Tanpa PenyerbukanEmaskulasi E. Kuncup bunga aksesi yang Penyerbukan sendiri secara alami Psd-A. Kuncup bunga aksesi yang Penyerbukan terbuka PT. Pada perlakuan ini bunga aksesi yang diuji Penyerbukan silang buatan Psg-B. Kuncup bunga bunga aksesi yang

setelah penyerbukan MSP. Untuk keperluan penyerbukan buatan, tepung sari segar didapat dari kuncup bunga yang dipetik sebelum mekar. Mahkotanya dibuang dan tepung sarinya dikeringkan pada suhu ruang. Perlakuan penyerbukan dilakukan dengan lima cara, yaitu:

1. Tanpa PenyerbukanEmaskulasi E. Kuncup bunga aksesi yang

dicobakan diemaskulasi dengan membuang kepala sari menggunakan pinset, kemudian bunga dibungkus dengan kantong kertas. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan tanaman membentuk buah partenokarpik pembentukan buah tanpa proses fertilisasi dan agamospermi pembentukan biji tanpa proses fertilisasi.

2. Penyerbukan sendiri secara alami Psd-A. Kuncup bunga aksesi yang

dicobakan dibungkus dengan kantong kertas. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan bunga untuk melakukan penyerbukan tanpa vektor biotik kleistogami. 3. Penyerbukan sendiri secara buatan PSd-B. Kuncup bunga diemaskulasi dan diserbuki secara buatan dengan serbuk sari dari bunga lain pada tanaman yang sama. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan potensi geitonogami penyerbukan dengan tepung sari dari bunga berbeda pada tanaman yang sama dan self-compatibility.

4. Penyerbukan terbuka PT. Pada perlakuan ini bunga aksesi yang diuji

tidak dibungkus, dan penyerbukan dilakukan secara terbuka open pollination . Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui fertilitas ovul, berdasarkan kemampuan tanaman membentuk biji pada penyerbukan terbuka.

5. Penyerbukan silang buatan Psg-B. Kuncup bunga bunga aksesi yang diuji

diemaskulasi dan diserbuki secara buatan dengan serbuk sari dari bunga kultivar lain. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui potensi alogami penyerbukan dengan tepung sari dari aksesi berbeda dan cross- compatibility . Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang terbentuk pada umur 4 dan 12 MSP, jumlah biji berkembang sempurna, jumlah biji tidak berkembang sempurna dan jumlah biji yang hampa pada saat 12 MSP. HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas Tepung Sari Aksesi Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji Hasil pengujian viabilitas tepung sari dengan pewarnaan maupun perkecambahan menunjukkan seluruh aksesi pamelo yang diamati memiliki tepung sari yang fertil. Pewarnaan dengan TTC menyebabkan perubahan warna menjadi merah pada tepung sari yang viable, sementara tepung sari yang tidak viable tetap berwarna kuning Gambar 24. Perubahan warna ini disebabkan akumulasi formazan Mustakallio dan Ahos 1955. Formazan terbentuk sebagai hasil reaksi antara tetrazolium dengan enzim dehidrogenase yang terdapat dalam sel hidup yang aktif berespirasi. Berdasarkan teknik pewarnaan, viabilitas tepung sari tidak dipengaruhi oleh aksesi, tetapi dipengaruhi oleh kelompok aksesi berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji. Dari hasil uji lanjut diketahui, viabilitas tepung sari kelompok aksesi berbiji dan potensial tidak berbiji nyata lebih besar dibandingkan kelompok aksesi tidak berbiji Tabel 20. Hal yang sama disampaikan Kahn dan Chao 2004, yaitu varietas yang mempunyai sedikit atau tidak memiliki tepung sari fungsional akan menghasilkan buah berbiji sedikit atau tidak berbiji. Sementara pada uji perkecambahan, viabilitas tepung sari tidak dipengaruhi oleh aksesi maupun kelompok aksesi. Tabel 20 Hasil uji viabilitas tepung sari pada kultivar berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji Kelompok aksesi Persentase tepung sari viable Pewarnaan Perkecambahan Berbiji 46.70 b 41.58 Potensial Tidak Berbiji 43.02 b 43.42 Tidak Berbiji 38.82 a 39.32 Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf 0.05. a b Gambar 24 a Perbedaan warna tepung sari yang viable merah dan nonviable kuning pada ’Bali Merah 1’, dan b tepung sari yang berkecambah pada ’Nambangan’. Evaluasi Kemampuan Pembentukan Buah Pamelo Tidak Berbiji Melalui Uji Penyerbukan Percobaan penyerbukan tidak dapat dilakukan dalam satu musim, karena pada tahun 2010 tidak terjadi musim bunga raya, akibat curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Untuk mengantisipasi musim yang tidak menentu, percobaan dilakukan bertahap dalam kondisi kurang optimum, karena jumlah bunga yang terbatas. Tahap 1 pada ’Bageng Taji’ dilakukan pada periode Oktober 2010- Maret 2011, tahap 2 pada Maret 2011-September 2011, dan tahap 3 pada September 2011-Maret 2012. Tahap 1 pada ’Jawa 3’ dan ’Bali Merah 1’ dan ’Nambangan’ dilakukan pada Pebruari 2011-Mei 2011, tahap 2 pada Mei 2011- Nopember 2011. Percobaan dalam musim bunga raya tahap 3 di Magetan dilakukan pada Nopember 2011-Maret 2012 menggunakan delapan aksesi Sri Nyonya, Jawa 1, Magetan, Bali Merah 1, Bali Merah 2, Nambangan dan Jawa 3, tetapi hasil penyerbukan yang lengkap hanya diperoleh dari empat aksesi Jawa 3, Nambangan, Bali Merah 1 dan Bali Merah 2. Perlakuan emaskulasi pada ’Bageng Taji’, ’Bali Merah 1’, ’Bali Merah 2’, dan ’Jawa 3’ menunjukkan keempat aksesi mampu membentuk buah partenokarpik tanpa proses pembuahan. Buah yang terbentuk seluruhnya tidak berbiji Tabel 21, Gambar 25. Dengan demikian partenokarpi pada pamelo bersifat fakultatif, karena hanya terjadi bila tidak ada penyerbukan Iglesias et al. 2007. Namun menurut Yamamoto dan Tominaga 2002 pembentukan buah tidak berbiji pada jeruk selain disebabkan oleh sifat partenokarpik, juga dapat merupakan kombinasi dari partenokarpi dengan self-incompatibility, aborsi embrio, jantan atau betina steril. Penyerbukan sendiri secara alami PSd-A pada ’Bageng Taji’, ’Bali Merah 1’, ’Bali Merah 2’ dan ’Nambangan’ menghasilkan buah tidak berbiji, sedangkan pada ’Jawa 3’ hanya 33.3 yang tidak berbiji Tabel 21, Gambar 26. Diduga hal ini berkaitan dengan viabilitas tepung sari aksesi berbiji Jawa 3 yang lebih tinggi dibandingkan aksesi tidak berbiji, sehingga mampu membentuk biji dengan persarian sendiri secara alami. Disamping itu keberhasilan penyerbukan sendiri secara alami juga berhubungan dengan perbedaan kedudukan benang sari terhadap putik. Aksesi dengan posisi benang sari lebih tinggi atau setara dengan kepala putik memiliki peluang lebih besar untuk menyerbuk sendiri, karena kepala putik sudah reseptif sebelum bunga mekar Ashari 2004. Dalam hal ini ‘Bageng Taji’ memiliki benang sari yang lebih rendah dibandingkan kepala putik, sedangkan ‘Nambangan’, ‘Bali Merah 2’ dan ‘Jawa 3’ setara dan ‘Bali Merah 1’ lebih panjang. Dengan demikian peluang penyerbukan sendiri secara alami pada ‘Bageng Taji’ relatif lebih kecil dibandingkan keempat aksesi lainnya. Perbedaan hasil penyerbukan sendiri secara alami kemungkinan juga disebabkan perbedaan reseptivitas putik terhadap tepung sari atau periode penyerbukan efektif PPE. Pio et al. 2004 melaporkan bahwa reseptivitas orange pada stadia balon sekitar 80-100, dan pada bunga mekar sebesar 100, sedangkan kuncup yang masih kecil belum reseptif. Reseptivitas putik pamelo ‘Hom Hat Yai’ terhadap tepung sari pamelo ‘Klan’ juga mencapai puncak pada saat antesisbunga mekar Kaewtubtim dan Wunnachit 1995. Berdasarkan kemampuannya membentuk biji dengan menggunakan tepung sari mandarin ‘Fortune’, diketahui PPE pada C. clementina dan C. sinensis adalah 8-9 hari, sedangkan pada C. Unshiu selama 2-3 hari, sehingga C. clementina dan C. sinensis lebih mampu menghasilkan biji dibandingkan C. Unshiu Mesejo et al. 2007. Pada aksesi pamelo di Indonesia belum diketahui PPEnya, tetapi pengamatan di lapang menunjukkan semua kepala putik sudah reseptif pada stadia balon, yang ditandai dengan permukaannya yang lengket, karena eksudat yang dikeluarkan oleh kepala putik. Kemampuan ‘Jawa 3’ membentuk buah berbiji pada penyerbukan sendiri secara alami diduga karena PPEnya yang relatif panjang. Tabel 21 Hasil penyerbukan pada berbagai aksesi pamelo Rata-rata jumlah biji per buah Aksesi Kultivar Perlakuan Jumlah buah yang diamati Sempur- na Kempes Tidak berkem- bang Persentase buah tidak berbiji Berbiji Jawa 3 E 1 0.0 0.0 0.0 100.0 PSd-A 12 28.8 3.3 7.8 33.3 PSd-B 4 18.7 0.7 3.3 33.3 PT 4 51.7 1.3 5.7 0.0 Potensial Tidak berbiji Bali Merah1 E 1 0.0 0.0 42.0 100.0 PSd-A 14 0.0 0.0 29.6 100.0 PSd-B 10 52.3 15.9 20.8 10.0 PT 8 62.0 4.8 22.9 0.0 PSg-B Bali Merah 1 x Jawa 3 4 63.5 2.0 24.5 0.0 Nam- bangan PSd-A 3 0.0 0.0 17.7 100.0 PSd-B 1 2.0 0.0 0.0 100.0 PT 13 19.6 0.6 1.3 22.2 PSg-B Nambangan x Magetan 8 37.0 0.0 16.0 0.0 Tidak Berbiji Bageng Taji E 11 0.0 0.0 90.2 100.0 PSd-A 9 0.0 0.0 101.5 100.0 PSd-B 1 33.0 4.0 87.0 0.0 PT 10 0.0 0.7 97.8 100 PSg-B Bageng Taji x Cikuning 17 127.8 4.4 5.9 0.0 Bali Merah 2 E 8 0.0 0.0 15.1 100.0 PSd-A 11 0.0 0.0 5.1 100.0 PSd-B 9 1.4 0.3 15.9 100.0 PT 10 9.5 0.9 22.7 100.0 PSg-B Bali Merah 2 x Nambangan 5 3.4 2.6 2.8 100.0 Keterangan: E: emaskulasi, PSdA: penyerbukan sendiri alami, PSdB: penyerbukan sendiri buatan, PT: penyerbukan terbuka, PSgB: penyerbukan silang buatan Penyerbukan sendiri secara buatan PSd-B pada kelima aksesi yang diamati ternyata mampu menghasilkan buah berbiji Tabel 21, Gambar 27, dengan jumlah beragam mulai dari 1.4 pada ‘Bali Merah 2’ hingga 52.3 pada ‘Bali Merah 1’. Hal ini memberikan petunjuk adanya sifat self-compatible pada sebagian aksesi pamelo Indonesia, dengan derajat kompatibilitas berbeda. Di lain pihak selama ini pamelo dikenal bersifat self-incompatible Niyomdham 1992, Ngo 2010, sehingga tidak akan menghasilkan biji bila menyerbuk sendiri, seperti yang dialami oleh pamelo ‘Hom Hat Yai’ yang pada penyerbukan sendiri menghasilkan buah tidak berbiji Kanjanapakorn dan Wunnachit 2001, Wunnachit 2005. Bahkan Yamamoto et al. 2006 menyatakan kemungkinan pamelo sebagai sumber utama alela incompatible, karena pengamatan pada 6 aksesi pamelo dan 7 dari 11 kerabatnya menunjukkan sifat self-incompatible. Sementara pamelo merupakan nenek moyang dari berbagai aksesi jeruk Mabberley 1997. Kim et al. 2011 juga melaporkan, bahwa adanya keragaman alela pada gen self-incompatibility S pada jeruk, dan aksesi pamelo memiliki frekuensi alela S 1 lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi jeruk lain, sehingga menunjukkan derajat self-incompatibility pamelo yang lebih besar. a b c d Gambar 25 Potongan melintang buah pamelo hasil emaskulasi a ‘Jawa 3’, b ‘Bali Merah 1’, c ‘Bali Merah 2’ d ‘Bageng Taji’, semua tidak menghasilkan biji. a b c d e a b c d e Gambar 26 Potongan melintang buah pamelohasil penyerbukan sendiri secara alami a ‘Jawa 3’, b ‘Nambangan’, c ‘Bali Merah 1’,d ‘Bali Merah 2’, e ‘Bageng Taji’, hanya ‘Jawa 3’ yang buahnya sebagian berbiji a b c d Gambar 27 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan sendiri secara buatan a ‘Nambangan’, b ‘Bali Merah 1’, c ‘Bali Merah 2’, d ‘Bageng Taji’, semuanya mampu menghasilkan biji. a b c d e Gambar 28 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan terbuka a ‘Jawa 3’, b ‘Nambangan’ c ‘Bali Merah 1’, semuanya berbiji d ‘Bali Merah 2’, berbiji sedikit e ‘Bageng Taji’, tidak berbiji. a b c d Gambar 29 Potongan melintang buah pamelo hasil penyerbukan silang buatan, a ‘Nambangan’ x ‘Magetan’, b ‘Bali Merah 1’ x ‘Jawa 3’, c ‘Bali Merah 2’ x ‘Nambangan’, d ‘Bageng Taji’ x ‘Cikuning’, semuanya berbiji banyak kecuali ‘Bali Merah 2’. Perubahan kompatibilitas pada pamelo dilaporkan oleh Chai et al. 2011a pada pamelo ‘Zigui Shatian’ yang merupakan mutan alami dari pamelo ‘Shatian’. ‘Zigui Shatian’ bersifat self-compatible karena tepung sari dapat menyerbuk sendiri dan berhasil melakukan fertilisasi, tetapi setelah terbentuk zigot terjadi perkembangan bakal biji yang abnormal, sehingga bijinya gugur ketika terjadi penyerbukan sendiri, yang membuat buahnya tidak berbiji. Diduga terdapat hubungan antara peningkatan ekspresi gen CgSL2 pada jaringan bakal biji yang senesen dengan gugurnya biji pada bakal biji pamelo ‘Zigui Shatian’ yang menyerbuk sendiri Chai et al. 2011b. Selain itu Honsho et al. 2009 juga mengemukakan adanya perubahan kompatibilitas pada ‘Nishiuchi Konatsu’, yang merupakan hasil bud mutation dari ‘Hyuganatsu’ Citrus tamurana hort ex. Tanaka. ‘Hyuganatsu’ bersifat self-incompatible, tetapi ‘Nishiuchi Konatsu’ self-compatible dan mengalami aborsi embrio, yang disebabkan oleh perkembangan biji yang tidak normal yang dipicu oleh penyerbukan sendiri, sehingga buah yang dihasilkan tidak berbiji. Dalam penelitian ini penyerbukan dilakukan ketika bunga pamelo pada stadia balon. Sementara, Wakana et al. 2004 melaporkan bahwa pamelo ’Hirado Buntan’ dan ’Banpeiyu’ yang bersifat self-incompatible dapat menghasilkan buah berbiji bila penyerbukan sendiri dilakukan pada stadia kuncup bunga berukuran setengah dari ukuran kuncup bunga sebelum bunga mekar panjang bunga 10-21 mm pada pamelo ’Hirado Buntan’ dan 10-22 mm pada ‘Banpeiyu’, sebelum kepala putik mengeluarkan eksudat. Di lain pihak bila penyerbukan sendiri dilakukan melewati stadia tersebut, maka penyerbukan sendiri tidak akan menghasilkan biji. Lebih jauh Ping dan Liu-xin 2009 juga menyatakan penyerbukan sendiri pada stadia kuncup bunga dapat menghindari self-incompatibility pada pamelo ’Guanximiyou’, dan buah yang dihasilkan berbiji. Pada stadia kuncup bunga kecil diduga belum terjadi akumulasi callose pada tangkai putik yang dapat menghambat pertumbuhan tabung polen de Nettancourt 1993. Selain itu Roy 2000 menambahkan bahwa sebelum stadia balon kuncup bunga kecil dan setelah melewati stadia balon akhir stadia pembungaan kandungan enzimprotein yang bertanggungjawab terhadap reaksi inkompatibilitas tidak ada atau amat rendah, sehingga tidak menyebabkan reaksi inkompatibilitas. Kondisi tersebut berbeda dengan aksesi yang diamati, karena penyerbukan sendiri dilakukan pada stadia balon menjelang bunga mekar, ketika kepala putik sudah mengeluarkan eksudat, dan buah yang dihasilkan tetap berbiji. Dengan demikian kemungkinan terdapat perbedaan sifat kompatibilitas antara aksesi pamelo Indonesia dengan pamelo asal Cina dan Thailand. Pada penelitian ini, bila dihubungkan antara hasil penyerbukan sendiri secara alami dengan hasil penyerbukan sendiri secara buatan, hanya ‘Jawa 3’ yang relatif konsisten menunjukkan ‘self-compatibility’, kemungkinan disebabkan kematangan tepung sari terjadi pada periode yang sama dengan reseptivitas putik. Sementara pada ‘Bageng Taji’, ‘Bali Merah 2’,‘Bali Merah 1’ dan ‘Nambangan’ terdapat perbedaan antara hasil penyerbukan sendiri secara alami dan buatan, diduga akibat posisi putik yang lebih tinggi pada ‘Bageng Taji’ atau periode kematangan tepung sari yang berbeda dengan reseptivitas putik pada aksesi lain. Hasil penyerbukan terbuka pada ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2’, ‘Jawa 3, dan ‘Nambangan’ seluruhnya menghasilkan buah berbiji Tabel 21, Gambar 28, hanya jumlah biji ‘Bali Merah 2’ relatif rendah 9.5 bijibuah. Sementara ’Bageng Taji’ tetap menghasilkan buah tidak berbiji pada penyerbukan terbuka dari 10 buah hasil penyerbukan terbuka hanya diperoleh 1 biji sempurna dari 1 buah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aksesi-aksesi pamelo yang diamati ovulnya bersifat fertil dengan derajat yang berbeda, karena derajat fertilitas ovul dapat diduga dari jumlah biji pada penyerbukan terbuka Yamamoto et al. 1995. Buah dengan jumlah biji yang amat rendah dari hasil penyerbukan terbuka ‘Bageng Taji’, diduga disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, di Desa Bageng pertanaman pamelo didominasi oleh ’Bageng Taji’, sehingga kemungkinan terjadi penyerbukan silang amat kecil. Kedua, tepung sari jeruk tergolong berat dan lengket sehingga tidak dapat dipindah oleh angin Chacoff dan Aizen 2007. Kemungkinan peranan lebah dalam menyebarkan tepung sari di Bageng tidak sebesar di Magetan. Kondisi yang tidak terjadi di Bageng adalah pada periode musim bunga di Magetan populasi lebah cukup tinggi, karena banyak pengusaha madu yang sengaja melepas lebah ke kebun pamelo. Ketiga, pembungaan pamelo ‘Bageng Taji’ tidak terjadi serentak seperti berbagai aksesi pamelo lain di Magetan. Kemungkinan karena ‘Bageng Taji’ ditanam di halaman rumah, sehingga suplai air relatif tersedia sepanjang tahun air dari limbah rumah tangga, sedangkan di Magetan, pembungaan terjadi setelah melewati musim kemarau. Kondisi ini membuat peluang sinkronisasi penyerbukan antar bunga pada tanaman yang sama atau berbeda pada ‘Bageng Taji’ relatif kecil. Penyerbukan silang pada aksesi yang diamati, seluruhnya mampu menghasilkan biji berkembang sempurna Tabel 21, Gambar 29. Menurut Yamamoto et al. 1995, buah pamelo hasil penyerbukan silang dapat menghasilkan lebih dari 100 biji. Ping dan Liu-xin 2009 juga menyampaikan bahwa penyerbukan silang pamelo ‘Duweimiyou’ dengan ‘Guanximiyou’ menyebabkan jumlah bijinya meningkat tajam. Hasil penyerbukan jeruk tangor ’Murcot’ dengan mandarin ’Ponkan’ juga menghasilkan jumlah biji lebih banyak dibandingkan hasil penyerbukan sendiri secara alami De Azevedo dan Pio 2002. Hasil berbeda ditemukan pada hasil persilangan ‘Bali Merah 2’ dengan ‘Nambangan’ yang menghasilkan biji amat sedikit 3.4 biji per buah. Kemungkinan hal ini disebabkan partenogenetik yang tinggi pada ‘Bali Merah 2’ atau ketidak-sesuaian antara putik ‘Bali Merah 2’ dengan tepung sari ‘Nambangan’. Hal serupa disampaikan oleh Papadakis et al. 2009, bahwa persilangan jeruk hibrida ‘Nova’ tanpa biji sebagai tetua betina dengan clementin ‘SRA63’ dan ‘Marisol’ sebagai tetua jantan tetap menghasilkan sedikit biji ≤2.1 biji per buah, tetapi persilangan resiprok ‘SRA63’ dan ‘Marisol’ dengan ‘Nova’ menyebabkan jumlah biji ‘SRA63’’Nova’ yang tinggi 18.6 biji per buah, namun tetap rendah pada F1 ‘Marisol’’Nova’ 2.4 biji per buah. Berdasarkan hasil percobaan penyerbukan Tabel 22 dapat dilihat, bahwa aksesi pamelo yang diamati dapat membentuk buah partenokarpik bila tidak mengalami penyerbukan, karena derajat partenokarpi merupakan salah satu karakter yang terdapat pada jeruk Hodgson 1967. Dalam penelitian ini belum diketahui penyebab pembentukan buah partenokarpik pada aksesi pamelo yang diamati. Diduga kemampuan membentuk buah partenokarpik pada pamelo berhubungan dengan kandungan zat pengatur tumbuh. Pada umumnya perkembangan buah memerlukan keberadaan zat pengatur tumbuh seperti auksin dan GA, tetapi pada jeruk GA lebih berperan Ben-Cheikh et al. 1997. Buah muda mandarin ‘Satsuma’ yang partenokarpik mengandung konsentrasi GA lebih tinggi dibandingkan ‘Hyuganatsu’ yang nonpartenokarpik Kojima 1997. Dalam penelitian ini diduga ‘Bali Merah 2’ memiliki fertilitas ovul yang rendah dan derajat partenokarpi tinggi. Pamelo dengan sifat partenokarpik tinggi dan fertilitas ovul yang rendah potensial untuk digunakan sebagai tetua jantan dalam perakitan pamelo tidak berbiji. Dengan demikian ‘Bali Merah 2’ dapat menjadi sumber tepung sari yang baik untuk menghasilkan buah pamelo tidak berbiji, karena memiliki tepung sari fertil. Selain itu sifat tidak berbiji pada jeruk dapat diwariskan. Pada jeruk ‘Mukaku Kishu’ sifat tidak berbiji dikendalikan oleh gen dominan Fs dan gen repressor Is yang secara dominan menghambat ekspresi tidak berbiji Yamasaki dan Kitajima 2007. Tabel 22. Rekapitulasi hasil penyerbukan pada berbagai aksesi pamelo Kultivar Perlakuan Kesimpulan E PSdA PSdB PT PSgB Berbiji Jawa 3 - P, SC, OF Potensial tidak berbiji Nambangan - P, SC, OF Bali Merah 1 P, SC, OF Tidak berbiji Bageng Taji P, SC, OF Bali Merah 2 P, SC, OF Keterangan: E: emaskulasi, PSdA: penyerbukan sendiri alami, PSdB: penyerbukan sendiri buatan, PT: penyerbukan terbuka, PSgB: penyerbukan silang buatan P: partenokarpik, SC: self-compatible , OF: ovul fertil : tidak berbiji, ● : berbiji banyak, : berbiji 10 bijibuah SIMPULAN Berdasarkan uji pewarnaan aksesi pamelo yang diamati memiliki tepung sari yang fertil. Viabilitas tepung sari kelompok aksesi berbiji dan potensial berbiji lebih besar dibandingkan kelompok aksesi tidak berbiji. Aksesi pamelo yang diamati mampu membentuk buah partenokarpik. Penyerbukan sendiri secara alami pada ‘Bali Merah 1’, ‘Bali Merah 2, ‘Nambangan’ dan ‘Bageng Taji’ menghasilkan buah tidak berbiji, tetapi pada ‘Jawa 3’, sebagian besar buah berbiji. Dengan penyerbukan sendiri secara buatan kelima aksesi mampu membentuk buah berbiji, dengan jumlah beragam, yang menunjukkan adanya sifat self-compatible. Penyerbukan silang maupun penyerbukan terbuka pada semua aksesi menghasilkan buah berbiji dengan derajat yang berbeda, yang menunjukkan perbedaan fertilitas ovul. ‘Bali Merah 2’ diduga memiliki derajat partenokarpi yang tinggi dan fertilitas ovul rendah, dilihat dari jumlah biji yang rendah 10 biji per buah pada semua perlakuan penyerbukan. Sementara ‘Jawa 3’ memiliki derajat partenokarpi rendah, dilihat dari kemampuannya membentuk biji pada penyerbukan sendiri secara alami.

5. EVALUASI KUALITAS BUAH PAMELO BERBIJI DAN TIDAK BERBIJI SELAMA MASA SIMPAN