Model Penilaian Cepat Kinerja Industri Gula

(1)

MODEL PENILAIAN CEPAT

KINERJA INDUSTRI GULA

Nur Cahyadi

F03498132

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

MODEL PENILAIAN CEPAT

KINERJA INDUSTRI GULA

Nur Cahyadi

F03498132

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Fakultas Teknologi Pertanian

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MODEL PENILAIAN CEPAT KINERJA INDUSTRI GULA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Nur Cahyadi F03498132

Disetujui,

Bogor, September 2005

Dr. Ir. Hartrisari Hadjomidjojo, DEA. Dosen Pembimbing


(5)

v Untuk Emak dan Bapak (Alm.) Terimalah bakti dari anakmu.


(6)

Nur Cahyadi.F03498132. Model Penilaian Cepat Kinerja Industri Gula. Di bawah bimbinganHartrisari Hadjomidjojo.

RINGKASAN

Beberapa tahun terakhir ini Indonesia sedang mengalami krisis gula nasional. Krisis gula ini ditunjukkan dengan besarnya gula impor terutama impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Krisis gula nasional terjadi karena pabrik gula (PG) di Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah, salah satunya adalah rendahnya kinerja PG baik dalam bidang pabrikasi maupun manajemen.

Terjadinya krisis gula nasional dan rendahnya kinerja industri gula menun-jukkan bahwa saat ini dibutuhkan upaya-upaya bagi peningkatan kinerja industri gula di Indonesia. Salah satu hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pergulaan nasional adalah dengan memperbaiki kinerja PG yang ada. Peningkatan manajemen dan proses pabrik gula diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan produksi gula nasional, sehingga ke depan diharapkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan gula dalam negeri tanpa harus tergantung pada gula impor.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model penilaian cepat kinerja industri gula ke dalam sebuah perangkat lunak aplikatif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja PG secara cepat. Model penilaian cepat industri gula di rancang dalam sebuah paket perangkat lunak yang diberi nama “MPG 1.0”. Model ini tersusun atas empat belas sub-model penilaian kinerja (SMPK), yaitu:

1. SMPK Stasiun Penerimaan dan Persiapan 2. SMPK Stasiun Penggilingan

3. SMPK Stasiun Pemurnian 4. SMPK Stasiun Penguapan 5. SMPK Stasiun Kristalisasi. 6. SMPK Stasiun Sentrifugasi.

7. SMPK Stasiun Pengeringan dan Pengemasan 8. SMPK Stasiun Energi

9. SMPK Produk 10. SMPK Keuangan 11. SMPK Formasi SDM 12. SMPK Ekonomi 13. SMPK Sosial 14. SMPK Lingkungan

Judgment penentuan kinerja dilakukan dengan menghitung nilai penyimpangan (deviasi). Penyimpangan maksimal adalah sebesar 10%. Jika nilai deviasi suatu kriteria kurang dari atau sama dengan 10% maka kriteria tersebut dinyatakan baik, dan sebaliknya kriteria tersebut dinyatakan kurang baik.

Keluaran dari Model Penilaian Cepat Industri Gula berupa tiga kategori penilaian kinerja, yaitu: penilaian kinerja internal PG, penilaian kinerja eksternal PG, dan penilaian kinerja keseluruhan PG. Penilaian kinerja internal PG terdiri dari hasil penilaian kinerja sub-model 1 sampai dengan sub-model 11. Penilaian kinerja eksternal terdiri dari hasil penilaian kinerja dari sub-model 12 sampai dengan sub model 14. Penilaian kinerja keseluruhan PG merupakan gabungan dari penilaian kinerja internal dan penilaian kinerja eksternal PG.

Model ini diverifikasi menggunakan data tiga PG, yaitu PG. Candi Baru, PG. Lestari, dan PG. Ngadirejo. Ketiga PG tersebut mewakili PG skala kecil, sedang, dan besar. Dari hasil verifikasi model diperoleh nilai deviasi kinerja PG. Candi Baru adalah sebesar 12.99 %, PG. Lestari 14.79 %, dan PG. Ngadirejo 12.14%, sehingga


(7)

ii

Nur Cahyadi. F03498132. Rapid Assessment Model of Sugarcane Industry Performance. Under supervision of Hartrisari Hardjomidjojo.

ABSTRACT

Cane sugar industries are the potential sectors for economics development in Indonesia. The development of cane sugar industries which integrates industrial sectors and sugarcane farmers might be one of the government programs for poverty alleviation. The production of sugar industries in Indonesia for 2005 (2 million tones/year) could not satisfy sugar consumtion (3.6 millions tones per year). This phenomenon causes illegal import of sugar to Indonesia. The main problem is lack of raw material and sugar industrial performance. The capacity used in industries is only about 60% from optimal capacity. Farmers would plan sugarcane if there is a continuous demand from sugar industries. On the other hand, performance of sugar industries should be increased. Rapid assessment model for sugar industry performance is developed for basic evaluation of sugar industrial performance. Based on the evaluation, strategic recommendation is represented in software application.


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah tentang peningkatan produktivitas industri gula Indonesia, dengan judul Model Penilaian Cepat Kinerja Industri Gula. Tema ini diangkat dengan latar belakang terjadinya krisis gula di Indonesia beberapa tahun terakhir ini.

Rasa terima kasih dan penghargaan yang setulusnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Hartrisari H., DEA selaku pembimbing yang telah memberikan dorongan dan pengarahan kepada penulis selama proses penyelesaian studi. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Drs. Purwoko, MSi dan Dr.Ir. Endang Warsiki, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan skripsi. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada semua Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan banyak bekal ilmu selama penulis menempuh studi di Jurusan TIN.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada warga PDK terutama Nata dan Bang Gultom yang telah banyak membantu dalam penyuntingan naskah. Kepada teman-teman satu jurusan: Budi, Arfi, Yunita, dan Esti terima kasih atas bantuan dan saran yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2005


(9)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 15 Februari 1980 dari Ibu Paenah dan Ayah Sadjuri (Alm.). Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMUN 1 Genteng di Banyuwangi. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum mata Kuliah Penerapan Komputer pada tahun ajaran 2000/2001. Penulis juga pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu: Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, dan Tim Independen Otonomi Kampus Keluarga Mahasiswa IPB sebagai koordinator biro penelitian dan pengembangan.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ...viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. RUANG LINGKUP... 3

C. TUJUAN... 3

D. MANFAAT... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. INDUSTRI GULA... 4

1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Industri Gula ... 4

2. Manajemen Pabrik Gula ... 6

3. Proses Produksi... 10

B. PENGUKURAN KINERJA... 14

1. Definisi ... 15

2. Ukuran Kinerja ... 16

3. Teknik Pengukuran Kinerja ... 18

C. PENDEKATAN SISTEM... 19

III. METODOLOGI ... 23

A. KERANGKA PEMIKIRAN... 23

B. PENDEKATAN SISTEM... 23

1. Analisis Kebutuhan... 23

2. Formulasi Permasalahan ... 24

3. Identifikasi Sistem ... 25

C. TEKNIK ANALISIS... 26

IV. PEMODELAN SISTEM ... 29


(11)

MODEL PENILAIAN CEPAT

KINERJA INDUSTRI GULA

Nur Cahyadi

F03498132

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

(13)

MODEL PENILAIAN CEPAT

KINERJA INDUSTRI GULA

Nur Cahyadi

F03498132

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Fakultas Teknologi Pertanian

2005

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MODEL PENILAIAN CEPAT KINERJA INDUSTRI GULA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Nur Cahyadi F03498132

Disetujui,

Bogor, September 2005

Dr. Ir. Hartrisari Hadjomidjojo, DEA. Dosen Pembimbing


(15)

v Untuk Emak dan Bapak (Alm.) Terimalah bakti dari anakmu.


(16)

Nur Cahyadi.F03498132. Model Penilaian Cepat Kinerja Industri Gula. Di bawah bimbinganHartrisari Hadjomidjojo.

RINGKASAN

Beberapa tahun terakhir ini Indonesia sedang mengalami krisis gula nasional. Krisis gula ini ditunjukkan dengan besarnya gula impor terutama impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Krisis gula nasional terjadi karena pabrik gula (PG) di Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah, salah satunya adalah rendahnya kinerja PG baik dalam bidang pabrikasi maupun manajemen.

Terjadinya krisis gula nasional dan rendahnya kinerja industri gula menun-jukkan bahwa saat ini dibutuhkan upaya-upaya bagi peningkatan kinerja industri gula di Indonesia. Salah satu hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pergulaan nasional adalah dengan memperbaiki kinerja PG yang ada. Peningkatan manajemen dan proses pabrik gula diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan produksi gula nasional, sehingga ke depan diharapkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan gula dalam negeri tanpa harus tergantung pada gula impor.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model penilaian cepat kinerja industri gula ke dalam sebuah perangkat lunak aplikatif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja PG secara cepat. Model penilaian cepat industri gula di rancang dalam sebuah paket perangkat lunak yang diberi nama “MPG 1.0”. Model ini tersusun atas empat belas sub-model penilaian kinerja (SMPK), yaitu:

1. SMPK Stasiun Penerimaan dan Persiapan 2. SMPK Stasiun Penggilingan

3. SMPK Stasiun Pemurnian 4. SMPK Stasiun Penguapan 5. SMPK Stasiun Kristalisasi. 6. SMPK Stasiun Sentrifugasi.

7. SMPK Stasiun Pengeringan dan Pengemasan 8. SMPK Stasiun Energi

9. SMPK Produk 10. SMPK Keuangan 11. SMPK Formasi SDM 12. SMPK Ekonomi 13. SMPK Sosial 14. SMPK Lingkungan

Judgment penentuan kinerja dilakukan dengan menghitung nilai penyimpangan (deviasi). Penyimpangan maksimal adalah sebesar 10%. Jika nilai deviasi suatu kriteria kurang dari atau sama dengan 10% maka kriteria tersebut dinyatakan baik, dan sebaliknya kriteria tersebut dinyatakan kurang baik.

Keluaran dari Model Penilaian Cepat Industri Gula berupa tiga kategori penilaian kinerja, yaitu: penilaian kinerja internal PG, penilaian kinerja eksternal PG, dan penilaian kinerja keseluruhan PG. Penilaian kinerja internal PG terdiri dari hasil penilaian kinerja sub-model 1 sampai dengan sub-model 11. Penilaian kinerja eksternal terdiri dari hasil penilaian kinerja dari sub-model 12 sampai dengan sub model 14. Penilaian kinerja keseluruhan PG merupakan gabungan dari penilaian kinerja internal dan penilaian kinerja eksternal PG.

Model ini diverifikasi menggunakan data tiga PG, yaitu PG. Candi Baru, PG. Lestari, dan PG. Ngadirejo. Ketiga PG tersebut mewakili PG skala kecil, sedang, dan besar. Dari hasil verifikasi model diperoleh nilai deviasi kinerja PG. Candi Baru adalah sebesar 12.99 %, PG. Lestari 14.79 %, dan PG. Ngadirejo 12.14%, sehingga


(17)

ii

Nur Cahyadi. F03498132. Rapid Assessment Model of Sugarcane Industry Performance. Under supervision of Hartrisari Hardjomidjojo.

ABSTRACT

Cane sugar industries are the potential sectors for economics development in Indonesia. The development of cane sugar industries which integrates industrial sectors and sugarcane farmers might be one of the government programs for poverty alleviation. The production of sugar industries in Indonesia for 2005 (2 million tones/year) could not satisfy sugar consumtion (3.6 millions tones per year). This phenomenon causes illegal import of sugar to Indonesia. The main problem is lack of raw material and sugar industrial performance. The capacity used in industries is only about 60% from optimal capacity. Farmers would plan sugarcane if there is a continuous demand from sugar industries. On the other hand, performance of sugar industries should be increased. Rapid assessment model for sugar industry performance is developed for basic evaluation of sugar industrial performance. Based on the evaluation, strategic recommendation is represented in software application.


(18)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah tentang peningkatan produktivitas industri gula Indonesia, dengan judul Model Penilaian Cepat Kinerja Industri Gula. Tema ini diangkat dengan latar belakang terjadinya krisis gula di Indonesia beberapa tahun terakhir ini.

Rasa terima kasih dan penghargaan yang setulusnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Hartrisari H., DEA selaku pembimbing yang telah memberikan dorongan dan pengarahan kepada penulis selama proses penyelesaian studi. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Drs. Purwoko, MSi dan Dr.Ir. Endang Warsiki, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan skripsi. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada semua Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan banyak bekal ilmu selama penulis menempuh studi di Jurusan TIN.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada warga PDK terutama Nata dan Bang Gultom yang telah banyak membantu dalam penyuntingan naskah. Kepada teman-teman satu jurusan: Budi, Arfi, Yunita, dan Esti terima kasih atas bantuan dan saran yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2005


(19)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 15 Februari 1980 dari Ibu Paenah dan Ayah Sadjuri (Alm.). Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMUN 1 Genteng di Banyuwangi. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum mata Kuliah Penerapan Komputer pada tahun ajaran 2000/2001. Penulis juga pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu: Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, dan Tim Independen Otonomi Kampus Keluarga Mahasiswa IPB sebagai koordinator biro penelitian dan pengembangan.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ...viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. RUANG LINGKUP... 3

C. TUJUAN... 3

D. MANFAAT... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. INDUSTRI GULA... 4

1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Industri Gula ... 4

2. Manajemen Pabrik Gula ... 6

3. Proses Produksi... 10

B. PENGUKURAN KINERJA... 14

1. Definisi ... 15

2. Ukuran Kinerja ... 16

3. Teknik Pengukuran Kinerja ... 18

C. PENDEKATAN SISTEM... 19

III. METODOLOGI ... 23

A. KERANGKA PEMIKIRAN... 23

B. PENDEKATAN SISTEM... 23

1. Analisis Kebutuhan... 23

2. Formulasi Permasalahan ... 24

3. Identifikasi Sistem ... 25

C. TEKNIK ANALISIS... 26

IV. PEMODELAN SISTEM ... 29


(21)

iv

B. RANCANG BANGUN SISTEM ... 32

1. Sistem Manajemen Basis Data ... 32

2. Model Penilaian Kinerja ... 36

C. IMPLEMENTASI SISTEM... 50

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. MODEL PENILAIAN CEPAT INDUSTRI GULA 1.0 (MPG 1.0)... 52

1. Manajemen Dialog ... 53

2. Manajemen Basis Data ... 56

B. VERFIKASI MODEL... 58

C. REKOMENDASI... 80

1. Rekomendasi Khusus... 80

2. Rekomendasi Umum... 84

VI. KESIMPULAN ... 86

A. KESIMPULAN... 86

B. SARAN... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Penerimaan dan Persiapan... 37 2. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Penggilingan ... 38 3. Paramer Penilaian Kinerja Stasiun Pemurnian Nira. ... 39 4. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Penguapan ... 40 5. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Kristalisasi ... 40 6. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Putaran... 41 7. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Pengeringan dan Pengemasan ... 42 8. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Energi ... 42 9. Parameter Penilaian Kinerja Produk ... 43 10. Parameter Kinerja Formasi Tenaga Kerja Pada Tiga Skala PG... 44 11. Parameter Penilaian Kinerja Keuangan pada Tiga Jenis Skala PG... 45 12. Parameter Penilaian Kinerja Ekonomi ... 46 13. Parameter Penilaian Kinerja Linkungan ... 48 14. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Bahan Baku PG. Candi baru. ... 60 15. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Bahan Baku PG. Lestari. ... 60 16. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Bahan Baku PG. Ngadirejo. ... 60 17. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Penggilingan PG. Candi baru... 61 18. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Penggilingan PG. Lestari. ... 61 19. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Penggilingan PG. Ngadirejo. ... 62 20. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Pemurnian di PG. Candi Baru. ... 62 21. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Pemurnian di PG. Lestari. ... 63 22. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Pemurnian PG. Ngadirejo. ... 63 23. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Penguapan PG. Candi Baru... 63 24. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Penguapan PG. Lestari. ... 64 25. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Penguapan PG. Ngadirejo. ... 64 26. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Kristalisasi PG. Candi Baru. ... 64 27. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Sentrifugasi PG. Candi Baru. ... 65 28. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Pengeringan dan Pengemasan

PG. Candi Baru. ... 67 29. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Pengeringan dan Pengemasan


(23)

vi 30. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Pengeringan dan Pengemasan

PG. Ngadirejo... 67 31. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Energi PG. Candi Baru (Ketel Tipe Baru). .. 68 32. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Energi PG. Lestari (Ketel Tipe Baru). ... 68 33. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Energi PG. Ngadirejo (Ketel Tipe Lama). ... 68 34. Hasil Penilaian Kinerja Produk PG. Candi Baru. ... 69 35. Hasil Penilaian Kinerja Produk PG. Lestari... 69 36. Hasil Penilaian Kinerja Produk PG. Ngadirejo... 70 37. Hasil Penilaian Keuangan PG. Candi Baru (PG. skala kecil). ... 70 38. Hasil Penilaian Keuangan PG. Lestari (PG. skala sedang). ... 71 39. Hasil Penilaian Keuangan PG. Ngadirejo (PG. skala besar)... 71 40. Hasil Penilaian Kinerja Formasi Tenaga Kerja PG. Candi Baru

(PG. skala kecil). ... 72 41. Hasil Penilaian Kinerja Ekonomi PG. Candi Baru. ... 73 42. Hasil Penilaian Kinerja Ekonomi PG. Lestari... 74 43. Hasil Penilaian Kinerja Ekonomi PG. Ngadirejo... 74 44. Hasil Penilaian Kinerja Sosial pada PG. Candi Baru, PG. Lestari, dan

PG. Ngadirejo... 75 45. Hasil Penilaian Kinerja Lingkungan PG. Candi Baru... 76 46. Hasil Penilaian Kinerja Lingkungan PG. Candi Baru... 76 47. Hasil Penilaian Kinerja Lingkungan PG. Candi Baru... 76 48. Hasil Penilaian Kinerja Pada Verifikasi Model di Tiga PG... 78


(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Umum Struktur Organisasi PG ... 8 2. Tahap Pendekatan Sistem (Eriyatno, 1999) ... 21 3. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno, 1999) ... 22 4. Gambar Input-Output Model Penilaian Cepat Industri Gula. ... 26 5. Konfigurasi Model MPG 1.0 ... 29 6. Diagram Alir Data (DFD) Level 0 Basis Data MPG 1.0. ... 33 7. Diagram Alir Data (DFD) Level 1 ... 34 8. Model Konseptual Basis Data MPG 1.0... 35 9. Model Fisik Basis Data MPG 1.0... 36 10. Skema Eksekusi Program MDB 1.0. ... 51 11. Tampilan Otorisasi Masuk MPG 1.0... 53 12. Tampilan Formulir Utama MPG 1.0. ... 54 13. Tampilan Formulir Alur Penilaian Kinerja PG. ... 55 14. Tampilan Formulir Kesimpulan Penilaian Kinerja PG. ... 56 15. Representasi Fisik Basis Data MPG 1.0... 57 16. Formulir Identifikasi PG... 59


(25)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Daftar Keterangan Simbol Syarat Persamaan Pada Tabel Standar Kinerja. .. 90 2. TampilanHardcopyHasil Penilaian PG. Ngadirejo. ... 91 3. Contoh Formulir Penilaian Kinerja. ... 92 4. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Kristalisasi PG. Lestari. ... 93 5. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Kristalisasi PG. Candi Baru. ... 94 6. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Sentrifugasi PG. Lestari. ... 94 7. Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Sentrifugasi PG. Ngadirejo. ... 95 8. Hasil Penilaian Kinerja Formasi Tenaga Kerja PG. Lestari ... 96 9. Hasil Penilaian Kinerja Formasi Tenaga Kerja PG. Ngadirejo ... 97 10. TampilanHardcopyHasil Penilaian PG. Lestari. ... 98 11. TampilanHardcopyHasil Penilaian PG. Ngadirejo ... 99


(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tebu merupakan sumberdaya biologis yang bernilai tinggi dalam perekonomian Indonesia. Tebu merupakan bahan baku utama bagi industri gula di Indonesia. Industri gula menempati posisi yang penting dalam sejarah perkem-bangan perekonomian Indonesia sejak jaman penjajahan. Sumperkem-bangan industri gula terhadap perekonomian ekspor pada jaman kolonial relatif tinggi dibandingkan industri lainnya. Pada tahun 1930 Indonesia menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba. Sejak akhir tahun 1960-an, industri gula mengalami penurunan produktivitas dari tahun ke tahun. Pada akhirnya sejak tahun 1967, Indonesia tidak lagi mampu mencapai swasembada gula dan menjadi salah satu negara pengimpor gula (Mubyarto, 1968).

Kebutuhan gula nasional dengan jumlah penduduk yang relatif besar seperti Indonesia diprediksi akan senantiasa meningkat. Data konsumsi gula nasional pada tahun 2004 adalah sebesar 3,5 juta ton, namun kebutuhan yang terpenuhi baru 55 % atau sebesar 1,93 juta ton (Latifah, 2004). Untuk mencukupi kekurangan gula sebesar 1.56 juta ton (45 %), Indonesia tergantung pada pasokan gula impor dari pasar internasional. Peningkatan konsumsi gula nasional pada tahun 2005 diperkirakan sebesar 2.7%, sehingga konsumsi gula nasional mencapai 3.6 juta ton (Susila, 2004). Pada masa mendatang diproyeksikan konsumsi gula nasional akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi (Susila, 2004). Meningkatnya pasokan gula impor yang diperlukan berarti meningkatkan risiko ketergantungan penyediaan gula nasional terhadap situasi pasar gula dunia yang dikenal labil (Bakrie, 2003).

Besarnya impor gula disebabkan oleh produksi industri gula Indonesia yang saat ini relatif tidak optimal, baik ditinjau dari kapasitas sumberdaya alam maupun kapasitas terpasang pabrik gula. Secara umum dapat dikatakan bahwa kapasitas pabrik gula (PG) yang ada saat ini baru termanfaatkan sekitar 60 % saja. Hal ini terjadi karena PG-PG menghadapi berbagai masalah. Salah satu masalah yang dihadapi adalah rendahnya efisiensi manajemen dan rendahnya efisiensi pabrikasi PG (Tim Studi P3GI, 2005). Persoalan lain yang dihadapi PG


(27)

2 di Indonesia adalah lemahnya kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap segala perubahan yang terjadi baik secara internal maupun eksternal (Kusumo, 1993).

Guna mengatasi masalah pergulaan nasional, pada tahun 2002 Menteri Pertanian RI mengeluarkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2002-2007. Program ini bertujuan untuk mencari solusi fundamental atas permasalahan sistem produksi dan agribisnis pergulaan (Deptan, 2005). Dengan digulirkannya program tersebut maka terbuka peluang baru bagi industri gula untuk melakukan perbaikan-perbaikan, baik perbaikan dalam kegiatan perkebunan tebu maupun perbaikan dalam pabrik gula.

Salah satu perbaikan yang perlu dilakukan adalah meningkatkan

kemampuan manajemen PG yang ada. Manajemen PG yang baik akan

memberikan dampak positif kepada seluruh pihak. Upaya perbaikan manajemen PG diharapkan dapat menghasilkan standar pengelolaan ideal bagi pengelolaan pabrik gula secara nasional (Tim Studi P3GI, 2005)

Saat ini belum ada standar nasional pengelolaan PG yang dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah dan pelaku industri gula untuk meningkatkan kinerja PG. Oleh karena itu, perlu disusun suatu “standar penilaian kinerja” yang dapat dijadikan acuan bagi pelaku industri gula untuk melakukan perbaikan kinerja PG. Penilaian secara cepat (rapid asessment system) kinerja industri gula dapat digunakan sebagai dasar evaluasi kinerja industri gula saat ini, sehingga dapat ditentukan strategi perbaikan yang perlu dilakukan oleh indutri gula tersebut.


(28)

B. RUANG LINGKUP

Model penilaian cepat (rapid assessment) kinerja industri gula dibatasi pada kegiatan pabrikasi gula, yaitu pada pabrik yang menghasilkan gula kristal dari tebu. Kegiatan perkebunan tebu dan diversifikasi produk selain gula belum dicakup dalam penyusunan model penilaian cepat kinerja industri gula.

C. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan perangkat lunak aplikatif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja pabrik gula. Perangkat lunak yang dibangun dilengkapi dengan teknik analisis sehingga hasil penilaian kinerja pabrik gula dapat diketahui secara langsung dari luaran sistem.

D. MANFAAT

Penelitian ini merupakan kajian terhadap kinerja pabrik gula yang menggunakan tebu sebagai bahan baku. Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan penelitian tentang kinerja pabrik gula di Indonesia. Beberapa manfaat dari luaran model penilaian cepat industri gula adalah :

1. Bagi pemerintah, hasil penilaian kinerja pabrik gula secara umum dapat dijadikan sebagai masukan dan sebagai dasar evaluasi penentuan strategi pengembangan industri gula ke depan.

2. Bagi produsen gula, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat kinerja pabrik saat ini (self assessment). Berdasarkan hasil penilaian diharapkan manajemen pabrik gula dapat mengetahui prioritas utama yang perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerjanya.

3. Bagi lembaga penelitian atau asosiasi pergulaan, hasil penilaian kinerja seluruh PG di Indonesia dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk penyusunan program kerja dan kebijakan pergulaan.


(29)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. INDUSTRI GULA

1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Industri Gula

Sejarah moderen industri gula di Indonesia dimulai pada tahun 1673, ditandai dengan berdirinya sebuah PG di Batavia. Pada tahun 1930, industri gula Indonesia mencapai puncak produksi dan produktivitasnya. Pada saat itu produksi gula mencapai 2,9 juta ton dengan luas areal 198.592 hektar, sementara produktivitas hablur mencapai 148 kuintal per hektar. Pada tahun 2003, luas areal tebu sekitar 335 ribu ha, di mana 209 ribu ha berada di Jawa dan 126 ribu ha sisanya terdapat di luar Jawa, dengan total produksi gula sebanyak 1,63 juta ton.

Industri gula menempati posisi yang penting di dalam sejarah perkembangan perekonomian Indonesia sejak jaman kolonial Hindia Belanda sampai saat ini. Sumbangan industri ini terhadap perekonomian ekspor pada jaman kolonial bahkan tergolong paling tinggi dibandingkan industri lainnya. Peran ini masih sangat penting pada saat ini, meskipun sejak akhir tahun 1960-an industri gula mengalami pasang surut dalam perkembangannya, bahkan saat ini tidak lagi mampu memberikan sumbangan pada perekonomian ekspor Indonesia (Tim Studi P3GI, 2005).

Industri gula dipandang sebagai industri yang strategis oleh pemerintah baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Perhatian pemerintah terhadap industri gula dari waktu ke waktu relatif besar, sehingga industri ini sering disebut sebagai the most regulated commodity (Bakrie, 2003). Industri gula diatur dari sisi produksi, sistem distribusi hingga penentuan harga dengan keberadaan monopoli Bulog sejak tahun 1971, program TRI sejak tahun 1975, operasi model Bimas dan berbagai kebijakan penetapan harga yang diberlakukan. Meskipun demikian, kebijakan pemerintah tentang peningkatan produksi gula dipercepat pada tahun 1980-an yang mencakup penyehatan BUMN, rehabilitasi pabrik gula dan pengembangan pabrik gula baru di luar Jawa untuk meningkatkan


(30)

produksi gula nasional telah mampu menghasilkan swasembada gula di tahun 1984 dan 1987 (Tim Studi P3GI, 2005)

Walaupun dari sisi produksi telah dibuktikan bahwa Program TRI telah berhasil, namun program tersebut tidak dapat meningkatkan kesejahteraan petani tebu. Berbagai masalah muncul setelah tahun 1993 terutama setelah diundangkannya Undang-undang Budidaya Tanaman tahun 1992. Krisis industri gula menjadi lebih rumit lagi setelah terjadinya krisis ekonomi nasional pada tahun 1997. Sejak itu, pemerintah tidak lagi mampu membiayai program TRI dan program pergulaan umumnya, terlebih lagi desakan IMF terhadap monopoli Bulog serta persoalan kesejahteraan petani yang mengharuskan adanya reformasi kebijakan industri gula secara menyeluruh. Keberadaan Inpres No. 5 tahun 1997 yang kemudian diganti dengan Inpres No. 5 tahun 1998 yang menghapus TRI menyebabkan gula tidak lagi menjadi program pemerintah. Monopoli Bulog dihapuskan dengan SK Menperindag No. 25 tahun 1998 (Samhoedi, 1987).

Era baru industri gula pasca 1998 telah mendorong dinamika industri gula nasional pada kancah perdagangan dunia. Terbukanya pasar gula domestik terhadap pasar dunia mengakibatkan masuknya gula impor secara berlebihan. Neraca gula nasional mengalami defisit besar, karena sejak tahun 1998 impor gula telah melebihi total produksi gula nasional (Tim Studi P3GI, 2005). Petani tebu dan perusahaan gula mengalami kerugian sangat besar, dan sebagian besar terancam terpaksa menghentikan usahanya di bidang ini. Pada tahun 1999, hampir seluruh produsen gula di Indonesia mengalami kerugian. Pengaturan tataniaga dilakukan kembali oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan, seperti penetapan harga provenu (Kepmenhutbun 282/1999), dan pengaturan impor gula (Kepmenperindag 363/1999, 643/2002). Walaupun demikian, berbagai masalah di bidang tata-niaga masih berlangsung hingga saat ini, terutama kasus-kasus yang terjadi dikaitkan dengan gula impor ilegal.

Produksi, produktivitas serta efisiensi kinerja industri gula nasional pada umumnya masih berada pada tingkatan yang rendah. Likuiditas perusahaan pada industri gula antara 2000-2001 memburuk, karena pabrik


(31)

6 gula bekerja di bawah kapasitas dan terjadinya kerugian pada tahun-tahun sebelumnya (Samhoedi, 1987). Studi P3GI tahun 2001 menunjukkan bahwa kinerja sebagian besar pabrik gula di Jawa tergolong rendah, yaitu rata-rata di bawah 5 ton hablur per hektar. Menurut ukuran P3GI, daya saing pabrik gula dapat dicapai jika produktivitas lebih tinggi dari 6 ton hablur per hektar.

2. Manajemen Pabrik Gula

PG tidak menangani seluruh aspek manajemen produksi namun hanya terfokus pada cara pelaksanaan proses produksi gula secara murah. PG hanya menyediakan bahan baku dan memprosesnya menjadi gula. Aspek pemasaran dan aspek penyediaan uang dikelola oleh perusahaan PTP/PT Gula (Tim Studi P3GI, 2005).

Keberhasilan suatu perusahaan bergantung dari sejauh mana segenap sumberdaya yang dimiliki (modal, tenaga/SDM, peralatan/bahan baku, lahan) dapat diorganisir secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Dari sumberdaya yang ada tersebut, ketersediaan SDM yang berkualitas akan menjadi faktor penentu keberhasilan usaha.

Tuntutan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya juga diperlukan di industri gula dan bahkan terasa lebih kompleks. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa PG dalam melakukan usahanya mengelola dan mengintegrasikan kegiatan (on farm) dan pabrikasi (off farm). Menurut Tim Studi P3GI (2005) secara umum kegiatan PG dicirikan sebagai berikut :

a. Memerlukan biaya modal investasi dan modal kerja tinggi

b. Membutuhkan teknik budidaya yang efektif bergantung kondisi fisik lingkungan

c. Memerlukan pengalaman yang cukup dalam aplikasi teknologi pengolahan/ prosesing

d. Membutuhkan penjadwalan yang baik, mengingat sifatnya yang kompleks dan saling terkait satu sama lain, dari kegiatan-kegiatan pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan tanaman, tebang muat angkut (panen) dan pengolahan hasil/prosesing.


(32)

PG dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan berdasarkan kapasitas giling (Tim Studi P3GI, 2005), yaitu :

PG Kecil : PG dengan kapasitas sampai 2.000 TTH (Ton Tebu/Hari) PG Sedang : PG dengan kapasitas 2.000 TTH sampai 4.000 TTH PG Besar : PG dengan kapasitas 4.000 TTH ke atas

2.1. Pasokan Bahan Baku

Pada umumnya PG di Jawa memperoleh bahan baku tebu dari tebu rakyat (TR) dan hanya sebagian kecil yang berasal dari tebu sediri (TS) yaitu tebu hasil pengelolaan tanaman PG sendiri, baik di lahan hak guna (HGU) maupun di lahan sewa/kerjasama operasional (KSO). Sementara itu di luar Jawa hampir semua bahan baku tebu berasal dari TS.

Sebagian besar PG mempunyai pasokan bahan baku campuran antara tebu sendiri (TS) dan tebu rakyat (TR). PG yang mengelola TS berarti melaksanakan kegiatanon farm. Pada PG yang mengelola TS, pengelolaan TS tersebut diekivalensikan dengan pengelolaan TR. PG dengan pola TR tidak mempunyai kegiatan on farm, sehingga biaya produksi terdiri dua hal pokok yaitu biaya pabrikasi dan biaya pelayanan.

2.2. Struktur organisasi

Struktur organisasi PG erat hubungannya dengan sumber bahan baku. Struktur umum organisasi PG biasanya hanya berbeda di bagian tanaman. Struktur umum organisasi PG dapat dilihat pada Gambar 1. Pada PG yang didominasi TS, biasanya memiliki divisi mekanisasi pada Bagian Tanaman, sementara pada PG yang didominasi TR divisi tersebut tidak ada.


(33)

8 ADMINISTRATUR KEPALA BAGIAN TANAMAN KEPALA BAGIAN INSTALASI KEPALA BAGIAN PENGOLAHAN KEPALA BAGIAN A.K.U. SKK/KEPALA RAYON WAKIL KABAG MASINIS WAKIL KABAG/ AJUN KEPALA PENGOLAHAN KEPALA TEBANG KEPALA LITBANG STAF URUSAN HAK & UMUM STAF URUSAN KEUANGAN STAF URUSAN PEMBUKUAN

Gambar 1. Bagan Umum Struktur Organisasi PG

Organisasi PG pada umumnya terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu (1) Bagian Tanaman, (2) Bagian Instalasi, (3) Bagian Pengolahan, dan (4) Bagian Akuntansi, Keuangan dan Umum (AKU). PG dipimpin oleh seorang Administratur (ADM) atau General Manager (GM) yang mengelola kegiatan operasional produksi sehari-hari serta melaporkan hasil-hasil yang diperoleh kepada Direksi.

2.3. Keuangan

Pengelolaan keuangan sangat berpengaruh bagi kinerja perusahaan karena dengan pengelolaan yang baik input yang berkualitas dapat terbeli secara tepat sehingga kelancaran produksi terjamin. Selain itu, pengelolaan keuangan yang baik dapat mendukung kelancaran investasi dan perbaikan mesin sesuai waktu ekonomisnya sehingga tidak terjadi jam berhenti yang tidak perlu. Disamping itu gaji karyawan dapat dibayar tepat waktu sehingga memberikan kenyamanan kerja bagi mereka.

Ada tiga ukuran keuangan perusahaan yang umum untuk diperhatikan yaitu solvabilitas, rentabilitas atau likuiditas. Ketiga ukuran kinerja tersebut berlaku bagi perusahaan. Namun ukuran tersebut tidak berlaku bagi PG karena PG bukan merupakanStrategic Business Unit (SBU) dalam arti sebenarnya sehingga PG tidak


(34)

mengelola keuangan (Tim Studi P3GI, 2005). Dalam industri gula, kinerja aspek keuangan diukur dari dua hal yaitu biaya SDM tiap ton kapasitas PG dan biaya non SDM tiap kg gula. Parameter pertama mencerminkan kehematan pemanfaatan SDM, sedang parameter kedua mencerminkan kehematan penggunaan input non SDM.

2.4. Pemasaran

Seperti dikemukakan di depan bahwa PG tidak menangani pengelolaan pemasaran output (gula). Pengelolaan pemasaran dilaksanakan oleh perusahaan yang melingkupi PG tersebut. Idealnya hal ini akan menguntungkan PG, karena dengan demikian perusahaan akan menguasai volume gula yang lebih besar sehingga akan lebih menguasai pasar dan akan menjadiprice setter. Agar perusahaan dapat mengeksploitasi surplus konsumen, pemasaran gula dilaksanakan secara lelang sehingga secara rata-rata perusahaan akan menerima harga yang lebih tinggi. Tugas PG dalam pemasaran adalah menyediakan gula dengan kualitas yang dapat diserap oleh pasar (Tim Studi P3GI, 2005).

2.5. Produk

Gula kristal atau sukrosa dikenal masyarakat luas sebagai gula, gula pasir, atau gula putih. Sukrosa adalah suatu zat disakarida yang pada hidrolisa menghasilkan glukosa dan fruktosa (Moerdokusumo, 1993).

Produksi gula kristal di Indonesia sebagian besar (90 %) berupa gula kristal putih (GKP) atau secara internasional disebut dengan plantation white sugar. Produksi gula tersebut dihasilkan langsung dari tebu dengan proses karbonatasi, sulfitasi atau proses lainnya. Jenis gula semacam ini biasanya digunakan untuk konsumsi langsung namun kurang memenuhi syarat untuk keperluan industri makanan-minuman (Moerdokusumo, 1993).


(35)

10 3. Proses Produksi

Secara garis besar proses produksi gula meliputi: penerimaan dan persiapan bahan baku, penggilingan tebu, pemurnian nira, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal (sentrifugasi), pengeringan dan pengemasan. Pada setiap tahapan proses atau stasiun tersebut terdapat standaroutputyang dapat digunakan sebagai tolok ukur. Dengan demikian, selain OR sebagai tolok ukur kinerja pabrik secara keseluruhan dapat pula diketahui stasiun mana yang beroperasi secara tidak efisien. Rincian dari tiap proses pabrikasi gula adalah sebagai berikut:

3.1. Stasiun Penerimaan dan Persiapan

Target dari stasiun ini adalah mengatur suplai tebu sedemikian rupa sehingga: (1) proses giling dapat berjalan dengan lancar dan berkesinanbngan, (2) tebu dapat digiling dengan azas first in first out (FIFO) agar tebu yang digiling selalu dalam kondisi segar, dan (3) sisa

tebu diupayakan seminimum mungkin untuk menghindari

penumpukan dan pembusukan tebu (Meade dan Chen, 1977).

Tebu yang masuk dalam tempat penampungan (emplasement) sebelum masuk ke meja tebu (direct feeding) harus dilakukan analisa terhadap kotoran (trash) terlebih dahulu. Apabila trash diketahui berlebihan maka biasanya tebu diturunkan dan dilakukan pembersihan. Tebu yang masuk ke emplasement pabrik tersebut ditimbang beratnya terlebih dahulu, selanjutnya sebagian tebu diumpankan ke meja tebu dan sebagian diarahkan untuk stok tebu untuk giling dimalam hari.

Selain analisa kotoran, sebelum tebu masuk dalam emplasemen biasanya dilakukan pengukuran terhadap % pol tebu, nira perahan pertama, dan persentase brix tebu terhadap nira perahan pertama. Tujuan dari analisa ini adalah agar dapat diketahui kualitas tebu yang akan digiling (TIM).

3.2. Stasiun Penggilingan

Stasiun penggilingan merupakan unit yang berfungsi untuk mengekstrak nira tebu. Nira adalah jus hasil ekstraksi tebu yang


(36)

mengandung gula. Nira yang dihasilkan dari unit proses ekstraksi disebut nira mentah dan biasanya berwarna cokat keruh. Sasaran yang ingin dicapai adalah mendapatkan jumlah nira sebagai hasil ekstraksi yang maksimal dari tebu yang digiling, dengan ampas yang mengadung gula seminimal mengkin (Meade dan Chen, 1977).

Prinsip kerja dari stasiun penggilingan adalah penghancuran tebu. Penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran bahan bahan yang akan diekstrak sehingga semakin banyak sel yang terbuka sehingga akan semakin mudah nira dikeluarkan (Meade dan Chen, 1977). Sebelum masuk dalam unit gilingan pertama tebu dicacah terlebih dahulu sampai pada tingkat pencacahan tertentu. Untuk meminimalkan kehilangan nira dalam ampas, ampas yang telah digiling pada gilingan pertama akan ditambah air imbibisi dan digiling pada penggilingan berikutnya sehingga nira dapat semaksimal mungkin lepas dari ampasnya. Nira ekstraksi dari proses penggilingan disebut sebagai nira mentah.

3.3. Stasiun Pemurnian

Tujuan utama proses pemurnian adalah untuk menghilangkan atau membuang bahan organik dan anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira mentah, sehingga diperoleh kadar sukrosa maksimum dalam nira tersebut. Nira yang dihasilkan dari proses pemurnian disebut nira jernih (Meade dan Chen, 1977).

Secara umum terdapat tiga jenis metode pemurnian yang digunakan dalam proses pembuatan gula, yaitu metode defekasi, sulfitasi, dan karbonatasi. Pada awalnya proses pemurnian yang dominan di Indonesia adalah proses karbonatasi dan sulfitasi. Dalam perkembanganya proses karbonatasi mulai ditinggalkan karena membutuhkan bahan pembantu yang lebih mahal dan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak. Saat ini jumlah PG karbonatasi di Indonesia tinggal empat PG dan sisanya adalah PG dengan proses sulfitasi (TI).


(37)

12 3.4. Stasiun Penguapan

Tujuan stasiun penguapan (evaporasi) adalah memekatkan nira dengan cara mengurangi kandungan air nira hingga mendekati jenuh (Meade dan Chen, 1977). Nira hasil dari stasiun penguapan disebut sebagai nira kental. Dalam penguapan diupayakan brix nira kental harus tinggi agar nantinya proses kristalisasi dapat berjalan dengan efisien. Selain itu warna nira kental diupayakan tidak gelap agar nantinya dihasilkan gula bermutu baik (TIM).

3.5. Stasiun Kristalisasi

Tujuan stasiun kristalisasi adalah mengubah gula yang berada dalam larutan jenuh menjadi bentuk kristal gula (Meade dan Chen, 1977). Dalam proses kristalisasi diupayakan diperoleh jumlah kristal gula yang maksimum dan mendapatkan seminimal mungkin molase.

Proses kristalisasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan bahan murni dalam bentuk padat (kristal) dan juga memisahkan kotoran yang masih terlarut dalam bahan. Nira kental hasil proses pemurnian dan penguapan masih mengandung 20-25 % dari zat terlarut (kemurnian 60-75), dan kadar airnya mencapai 34-40 %. Kandungan bahan kering dalam nira 60-65 % agar konsentrasinya mendekati jenuh.

Prinsip kerja stasiun kristalisasi adalah perlakuan suhu dan tekanan untuk menguapkan air dalam nira kental. Perlakuan tekanan dimaksudkan untuk mengendalikan suhu agar kerusakan gula dapat dicegah. Larutan gula diuapkan secara pelan-pelan dalam bejana vakum sampai pada tingkat kejenuhan (supersaturasi) tertentu, kemudian ditambahkan bibit gula ukuran tertentu secukupnya sehingga pada kondisi tersebut kristal gula akan tumbuh membesar dengan mengambil molekul sukrosa dari larutan. Kondisi tersebut dijaga dengan mengatur penguapan dan masukan nira kental secara seimbang. Setelah kristal mencapai ukuran tertentu, penguapan dilanjutkan hingga mencapai brix tertentu. Untuk memperoleh kristal gula yang maksimal dilakukan pemasakan bertingkat A, C, dan D.


(38)

Masakan A

Hasil proses masak tingkat pertama menggunakan bahan utama nira kental disebut masakan A. Bibit yang digunakan untuk masak A biasanya adalah gula C dengan ukuran sekitar 0,4 mm. Kristal yang dihasilkan disebut gula A dan sirupnya disebut sirup A. Gula A dicampur dengan air atau klare dipisahkan dengan mesin sentrifugal menghasilkan gula putih dan larutan klare. Gula putih selanjutnya dikeringkan dan dikemas sebagai gula produk.

Masakan C

Sirup A masih banyak mengandung sukrosa sehingga sukrosa tersebut harus diambil dengan cara kristalisasi melalui proses masak dengan bahan utama sirup A. Masakan dengan bahan utama sirup A disebut masakan C. Pada proses masak C, bibit yang digunakan adalah gula D dengan ukuran sekitar 0,2 mm. Proses masak berjalan seperti pada masakan A, namun karena kemurnian bahan lebih rendah maka proses masak berjalan lebih lambat. Pemisahan kristal dilakukan dengan mesin sentrifugal. Gula C kemudian digunakan sebagai bibit masak A, sedangkan sirup C dipakai sebagai bahan masak D.

Masakan D

Masakan D berasal dari bahan campuran sirop C dan sirup A atau bahan lain. Proses masak D minimal 8 jam lebih lama dibanding masak A karena kemurnian bahan yang digunakan rendah. Khusus untuk masakan D, setelah turun dari bejana masak dilanjutkan dengan kristalisasi lanjut dengan pendinginan di palung pendingin sampai lebih dari 24 jam. Setelah dipisahkan di mesin sentrifugal, gula D dilebur kembali dan dicampur dengan nira kental dan sirup D atau lebih dikenal dengan tetes.


(39)

14 3.6. Stasiun Sentrifugasi

Stasiun sentrifugasi atau stasiun putaran berfungsi untuk memisahkan kristal gula dengan cairan induknya (stroop) melalui gaya sentrifugal. Prinsip kerja dari stasiun ini adalah pemutaran dan penyaringan. Pemutaran bertujuan agar kristal gula terpisah dari stroop-nya. Pada putaran high grade putarannya bersifat diskontinu dan lambat, putaran ini digunakan untuk memisahkan masakan yang memiliki nilai kemurnian tinggi. Sementara pada putaran low grade putarannya bersifat kontinu dan cepat, putaran ini digunakan untuk masakan yang memiliki nilai kemurnian rendah. Penyaringan berfungsi untuk memisahkan kristal gula sesuai dengan butir ukuran kristal. Pada tahap akhir dilakukan pencucian untuk menghilangkan film kotoran yang menempel pada kristal sukrosa.

3.7. Stasiun Pengeringan dan Pengemasan

Tahap ini merupakan tahap akhir untuk mendapatkan produk kristal gula. Produk gula yang turun dari mesin sentrifugal masih basah, dengan kadar air sekitar 1 % sehingga perlu dikeringkan. Pengeringan yang lazim digunakan di PG adalah menggunakan talang goyang. Gula produk kemudian didinginkan atau dikondisikan dalam silo hingga suhunya di bawah 40 oC, sementara gula halus dan gula krikilan dilebur kembali. Pada tahap akhir gula produk dikemas dalam karung plastik dengan berat rata-rata 50 kg/karung.

B. PENGUKURAN KINERJA

Sistem pengukuran kinerja (measurement performance system) telah dikenal lama dalam dunia industri. Pada awalnya sistem pengukuran kinerja pertama kali diperkenalkan oleh sebuah perusahaan bernama Dupont pada tahun 1919. Sistem pengukuran kinerja tersebut dikenal dengan nama skema Dupont. Pengukuran kinerja Dupont adalah pengukuruan kinerja yang berkaitan dengan


(40)

penilaian kinerja keuangan, yaitu kinerja pada pengembalian investasi (return on investment). Metode pengukuran kinerja berkembang dengan pesat pada periode 1980-an sampai 1990-an. Pesatnya perkembangan ini ditandai dengan munculnya berbagai teknik pengukuran kinerja perusahaan, baik kinerja ekonomi maupun kinerja proses. Berberapa teknik pengukuran kinerja yang sering digunakan adalah: Activity-Based-Costing (ABC), Blanced Score Card (BSC), Self-assestment, Competitive Benchmarking, Statitistical Process Control (SPC), Work-flow Based Monitoring, Capability Maturity Model, dan lain-lain (Kueng dan Krahn, 2004).

1. Definisi

Sistem pengukuran kinerja adalah suatu cara atau alat (tools) yang terorganisasi untuk mendefinisikan (defining), mengumpulkan (collecting), menganalisis (analyzing), melaporkan (reporting), dan membuat keputusan berkenaan dengan ukuran-ukuran kinerja dalam suatu proses atau produk. Ukuran kinerja merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyatakan basis kuantitatif dari penilaian atau pengukuran kinerja suatu proses atau produk terhadap terhadap tujuan dan standar yang telah ditetapkan (PBM-SIG, 1995). Ukuran-ukuran kinerja merupakan bagian penting dari konsep Total Quality Management(TQM).

Sebagai sebuah proses, konsep pengukuran kinerja tidak hanya menitik beratkan pada standar dan pengumpulan data. Lebih dari itu, pengukuran kinerja merupakan pola pikir manajemen sistem terhadap keseluruhan proses yang bermula dari pencegahan (prevention) dan deteksi yang ditujukan untuk memenuhi standar permintaan dari proses atau produk (PBM-SIG, 1995). Fokus pengukuran kinerja adalah optimalisasi proses, yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas suatu proses atau produk. Pengukuran kinerja merupakan suatu program yang harus dijalankan secara kontinu. Selanjutnya hasil pengukuran kinerja dapat ditingkatkan sampai pada taraf perluasan dan pengembangan teknik kerja. Prinsip-prinsip dasar sistem pengukuran kinerja meliputi:

a. Mengukur hanya yang penting.

b. Fokus kepada kebutuhan pelanggan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal.


(41)

16 c. Melibatkan karyawan dalam proses desain dan implementasi sistem

pengukuran kinerja.

Salah satu fungsi penting pengukuran kinerja adalah untuk mengurangi atau menghilangkan variasi yang terjadi di dalam proses atau produk kerja. Target pengukuran kinerja adalah sampai pada tahap pengambilan keputusan tindakan atau perbaikan proses dan outputnya. Keuntungan pengukuran kinerja adalah :

a. Mengetahui apakah proses atau produk telah sesuai dengan permintaan konsumen.

b. Membantu mengetahui masalah dan keadaan yang terjadi di dalam proses.

c. Membantu mengambil keputusan berdasarkan fakta. d. Mengatahui peningkatan-peningkatan aktual yang terjadi.

2. Ukuran Kinerja

Ukuran kinerja tersusun atas nilai dan satuan. Nilai berfungsi untuk menunjukkan besar atau jarak, dan satuan berfungsi untuk memberi arti pada nilai. Ukuran-ukuran kinerja selalu berhubungan dengan target (objective) dan tujuan (goal). Secara umum ukuran kinerja dapat dikelompokkan menjadi enam kategori:

1. Efektivitas : karakteristik proses yang menunjukkan derajat pemenuhan output atau proses terhadap permintaan (spesifikasi).

2. Efisiensi : karakteristik yang menunjukkan derajat di mana proses menghasilkan output pada tingkat biaya minimum. 3. Kualitas : derajat di mana produk atau pelayanan sesuai dengan

keinginan dan harapan pelanggan.

4. Timeliness : menunjukkan ketepatan waktu, yaitu ukuran apakah sebuah unit kerja telah dikerjakan dengan benar dan tepat waktu.


(42)

5. Produktivitas: ukuran besarnya nilai tambah yang dihasilkan proses dibagi dengan jumlah modal dan tenaga kerja yang dikonsumsi.

6. Keamanan : keseluruhan ukuran aspek kesehatan dari organisasi dan lingkungan kerja untuk karyawan.

Hasil pengukuran kinerja diperlukan untuk mengontrol suatu aktivitas atau proses, tanpa pengukuran yang akurat dan terpercaya maka kita tidak akan dapat membuat keputusan dengan baik. Terdapat tiga dasar teknik pengukuran kinerja (BPM-SIG, 1995), yaitu:

1. Perencanaan dan pengembangan standar operasi yang akan dicapai

2. Pendeteksian penyimpangan (deviasi) terhadap ukuran kinerja yang telah ditetapkan

3. Memperbaiki kinerja proses sehingga kembali memenuhi tingkat standar kinerja yang telah ditetapkan

Prinsip-prinsip dan dasar teknik pengukuran kinerja selanjutnya dijabarkan dalam pedoman (guideline) langkah-langkah umum proses pengembangan sistem pengukuran kinerja. Pedoman berikut merupakan pedoman umum proses pengembangan sistem pengukuran kinerja yang disusun oleh BPM-SIG (1995):

1. Identifikasi aliran proses 2. Identifikasi aktivitas kritis

3. Mengembangkan standar atau tujuan kinerja yang ingin dicapai 4. Mengembangkan ukuran kinerja

5. Identifikasi bagian yang bertanggung jawab dalam proses pengukuran kinerja

6. Mengumpulkan data

7. Analisis atau melaporkan kinerja aktual

8. Membandingkan kinerja aktual dengan tujuan atau standar 9. Identifikasi apakah diperlukan tindakan perbaikan, dan 10. Tindakan perbaikan jika diperlukan.

Menurut BPM-SIG (1995), langkah-langkah yang telah dikembangkan tersebut bukanlah suatu kerangka kerja yang bersifat mutlak, setiap organisasi dapat


(43)

18 memodifikasi dan mengembangkan kerangka tersebut sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

3. Teknik Pengukuran Kinerja

Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran kinerja industri secara cepat adalah teknik “studi kapabilitas jangka pendek (short term capability study”. Studi kapabilitas jangka pendek merupakan dasar dari statistical process control (SPC) dan manajemen kualitas total (TQM). Studi ini berguna untuk mempelajari kondisi suatu proses seiring berjalannya waktu apakah tetap akurat dan tetap berada dalam spesifikasi (standar) yang telah ditentukan (Alsup dan Watson, 1993). Studi kapabilitas jangka pendek dapat digunakan untuk menentukan ukuran tingkat penyimpangan sistem (measurement system error) dan ukuran kapabilitas suatu mesin atau proses dalam memenuhi standar.

Menurut Alsup dan Watson (1993), studi kapabilitas jangka pendek dilakukan karena beberapa alasan sebagai berikut:

1. Terlalu banyak inspeksi yang diperlukan

2. Menentukan ukuran penyimpangan dengan cepat

3. Menemukan penyebab khusus dari masalah kontrol dengan cepat 4. Menemukan sumber-sumber penyimpangan sistem dengan cepat 5. Mengurangi waktu dan biaya studi.

Terdapat empat langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan studi kapabilitas jangka pendek:

1. Mengumpulkan data 2. Kalkulasi data 3. Analisis hasil

4. Melakukan tindakan berdasarkan hasil.

Salah satu parameter sederhana yang sering digunakan dalam studi kapabilitas jangka pendek adalah akurasi (Alsup dan Watson, 1993). Dalam PBM-SIG (1995), akurasi didefinisikan sebagai kedekatan nilai pengukuran terhadap nilai standar. Semakin kecil perbedaan antara nilai pengukuran dengan nilai standar, maka nilai tersebut akan semakin akurat. Dalam Alsup dan Watson (1993) akurasi didefinisikan sebagai perbedaan antara rata-rata data aktual


(44)

(average) dengan nilai standar (true value). Akurasi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

TrueValue Average

Accuracy 

Selanjutnya nilai akurasi yang diperoleh dibandingkan dengan rentang nilai standar kualitas yang dapat diterima (acceptability). Acceptability adalah persen maksimum variasi yang masih dapat diterima (Besterfield, 1990). Nilai acceptability biasanya ditentukan berdasarkan kontrak kerja atau karena sebagai tanggung jawab produsen. Menurut Besterfield (1990) secara teoritis nilai acceptabilitydapat ditentukan berdasarkan:

1. Data historis

2. Pengalaman (Empirical judgment)

3. Informasi Teknik (engineering information) 4. Percobaan

5. Kemampuan produsen, dan 6. Keinginan konsumen.

Dalam praktek rentang nilai akseptabiltas bervariasi antara ± 0.01 % sampai dengan ± 10 % (Besterfield, 1990). Jika akurasi masih berada dalam rentang standar maka nilai variasi diterima, dan sebaliknya jika akurasi melebihi nilai standar maka nilai variasi tidak diterima.

C. PENDEKATAN SISTEM

Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park dalam Eriyatno, 1999). Pendekatan sistem (system approach) muncul karena adanya kenyataan yang mendasar dari persoalan aktual yaitu kompleksitas, di mana unitnya adalah keragaman. Keragaman yang begitu besar tidak dapat dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu teori sistem menyatakan bahwa kesisteman adalah meta-konsep, di mana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan (Eriyatno, 1999). Pendekatan sistem merupakan suatu kerangka


(45)

20 berfikir yang berusaha mencari perpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh.

Menurut Simatupang (1995), sistem mencakup lima unsur utama yaitu : (1) Elemen-elemen

(2) Interaksi antar elemen

(3) Adanya suatu faktor yang mengikat elemen-elemen menjadi satu kesatuan

(4) Adanya tujuan bersama

(5) Berada dalam lingkungan yang kompleks

Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis suatu permasalahan menggunakan pendekatan sistem yaitu:

(1) Cybernetic,artinya cara pandang berorientasi tujuan

(2) Holistic, artinya cara pandang yang menyeluruh terhadap keutuhan sistem

(3) Efectiveness, yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan.

Pengkajian permasalahan menggunakan pendekatan sistem ditandai dengan ciri-ciri :

1. Mencari faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan permasalahan.

2. Adanya model kuantitatif untuk membantu menyelesaikan permasalahan secara rasional.

Metodologi pendekatan sistem erat kaitanya dengan pronsip dasar ilmu manajemen, yaitu merupakan aktivitas yang mentransformasikan sumber daya (input) menjadi hasil yang dikehendaki (output), secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi yang dirancang (Eriyatno, 1999). Dalam aplikasi manajemen, teknik pendekatan sistem dipersyaratkan menggunakan beberapa teori dasar yang bersifat kuantitatif


(46)

meliputi : (1) model matematik, (2) analisis fungsi terhadap model matematik yang digunakan, (3) teori kontrol, (4) teori estimasi, dan (5) teori keputusan.

Metode untuk menyelesaikan persoalan menggunakan pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap proses. Tahap-tahap tersebut meliputi analisis, rekayasa model, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem. Setiap tahap dalam proses tersebut diikuti oleh suatu evaluasi berulang guna mengetahui apakah hasil dari masing-masing tahap telah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Diagram alir metode pendekatan sistem disajikan dalam Gambar 2.


(47)

22 Metodologi pendekatan sistem pada prinsipnya dilakukan melalui enam tahap analisis sebelum tahap rekayasa, meliputi: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah pertama sampai keenam umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang disebut sebagai analisis sistem. Model tahap analisis sistem disajikan dalam Gambar 3.


(48)

III. METODOLOGI

A. KERANGKA PEMIKIRAN

Dari berbagai gambaran mengenai kinerja industri gula menunjukkan bahwa saat ini dibutuhkan upaya-upaya bagi peningkatan kinerja industri gula nasional. Industri gula menghadapi berbagai masalah teknis produksi yang berkaitan dengan rendahnya tingkat produktivitas, dan masalah-masalah manajemen yang berkaitan dengan efisiensi penyelenggaraan industri gula, selain masalah-masalah sosial kelembagaan lainnya. Upaya-upaya peningkatan kinerja tersebut bermuara pada cara memperbaiki dan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan efisiensi manajemen penyelenggaraan pabrik gula.

B. PENDEKATAN SISTEM

Metode yang digunakan dalam penyusunan sistem penilaian cepat kinerja industri gula adalah pendekatan sistem. Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi: (1) analisis kebutuhan antar pelaku, (2) formulasi permasalahan, (3) identifikasi sistem, (4) permodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi model serta (5) implementasi model.

1. Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian suatu sistem. Dalam tahap ini dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan dari masing-masing pelaku yang terlibat dalam sistem. Hasil analisis kebutuhan menunjukkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang ada atau yang akan terjadi. Aktor (pelaku) yang telibat dalam sistem produksi gula adalah pihak pabrik gula (PG), petani tebu rakyat, pemerintah, lembaga penelitian dan asosiasi pergulaan. Analisis kebutuhan dari masing-masing aktor adalah sebagai berikut:

1. Pihak PG

 Mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam PG dengan cepat


(49)

24  Meningkatkan pendapatan PG meningkat

 Mendapat pasokan bahan baku yang baik  Kontinuitas pasokan bahan baku terjaga. 2. Pemerintah

 Meningkatkan produktivitas gula nasional  Mencukupi kebutuhan gula dalam negeri

 Mendapatkan input yang akurat untuk menyusun kebijakan pergulaan nasional yang tepat.

3. Lembaga Penelitian atau Asosiasi Pergulaan

 Mengetahui masalah-masalah yang terjadi di dalam PG-PG di Indonesia

 Mendapatkan input yang akurat untuk menyusun program kerja. Hasil analisis kebutuhan diperlukan untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan mana saja yang dapat dipenuhi oleh sistem yang dikembangkan. Hasil analisis kebutuhan selanjutnya digunakan sebagai input untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sistem.

2. Formulasi Permasalahan

Formulasi permasalahan merupakan tahapan untuk merumuskan permasalahan yang dihadapi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dari masing-masing aktor. Untuk meningkatkan kinerja industri gula, pelaku dalam PG perlu meningkatkan efisiensi PG dengan cara meningkatkan efisiensi teknis dan efisiensi manajemen. Hal ini berarti para pelaku industri gula perlu menerapkan standar pengelolaan bagi PG. Karena saat ini belum ada standar nasional pengelolaan industri gula maka perlu disusun standar pengelolaan PG yang dapat diterapkan secara nasional.

Agribisnis gula paling tidak meliputi empat subsistem, yaitu: subsistem pasar input, subsistem usahatani (on farm), subsistem pabrikasi


(50)

(off farm) dan subsistem pasar produk (output). Untuk meningkatkan kinerja industri gula, standar pengelolaan PG seharusnya disusun mencakup seluruh subsistem tersebut. Namun karena kompleksnya masalah pergulaan, maka saat ini penyusunan standar perlu diprioritaskan pada kegiatan pabrikasi terlebih dahulu. Dengan pengelolaan pabrikasi PG yang baik, kedepan diharapkan akan dapat menarik dan meningkatkan kinerja sektoroff-farmdan jugaoutput.

3. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut.

Identifikasi sistem dilakukan dengan menghubungkan antara pernyataan-pernyataan masalah dengan kebutuhan-kebutuhan aktor yang terlibat dalam sistem. Identifikasi sistem bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya hasil identifikasi sistem digambarkan dalam sebuah diagram input-output. Diagram input-output Model Penilian Cepat Kinerja Industri Gula digambarkan dalam diagram pada Gambar 4.

Output dikehendaki merupakan pemecahan dari pemenuhan kebutuhan spesifik yang diperoleh pada tahap analisis kebutuhan. Output tak dikehendaki adalah hasil samping yang dapat timbul bersamaan dengan output yang dikehendaki. Oleh kerena itu sistem penilaian kinerja industri gula harus dapat berperan dalam mengukur kinerja yang dihasilkan sistem PG apakah telah sesuai dengan standar yang diharapkan.


(51)

26 Gambar 4. Gambar Input-Output Model Penilaian Cepat Industri Gula

C. TEKNIK ANALISIS

Ukuran kinerja aktivitas atau proses dapat dianalisis menggunakan parameter tingkat akurasi. Menurut Besterfield (1990) akurasi didefinisikan sebagai perbedaan antara rata-rata data aktual (average) dengan nilai standar (true value). Akurasi dihitung menggunakan persamaan:

S X

A  ….. Persamaan 1.

Di mana:

A = Akurasi

X = Rata-rata hasil pengukuran S = Standar pabrikasi


(52)

Variasi (penyimpangan) maksimum akurasi dihitung menggunakan persamaan berikut:

S VS

Amax %* …… Persamaan 2.

Di mana:

max

A = Akurasi maksimum

VS = Variasi standar yang masih dapat diterima (%) S = Standar pabrikasi

Persentase variasi yang digunakan adalah 10 %. Nilai 10 % merupakan nilai variasi maksimum yang masih dapat diterima (acceptable) dalam dunia industri. Jika nilai akurasi (A) kurang dari atau sama dengan ± akurasi maksimum (Amax) maka variasi dari suatu aktivitas yang diukur dinyatakan diterima (baik), dan sebaliknya jika akurasi melebihi nilai variasi maksimum maka variasi dari aktivitas yang diukur dinyatakan ditolak (kurang baik).

Dalam implementasi, standar penilaian yang akan digunakan sebagai justifikasi kondisi kinerja aktivitas atau proses adalah nilai persentase (%) dari variasi (penyimpangan). Nilai persentase digunakan karena nilai ini akan memudahkan untuk dibaca oleh pengguna model. Suatu aktivitas akan dinilai baik jika persentase variasi kurang dari atau sama dengan nilai VS, dan sebaliknya aktivitas akan dinilai kurang baik jika persentase variasi lebih dari nilai VS.

Justifikasi baik atau tidaknya suatu proses atau stasiun produksi dalam pabrik gula (PG) dihitung berdasarkan nilai rata-rata persentase variasi dari setiap aktivitas yang terdapat dalam stasiun tersebut. Jika nilai rata-rata persentase variasi tiap aktivitas kurang dari atau sama dengan VS maka kinerja stasiun tersebut dinyatakan baik. Sebaliknya jika rata-rata persentase variasi dari setiap aktivitas lebih dari VS maka kinerja stasiun tersebut dinyatakan kurang baik. Demikian juga dengan penghitunga rata-rata persentase dari variasi proses pada level PG dihitung sama halnya dengan justifikasi penilaian kinerja stasiun produksi. Persentase variasi aktivitas dihitung menggunakan persamaan berikut:


(53)

28

S S X V act act  

% …… Persamaan 3.

Di mana:

%Vact= Persentase variasi aktivitas

act

X = Rata-rata hasil pengukuran variasi aktivitas S = Standar pabrikasi

Persentase variasi stasiun produksi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: n V V n i act st i

  1 %

% …… Persamaan 4.

Di mana:

%Vst = Persentase variasi stasiun produksi

i

act

V

% = Persentase variasi aktivitas yang ke-i n = Jumlah aktivitas

Persentase variasi pada tingkat PG dihitung menggunakan persamaan berikut:

m V V m j st pg j

  1 %

% …… Persamaan 5.

Di mana:

%Vpg = Persentase variasi pabrik gula

j

st V

% = Persentase variasi stasiun yang ke-i n = Jumlah aktivitas


(54)

IV. PEMODELAN SISTEM

A. KONFIGURASI SISTEM

Model Penilaian Cepat Industri Gula dirancang dalam bentuk perangkat lunak yang diberi nama MPG 1.0. MPG 1.0 adalah singkatan Model Penilaian Cepat Industri Gula Versi 1.0. MPG 1.0 tersusun atas empat bagian utama, yaitu antar “muka pengguna”, “pusat pengolahan”, “model penilaian kinerja”, dan “sistem manajemen basis data”. Konfigurasi sistem MPG 1.0 digambarkan dalam diagram pada gambar di bawah ini.


(55)

30 Bagian pertama adalah “Antar Muka Pengguna” atau user interface. Antar muka pengguna merupakan bagian yang berfungsi untuk menghubungkan pengguna dengan sistem MPG 1.0. Antar muka pengguna dirancang dengan prinsip user friendly untuk mempermudah pengguna (user) dalam berinteraksi dengan sistem MPG 1.0 dalam proses penilaian kinerja PG. Antar muka pengguna dapat menerima masukan (input) dari pengguna dan menampikan keluaran (output) sesuai yang diinginkan oleh pengguna. Input dari pengguna dapat berupa suatu perintah atau masukan data empirik nilai pengukuran parameter kinerja PG. Keluaran yang ditampilkan oleh antar muka pengguna berupa informasi dalam bentuk pertanyaan, pernyataan, tabel, dan informasi dalam bentuk cetak (hardcopy).

Bagian kedua adalah “Pusat Pengolahan”. Pusat pengolahan merupakan modul utama yang berfungsi mengendalikan antar muka pengguna (user interface), mengendalikan akses data ke modul sistem manajemen basis data, dan mengendalikan analisis kuntitatif pada setiap sub-model penilaian kinerja. Bagian pengolahan terpusat merupakan modul yang berperan mengintegrasikan bagian-bagian yang lain sehingga membentuk sistem perangkat lunak MPG 1.0.

Bagian ketiga adalah “Model Penilaian Kinerja”. Model penilaian kinerja tersusun dari empat belas sub-model penilaian kinerja (SMPK). Setiap sub-model tersusun atas beberapa kriteria penilaian kinerja. Keempat belas sub model pendukung tersebut adalah:

1. Stasiun Bahan Baku 2. Stasiun Penggilingan Tebu 3. Stasiun Pemurnian Nira 4. Stasiun Penguapan 5. Stasiun Kristalisasi 6. Stasiun Sentrifugasi 7. Stasiun Pengeringan 8. Konsumsi Energi 9. Produk

10. Keuangan


(56)

12. Faktor Ekonomi 13. Faktor Sosial 14. Faktor Lingkungan

Model penilaian kinerja berfungsi sebagai bagian yang melakukan penilaian kuantitatif terhadap data empirik PG yang dimasukkan ke dalam sistem MPG 1.0. Penilaian dimulai dengan pembandingan data empirik dengan standar ideal level parameter), penilaian pada level stasiun (unit kerja), dan terakhir adalah penilaian pada level PG.

Bagian yang keempat adalah “Sistem Manajemen Basis Data”. Sistem basis data merupakan modul yang berfungsi untuk mengelola data, baik data empirik yang dimasukkan (di-input) oleh pengguna (data dinamis), maupun data-data penunjang yang berfungsi sebagai keterangan (data-data statis). Bagian sistem manajemen basis data memiliki fasilitas pengelolaan data yang diperlukan untuk mendukung kerja sistem MPG 1.0. Fasilitas pengelolaan data meliputi fasilitas penambahan data baru, edit data, hapus data, dan permintaan (query) atau seleksi pencarian data. Sistem manajemen basis data MPG 1.0 terdiri dari lima komponen data utama, yaitu:

1. Kriteria, berisi data kriteria penilaian yang dibutuhkan untuk meniliai kinerja suatu stasiun produksi.

2. Nilai Ideal, berisi data nilai standar suatu kriteria. Nilai standar berfungsi sebagai pembanding terhadap nilai aktual kinerja PG.

3. Data Pabrik Gula, berisi data-data identifikasi umum PG seperti nama PG, alamat, proses, dan kapasitas PG.

4. Nilai pengukuran, berisi data-data aktual kriteria pengukuran kinerja suatu PG.

5. Kinerja, berisi data hasil penilaian kinerja. Penilaian kinerja dilakukan dengan membandingkan antara data hasil pengukuran dengan data nilai ideal.


(57)

32

B. RANCANG BANGUN SISTEM

1. Sistem Manajemen Basis Data

Basis data merupakan tempat untuk menyimpan dan mengelola data yang diperlukan oleh model. Basis data dirancang dengan memperhatikan kebutuhan dan ketersediaan informasi yang diperlukan oleh model. Konsep basis data dibangun dengan menganalisis aliran data yang masuk dan aliran data yang keluar dari sistem. Basis data dirancang dalam dua tahap, tahap pertama adalah merancang model data konseptual (conceptual data model) dan tahap kedua adalah merancang desain data fisik (physical data model).

1.1. Model Data Konseptual (Conceptual Data Model)

Analisis aliran data dilakukan menggunakan pendekatan desain terstruktur (structured design). Hasil analisis aliran data digambarkan dalam “diagram alir data” atau “data flow diagram” (DFD). Diagram alir data (DFD) merupakan alat yang dapat digunakan untuk menggambarkan logika aliran data. DFD digambarkan tanpa melihat lokasi fisik di mana data disimpan.

Pengembangan basis data MPG 1.0 dilakukan dengan menguraikan aliran data sampai pada level 1. DFD level 0 menggambarkan garis besar aliran data, selanjutnya DFD level 1 mejelaskan proses yang digambarkan dalam DFD level 0 secara lebih terperinci.

DFD level 0 menggambarkan garis besar hubungan antara sumber data, proses, dan pengguna. Sumber data digolongkan menjadi dua, yaitu sumber data internal (pabrik gula) dan sumber data eksternal (lingkungan). Pengguna MPG 1.0 adalah pihak PG, pemerintah, dan lembaga penelitian atau lembaga pergulaan. Desain diagram alir data level 0 dapat dilihat pada Gambar 6.

Input data yang masuk pada DFD level 0 di atas adalah data-data parameter umum dan parameter teknis PG, serta data-data yang berasal dari parameter lingkungan. Output yang dihasilkan berupa hasil analisis kinerja PG. Pihak PG memerlukan informasi mengenai kinerja PG saat ini, dan juga informasi mengenai kinerja PG-PG lain di Indonesia sebagai acuan perbadingan (benchmark). Pihak pemerintah serta lembaga penelitian dan asosiasi pergulaan memerlukan informasi mengenai kinerja keseluruhan PG


(58)

yang ada di Indonesia sebagai masukan untuk merumuskan program kerja serta kebijakan yang tepat.

Gambar 6. Diagram Alir Data (DFD) Level 0 Basis Data MPG 1.0

Proses yang digambarkan dalam DFD level 0 di atas selanjutnya diperinci untuk mengetahui proses-proses yang terjadi di dalamnya secara lebih rinci dan kemudian digambarkan dalam DFD level 1. Proses yang terjadi di dalam DFD level 1 antara lain input data, pemilahan data (sortasi), penyimpanan data ke dalam basis data, penilaian kinerja aktivitas, penilaian kinerja unit proses, penilaian kinerja PG, dan pelaporan. DFD level 1 diilustrasikan dalam Gambar 7.


(59)

34 Data

IdentifikasiPG Data Empirik PG

Input Data PG

Input Data PK

Hitung Kinerja Aktivitas

Pelaporan

Kinerja PG Kinerja Industri Gula

Data Identitas PG

Data Empirik PG

Standar Ideal Kinerja

aktivitas

Hitung Kinerja Stasiun

Hitung Kinerja PG

Kinerja Stasiun

Kinerja PG Pemilahan

Data

Gambar 7. Diagram Alir Data (DFD) Level 1

Aliran data dan proses yang terdapat dalam DFD level 1 sudah cukup menggambarkan keseluruhan model MPG 1.0, sehingga pada tahap selanjutnya DFD level 1 ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun desain konseptual basis data atau conceptual data mode (CDM). CDM merupakan


(60)

model dasar yang menggambarkan struktur logika dari suatu basis data. Diagram CDM diilustrasikan dalam gambar di bawah ini.

Tahapan Proses 0,n

0,1

Identifikasi Stasiun Kerja0,n 0,1 Standar 0,n 0,1 Pabrik Gula 0,1 0,1 Penilaian Stasiun 0,n 0,1

Rata rata Stasiun 0,1

0,n Rata rata aktivitas

0,n

0,1 Proses

Nama Proses A30 ID Proses <pi>

Stasiun Nama Stasiun TXT ID Stasiun ID Proses <pi> <ai> Kriteria Nama Kriteria Syarat Nilai Batas Bawah Batas A50 DC DC DC DC ID Kriteria ID Stasiun <pi> <ai> Kinerja Aktivitas Input Nilai Aktivitas Penilaian Keterangan DC DC TXT TXT ID Kriteria ID Stasiun <ai1> <ai2> Kinerja Stasiun Nilai Stasiun Kesimpulan DC TXT ID Stasiun ID PG <ai1> <ai2> Kinerja PG Nilai PG Penilaian DC TXT ID PG <pi>

Pabrik Gula Nama Proses Pemilik Lokasi Kapasitas Giling Skala TXT TXT TXT TXT N TXT ID Pabrik Gula <pi>

Gambar 8. Model Konseptual Basis Data MPG 1.0

1.2. Model Data Fisik (Physical Data Model)

Model data fisik merupakan penggambaran dari implementasi penyimpanan dan pengaksesan data dalam perangkat penyimpanan komputer. Rancangan data fisik dikembangkan berdasarkan rancangan data konseptual yang telah dibuat. Tahap perancangan fisik data merupakan tahap akhir dari tahap desain basis data. Rancangan fisik data digambarkan dalam bentuk hubungan (relasi) antar entitas data. Dalam rancangan ini setiap kelompok data di gambarkan menjadi sebuah tabel. Hasil akhir desain fisik adalah berupa hubungan-hubungan antar tabel. Hubungan antar tabel digambarkan sesuai dengan sifat hubungan entitas (entity relationship). Hubungan antar entitas dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hubungan one to many digambarkan dengan simbol ” 1_______∞ ”, one to one digambarkan dengan simbol ” 1_______1 ”, many to one digambarkan dengan simbol ” ∞_______1 ”, dan many to many digambarkan dengan simbol ”∞_______∞”. Desain relasi antar tabel selanjutnya diimplementasikan ke dalam perangkat lunak DBMS. Desain relasi antar tabel menunjukkan struktur fisik penyimpanan dan pengaksesan (query) tabel-tabel data


(61)

36 dalam file basis data komputer. Rancangan fisik data MPG 1.0 dimplementasikan dalam DBMS Access 2000. Rancangan fisik data MPG 1.0 digambarkan dalam Gambar 9.

Gambar 9. Model Fisik Basis Data MPG 1.0

2. Model Penilaian Kinerja

Jenis model yang digunakan dalam sistem ini adalah berupa model simbolik (matematik). Format model yang dipakai adalah berupa persamaan (equation). Model sistem penilaian cepat kinerja industri gula tersusun atas dua kategori input penilaian, yaitu: input penilaian kinerja internal dan input penilaian kinerja eksternal PG. Penilaian kinerja internal PG meliputi penilaian kinerja penyediaan bahan baku, kinerja proses produksi, kinerja pembangkit dan pemanfaatan energi, kinerja produk, kinerja SDM, dan kinerja keuangan. Penilaian kinerja eksternal meliputi penilaian kinerja ekonomi, kinerja sosial, dan kinerja lingkungan (limbah).

Masing-masing kategori penilaian kinerja di atas selanjutnya diterapkan menjadi sub model - sub model penilaian kerja. Prinsip kerja utama setiap sub-model penilaian kinerja adalah menghitung penyimpangan (deviasi) data empirik setiap parameter terhadap nilai standar ideal. Nilai standar yang dijadikan sebagai parameter ideal merupakan nilai standar ideal bagi pengelolaan PG. Nilai ini diperoleh berdasarkan studi pustaka dan berdasarkan referensi para pakar.


(62)

Model penilaian cepat industri gula terdiri dari empat belas sub-model penilaian kinerja (SMPK). Setiap SMPK tersusun atas beberapa parameter penilaian kinerja. Masing-masing SMPK dijelaskan sebagai berikut:

1. SMPK Stasiun Bahan Baku

Sub-model ini digunakan untuk menilai kinerja penyediaan bahan baku produksi di stasiun penerimaan dan persiapan (bahan baku). Target utama stasiun bahan baku adalah menyediakan suplai tebu sehingga proses giling dapat berjalan dengan lancar. Bahan baku yang diharapkan adalah tebu yang masak, segar, dan bersih. Sebelum tebu masuk dalam stasiun gilingan biasanya akan dilakukan analisis bahan pengotor (trash) terlebih dahulu, jika bahan pengotor berlebihan maka tebu harus segera dibersihkan. Selain analisis trash, untuk mengetahui kualitas tebu yang akan digiling juga dilakukan analisis terhadap % pol (kandungan sukrosa) tebu, nira perahan pertama (NPP), dan persentase brix tebu terhadap NPP. Parameter pengukuran kinerja stasiun penerimaan dan persiapan bahan baku adalah seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Penerimaan dan Persiapan Bahan Baku.

STANDAR PAREMETER

Syarat Nilai Satuan

Tingkat kemasakan tebu (%) - 24 - 40

Jumlah bahan pengotor (trash) <= 5 %

Kesegaran tebu <= 24 jam

Pol tebu <= 12 %

Kadar nira tebu >= 80 %

Kemurnian nira perahan pertama (npp) >= 85 %

(Keterangan mengenai simbol “syarat” nilai yang digunakan dalam setiap tabel parameter penilaian kinerja dapat dilihat dalam daftar pada Lampiran 1).

2. SMPK Stasiun Penggilingan

Sub-model ini digunakan untuk menilai kinerja stasiun penggilingan. Stasiun penggilingan merupakan unit proses yang berfungsi untuk mengekstrak nira dari batang tebu. Target dari stasiun penggilingan adalah


(63)

38 mendapatkan ekstraksi nira tebu semaksimal mungkin dengan ampas seminimal mungkin yang mengandung gula. Prinsip kerja dari stasiun ini adalah: pertama penghancuran; yaitu memperkecil ukuran bahan yang akan diekstrak sehingga semakin banyak sel yang terbuka, semakin luas permukaan sel tebu yang terbuka maka akan semakin cepat dan banyak nira yang dapat dikeluarkan, kedua ekstraksi; yaitu memeras nira sebanyak-banyaknya dari tebu dengan meminimalkan kehilangan nira yang terikat dalam ampas (baggase), ketiga penyaringan; yaitu memisahkan nira dari kotoran, dan yang keempat adalah imbibisi; yaitu menambahkan air ke dalam ampas setelah proses penggilingan pertama sehingga semaksimal mungkin nira lepas dari ampasnya. Parameter yang digunakan untuk menilai kinerja stasiun penggilingan adalah seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter Penilaian Kinerja Stasiun Penggilingan

STANDAR Nilai PAREMETER

Syarat PG. Kecil

PG. Sedang

PG. Besar

Satuan

Kadar sabut - 14-16 %

Tingkat pencacahan

(Prepration index) > 90 %

Fibre loading = 200 g/dm2

Imbibisi persen sabut >= 200 %

Persentase nira mentah tebu >= 100 %

Persentase ekstraksi nira > 96 %

Kapasitas giling >= 1500 3000 4500 TCD

Keterangan: (TCD = Ton tebu per hari)

3. SMPK Stasiun Pemurnian Nira

Tujuan utama stasiun pemurnian nira adalah menghilangkan bahan organik dan anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira mentah, sehingga diperoleh nira dengan kadar sukrosa maksimum. Berdasarkan sifat fisiknya bahan yang terdapat dalam nira hasil gilingan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:pertama adalah bahan kasar terdispersi, seperti sabut, tanah, lilin, lemak, protein, gum, tanin, pigmen, dan pektin. Bahan-bahan ini akan dipisahkan sebagai blotong.Kedua adalah molekul terlarut dalam nira seperti


(64)

sukrosa dan unsu-unsur yang terdapat dalam kadar abu. Ketiga adalah kotoran yang terlarut dalam nira berupa bahan organik seperti bahan-bahan koloid dan anorganik seperti silikat dan magnesium. Bahan-bahan pengotor ini jika tidak dibersihkan akan mengganggu proses perjalanan nira menjadi kristal gula. Oleh karena itu kotoran pengganggu tersebut harus dipisahkan dari nira. Kapur tohor (CaO) digunakan untuk mengendapkan kotoran, menjernihkan dan memurnikan nira mentah. Namun kandungan kapur tohor yang tinggi dalam nira dapat menyebabkan inkrutasi (pembentukan kerak) dalam pan masak. Kerak yang terbentuk dalam pan masak yang dapat menghambat perpindahan panas sehingga konsumsi uap akan meningkat. Selain itu, kandungan kapur tohor yang tinggi akan mempersulit proses kristalisasi, mempersulit proses pemasakan, serta meningkatkan pembentukan molase. Dengan demikian kandungan kapur tohor dalam nira hasil pemurnian harus diusahakan seminimal mungkin. Parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja stasiun pemurnian adalah seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Paramer Penilaian Kinerja Stasiun Pemurnian Nira.

STANDAR PAREMETER

Syarat Nilai Satuan

Turbidity nira <= 50 ppm

Kadar CaO dalam nira <= 80 ppm

Jumlah bahan pengasingan bukan gula <= 14 %

Persentase pol blotong <= 2 %

Persentase blotong terhadap tebu <= 3 %

4. SMPK Stasiun Penguapan

Tujuan utama stasiun penguapan (evaporasi) adalah memekatkan nira dengan cara mengurangi kandungan air nira hingga mendekati jenuh. Untuk menguapakan air dalam nira, nira jernih dari stasiun pemurnian dipanaskan pada suhu 105-110 oC, sehingga diharapkan suhu minimal mencapai 100 oC. Hasil dari stasiun penguapan berupa nira kental. Nira kental yang dihasilkan harus memiliki kekentalan tinggi (60-65 o brix) agar tahap kristal-isasi dapat berjalan dengan lancar. Selain itu warna nira kental diupayakan tidak gelap agar nantinya dihasilkan gula kristal berwarna jernih dan bermutu baik.


(1)

94

Lampiran 5.

Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Kristalisasi PG. Candi Baru.

KRITERIA

STANDAR

INPUT

DEVIASI

KESIMPULAN

MASAKAN A

Brix, % 93-94 94 0 Baik

Kemurnian, % >= 85 84 1.18 Baik

Purity drop, % 10-15 7.5 20 Kurang Baik

Kerataan kristal rata 85 15 Kurang Baik

Ukuran kristal, mm 0,8-1,1 0.9 0 Baik

KESIMPULAN 7.24 Baik

MASAKAN C

Brix, % 94-95 94 0 Baik

Kemurnian, % >= 70 72 0 Baik

Purity drop, % 15-20 18 0 Baik

Kerataan kristal rata 85 15 Kurang Baik

Ukuran kristal, mm >= 0,4 0.3 25 Kurang Baik

KESIMPULAN 8.00 Baik

MASAKAN D

Brix, % > 96 94 2.08 Baik

Kemurnian, % >= 60 62 0 Baik

Purity drop, % 30-35 32 0 Baik

Kerataan kristal rata 80 20 Kurang Baik

Ukuran kristal, mm >= 0,2 0.3 0 Baik

KESIMPULAN 4.42 Baik

TETES

Kemurnian, % <= 30 35 16.67 Kurang Baik

Brix, % >= 80 75 6.25 Baik

Tetes/tebu. % <= 2.5 2.8 12 Kurang Baik

KESIMPULAN 11.64 Baik

KESIMPULAN 7.82 Baik

Lampiran 6.

Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Sentrifugasi PG. Lestari.

KRITERIA

STANDAR

INPUT

DEVIASI

KESIMPULAN

MASAKAN A

Kadar air maksimal (%) <= 1,0 0.9 0 Baik

Warna Putih 90 10 Baik

Ukuran kristal (mm) 0,8 - 1,1 0.9 0 Baik

KESIMPULAN 3.33 Baik

MASAKAN C

Kadar air maksimal (%) <= 1,0 0.98 0 Baik

Warna Putih kekuningan 95 5 Baik

Ukuran kristal (mm) 0,4 0.42 5 Baik

KESIMPULAN 3.33 Baik

MASAKAN D

Kadar air maksimal (%) <= 1,0 1.1 10 Kurang Baik

Warna Kuning 90 10 Baik

Ukuran kristal (mm) 0,2 0.15 25 Kurang Baik

KESIMPULAN 15.00 Baik


(2)

95

Lampiran 7.

Hasil Penilaian Kinerja Stasiun Sentrifugasi PG. Ngadirejo.

MASAKAN A

Kadar air maksimal (%) <= 1,0 0.86 0 Baik

Warna Putih 95 5 Baik

Ukuran kristal (mm) 0,8 - 1,1 0.9 0 Baik

KESIMPULAN 1.67 Baik

MASAKAN C

Kadar air maksimal (%) <= 1,0 0.98 0 Baik

Warna Putih kekuningan 85 15 Kurang Baik

Ukuran kristal (mm) 0,4 0.35 12.5 Kurang Baik

KESIMPULAN 9.17 Baik

MASAKAN D

Kadar air maksimal (%) <= 1,0 0.98 0 Baik

Warna Kuning 95 5 Baik

Ukuran kristal (mm) 0,2 0.18 10 Kurang Baik

KESIMPULAN 5.00 Baik


(3)

96

Lampiran 8.

Hasil Penilaian Kinerja Formasi Tenaga Kerja PG. Lestari (PG. skala sedang).

KRITERIA

STANDAR

INPUT

DEVIASI

KESIMPULAN

LINGKUP PG

Strata I 1 1 0 Baik

Strata II 4 4 0 Baik

Strata III 11 10 9.09 Baik

Strata IV 32 30 6.25 Baik

Pelaksana Tetap 467 450 3.64 Baik

Pelaksana Musiman 366 365 0.27 Baik

KESIMPULAN

3.21

Baik

LINGKUP Pimpinan dan AKU

Strata I 1 1 0 Baik

Strata II 1 1 0 Baik

Strata III 3 2 33.33 Kurang Baik

Strata IV 8 7 12.5 Kurang Baik

Pelaksana Tetap 104 98 5.77 Baik

Pelaksana Musiman -

-KESIMPULAN

10.32

Kurang Baik

LINGKUP Tanaman

Strata I - 1

-Strata II 1 1 0 Baik

Strata III 5 5 0 Baik

Strata IV 12 9 25 Kurang Baik

Pelaksana Tetap 108 95 12.04 Kurang Baik

Pelaksana Musiman -

-KESIMPULAN

9.26

Baik

LINGKUP Instalasi dan Pengolahan

Strata I -

-Strata II 2 1 50 Kurang Baik

Strata III 8 8 0 Baik

Strata IV 6 6 0 Baik

Pelaksana Tetap 255 255 0 Baik

Pelaksana Musiman 366 366 0 Baik

KESIMPULAN

10.00

Baik


(4)

97

Lampiran 9.

Hasil Penilaian Kinerja Formasi Tenaga Kerja PG. Ngadirejo (PG. skala besar).

KRITERIA

STANDAR

INPUT

DEVIASI

KESIMPULAN

LINGKUP PG

Strata I 1 1 0 Baik

Strata II 4 4 0 Baik

Strata III 15 10 33.33 Kurang Baik

Strata IV 48 31 35.42 Kurang Baik

Pelaksana Tetap 607 503 17.13 Kurang Baik

Pelaksana Musiman 284 826 190.85 Kurang Baik

KESIMPULAN

46.12

Kurang Baik

LINGKUP Pimpinan dan AKU

Strata I 1 1 0 Baik

Strata II 1 1 0 Baik

Strata III 3 1 66.67 Kurang Baik

Strata IV 10 8 20 Kurang Baik

Pelaksana Tetap 153 94 38.56 Kurang Baik

Pelaksana Musiman - 37

-KESIMPULAN

25.05

Kurang Baik

LINGKUP Tanaman

Strata I -

-Strata II 1 1 0 Baik

Strata III 8 4 50 Kurang Baik

Strata IV 24 15 37.5 Kurang Baik

Pelaksana Tetap 179 157 12.29 Kurang Baik

Pelaksana Musiman - 178

-KESIMPULAN

24.95

Kurang Baik

LINGKUP Instalasi dan Pengolahan

Strata I -

-Strata II 3 2 33.33 Kurang Baik

Strata III 13 5 61.54 Kurang Baik

Strata IV 7 7 0 Baik

Pelaksana Tetap 315 252 20 Kurang Baik

Pelaksana Musiman 284 611 115.14 Kurang Baik

KESIMPULAN

46.00

Kurang Baik


(5)

98

Lampiran 10.

Tampilan

Hardcopy

Hasil Penilaian PG. Lestari.


(6)

99

Lampiran 11.

Tampilan

Hardcopy

Hasil Penilaian PG. Ngadirejo