIA, MOLEKULER DAN TINGKAT PLOIDI AKSESI PAMELO BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI
(Morphological, Biochemical, Molecular Marker and Ploidy Level of Seeded and Seedless Pummelo Accessions)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter morfologi, biokimia (isoenzim), molekuler (ISSR) dan tingkat ploidi aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji asal Sumedang, Kudus, Pati dan Magetan. Karakter morfologi yang berperan dalam pengelompokan aksesi pamelo adalah tebal epikarp, pinggiran helai daun, panjang kantong jus, warna kulit buah masak, lebar sayap daun dan bentuk buah, sedangkan karakter isoenzim adalah MDH (Rf 0.11 dan 0.14) dan ACP (Rf 0.24 dan 0.33). Pita ACP Rf 0.24 dapat dijadikan penanda untuk membedakan aksesi berbiji dan tidak berbiji. Karakter molekuler yang berperan dalam pengelompokan adalah PKBT8 500 bp, PKBT8 375 bp, PKBT7 750 bp, PKBT3 750 bp, PKBT8 625 bp dan PKBT12 500 bp. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi memisahkan kelompok aksesi berbiji dan tidak berbiji pada koefisien kemiripan 0.63, dengan isoenzim pada koefisien kemiripan 0.48, sedangkan berdasarkan molekuler belum dapat memisahkan antara aksesi berbiji dan tidak berbiji. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi dan isoenzim dapat membedakan antara aksesi berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji. Hasil pemetaan komponen utama kongruen dengan dendrogram, yaitu dapat memisahkan aksesi berbiji maupun tidak berbiji, berdasarkan karakter morfologi, isoenzim maupun kombinasinya. Baik pamelo berbiji maupun tidak berbiji memiliki kromosom diploid (2n = 2x = 18).
ABSTRACT
The objective of this work was to evaluate morphological, biochemical (isozyme) and molecular (ISSR) characters, and ploidy level of seeded and seedless pummelo accessions originated from Sumedang, Pati, Kudus and Magetan. Morphological characters contributed in grouping pummelo accessions were epicarp thickness, leaf lamina margin, vesicle length, epicarp color, petiole wing width and fruit shape, while isozyme characters were MDH (Rf 0.11 and 0.14) and ACP (Rf 0.24 and 0.33). ACP band at Rf 0.24 could be used as marker to differentiate seeded and seedless pummelo accessions. Molecular characters supported in classification of pummelo accessions were PKBT8 500 bp, PKBT8 375 bp, PKBT7 750 bp, PKBT3 750 bp, PKBT8 625 bp and PKBT12 500 bp. Separation between seeded and seedless accessions based on morphological characters occured at similarity coefficient of 0.63, while on isoenzyme characters occured at similarity coefficient of 0.49. Dendrogram based on combined morphological and isoenzyme data was able to differentiate seed bearing and seedless pummelo accessions. Principal component analysis results was congruent with that of morphological, isozyme, and combination of them. Both of seeded and seedless pummelo accessions have diploid chromosomes (2n = 2x = 18).
(39)
18
PENDAHULUAN
Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) merupakan spesies jeruk berukuran paling besar, dan populer di Cina bagian Selatan, Thailand dan negara-negara Asia Tenggara (Christmann 2008), termasuk Indonesia (Morton 1987). Hal inilah yang membuat aksesi pamelo dibedakan atas kelompok Thailand, Cina dan Indonesia (Davies dan Albrigo 1994). Selain ukuran buahnya yang khas, aksesi pamelo juga memiliki jumlah biji beragam, mulai dari tidak berbiji hingga berbiji banyak (Ladaniya 2008). Buah tidak berbiji lebih banyak diminati oleh konsumen, karena biji menyebabkan rasa pahit dan merepotkan saat mengkonsumsi buah (Altaf dan Khan 2007), sehingga pengembangan jeruk diarahkan pada aksesi tidak berbiji.
Upaya pengembangan aksesi tidak berbiji melalui program pemuliaan dan pemanfaatan plasma nutfah, memerlukan informasi keanekaragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar kultivar pamelo. Informasi ini dapat diperoleh melalui karakterisasi menggunakan berbagai metode analisis. Kombinasi informasi dari tipe analisis berbeda diharapkan dapat meminimalkan risiko kesalahan dalam menginterpretasikan data (Petrokas dan Stanys 2008).
Identifikasi tanaman secara morfologi dilakukan karena adanya kemudahan dalam mengamati perbedaan-perbedaan antara tanaman secara visual. Selain itu kebanyakan karakter hotikultura penting dikendalikan oleh banyak gen (Campos et al. 2005), dan memiliki derajat heritabilitas rendah, sehingga sebagian karakter hortikultura tidak dapat dievaluasi melalui penanda molekuler (Dorji dan Yapwattanaphun 2011). Hal ini membuat karakterisasi morfologi tetap diperlukan.
Karakter morfologi merupakan ekspresi fenotipe dari individu dan populasi, diregulasi dan ditentukan oleh gen dan interaksinya dengan lingkungan. Beberapa peneliti telah menggunakan karakterisasi morfologi pada jeruk, antara lain untuk meningkatkan jumlah genotipe yang potensial dalam program pemuliaan atau untuk dilepas sebagai kultivar baru jeruk keprok (Citrus spp.) (Koehler-Santos et al. 2003; Campos et al. 2005), untuk melihat kekerabatan
(40)
genetik spesies jeruk (Hardiyanto et al. 2007), dan untuk mendapatkan kultivar unggul pamelo (Ara et al. 2008).
Di lain pihak penggunaan karakter morfologi relatif sulit membedakan sifat antar aksesi jeruk, karena beberapa aksesi hanya dapat dibedakan melalui sifat buahnya (Quang et al. 2011). Sementara panen raya pamelo hanya terjadi sekali dalam setahun dan masa vegetatif jeruk relatif panjang. Oleh karena itu data karakter morfologi, perlu didukung dengan analisis lain, diantaranya isoenzim, molekuler dan set kromosom.
Isoenzim merupakan enzim yang terdiri atas molekul-molekul yang mempunyai struktur kimia yang berbeda akan tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Sebagai protein, isoenzim secara langsung dapat menunjukkan perubahan dalam sekuen DNA melalui perbedaan komposisi asam amino. Seringkali perbedaan komposisi asam amino akan mengubah muatan enzim, yang akan menyebabkan perubahan dalam mobilitas elektroforesis (Weeden dan Wendel 1989). Hal ini merupakan indikator yang baik untuk keragaman genetik, sehingga isoenzim dapat digunakan untuk mengidentifikasi aksesi pada berbagai tanaman, seperti pamelo (Phan et al. 2006), Citrus junos dan kerabat jeruk asam (Rahman et al. 2001), nenas (Hadiati dan Sukmadjaja 2002), dan padi (Abdullah, 2001). Analisis isoenzim juga digunakan untuk membedakan bibit jeruk triploid dan diploid (King et al. 1996) dan batang bawah jeruk nuselar dan zigotik (Stykes 2011). Di lain pihak belum diketahui kemampuan isoenzim dalam membedakan antara aksesi berbiji dan tidak berbiji pada pamelo.
Teknologi penanda molekuler berperan penting dalam membedakan keragaman genetik, mengidentifikasi hubungan kekerabatan dan memetakan sidik jari plasma nutfah. Salah satu metode analisis molekuler yang telah digunakan secara luas adalah Inter-Simple Sequence Repeat (ISSR). Menurut Kumar et al. (2009) marka ISSR dapat membedakan individu aksesi dalam setiap spesies jeruk (C. indica, C. medica, C. latipes dan C. sp. ‘Memang athur’) dengan polimorfisme sedang (38-56 persen). ISSR mampu mendeteksi keragaman genetik yang lebih besar pada Vigna umbellata dibandingkan RAPD (Muthusamy et al. 2008), dan ISSR juga lebih berguna untuk identifikasi plasma nutfah jeruk dibandingkan RAPD (Biswas et al. 2010).
(41)
20
Analisis set kromosom diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya aksesi tidak berbiji yang triploid, karena jumlah kromosom pada jeruk mempengaruhi pembentukan dan perkembangan biji. Tanaman jeruk triploid (3n) biasanya menghasilkan buah tidak berbiji (Toolapong et al. 1995). Kondisi triploid ini menyebabkan meiosis yang abnormal dan aborsi embrio (Zhu et al. 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter morfologi, isoenzim, molekuler dan tingkat ploidi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji dan mendapatkan informasi keanekaragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar aksesi pamelo.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat
Karakterisasi morfologi dilakukan pada bulan April 2009 sampai April 2010 di sentra produksi pamelo Sumedang, Gunung Muria (Kudus dan Pati) dan Magetan. Analisis isoenzim dikerjakan pada bulan Maret 2011 di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Analisis molekuler dengan ISSR dilakukan pada bulan Maret-Juni 2011 di Laboratorium Pusat Kajian Buah Tropika IPB. Konfirmasi tingkat ploidi dengan analisis jumlah kromosom dilakukan di Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB pada bulan September 2010 sampai Pebruari 2011, dan analisis flow cytometry dilakukan di Laboratorium Genetika Tumbuhan, LIPI Biologi, Cibinong pada bulan Pebruari 2012.
Karakterisasi Morfologi pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan ialah bagian-bagian vegetatif dan reproduktif tanaman 14 aksesi tanaman pamelo asal Sumedang: Cikoneng ST, Magetan: Jawa 1, Jawa 2, Jawa 3, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku, Bali Putih, Nambangan, Bali Merah 1, Bali Merah 2, Kudus: Muria Merah 1, Muria Merah 2 dan Pati: Bageng Taji yang tumbuh di kebun petani. Alat yang digunakan ialah pH meter tanah, thermo-higrometer, jangka sorong dan altimeter.
(42)
Metode
Identifikasi pamelo secara morfologi dilakukan berdasarkan descriptor list IPGRI (1999) yang telah dimodifikasi (Lampiran 1). Tanaman pamelo yang diamati telah dewasa (telah berbuah), berumur lebih dari 6 tahun, dengan asumsi cir-ciri morfologi dan fisiologi tanaman telah stabil (secara visual sifat genetik telah tampak dan stabil) dan pertumbuhan tanaman tampak normal, tidak ada indikasi atau gejala kekurangan hara. Metode pemilihan contoh dilakukan secara terarah, yaitu dari setiap lokasi yang dipilih dalam satu daerah diamati sebanyak tiga pohon contoh yang dapat mewakili populasi tanaman.
Pengamatan karakter kuantitatif dan kualitatif dievaluasi dari 10 daun, 10 bunga dan 10 buah dari setiap tanaman. Dalam penelitian ini aksesi pamelo dikelompokkan tidak berbiji, bila jumlah biji per buah kurang dari 10, dimasukkan kelompok potensial tidak berbiji, jika dalam satu aksesi terdapat buah berbiji dan tidak berbiji, dan kelompok buah berbiji jika jumlah biji per buah ≥10.
Karakterisasi Biokimia dengan Isoenzim pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan untuk analisis ialah daun muda pamelo aksesi berbiji (Cikoneng ST, Jawa 2, Jawa 3, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku, Bali Putih dan Muria Merah 2), tidak berbiji (Muria Merah 1, Bali Merah 2, Bageng Taji, Jawa 1) dan potensial tidak berbiji (Nambangan dan Bali Merah 1), yang diperoleh dari hasil eksplorasi di tiga sentra produksi pamelodi Sumedang, Gunung Muria (Pati dan Kudus) dan Magetan.
Metode
Teknik analisis isoenzim esterase (EST), malat dehidrogenase (MDH), peroksidase (PER), dan asam fosfatase (ACP) mengikuti metode Horry (1989), sedangkan aspartat amino transferase (AAT) atau glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) menggunakan metode Wendel dan Weeden (1989).
(43)
22
Pengambilan contoh daun dan penyiapan gel
Contoh daun yang diambil dari lapangan disimpan dalam kertas koran yang sudah dibasahi dengan air, kemudian disusun dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Di laboratorium, contoh daun bersama kertas koran dan plastiknya dipindahkan ke dalam refrigerator.
Gel dibuat dari 10% pati kentang dengan 225 ml larutan penyangga gel (Lampiran 2). Sebanyak 150 ml larutan penyangga dituangkan ke dalam erlenmeyer, dimasukkan ke dalam oven Ultra X sampai mendidih. Sisa larutan penyangga lain dicampur dengan pati kentang dalam erlenmeyer lain sambil digoyang-goyang agar tercampur merata. Larutan penyangga yang telah mendidih dikeluarkan dari oven dan dituangkan pada campuran larutan penyangga dan pati. Campuran ini dimasukkan kembali ke dalam oven. Setelah mendidih, pati gel dikeluarkan dan divakum untuk menghilangkan gelembung udara, dan segera dituang dalam cetakan gel. Setelah dingin gel ditutup dengan plastik untuk menghindari penguapan. Gel disimpan dalam suhu kamar selama satu malam sebelum digunakan.
Ekstraksi Enzim dan Elektroforesis
Isoenzim diisolasi dari daun muda pamelo. Sebanyak 100 mg contoh ditambah 0.5 ml larutan pengekstrak (Lampiran 3) dan sedikit kuarsa digerus dalam mortar sampai halus.
Larutan enzim diserap dengan kertas saring ukuran 4 mm x 5 mm. Gel dipotong dan diberi pewarna tanda biru bromofenol 0.2 % (b/v) untuk memudahkan pengamatan. Kertas saring yang sudah mengandung enzim disisipkan dalam potongan gel (dengan jarak 3-4 mm antar contoh).
Gel ditutup dengan plastic wrap, dan dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang telah berisi penyangga elektroda (Lampiran 4). Elektroforesis dilakukan pada suhu 4oC selama kurang lebih 4 jam dengan kuat arus stabil (0.25-0.26 mA). Pada awal elektroforesis voltase yang digunakan sebesar 50 V selama 30 menit, kemudian 100 V selama 1 jam, selanjutnya dibuat konstan 150 V.
(44)
Pewarnaan
Setelah selesai elektroforesis, gel bagian anoda dan katoda dipisahkan, dan kertas saring yang melekat pada potongan gel dikeluarkan. Gel dipotong horisontal menjadi dua bagian menggunakan kawat halus masing-masing setebal 1-2 mm. Gel diletakkan dalam nampan, lalu diberi pewarna tiap enzim. Komposisi larutan pewarna yang digunakan mengikuti metode Wendel dan Weeden (1989). Selesai proses pewarnaan, gel dicuci dengan air bersih, kemudian lembaran gelnya difoto, dan pola pitanya digambar.
Esterase (EST). Sebanyak 120 mg α-naftil asetat dan 120 mg β-naftil asetat dilarutkan dalam 6 ml aseton. Sebanyak 200 mg fast blue RR salt dilarutkan dalam 200 ml 0.1 M penyangga fosfat pH 7.0 (Lampiran 5). Kedua larutan dicampurkan dan diaduk dengan stirrer, kemudian disiramkan dalam nampan yang sudah berisi gel. Gel diinkubasi pada suhu ruangan selama 30 menit dalam ruang gelap.
Peroksidase (PER). Sebanyak 100 mg 3-amino-9-etil karbozole dilarutkan dalam 5 ml aseton. CaCl2.2H2O sebanyak 100 mg dilarutkan dalam 200 ml 0.05 M natrium asetat pH 5.0. Kedua larutan dicampurkan dan ditambah 1 ml H2O2 3%, kemudian dituang ke dalam nampan berisi gel. Gel diinkubasi dalam suhu ruangan pada kondisi gelap selama semalam.
Malat Dehidrogenase (MDH). Sebanyak 0.015 g DL-malic acid, 0.001 g
β-NAD, 50 ml tris HCl pH 8.5, 0.001 g NBT dan 0.002 g PMS, dilarutkan dan dituangkan pada nampan berisi gel.
Asam Fosfatase (ACP). Sebanyak 50 mg Na- α-asam naftil fosfat, 50 mg MgCl2 dan 50 mg Fast Garnet GBG salt dilarutkan dalam 50 ml 50 mM buffer Na-setat pH 5.0, dan dituangkan pada gel.
Aspartat Amino Transferase (AAT). Sebanyak 200 mg Fast Blue BB salt dilarutkan dalam 20 ml larutan AAT (Lampiran 6). Gel diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit di dalam ruang gelap.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah dan posisi pita-pita yang terbentuk pada gel. Pola pita isoenzim yang terbentuk digambar zimogramnya berdasarkan pengukuran mobilitas pita (Rf) dan hanya pita yang stabil dan konsisten yang dipilih. Nilai Rf dihitung dengan cara membandingkan jarak pita yang terbentuk
(45)
24
dari setiap sumur dengan jarak migrasi terjauh. Sistem enzim yang memperlihatkan keragaman dipakai untuk mengukur kemiripan genetika antar aksesi.
Karakterisasi Molekuler dengan ISSR pada Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah DNA dari aksesi pamelo berbiji (Cikoneng ST, Jawa 2, Jawa 3, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku, Bali Putih dan Muria Merah 2), tidak berbiji (Muria Merah 1, Bali Merah 2, Bageng Taji, Jawa 1) dan potensial tidak berbiji (Nambangan dan Bali Merah 1). Bahan lainnya adalah pasir kuarsa, merkaptoetanol, PVP (polyvinyl polypyrrilidone), CTAB (Hexadecyl trimethyl-ammonium bromide) (Lampiran 7), akuades steril, CIAA (Chloroform : Iso Amyl Alcohol (24:1)) (Lampiran 8), alkohol absolut 70%, isopropanol, etanol 70% (Lampiran 9), agarose, air bebas ion, parafilm, buffer TAE 1x (Lampiran 10), loading dye (Lampiran 11), kit PCR (Go Taq Greenmaster mix Promega), primer ISSR, 1 kb lader, tris HCl (Lampiran 12), NaCl (Lampiran 13), etidium bromida (Et Br), dan white tip 0.5-10µl.
Alat yang diperlukan berupa microtube ukuran 1.5 ml dan 0.2 ml, mortar, mikropipet, vorteks, centrifuge, waterbath, mesin PCR (Applied Biosystem 2720 thermal cycler), perangkat elektroforesis, UV transluminator dan kamera digital.
Metode Isolasi DNA
Genom DNA diekstraksi dari daun muda menggunakan metode CTAB (Doyledan Doyle 1990). Sebanyak 1 g contoh ditambah 300 µl buffer ekstraksi (Lampiran 14), sedikit PVP dan kuarsa digerus dalam mortar hingga halus, dmasukkkan ke dalam tabung 1.5 ml. Larutan ini diinkubasi dalam waterbath pada suhu 65oC selama 20 menit, sambil dikocok tiap 10 menit. Setelah inkubasi, ditambahkan larutan kloroform:isoamil alkohol atau CIAA (24:1) sebanyak 600 µl, divorteks selama 1 menit agar homogen, dan disentrifuse 11 000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan DNA dari bahan lainnya.
(1)
Tepi daun : rata
Jumlah helai daun : rata-rata 13 tangkai Bentuk ujung helai daun : bulat
Pewarnaan anthosianin pada
daun muda : hijau
Intensitas anthosianin pada
daun muda : -
Lekukan daun : ada Gelombang pada tepi daun : tidak ada Warna bunga : putih Jumlah bunga per tandan : 10
Kebiasaan (tipe) berbunga : sepanjang musim Panjang stamen (cm) : 1
Bentuk bunga : seperti terompet Warna bunga : putih
Pewarnaan anthosianin pada
tunas bunga : kekuning-kuningan Jumlah bunga per tandan : ± 10 buah
Panjang buah (cm) : 10-20 Diameter buah (cm) : 10-20 Rasio panjang/diameter buah : 1/1
Bentuk buah : bulat panjang Warna kulit buah masak : hijau kekuningan Warna daging buah : krem kemerah-merahan Kekerasan permukaan buah : empuk
Tingkat kemengkilatan kulit
buah : sedang
Kulit buah : sedang
Warna daging buah matang : krem kemerah-merahan Tekstur daging buah : halus tidak berserat Diameter buah : 10-20 cm
Berat buah utuh : 1-2 kg
Rasa buah : manis segar, kandungan air sedikit Produksi : 50-200 buah/pohon/tahun
Panjang biji (cm) : 1 Lebar biji (cm) : 0.5
Warna luar biji : kuning muda Permukaan biji : kasar
2. Bali Merah (Keputusan Menteri Pertanian No.94/Kpts/TP.240/3/2000)
Asal tanaman : Dusun Intaran, Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kodya Denpasar Tinggi tanaman : 5.15-5.50 m
Lingkar Batang : 56.5-60.4 cm Panjang daun : 12.54 cm
(2)
Panjang tangkai daun : 0.80 cm Bentuk daun : oval Panjang sayap daup : 2.96 cm Lebar sayap daun : 2.14 cm Jumlah tulang daun : 10-14 Warna daun bagian atas : hijau Warna daun bagian bawah : hijau muda Ukuran buah : 17 x 15.1 cm Bentuk buah : bulat gepeng Permukaan buah : halus
Puncak buah : tumpul Dasar buah : rata/datar Pusar buah : tidak ada Warna kulit buah : hijau Panjang tangkai buah : 1.87 cm Diameter buah : 6.79 cm Tebal kulit buah : 2.58 cm Tekstur daging buah : halus
Rata-rata septa/buah : 9-13 buah
Rasa buah : manis dan asam berimbang, segar Rata-rata bobot buah : 1.39 kg
Produksi buah/pohon/tahun : 2.08 kuintal Jumlah bunga/tandan : 5-11 buah Warna mahkota bunga : krem Diameter bunga mekar : 4.41 cm Panjang tangkai bunga : 1.73 mm Jumlah mahkota bunga : 5 helai
Warna benang sari : kuning keemasan
Peneliti/Pengusul : Djaja Kusuma, Putu Oka Dharmawan, Darmawan Manurung, Ni Made Ewi Rini, I Ketut Parwata, Wayan Sakarma, I Nengah Suwela, I Made Mastra Sunantra, I Wayan Dadi, I Wayan Sunarta, I GAB Susrama, Wayan Susun, Akhmad Riyadi Wastra
3. Nambangan (Keputusan Menteri Pertanian No.496/Kpts/TP.240/10/2000)
Asal : Desa Tamanan, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan, Jawa Timur Batang bawah : tidak ada
Tinggi tanaman : ± 6 m
Bentuk tajuk : relatif bulat, buah menyebar merata di seluruh tajuk
Diameter batang atas : 44.5 – 56.8 cm Umur tanaman : 48 tahun
Bentuk tanaman : ellipsoid-oblata, lebar tajuk ± 4.75 cm Bentuk percabangan : ke atas percabangan cukup rapat
(3)
Tipe daun : tunggal
Bentuk daun : oval, dengan keadaan daun sepanjang tahun evergreen
Bentuk sayap petiola : deltoid-cordiform (delta-lebar membulat) Ukuran daun (P x L) : (13.8-16.6 cm) x (6.3-7.3 cm)
Anak daun (P x L) : (2.1-3.5 cm) x (1.3-2.9 cm) Panjang tangkai daun : 0.5-0.7 cm
Permukaan daun : bagian atas hijau tua, bagian bawah hijau muda, tepi daun rata (entire)
Tipe bunga : majemuk, dengan posisi axillary (ketiak daun) Jumlah bunga : 6-7
Panjang tangkai bunga : 1.2-1.6 cm Aroma bunga : harum
Warna mahkota bunga : putih berbintik hijau Warna kelopak bunga : hijau muda berbintik putih Panjang benang sari : 1.2 cm, dengan jumlah 26 Bentuk buah : oblata (bulat agak pipih)
Warna kulit buah : kuning kehijauan dengan permukaan kulit halus tidak berbulu
Tebal kulit buah : 1.7-2.0 cm (diukur pada bagian tengah) Bobot buah : 1.2-2.0 kg
Ukuran buah (T x D) : (15.3-17.1 cm) x (20.1-20.8 cm) Panjang tangkai buah : 1.2-1.4 cm
Bentuk ujung buah : melekuk ke dalam Jumlah juring : 13-14
Warna daging buah : merah muda-merah Tekstur daging buah : agak lunak
Persentase bagian buah
yang dapat dimakan : 58.2-60.4% Kadar padatan total terlarut : 10.70%
Kadar asam : 0.55%
Nisbah kadar PTT/asam : 19.45
Aroma dan cita rasa : aroma kuat, cita rasa manis-asam Jumlah biji per buah : 42-51
Bentuk biji : semi speroid
Ukuran biji P x L x Tebal : (1.55-1.97 cm) x (0.85-1.17 cm) x (1.54-0.74 cm)
Potensi hasil : 200-500 buah/tahun
Peneliti/pengusul : Arry Supriyanto, Martinus Sugiyarto, Hardiyanto, Susihati, Bambang Heryanto, Suhardi.
4. Sri Nyonya (Keputusan Menteri Pertanian No.217/Kpts/TP.240/4/2001)
Asal : Desa Tambak Mas, Kecamatan
Sukomoro, Kabupaten Magetan, Jawa Timur Tinggi tanaman : ± 6.0-6.5 m
(4)
Diameter batang atas : ± 25.5 cm Umur tanaman : 19 tahun Bentuk tanaman : elipsoid
Bentuk percabangan : ke atas, percabangan jarang
Tipe daun : tunggal dengan bentuk oval, warna hijau Bentuk sayap petiola : deltoid
Ukuran daun (P x L) : (11.9-12.5 cm) x (7.2-8.0 cm) Anak daun (P x L) : (2.7- 4.1 cm) x (1.9-3,4 cm) Panjang tangkai daun : 0.8-1.0 cm
Tipe bunga : majemuk, dengan posisi axilaris (pada ketiak daun)
Jumlah bunga per tunas : 6-7 dengan aroma harum
Panjang tangkai bunga : 1.9-2.5 cm
Warna mahkota bunga : putih berbintik hijau, dengan ukuran 2.3 x1.2 cm Warna kelopak bunga : hijau muda berbintik putih
Jumlah benang sari : 28, dengan panjang 1.4 cm Bentuk buah : oblata (bulat agak pipih)
Warna kulit buah : hijau muda kekuningan, dengan permukaan kulit halus berbulu tipis
5. Magetan (Keputusan Menteri Pertanian No.218/Kpts/TP.240/4/2001)
Asal : Desa Tambak Mas, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan Jawa Timur;
Perkiraan umur pohon induk
Tunggal : 17 tahun
Bentuk tanaman : elipsoid-oblata; Diameter batang : 38,2 cm;
Bentuk percabangan : keatas, percabangan cukup banyak Tinggi tanaman : 6.5 – 7.0 m
Bentuk tajuk tanaman : relatif bulat, dengan buah berada di bagian dalam tajuk
Lebar tajuk : 7 - 8 m
Tipe daun : tunggal dengan bentuk oval;
Ukuran daun : panjang 11.3 – 13.8 cm x lebar 6.3 – 8.0 cm Tepi daun : rata (entire)
Panjang tangkai daun (cm) : 0.3 – 0.4 cm
Jumlah bunga per tandan : 6 - 9 dengan aroma harum
Warna mahkota bunga : putih berbintik hijau, dengan ukuran 2.3 x 1.2 cm; Tipe bunga : majemuk, dengan posisi axilaris/pada ketiak daun Warna kelopak bunga : hijau muda berbintik putih;
Jumlah benangsari : 26, dengan panjang 1,2 cm; Jumlah juring per buah : 13
Jumlah biji per buah : tidak berbiji
Bentuk buah : piriform (pangkal kecil membesar pada bagian ujung buah)
Warna kulit buah masak : hijau kekuningan
(5)
Ujung buah : melekuk kedalam Permukaan kulit buah : kulit halus berbulu
Ukuran buah : tinggi 14.9 – 15.2 cm; diameter 15.6 – 16.0 cm Ketebalan kulit buah : 1.6 – 1.8 cm (diukur pada bagian tengah) Tekstur daging buah : agak lunak
Rasa daging buah : manis sedikit masam
Kadar asam : 29.19
Berat per buah : 1.2 – 1.3 kg Panjang tangkai buah : 1.1 – 1.3 cm Persentase buah yang dapat
dikonsumsi : 57.9 – 59.3
Hasil buah / pohon / tahun : 150 - 400 buah/tahun Aroma buah : lemah
Peneliti/Pengusul : Martinus Sugiyarto, Arry Supriyanto, Sutopo, Muhamad Taufik, Suparno, Anang Triwiratno,
Suhardi
6. Bageng Taji (Nomor Sertifikat : 01/PVL/2008, tanggal 04 Januari 2008)
Tinggi tanaman : 7 m Bentuk tajuk : rimbun
Lebar tajuk : 5.7 m
Percabangan : melebar
Bentuk penampang batang : bulat Warna batang : kecoklatan Lingkar batang : 60 cm Permukaan batang : halus
Bentuk daun : oval
Ukuran daun : P= 10 – 12.5 cm, L= 6.5 – 7.2 cm Warna daun : hijau tua
Tepi daun : begerigi
Ujung daun : tumpul
Permukaan daun : halus
Panjang tangkai daun : 0.4 - 0.5 cm, Panjang anak daun : 3.5– 4 cm; Warna kelopak : putih Warna mahkota : putih
Warna kepala putik : hijau kekuningan Warna benang sari : kuning
Jumlah bunga per tandan : 6 – 10
Bentuk buah : bulat
Ukuran buah : P = 20 – 27 cm, L = 15 – 20 cm Warna kulit buah muda : hijau
Warna kulit buah masak : hijau kekuningan Ketebalan kulit buah : 1 – 2 cm
Warna daging buah : merah Tekstur daging buah : halus
(6)
Rasa daging buah : manis Jumlah juring per buah : 13 – 15 Berat per buah : 1.65 – 2.52 kg Panjang tangkai buah : 2 – 3 cm Jumlah buah per tandan : 1 – 3 Jumlah biji per buah : tanpa biji Kandungan vitamin C : 0.09% Kadar gula (gula reduksi) : 17.03%
Kadar asam : 4.3%
Peneliti/Pengusul : Ir. Pujo Winarno, MM., Ir. Farikha Budiastuti, Ir. Purwanto (Distanak Kab.Pati), Ir. Sunardi, Ir. Siti
Khawariyah, Arsidono, BSc., Tino Vihara, SP.MP.,Sriyono, SP.MP., Sujianto, SP. (BPSB Jawa Tengah).