Kesimpulan Kuil Yasukuni Dan Hubungan Diplomatik Jepang Dan China Yasukuni Jinja Ya Chūgoku To Nihon No Gaikō Kankei

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Yasukuni Jinja adalah kuil agama Shinto yang didirikan bertujuan untuk memperingati dan menghormati prajurit-prajurit kekaisaran yang gugur dalam perang Boshin. Kemudian berganti nama menjadi Kuil Yasukuni pada 1879 dan ditetapkan oleh Kaisar Jepang sebagai kuil peringatan untuk arwah korban perang yang mati demi kekaisaran Jepang. Setelah Perang Dunia II berlalu, terjadi protes penolakan China menolak kunjungan Perdana menteri Jepang ke Kuil peringatan Yasukuni. China menganggap Kuil Yasukuni adalah representasi dari masa imperialisme Jepang selama Perang Dunia II dan tempat disemayamkannya juga para Penjahat perang yang turut bertanggung jawab atas segala kekejaman dan kebrutalan tentara Jepang selama invasi di China. China memprotes kunjungan yang dilakukan Para Perdana Menteri Jepang dikarenakan China mengganggap tidak layak para penjahat perang yang disemayamkan di Kuil Yasukuni mendapat penghormatan khususnya dari seorang kepala pemerintahan. Kontroversi Kuil Yasukuni mulai mendapat perhatian dunia internasional sejak Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi mendatangi Kuil Yasukuni tahun 2001. Gelombang protes dari masyarakat China terhadap kunjungan Universitas Sumatera Utara Koizumi ke Kuil Yasukuni tidak membuatnya berhenti mengunjungi kuil tersebut. Itu dibuktikannya dengan setiap tahun di masa pemerintahannya Koizumi selalu mengunjungi kuil Yasukuni. Protes yang dilakukan masyarakat China dan juga pemerintah China terhadap kunjungan para Perdana Menteri Jepang ke Kuil Yasukuni bukan hanya semata karena Yasukuni merupakan lambang dari Imperialisme Jepang selama Perang Dunia II tetapi juga merupakan bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat China terhadap pemerintahan Jepang yang menolak bertanggung jawab atas keterlibatannya terhadap sebuah sistem perbudakan seksual jugun ianfu dan membantah adanya pembantaian orang-orang China di Kota Nanking yang menyengsarakan orang-orang China selama Perang berlangsung. Berdirinya Asian Women’s Fund oleh pihak swasta Jepang yang bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada para korban jugun ianfu tidak cukup mengobati kekecewaan masyarakat China terhadap pemerintah Jepang. Penolakan pemerintah Jepang untuk meminta maaf secara resmi kepada para korban jugun ianfu dan Pembantaian Nanking menambahkan lagi kekecewaan masyarakat dan pemerintah China kepada Jepang. Hal ini menjadi menyebab hubungan diantara kedua negara ini menjadi dingin. Sengketa kepemilikan kepulauan Diaoyu atau Sengkaku yang masih berlangsung hingga sekarang menjadi faktor yang membuat hubungan Jepang- China semakin tidak harmonis. Sangat sulit untuk menentukan siapa pemilik yang paling layak atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku, mengingat perspektif dari dua negara yang berkonflik tersebut sama-sama kuat dan memiliki kelemahan antara Universitas Sumatera Utara yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, jika berbicara dengan pendekatan historiografi yang mencakup sejarah-sejarah faktual, China akan mendapatkan satu poin plus yang akan mendukung yurisdiksinya atas kepemilikan kepulauan tersebut.

4.2 Saran