6. PEMBAHASAN UMUM
Keragaman Pola Pengelompokan Aksesi Pamelo Berdasarkan Penanda
Morfologi, Isoenzim, ISSR dan Kombinasinya
Hasil analisis terhadap penanda morfologi, isoenzim dan ISSR dan kombinasinya menunjukkan perbedaan rentang nilai koefisien kemiripan dan nilai
korelasi kofenetik Tabel 36, yang membuat dendrogram yang dihasilkan juga berbeda. Hasil yang sama dilaporkan oleh Campos et al. 2005 dan
Koehler- Santos et al. 2003, yang mendapatkan perbedaan dendrogram berdasarkan
karakter morfologi dan molekuler AFLP dan SSR pada jeruk mandarin. Mereka menduga bahwa perbedaan karakter morfologi dan molekuler tidak
saling bergantung, disebabkan perbedaan seleksi dan faktor evolusi. Rentang tingkat kemiripan terlebar diperoleh dari penanda isoenzim
72.5, berbeda jauh dengan penanda morfologi 32.6, ISSR 32.1, kombinasi morfologi-isoenzim 31.9, morfologi-ISSR 21.9, isoenzim-ISSR
32.0 dan morfologi-isoenzim-ISSR 22.0. Dalam hal ini isoenzim dapat mengungkapkan keragaman yang lebih besar antar aksesi pamelo.
Tabel 36 Nilai koefisien kemiripan tertinggi dan terendah dan nilai korelasi koefenetik MxComp r dengan penanda morfologi, isoenzim, ISSR
dan kombinasinya
Penanda Koefisien Kemiripan
Korelasi kofenetik
Terendah Tertinggi Morfologi 0.485
0.811 0.696
Isoenzim 0.222 0.947
0.895 ISSR 0.583
0.904 0.731
Morfologi-Isoenzim 0.474 0.793 0.730
Morfologi-ISSR 0.594 0.813
0.718 Isoenzim-ISSR
0.543 0.863 0.680 Morfologi-Isoenzim-
ISSR 0.564 0.784 0.714
Dendrogram hasil analisis isoenzim juga menghasilkan korelasi kofenetik yang paling tinggi, bahkan dibandingkan dengan hasil kombinasi antar penanda,
sehingga paling sesuai menggambarkan hubungan kekerabatan antara aksesi
pamelo. Beberapa karakter isoenzim MDH Rf 0.11 dan 0.14, ACP Rf 0.24 dan 0.33 dan EST Rf 0.30 dapat membedakan antara aksesi berbiji dan tidak berbiji,
bahkan pita ACP dengan Rf 0.24 secara khusus hanya terdapat pada aksesi pamelo tidak berbiji, sehingga dapat dijadikan penanda untuk membedakan aksesi
pamelo berbiji dan tidak berbiji. Elektroforesis isoenzim hanya dapat mengungkapkan sepertiga dari semua substitusi asam amino, sehingga dianggap
metode pendugaan variabilitas genetik yang paling konservatif Micales dan Bonde 1995, dan menunjukkan jumlah lokus yang rendah. Namun demukian
penggunaan isoenzim yang tepat dapat membedakan aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji lebih baik dibandingkan dengan penanda morfologi. Hal yang sama
juga telah juga didapatkan oleh Van et al. 2004, yang dapat membedakan aksesi grapefruit berbiji dan tidak berbiji menggunakan enzim GOT AAT.
Kemampuan isoenzim dalam menganalisis keragaman genetik, disebabkan pola pita yang dihasilkan dalam analisis isoenzim menggambarkan fenotipe
elektroforetik Wendel dan Weeden1989. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan aktivitas NADP-isositrat dehidrogenase selama pertumbuhan jeruk lemon yang
berkorelasi baik dengan peningkatan ekspresi gen Sadka et al. 2000. Pengaruh umur tanaman dan lingkungan terhadap analisis isoenzim juga
rendah Elisiario et al. 1999. Hasil penelitian Asins et al. 1995 menunjukkan perbedaan lokasi, batang bawah, kondisi pertumbuhan, musim atau infeksi virus
atau patogen seperti virus ternyata tidak berpengaruh terhadap hasil analisis 10 sistem enzim pada berbagai spesies jeruk. Selanjutnya zimogram isoenzim
peroksidase mandarin ‘Satsuma’ pada tanaman muda maupun yang sedang berbunga, baik pada musim semi dan musim panas juga tidak berbeda Monerri
dan Guardiola 2001. Penanda molekuler seperti ISSR sebenarnya memiliki peluang yang lebih
besar untuk membedakan aksesi berbiji dan tidak berbiji dibandingkan isoenzim, karena dapat mendeteksi keragaman pada tingkat nukleotida, sedangkan isoenzim
pada tingkat protein. Penanda ISSR dapat melakukan amplifikasi segmen DNA di antara dua daerah mikrosatelit berulang Reddy et al. 2002. Walaupun demikian
tidak ada jaminan bahwa pita-pita yang berada pada daerah yang dikode pada genom, terlibat dalam sifat morfologi dan agronomi. Selain itu untuk
mendapatkan penanda ISSR yang tepat diperlukan seleksi primer yang baik, yang melibatkan banyak primer. Walaupun Uzun et al. 2010 hanya menggunakan 12
primer untuk membedakan aksesi pamelo dan grapefruit, tetapi primer yang digunakan merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Dalam penelitian ini primer yang digunakan juga biasa digunakan untuk berbagai tanaman buah, seperti manggis, nenas dan durian, tetapi baru
pertama kali dicobakan pada pamelo. Oleh karena itu diperlukan seleksi primer yang lebih luas agar dapat diperoleh primer yang dapat membedakan aksesi
pamelo berbiji dan tidak berbiji dengan lebih baik. Meskipun demikian hasil pemetaan dengan analisis komponen utama berdasarkan primer ISSR telah
menempatkan aksesi tidak berbiji pada posisi yang berdekatan. Adanya perbedaan hasil analisis berdasarkan karakter morfologi dengan
isoenzim dan ISSR, kemungkinan karena sifat morfologi amat dipengaruhi oleh faktor lingkungan Nartvaranant P dan Nartvaranant K 2011. Sebagaimana
pendapat peneliti sebelumnya Iqbal et al. 2001, perbedaan antara jeruk berbiji dan tidak berbiji baru diketahui pada buahnya, begitu pula dalam penelitian ini.
Karakter morfologi yang secara relatif hanya terdapat pamelo tidak berbiji adalah bentuk buah pyriform, kondisi aksis buah berongga dan jumlah biji per buah 4.
Pada karakter pohon, daun dan bunga belum diperoleh karakter yang membedakan antara aksesi berbiji dan tidak berbiji. Sementara itu morfologi
buah merupakan karakter yang kompleks dan dikendalikan oleh banyak gen, dan beberapa karakter dipengaruhi oleh faktor lingkungan Campos et al. 2005. Oleh
karena itu penggunaan penanda biokimia dan molekuler dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh faktor lingkungan pada ekspresi sifat, interaksi epistatik
dan pengaruh pleitropik Bhat 2001. Selain itu penanda biokimia dan molekuler diharapkan dapat mendeteksi aksesi berbijitidak berbiji pada stadia bibit.
Meskipun demikian karakterisasi secara morfologi tetap diperlukan untuk melengkapi hasil analisis biokimia atau molekuler.
Dendrogram dan hasil analisis komponen utama hasil analisis kombinasi antara penanda morfologi, isoenzim dan ISSR dapat lebih menggambarkan
pengelompokan aksesi pamelo. Berdasarkan karakter morfologi, aksesi berbiji terdiri atas ‘Jawa 1’, ‘Bageng Taji’ dan Muria Merah 1’, sedangkan dengan
isoenzim, ‘Jawa 1’, ‘Bageng Taji’, ‘Bali Merah 2’, ‘Muria Merah 1’ dan ‘Muria Merah 2’ berada dalam satu kelompok. Hasil kombinasi morfologi-isoenzim,
morfologi-ISSR dan morfologi-isoenzim-ISSR, memberi pengelompokan yang sama dengan analisis morfologi. Di lain pihak, dendrogram kombinasi morfologi-
isoenzim dapat mengurutkan antara aksesi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji Gambar 15.
Berdasarkan karakter morfologi, ISSR, gabungan morfologi dan isoenzim, morfologi dan ISSR, isoenzim dan ISSR, dan gabungan morfologi, isoenzim dan
ISSR, ’Muria Merah 1’ dan ’Bageng Taji’ memiliki tingkat kemiripan relatif tinggi. Diduga kedua aksesi ini berasal dari induk yang sama. Hal ini didukung
oleh lokasi penanaman kedua aksesi ini yang saling berdekatan di kaki Gunung Muria. Selain itu berdasarkan sejarah, ’Bageng Taji’ berasal dari bibit yang
dibawa dari Kudus Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pati dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Jawa Tengah 2009.
Dendrogram berdasarkan penanda morfologi, isoenzim, ISSR dan kombinasinya menempatkan aksesi Jawa 1, Jawa 2 dan Jawa 3 pada kelompok
berbeda. Dengan demikian diduga ketiga aksesi tersebut berasal dari tetua berbeda, walaupun di tingkat petani ketiga aksesi tersebut memiliki nama yang
sama Jawa.
Hubungan antara Karakterisasi Morfologi, Isoenzim dan ISSR, Analisis Ploidi dan Pembentukan Buah Pamelo Berbiji dan Tidak Berbiji
Tidak seperti karakter morfologi dan isoenzim yang dapat membedakan antara aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji, analisis ploidi dengan penghitungan
jumlah kromosom dan flow cytometry menunjukkan jumlah kromosom aksesi pamelo berbiji, potensial tidak berbiji dan tidak berbiji semuanya diploid 2n = 2x
=18, kecuali pada ‘Nambangan’ yang mengindikasikan adanya aneuploidi Gambar 23.
Perubahan jumlah kromosom pada jeruk kemungkinan dapat terjadi,
sebagaimana dilaporkan pada jeruk {Clausena lansium Lour. Skeels} kultivar
Yunan Zhichang 2010, hasil persilangan diploid x diploid antara tangor ‘Kiyomi’ dan kumkuat ‘Meiwa’ Yasuda et al. 2010, allotetraploid hibrida
somatik HR Zhu et al. 2009. Selain itu kemungkinan jeruk juga mengalami perubahan komposisi kromosom yang dapat dilihat dari pola pita CMA Kitajima
et al. 2001, Yamamoto et al. 2005.
Hasil pengelompokan dengan karakterisasi morfologi yang menempatkan ‘Bali Merah 1’ dan ‘Bali Merah 2’ pada tingkat kemiripan yang paling tinggi
81.1, tidak diikuti dengan hasil analisis isoenzim dan ISSR, yang menempatkannya pada kelompok berbeda. Hasil percobaan penyerbukan ternyata
menunjukkan perbedaan kedua aksesi ini, terutama dalam kemampuannya menghasilkan biji. Penyerbukan sendiri secara buatan, penyerbukan silang buatan
dan penyerbukan terbuka pada ‘Bali Merah 1’ menghasilkan jumlah biji berkembang sempurna yang banyak 50 biji per buah, sedangkan pada ‘Bali
Merah 2’ menghasilkan 10 biji per buah, sehingga digolongkan tidak berbiji. Dengan demikian diduga ‘Bali Merah 2’ merupakan mutan dari ‘Bali Merah 1’,
karena mutasi alami pada jeruk sering terjadi Raza et al. 2003. Salah satu contoh mutasi alami yang menyebabkan perubahan dalam kemampuan
menghasilkan biji, antara lain ‘Mukaku Kishu’ yang tidak berbiji merupakan bud mutant
dari ‘Kishu’ yang berbiji Yamasaki et al. 2009. Sementara mutasi yang menyebabkan perbedaan mekanisme kompatibilitas dilaporkan pada ‘Zigui
Shatian’ merupakan mutan alami dari pamelo ‘Shatian’ Chai et al. 2011a, dan ‘Nishiuchi Konatsu’ merupakan hasil bud mutation dari ‘Hyuganatsu’ Citrus
tamurana hort ex. Tanaka Honsho et al. 2009. Di lapangan keberadaan ‘Bali
Merah 1’ dan ‘Bali Merah 2’ juga saling bercampur dengan aksesi pamelo atau spesies jeruk lain, tetapi tidak menghilangkan kecenderungan keduanya untuk
menghasilkan buah berbiji dan tidak berbiji. Penetapan adanya mutasi ini tentunya memerlukan analisis mendalam,
baik secara morfologi, biokimia, molekuler, histologi dan sitogenetika. Sebagai contoh pembedaan antara pamelo ‘Shatian’ dan ‘Zigui Shatian’ selain berdasarkan
sifat morfologi daun dan bunga, marka SSR Simple Sequence Repeat juga melalui analisis histologi, hingga diketahui bahwa sifat steril sendiri pada ‘Zigui
Shatian’ bukan disebabkan oleh self-incompatibility, melainkan karena gugurnya embrio setelah terbentuk zigot Chai et al. 2011a. Pengetahuan mengenai adanya
penyimpangan pembentukan gamet jantan dan betina pada pamelo haploid juga diperoleh melalui studi sitogenesis Yahata et al. 2011.
Secara umum aksesi yang relatif konsisten menghasilkan buah tidak berbiji 10 bijibuah pada semua perlakuan adalah Bali Merah 2. Hal ini
menunjukkan sifat partenogenetik yang tinggi dan fertilitas ovul yang rendah pada aksesi tersebut, namun dugaan ini memerlukan konfirmasi lebih lanjut melalui
percobaan persilangan ‘Bali Merah 2’ dengan aksesi lain. Dengan demikian penentuan sifat tidak berbiji suatu kultivar sebaiknya paling tidak melalui lima
perlakuan penyerbukan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, agar sifat tidak berbiji yang diperoleh lebih stabil dan dapat dipertahankan pada berbagai
kondisi. Pelepasan kultivar jeruk tidak berbiji di Indonesia tampaknya belum melalui tahapan ini, sehingga kultivar yang telah dilepas sebagai tidak berbiji
seperti ‘Bageng Taji’ ternyata dapat menghasilkan banyak biji pada penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang secara buatan.
Hubungan antara Karakterisasi Morfologi dengan Karakter Kimia dan Fisik
Buah Pamelo Selama Penyimpanan
Hasil pengelompokan aksesi pamelo berdasarkan sifat morfologi jumlah biji per buah berkaitan dengan karakter kimia kandungan vitamin C, pH jus
buah, PTTATT dan naringin dan karakter fisik persentase bobot aksis buah. Buah tidak berbiji memiliki kandungan vitamin C, PTTATT dan naringin lebih
tinggi dan pH jus buah dan persentase bobot aksis buah lebih rendah dibandingkan aksesi berbiji. Hal yang sama dijumpai pada sifat fisik dan
komposisi kimia buah strawberi yang dipengaruhi oleh genotipe dan lamanya penyimpanan Gajewski et al. 2009.
Penyimpanan secara nyata menurunkan kandungan vitamin C dan ATT, tetapi meningkatkan nisbah PTTATT. Penurunan persentase bobot kulit selama
penyimpanan, menyebabkan persentase bobot bagian dapat dimakan buah pamelo meningkat.
Lebih jauh, pengetahuan mengenai biosintesis suatu senyawa dapat membantu mengetahui enzim yang terlibat dan gen yang mengendalikannya.
Frydman et al. 2004, mengemukakan bahwa enzim kunci yang mengkatalisis
penyebab rasa getir neohesperidosida adalah 1,2 rhamnosyltransferases 1,2RhaT, dan berhasil mengisolasi dan mengkarakterisasi gen Cm1,2RhaT dari
pamelo yang mengkode 1,2RhaT. Persilangan antara pamelo banyak mengandung flavonoid neohesperidosil dengan mandarin dan sitrun
mengandung banyak flavonoid rutinosil menghasilkan spesies atau kultivar hibrida dengan pola glikosilasi flavonoid kombinasi USDA 1999. Selain itu
berdasarkan komposisi senyawa karotenoid menunjukkan bahwa 25 genotipe jeruk yang diamati membentuk tiga kelompok, sesuai dengan hasil klasifikasi
berdasarkan sifat genetik Fanciullino 2006. Dengan demikian informasi mengenai kandungan biokimia seperti fenolik dan flavonoid dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk pengembangan kultivar pamelo berantioksidan tinggi. Perbedaan sifat genetik, fisik dan kimia buah juga berhubungan dengan
penerimaan konsumen terhadap suatu aksesi. Hasil analisis sensori menunjukkan selain berbiji sedikit, konsumen menyukai buah pamelo yang beraroma harum
khas jeruk, enak rasanya, berwarna jus merah, juici, manis, agak masam, tidak getir, dengan tekstur kantong jus yang agak halus dan jumlah residu yang
tertinggal setelah pengunyahan sedikit. Sifat-sifat tersebut dimiliki oleh ‘Jawa 1’. Dengan demikian ‘Jawa 1’ potensial dikembangkan sebagai calon kultivar pamelo
tidak berbiji, namun di lapangan terkendala dengan populasi tanaman yang amat rendah hanya dimiliki seorang petani yang sudah lanjut usia. Di samping itu
aksesi tidak berbiji lainnya yang potensial dikembangkan adalah ‘Bali Merah 2’, karena dugaan sifat partenogenetiknya yang tinggi dan fertilitas ovul yang rendah
selain rasa buahnya yang relatif tidak getir dibandingkan ‘Bali Merah 1’. Keragaan ‘Jawa 1’ dan ‘Bali Merah 2’ disajikan pada Lampiran 21.
Upaya Pengembangan Aksesi Pamelo yang Potensial Dijadikan Varietas Unggul Hortikultura
Kabupaten Magetan sebagai sentra produksi pamelo terbesar di Indonesia, memiliki kekayaan plasma nutfah pamelo cukup beragam. Dari 10 aksesi pamelo
asal Magetan yang diamati dalam penelitian ini, memiliki bentuk, warna kulit dan jus buah, rasa, aroma, kandungan vitamin C, naringin dan jumlah biji beragam.
Selama ini dari Kabupaten Magetan telah dilepas tiga varietas unggul pamelo
nasional, yaitu ‘Nambangan’, ‘Sri Nyonya’ dan ‘Magetan’. Kultivar ‘Nambangan’ tergolong potensial tidak berbiji, sedangkan ‘Sri Nyonya’ dan
‘Magetan’ berbiji. ‘Nambangan’ merupakan kultivar yang paling banyak dibudidayakan di Magetan, karena masa simpannya yang relatif panjang, baik
sebelum dipetik maupun setelah panen. ‘Sri Nyonya’ memiliki keunggulan rasa buah manis, asam segar dan persentase bobot bagian dapat dimakan tinggi,
sedangkan ‘Magetan’ unggul dalam warna kulit dan jus buahnya yang menarik. Namun ‘Sri Nyonya’ dan ‘Magetan’ memiliki masa simpan yang pendek sekitar
satu bulan, penyimpanan lebih dari satu bulan membuat rasa dan aroma kedua kultivar tersebut menurun tajam dengan tingkat kegetiran meningkat.
Salah satu aksesi pamelo yang memiliki keunggulan dibandingkan aksesi pamelo yang telah dilepas tersebut adalah ‘Jawa 1’. Buah aksesi ini tetap
berkualitas baik setelah disimpan selama 8 minggu, rasanya enak, manis, agak asam, aromanya harum, tingkat kegetiran rendah, warna jusnya merah dan
tergolong tidak berbiji. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengembangkan aksesi ini menjadi kultivar unggul hortikultura. Selain itu dengan sifat unggulnya
diharapkan ‘Jawa 1’ dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap buah pamelo, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani pamelo, khususnya di
Kabupaten Magetan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengembangkan ‘Jawa 1’
menjadi kultivar unggul hortikultura adalah dengan menyediakan benih bermutu, yang benar true to type, tersedia dalam jumlah cukup dan berkesinambungan.
Benih bermutu dari varietas unggul merupakan salah satu sarana hortikultura Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pasal 32 Ayat 1,
dan ‘Jawa 1’ adalah aksesi asli Indonesia yang prospek penggunaannya lebih diutamakan dibanding aksesi introduksi UU No. 13 Tahun 2010 tentang
Hortikultura Pasal 33 Ayat 1. Penyediaan benih bermutu dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan
pembiakan vegetatif konvensional, seperti cangkok, sambung dan menempel okulasi. Pada masa mendatang jika teknik kultur jaringan memungkinkan dapat
digunakan untuk perbanyakan masal dan berkesinambungan, namun hal ini memerlukan sosialisasi pada petani. Selama ini petani pamelo di Magetan, Kudus
dan Pati lebih menyukai menggunakan bibit asal cangkok. Petani perlu diyakinkan bahwa bibit hasil perbanyakan klonal dengan penyambungan, okulasi
dan kultur jaringan dapat berproduksi baik dan terjaga kebenaran varietasnya. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 38PermentanOt.14072011,
disebutkan bahwa untuk pendataan varietas dalam rangka pengawasan peredaran benih, perlu dilakukan pendaftaran varietas Pasal 8 Ayat 1. Selanjutnya dalam
Pasal 9 dijelaskan, bahwa varietas hasil pemuliaan atau varietas lokal yang didaftarkan harus memenuhi persyaratan yang meliputi: a. memiliki deskripsi
varietas sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Hortikultura, b. belum pernah didaftarkan untuk peredaran, c. memiliki
keunggulan tertentu sebagaimana diakui oleh penyelenggara pemuliaan atau pemilik calon varietaskuasanya seperti yang tercantum pada deskripsi, d. nama
varietas dalam deskripsi pada huruf a mengikuti penamaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan varietas tanaman.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian tersebut, maka ‘Jawa 1’ memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai varietas unggul hortikultura. ‘Jawa 1’ telah
dikarakterisasi dan dievaluasi, dan secara morfologi Tabel 2, 3, 4 dan 5, biokimia Gambar 9 dan molekuler Gambar 12 dapat dibedakan dari varietas
pamelo yang telah dilepas ‘Nambangan’, ‘Sri Nyonya’, ‘Magetan’, ‘Bageng Taji’ dan ‘Cikoneng ST’.
Pendaftaran varietas dapat dilakukan oleh penyelenggara pemuliaan atau pemilik calon verietaskuasanya, baik perorangan, badan hukum, instansi
pemerintah danatau pemerintah daerah Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 38PermentanOt.14072011 Bab III Pasal 8 Ayat 3. Dalam hal ini pemulia
tanaman berperan menyediakan informasi mengenai karakter calon varietas yang diajukan. Sementara instansi pemerintah Dinas Pertanian atau pemerintah
daerah menyediakan dukungan berupa dana bagi keperluan penyediaan bibit yang memenuhi standar mutu minimal, dan dana untuk pengujian keunggulan dan
kebenaran varietas.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Perbedaan antara aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji hanya dapat dilihat
pada buahnya bentuk buah, aksis buah dan jumlah biji per buah. Secara morfologi aksesi pamelo yang diamati dapat dikelompokkan menjadi aksesi
berbiji Cikoneng ST, Jawa 2, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku, Bali Putih, Muria Merah 2, Jawa 3, potensial tidak berbiji Nambangan dan Bali Merah
1 dan tidak berbiji Bali Merah 2, Jawa 1, Bageng Taji dan Muria Merah 1. Pada umumnya aksesi tidak berbiji memiliki bentuk buah pyriform dan aksis
berongga dan memiliki pita pada ACP Rf 0.24. Dendrogram berdasarkan karakter morfologi dan isoenzim dapat membedakan antara aksesi berbiji,
potensial tidak berbiji dan tidak berbiji. Pamelo berbiji dan tidak berbiji memiliki set kromosom diploid 2n = 2x = 18.
2. Seluruh aksesi pamelo yang diamati Jawa 2, Magetan, Sri Nyonya, Adas Duku, Bali Putih, Jawa 3, Nambangan, Bali Merah 1, Jawa 1 dan Bali Merah
2 memiliki tepung sari fertil. Viabilitas tepung sari aksesi berbiji dan potensial berbiji lebih tinggi dibandingkan aksesi tidak berbiji. Semua aksesi
pamelo yang diamati mampu membentuk buah partenokarpik. Buah berbiji dapat diperoleh dengan penyerbukan sendiri secara buatan, yang
mengindikasikan adanya sifat self-compatible. Penyerbukan terbuka dan silang buatan menghasilkan buah berbiji, yang menunjukkan fertilitas ovul
pada seluruh aksesi yang diamati. 3. Persentase bobot kulit, bagian dapat dimakan dan sekat antar kelompok aksesi
tidak berbeda, sedangkan persentase bobot aksis kelompok aksesi buah tidak berbiji lebih rendah dibandingkan kelompok aksesi buah berbiji. Kandungan
vitamin C dan naringin pada kelompok aksesi tidak berbiji lebih tinggi dibandingkan kelompok aksesi berbiji dan potensial tidak berbiji. Kandungan
PTT dan ATT antar kelompok aksesi berbiji dan tidak berbiji tidak berbeda. Penyimpanan meningkatkan PTT dan menurunkan ATT, sehingga
meningkatkan nisbah PTTATT pada seluruh aksesi. Hasil analisis sensori menunjukkan aksesi tidak berbiji ’Jawa 1’ memiliki banyak keunggulan, baik
dari hasil uji hedonik kesukaan maupun uji mutu skalar.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penanda molekuler yang lebih sesuai dalam membedakan aksesi pamelo berbiji dan tidak berbiji.
2. Perlu diteliti lebih jauh penyebab pembentukan buah partenokarpik pada pamelo melalui analisis histologi untuk melihat viabilitas tepung sari secara in
vivo dan proses pembentukan embrionya.
3. ‘Bali Merah 2’ diduga memiliki derajat partenokarpi yang tinggi, dan fertilitas ovul yang rendah, sehingga potensial digunakan sebagai sumber tepung sari
untuk perbaikan tanaman pamelo tidak berbiji. 4. Aksesi tidak berbiji unggulan seperti ‘Jawa 1’ perlu dikembangkan lebih lanjut
untuk menunjang peningkatan daya saing buah pamelo Indonesia terhadap buah jeruk impor.
5. Untuk memperoleh deskripsi kultivar tidak berbiji yang definitif dapat dipertimbangkan untuk melaksanakan lima uji penyerbukan seperti yang
dilakukan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah B. 2001. The use of isozymes as biochemical markers in rice. Bul AgroBio 4:39-44.
Agisimanto D, Supriyanto A. 2007. Keragaman genetik pamelo Indonesia berdasarkan Primer Random Amplified Polymorphic DNA. J Hort 17:1-7.
Agisimanto D, Martasari C, Supriyanto A. 2007. Perbedaan primer RAPD dan ISSR dalam identifikasi hubungan kekerabatan genetik jeruk siam Citrus
suhuniensis
L. Tan. Indonesia. J Hort 17:101-110.
Albrigo LG, Carter RD. 1977. Injury for Citrus Fruits in Relation to Processing. Di dalam: Nagy S, Shaw PE and Veldhuis MK, editor. Citrus Science and
Technology. Connecticut: AVI Publishing Co.
Aleza P, Juárez J, Hernández M, Pina JA, Ollitrault P, Navarro L. 2009. Recovery
and characterization of a Citrus clementina Hort. ex Tan. Clemenules haploid plant selected to establish the reference whole Citrus genome
sequence. BMC Plant Biology 9:110 doi:10.11861471-2229-9-110. http:www.biomedcentral.com1471-22299110. [12 Nopember 2011].
Altaf N, Khan AR. 2007. The seedless trait in kinnow fruit. Pak J Bot 39: 2003- 2008.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis
. Ed ke 16. Washington DC: AOAC International. Ara N, Bashar MK, Kalim Udin MD, Khalequzzaman KM. 2008. Evaluation of
pummelo, Citrus grandis L. cultivars in northern area of Bangladesh. J Agric Res 46: 65-75.
Ashari S. 2004. Biologi Reproduksi Tanaman Buah-buahan Komersial. Malang: Bayumedia Publishing.
Asíns MJ, Herrero R, Navarro L. 1995. Factors affecting Citrus tree isozyme-
gene expression. Theor Appl Genet 90:892-898. Abstr. Bakhtiar. 2002. Analisis keragaman genetik gladiol dengan penanda RAPD dan
evaluasi ketahanan turunan dari beberapa kombinasi silangan terhadap Fusarium. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Behera TK, Gaikward AB, Singh AK, Staub JE. 2008. Relative efficiency of DNA markers RAPD, ISSR and AFLP in detecting genetic diversity of
bitter gourd Momordica charantia L.. J Sci Food Agric 88:733–737. Ben-Cheikh W, Perez-Botella J, Tadeo FR, Talon M, Primo-Millo E. 1997.
Pollination increases gibberellin levels in developing ovaries of seeded varieties of citrus. Plant Physiol 114:557-564.
Bhat KV. 2001. DNA fingerprinting and cultivar identification. National Research Centre on DNA Fingerprinting. New Delhi: NBPGR.
Bilquees F. 2004. Morphological and genetic characterization of citrus polyploids. [PhD thesis]. Faisalabad: University of Agriculture.
Biswas MK, Xu Q, Deng X. 2010. Utility of RAPD, ISSR, IRAP and REMAP markers for the genetic analysis of Citrus spp. Sci Hort 124: 254–261.
Bosco SFD, Siragusa M, Abbate L, Lucretti S, Tusa N. 2007. Production and characterization of new triploid seedless progenies for mandarin
improvement. Sci Hort 114:258-262. Burdurlu HS, Koca N, Karadeniz F. 2006. Degradation of vitamin C in citrus
juice concentrates during storage. J Food Engineering 74:211–216. Campos ET, Espinosa MAG, Warburton ML, Varela AS, Monter AV. 2005.
Characterization of mandarain Citrus spp using morphological and AFLP markers. Intersciencia 11:687-692.
Cancalon PF. 1994. Changes in the saccharide composition of citrus juice and anatomical fractions during fruit maturation. Proc Fla State Hort Soc.
107:253-256. Chacoff NP, Aizen MA. 2007. Pollination requirements of pigmented grapefruit
Citrus paradisi Macf. from Northwestern Argentina. Crop Sci 47:1143- 1150.
Chacoff NP, Souto CP, Aizen MA, Premoli A. 2009. Is there genetic variation in seedless Argentinean grapefruit? Implications for crop production and
conservation. J Basic Appl Gen 20: 27-35. Chai L, Ge X, Biswas MK, Xu Q, Deng X. 2011a. Self-sterility in the mutant
‘Zigui shatian’ pummelo Citrus grandis Osbeck is due to abnormal post- zygotic embryo development and not self-incompatibility. Plant Cell Tissue
Organ Cult 104:1–11.
Chai L, Ge X, Xu Q, Deng X. 2011b. CgSL2, an S-like RNase gene in ‘Zigui shatian’ pummelo Citrus grandis Osbeck, is involved in ovary senescence.
Mol Biol Rep 38:1–8. Chavez DJ, Chapparo JX. 2011. Identification of markers linked to seedlessness
in Citrus kinokuni hort. ex Tanaka and its progeny using bulked segregant analysis. Hort Sci 46: 693-697. Abstr.
Christman S. 2008. Citrus maxima. http:www.floridata.comrefCcitr_max.cfm. [17 Maret 2009].
Davies FS, Albrigo LG. 1994. Citrus. Wallingford. UK: CAB International. . De Azevedo FA, Pio RM. 2010. Pollination influence on seed production of
Murcott tangor. Rev. Bras. Frutic. Jaboticabal SP 24: 468-471. de Nettancourt D. 1977. Incompatibility in Angiospermae. Berlin: Springer.
de Nettancourt D. 1993. Self- and Cross-incompatibility Systems. Di dalam: Hayward MD, Bosemark NO, Romagosa I, Cerezo M, editor. Plant
Breeding Principles and Prospects . pp 203-211. London: Chapman Hall.
Del Caro A, Piga A, Vacca V, Agabbio M. 2004. Changes of flavonoids, vitamin C and antioxidant capacity in minimally processed citrus segments and
juices during storage. Food Chemist. 84: 99–105. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pati dan Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih Jawa Tengah. 2009. Proposal Usulan Pelepasan Jeruk Pamelo Bageng dari Kabupaten Pati. Pati: Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pati.
Direktorat Tanaman Buah. 2003. Budidaya Jeruk Besar Citrus maxima L.. Jakarta: Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi
Hortikultura. Direktorat Tanaman Buah. 2007. Teknologi Pemupukan dan Pengaturan
Pembungaan Jeruk. http:www.Citrus-Indonesia. Com. [12 April 2007]. Dorji K, Yapwattanaphun C. 2011. Morphological identification of mandarin
Citrus reticulata Blanco in Bhutan. Kasetsart J Nat Sci 45: 793 – 802. Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12: 13–
15. Echeveria Ed, Ismail M. 1987. Changes in sugars and acids of citrus fruits during
storage. Proc Fla State Hort 100:50-52. Elisiario PJ, Justo EM, Leitao JM. 1999. Identification of mandarin hybrids by
isozyme and RAPD analysis. Sci Hort 81:287-299. Emel S. 2010. Evaluation of ISSR markers to assess genetic variability and
relationship among winter triticale x Triticosecale Wittmack cultivars. Pak J Bot 42: 2755-2763.
Esen A, Soost RK. 1971. Unexpected triploids in Citrus: Their origin, identification, and possible use. J Hered 62:329-333.
Fanciullino AL, Dhuique-Mayer C, Luro F, Casanova J, Morillon R, Ollitrault P. 2006. Carotenoid diversity in cultivated citrus is highly influenced by
genetic factors. J Agric Food Chem 54: 4397-4406.
Fatima B, Usman M, Ramzan M, Khan MM, Khan IA. 2002. Interploid hybridization of kinnow and sweet lime. Pak J Agric Sci 39:132-134.
Fatima B, Usman M, Khan IA, Khan MS, Khan MM. 2010. Exploring citrus cultivars for underdeveloped unshrivelled seeds: a valuable resource for
spontaneous polyploidy. Pak J Bot 42:189-200. Fitmawati. 2008. Biosistematika mangga Indonesia. [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Frost HB. 1925a. The chromosomes of Citrus. J Washington Acad Sci 15:1-3.
Frost HB. 1925b. Tetraploidy in Citrus. Proc Natl Acad Sci 2: 535-537. Frydman A, Weisshaus O, Bar-Peled M, Huhman DV, Sumner LW, Marin FR,
Lewinsohn E, Fluhr R, Gressel J, Eyal Y. 2004. Citrus fruit bitter flavors: isolation and functional characterization of the gene Cm1,2RhaT encoding a
1,2 rhamnosyltransferase, a key enzyme in the biosynthesis of the bitter flavonoids of citrus. Plant J 40: 88–100.
Gajewski M, Katarzyna K, Bajer M. 2009. The influence of postharvest storage on quality characteristics of fruit of eggplant cultivars. Not Bot Hort
Agrobot Cluj 37: 200-205. Gillaspy G, Ben-David H, Gruissem W. 1993. Fruits: A developmental
perspective. Plant Cell 5: 1439-1451. Gomez-Alverado NL, Avitia-Garcia E, Castillo-Gonzalez AM, Corono-Torres T,
Almaguer-Vargas G. 2004. Pollen tube growth in mandarin. Rev Fitotec Mex 27: 177-182.
Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Ed ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Gonzalez-Andres F, Pita JM, Ortiz JM. 1996. Caryopsis isoenzymes of Echinochloa
weed species as an aid for taxonomic discrimination. J Hort Sci 71: 187-193.
Guo HB, Huang KY, Zhou TS, Wu QH, Zhang YJ, Liang ZS. 2009. DNA isolation, optimization of ISSR-PCR system and primers screening of
Scutellaria baicalensis.
J Med Plant Res 3:898-901.
Hadiati S, Sukmadjaja D. 2002. Keragaman pola pita beberapa aksesi nenas berdasarkan analisis isozim. J Bioteknol Pert 2:62-70.
Hamilton KN, Ashmore SE and Drew RA.
2008. Morphological characterization of seeds of three Australian wild Citrus species Rutaceae:
Citrus australasica F. Muell., C. inodora F.M. Bailey and C. garrawayi
F.M. Bailey . Genet Resources Crop Evol 55: 683-693. Hamrick JL. 1989. Isozyme and the Analysis of Genetic Structure in Plant
Population. Di dalam: Soltis DE and Soltis PS, editor. Isozymes in Plant Biology.
Portland, Oregon: Dioscorides Press. hlm 87-105. Hasegawa S, Berhow MA, Fong CH. 1996. Analysis of Bitter Principles in
Citrus . Di dalam: Linskens HF, Jackson JF, editor. Modern Methods of
Plant Analysis , Volume ke-18 Fruit Analysis. Berlin Heidelberg: Springer-
Verlag. Hlm 59-80. Hearn CJ. 1994. The evolution of citrus species - methods to develop new sweet
orange cultivars. Proc Fla State Hort Soc 107: 1–3. Hirai M, Kozaki I, Kajiura I. 1986. Isozyme analysis and phylogenetic
relationship of citrus. Jpn J Breed 36:377-389.
Hirai M, Kajiura I. 1987. Genetic analysis of leaf isozymes in citrus. Jpn J Breed 37:377-388.
Hirai M, Mitsue S, Kita K, Kajiura I. 1990. A survey and isozyme analysis of wild mandarin, Tachibana Citrus tachibana Mak. Tanaka growing in
Japan. J Jpn Soc Hort Sci 59: 1-7. Hardiyanto, Mujiarto E, Sulasmi ES. 2007. Kekerabatan genetik beberapa
spesies jeruk berdasarkan taksonometri. J Hort 17: 203-206. Helmiyesi, Hastuti RB, Prihastanti E. 2008. Pengaruh lama penyimpanan
terhadap kadar gula dan vitamin C pada buah jeruk siam Citrus nobilis var. microcarpa
. Bul Anatomi Fisiol XVI:33-37. Heslop-Harrison J, Heslop-Harrison Y, Shivanna KR. 1984. The evaluation of
pollen quality, and a further appraisal of the fluorochromatic FCR test procedure. Theor Appl Genet. 67:367-375.
Hluši čková, J.B., J. Blažek. 2006. Seed count, fruit quality and storage
properties in four apple cultivars. J. Fruit Ornamental Plant Res 14: 151- 160.
Hockema BR, Echeverria E. 2000. Factors involved in soluble solids accumulation in citrus fruits. Proc Fla State Hort Soc 113:126-130.
Hodgson RW. 1967. Horticultural Varieties of Citrus. Di dalam: Reuther W, Webber HJ and Batchelor ID, editor. The Citrus Industry. Volume ke-1.
Berkeley, USA: Univ. of Calif. Press, hlm 534-537. http:lib.ucr.eduagnicwebberVol1Chapter4.html. [10 April 2009].
Honsho C, Kotsubo M, Fukuda Y, and Hamabata Y. 2009. Reproductive characteristics for self-compatibility and seedlessness in ‘Nishiuchi
Konatsu’, a bud mutation of Hyuganatsu Citrus tamurana hort. ex Tanaka. Hort Sci 44:1547–1551.
Horry JP. 1989. The Genetic Structure of Wild and Cultivated Bananas as Perceived Through Isozymes Variation. Di dalam: JP Horry, editor
Chemiotaxonomie et Organization Genetic dans Le Genre Musa . Paris:
Universite De-Paris-SUD, Centre D’Orsay. Idris S, Saad MS. 2001. Characterization of Plant Genetic Resources. Di dalam:
Saad MS and Rao VR, editor A Training Manual IPGRI-APO, Serdang. Establishment and management of Field Gene Bank
. Serdang, Malaysia: IPGRI Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania. hlm 81-86.
Iglesias DJ, Cerc ós, Colmenero-Flores JM, Naranjo MA, Rios G, Carrera E, Ruiz-
Rivero O, Lliso I, Morillon R, Tadeo FR, Talon M. 2007. Physiology of citrus fruiting. Rev Braz J Plant Physiol 19: 333-362.
[IPGRI] International Plant Genetic Research Institute. 1999. Descriptors for Citrus
. Rome, Italy: International Plant Genetic Resources Institute.
Iqbal MM, Altaf N, Murwat EK, Hafiz IA, Bhatti IA. 2001. A marker for seedlessness in Kinnow mandarin. Pak J Biol Sci 4:69.
Jabbarzadeh Z , Khosh-khui M, Salehi H, Saberivand A. 2010. Inter simple sequence repeat ISSR markers as reproducible and specific tools for
genetic diversity analysis of rose species. African J Biotechnol 9: 6091- 6095.
Jackson LK, Gmitter Jr FG. Tanpa tahun. Seed development in citrus http:flcitrus.ifas.ufl.eduUF20IFAS20Short20Course20Proceeding
sfruitset.htm. [18 Juni 2009]. Jan NE and Kawabata S. 2011. Relationship between fruit soluble solid content
and the sucrose concentration of the phloem sap at different leaf to fruit ratios in tomato. J Jpn Soc Hort Sci 80: 314–321.
Jaskani MJ, Khan IA, Khan MM, Abbas H. 2007. Frequency of triploids in different interploidal crosses of citrus. Pak J Bot 39:1517-1522.
Kader AA. 1988. Influence of preharvest and postharvest environment on nutritional composition of fruits and vegetables. Di dalam: B Quebedeaux
and FA Bliss, editor. Horticulture in Human Health, Contributions of Fruits and Vegetables
. New York:Prentice-Hall, Englewood Cliffs. Kaewtubtim M, Wunnachit W. 1995. Phenological study of pummelo cv. Hom
Hat Yai in Hat Yai district, Songkhla province. Songklanakarin J Sci Technol 17: 173-179. Abstr.
Kahn TL, Chao CT. 2004. Mysteries of Mandarins. Sex, Seedlessness, and New Varieties. Cooperative Extension. Univ. California, County of San Diego.
http:www.citrusvariety.ucr.edu. [28 Juni 2009]. Kanjanapakorn S, Wunnachit W. 2001. Effect of pollination on fruit and seed
setting of pummelo Citrus grandis L. cv. Hom Hat Yai. Agric Sci J. 32:23-27. Abstr.
Kao TH, Huang S. 1994. Gametophytic self-incompatibility: a mechanism for selfnonself discrimination during sexual reproduction. Plant Physiol. 105:
461-466. Kelly JK, Rasch A, Kalisz S. 2002. A method to estimate pollen viability from
pollen size variation. Am J Bot 89:1021-1023. Ketsa S. 1989. Fruit quality of tangerine Citrus reticulata Blanco cv. Khieo
Waan with thin and thick peel. Asean Food J. 4:121-122. Kim JH, Mori T, Wakana A, Ngo BX, Sakai K, Kajiwara K. 2011.
Determination of self-incompatible citrus cultivars with S1 andor S2 Alleles by pollination with homozygous S1 seedlings S1S1 or S2S2 of
‘Banpeiyu’ pummelo. J. Jpn Soc Hort Sci 80: 404–413.
King BJ, Lee LS, Scott PT. 1996. Identification of triploid citrus by isozyme analysis. Euphytica 90:223-231. Abstr.
Kitajima A, Befu M, Hidaka Y, Hotta T, Hasegawa K. 2001. A chromosome preparation method using young leaves of Citrus. J Jpn Soc Hort Sci 70:
191–194. Kobayashi S, Ohgawara T, Saito W, Nakamura Y, Omura M. 1997. Production
of triploid somatic hybrid in citrus. J Jpn Soc Hort Sci 66:453-458. Koehler-Santos P, Dornellos ALC, de Freitos LB. 2003. Characterization of
mandarin citrus germplasm from Southern Brazil by morphological and molecular analysis. Pesq Agropec Bras 7:797-806.
Kojima K. 1997. Changes of ABA, IAA and GAs levels in reproductive organs of citrus. JARQ 31:271-280.
Krezdorn, A.H. tanpa tahun. Pollination and related factors affecting fruit quality. http:irrec..ifas.ufl.edufl
citrusUF IFAS Short Course Proceedingsfactorspollination.pdf [17 Juni 2009].
Krueger RR. 2003. Use of molecular markers in the management of citrus germplasm resources. J Am Soc Hort Sci 128:827-837.
Kumar S, Jena SN, Nair NK . 2009. ISSR polymorphism in Indian wild orange Citrus indica Tanaka, Rutaceae and related wild species in North-east
India. Sci Hort 123: 350–359. Ladaniya, MS. 2008. Citrus Fruit. Biology, Technology and Evaluation. San
Diego: Academic Press. Lee SK, Kader AA. 2000. Preharvest and postharvest factors influencing vitamin
C content of horticultural crops. Postharvest Biol. Technol. 20: 207–220. Mahardika IBK, Susanto S. 2003. Perubahan kualitas buah beberapa kultivar
jeruk besar Citrus grandis L. Osbeck selama periode pematangan. Hayati 10: 106-109.
Malik SK, Chaudhury R, Dhariwal OP, Kalia RK. 2006. Collection and characterization of Citrus indica Tanaka and C. macroptera Montr. wild
endangered species of Northeastern India. Genet Resources Crop Evol. 7: 1485-1493.
Mallet J. 1996. The genetics of biological diversity: from varieties to species. Di dalam: Gaston KJ, editor. Biodiversity. a Biology of Numbers and
Difference. London: Blackwell Science Ltd. hlm 13-53.
Manner, HI, Buker RS, Smith VE, Ward D, Elevitch CR. 2006. Citrus citrus and Fortunella kumquat, Rutaceae true family. Species Profiles for
Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org. [17 Maret 2009]. Mabberley DJ. 1997. A classification for edible Citrus Rutaceae. Telopea
7:167-172. McCollum, T.G., K.D. Bowman. 2005. Fruit and juice quality of ‘Pineapple’
oranges on four rootstocks. Proc Fla State Hort Sci 118:1-3.
Menteri Pertanian RI. 2001. Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor:217KptsTP.24042001 Deskripsi Jeruk Besar Varietas Pamelo Sri
Nyonya. Departemen Pertanian. Jakarta. Mesejo C, Martínez-Fuentes A, Reig C, Agusti M. 2007. The effective
pollination period in ‘Clemenules’ mandarin, ‘Owari’ Satsuma mandarin and ‘Valencia’ sweet orange. Plant Sci 173:223–230
Micales JA, Bonde MR. 1995. Isozymes: Methods and Applications. Di dalam: Singh RP, Singh US, editors. Molecular Methods in Plant Pathology. Boca
Raton: CRC Press. Inc. Mishra P, Kar R. 2003. Treatment of grapefruit juice bitterness removal by
amberlite IR 120 and amberlite IR 400 and alginate entapped naringinase enzyme. J Food Sci 6: 1229-1233.
Monerri C, Guardiola JL. 2001. Peroxidase activity and isozyme profile in buds and leaves in relation to flowering in Satsuma mandarin Citrus unshiu.
Sci Hort 90:40-56. Moriguchi T, Kita M, Hasegawa S, Omura M. 2003. Molecular approach to
citrus flavonoid and limonoid biosynthesis. Food Agric Environ. 1:22-25. Morton JF. 1987. Pummelo. Di dalam: Dowling CF. Fruits of Warm Climates.
Miami, FL: Media, Inc., Greesboo, N.C. hlm 147–151. Muthusamy S, Kanagarajan S, Ponnusamy S. 2008. Efficiency of RAPD and
ISSR markers system in accessing genetic variation of rice bean Vigna umbellata
landraces. Electronic J Biotechnol 11:1-10. http:www.ejbiotechnology.infocontentvol11issue3full8DOI:
10.2225vol11-issue3-fulltext-8. [24 Maret 2011]. Mustakallio K K, Ahos E O. 1955. Tetrazolium reduction test for milk. Sci 122:
971-972. Nagy S, Shaw PE, Veldhuis MK, editor. 1977. Citrus Science and Technology.
Volume ke-2. Westport, CT: AVI Publ. Co.. Nakajima Y, Susanto S, Hasegawa K. 1993. Influence of water stress in autumn
on flower induction and fruiting in young pomelo trees Citrus grandis L. Osbeck. J Jpn Soc Hort Sci 62: 15-20.
Nartvaranant P, Nartvaranant K. 2011. Analysis based on AFLP markers of the genetic variations and their relationships for pummelo cultivars grown in the
central region of Thailand. Songklanakarin J Sci Technol 33: 499-508. Ngo BX, Wakana A, Kim JH, Mori T, Sakai K. 2010. Estimation of self
incompatibility S genotypes of Citrus cultivars and plants based on controlled pollination with restricted number of pollen grains. J Fac Agr
Kyushu Univ 55: 67–72.
Niyomdham C, 1992. Citrus maxima Burm. Merr. Di dalam: Verheij EWM and Coronel E, editor. Edible Fruits and Nuts. Plant Resources of South-East
Asia. 2 . Bogor : Prosea Foundation. hlm 128-131.
Nualsri C, Kolasuk S, Wannachit W. 2003. Analysis of genetic variation among
Pummelo Citrus maxima Burm Merrill cv. Hom Hat Yai and indigenous in Songkhla province based on RAPD markers.
Songklanakarin J Sci Tech 25: 577-587.
Ohta H, Hasegawa S. 2006. Limonoids in citrus Citrus grandis L. Osbeck. J Food Sci. 60: 1284-1285. Abstr.
Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Agroforestry Database:a tree reference and selection guide version 4.0
http:www.worldagroforestry.orgsitestreedbstreedatabases.asp. [13 Juni 2009].
Ortiz JM. 2002. Botany: Taxonomy, Morphology and Physiology of Fruits,
Leaves and Flowers. Di dalam: Dugo, G. and Giacomo AD, editor. Citrus the genus Citrus.
London and New York: Taylor Francis. Papadakis IE, Protopapadakis EE, Therios
IN. 2009. Yield and fruit quality of
‘Nova’ hybrid [Citrus clementina hort. ex Tanaka × C. reticulata Blanco × C. paradisi Macfad] and two Clementine varieties C. clementina hort.
ex Tanaka as affected by self- and cross-pollination. Sci Hort 121: 38-41.
Paudyal KP, Haq N. 2008. Variation of pomelo Citrus grandis L. Osbeck in Nepal and participatory selection of strains for further improvement.
Agroforest Syst. 72:195-204. Perry MC, Battencourt E. 1997. Sources of information on existing germplasm
collections. Di dalam: Guarino L, Ramanatha Rao V and Reid R, editor. Collecting Plant Genetic Diversity
. Wallingford: CAB International. Petrokas R, Stanys V. 2008. Leaf peroxidase isozyme polymorphism of wild
apple. Agron. Res. 6: 531-541. Phan TT, Nguyen PD, Nguyen TM. 2006. Identification of pummelo Citrus
grandis L. Osbeck cultivars using isozyme electrophoresis. Meded
Rijksuniv Gent Fak Landbouwkd Toegep Biol Wet. 67:13-9. Pharmawati M, Yan G, McFarlane,IJ. 2004. Application of RAPD and ISSR
markers to analyse molecular relationships in Grevillea Proteaceae. Aust Systematic Bot
17: 49–61.