3.1 Jugun Ianfu
従軍慰安婦 Jugun Ianfu terdiri dari lima buah huruf kanji yang masing-masing memiliki
arti 従
“pembantu” atau “pengikut”, 軍
“tentara”, 慰
“penghibur”, 安
“tenang” atau “senang”, dan
婦 “perempuan”. Dengan demikian secara literatur Jugun
Ianfu dapat diartikan sebagai perempuan penghibur yang mengikuti tentara Jepang untuk memberikan kesenangan.
Jugun Ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada perempuan- perempuan penghibur. Perempuan-perempuan ini terlibat dalam perbudakan seks
yang selama Perang Dunia II di daerah koloni Jepang. Kecenderungan jugun ianfu adalah mereka merupakan wanita yang berasal dari wilayah jajahan yang
berhasil di kuasai Jepanng. Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi jugun ianfu terdiri dari perempuan Korea, Tiongkok, Malaya Malaysia dan Singapura,
Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Eurasia dan penduduk Asia Pasifik. Sebagian kecil diantarnya terdapat juga perempuan yang berasal dari
Belanda dan Jepang menjadi jugun ianfu selama Perang Dunia II. Selain jugun ianfu, Jepang telah mengenal istilah geisha dan karayuki-san.
Berbeda dengan jugun ianfu, geisha yang berarti seniman adalah perempuan- perempuan penghibur yang dilatih sedemikian rupa untuk menjadi penghibur
professional. Pelayanan yang diberikan tidak hanya sebatas pelayanan seksual, namun juga pelayanan kesenian seperti menari dan menyanyi. Tamu yang
dilayani oleh para geisha adalah para petinggi dan orang-orang yang dapat dikatakan mampu karena tarif mereka yang mahal.
Universitas Sumatera Utara
Karayuki-san adalah istilah yang digunakan untuk wanita Jepang yang pergi untuk bekerja sebagai pelacur dibeberapa tempat seperti Siberia, Manchuria,
China, Asia Tenggara, India, Amerika dan Afrika. Walaupun beberapa jugun ianfu dahulunya berprofesi sebagai karayuki-san, namun terdapat perbedaan
mendasar antara perempuan jugun ianfu yang mantan karayuki-san dengan perempuan jugun ianfu yang berasal dari wilayah jajahan. Mantan karayuki-san
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan dari wilayah jajahan. Biasanya mereka mucikari yang membantu mengurus pengelolaan tempat hiburan.
Sedangkan perempuan dari wilayah jajahan menempati kedudukan yang rendah, dan mereka diharuskan melayani para tentara, baik dari kalangan menengah
kebawah sampai kepada tentara dari golongan menengah ke atas. Selain itu mereka tidak memiliki hak untuk memilih pria mana yang ingin mereka layani.
Gambar 3.1. salah satu tempat hiburan penyedia jugun ianfu di Shanghai, China
Universitas Sumatera Utara
Jugun ianfu adalah sistem yang disetujui oleh Menteri Peperangn Jepang, Sugiyama Hajime setelah melihat tingginya kasus pemerkosan yang dilakukan
oleh para tentara Jepang di China. Tercatat sekitar 223 kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Penyakit kelamin yang menyerang para tentara
Jepang akibat pemerkosaan tersebut menjadi latar belakang ketakutan pemerintahan Jepang akan melemahkan militer dan berdampak akan kegagalan
memenangkan peperangan. Untuk menghindari penyakit kelamin menjangkit para tentara dan dapat melemahkan kekuatan militer Jepang, melalui Letnan Jenderal
Okamura Yasuji menyarankan untuk pengiriman perempuan-perempuan penghibur ke Shanghai dan mulai membangun tempat-tempat hiburan di seluruh
China. Dengan disetujuinya sistem ini, pemerintah berharap adanya hiburan yang layak bagi para tentara sehingga meningkatkan moral dan kinerja para tentara.
Dengan adanya tempat hiburan ini juga dapat mengontrol penyebaran penyakit kelamin diantara para tentara Jepang yang dapat melemahkan militer Jepang.
Sistem jugun ianfu adalah sistem pelacuran yang diterapkan oleh para tentara Jepang secara legal karena sistem itu dibawahi oleh Departemen Peperangan
Jepang. Hicks.2007:45 Sistem perekrutan jugun ianfu pada awalnya dilakukan dengan cara
konvensional, yaitu dengan memasang iklan dengan dalih menawarkan pekejaan sebagai juru masak dan tukang cuci para tentara. Para perempuan-perempuan
tersebut tidak mengetahui bahwa mereka akan dijadikan pelacur tentara-tentara Jepang. Iklan tersebut muncul pada surat kabar yang terbit di Jepang dan juga di
koloni-koloni Jepang, seperti China dan Manchukuo. Tanggapan atas iklan itu pada awalnya sangat baik. Banyak perempuan yang dengan sukarela
Universitas Sumatera Utara
mendaftarkan diri mereka sendiri dan ada juga perempuan-perempuan yang dijual oleh keluarganya sendiri karena masalah ekonomi. Perempuan jugun ianfu dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu perempuan miskin dikarenakan perang dan tidak lagi merasa berarti, lalu perempuan yang dijual dan dipaksa
untuk menjadi jugun ianfu karena masalah ekonomi keluarganya, serta perempuan yang secara sukarela menjadi jugun ianfu untuk menjadi mata-mata bagi tentara
China. Hicks.1997:67
Gambar 3.2. Perempuan-perempuan jugun ianfu bersama tentara Jepang
Korea menjadi tempat sumber awal perekrutan jugun ianfu, tetapi setelah tentara Jepang dipindahkan ke daerah zona perang aktif, jumlah tentara Jepang di
semanjung korea menjadi semakin kecil. Fungsi utama Korea pada waktu itu berubah hanya menjadi tempat transit para tentara Jepang. Sehingga di Korea
tidak banyak didirikan tempat hiburan yang menyedikan jugun ianfu bagi tentara Jepang. China menjadi basis terbesar tempat-tempat hiburan Jepang yang
Universitas Sumatera Utara
menyediakan jugun ianfu. Tahun 1932 di Shanghai awal mulai beroperasinya tempat hiburan yang menyedikan jugun ianfu dan pelacur bagi tentara-tentara
Jepang. Sehingga Seiring semakin luasnya penyebaran kekuasaan Jepang, maka
penyebaran jugun ianfu pun semakin meluas. Menteri Urusan Luar Negeri Jepang, Togo Shinegori, mengintruksikan staffnya untuk menyertakan para jugun ianfu
dengan dokumen perjalanan militer dan tidak lagi memerlukan paspor ke luar negeri.
Di tempat-tempat hiburan Jepang khususnya di China, para perempuan jugun ianfu diperlakukan tidak manusiawi. Perempuan-perempuan tersebut harus
melayani sekitar 10-20 tentara dalam sehari. Akibat dari pekerjaan mereka itu resiko penyakit kelamin adalah menjadi hal yang sering dialami para perempuan
jugun ianfu. Walaupun disetiap tempat hiburan ada pemeriksaan medis secara periodik terhadap para jugun ianfu, tetapi pemeriksaan terkadang dilakukan oleh
orang-orang yang kurang berpengalaman dibidang ini. Mereka hanya memeriksa perubahan warna dan nanah di kemaluan para jugun ianfu. Dan jika terdapat
penyakit kelamin pada perempuan-perempuan jugun ianfu tersebut maka akan dibawa dan dipukuli sampai meninggal.
Hak-hak reproduksi perempuan sangat diabaikan di tempat hiburan militer Jepang di seluruh koloni Jepang. Walaupun terkena penyakit kelamin merupakan
sesuatu yang buruk bagi perempuan, namun ada lagi yang lebih buruk yaitu kehamilan. Untuk mencegah adanya kasus kehamilan, umumnya para jugun ianfu
diberikan semacam ramuan dari tumbuh-tumbuhan untuk mencegah kehamilan.
Universitas Sumatera Utara
Apabila sudah terjadi kehamilan maka mereka dipaksa untuk mengaborsi janin mereka dengan menggunakan pil. Ada juga tempat hiburan yang memperbolehkan
untuk melahirkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu, namun setelah itu jugun ianfu tersebut harus kembali melayani para tentara. Selain dengan obat-obatan,
untuk mencegah kasus kehamilan ada juga tempat hiburan yang mensterilisasi jugun ianfu agar tidak lagi menstruasi.
Sejalan dengan meluasnya kekuasaan Jepang di Asia Pasifik, maka penambahan pengiriman tentara juga semakin diperbanyak. Dengan demikian
makin bertambah kebutuhan akan tempat hiburan dan perempuan-perempuan jugun ianfu. Maka pemerintah Jepang tetap menggunakan dalih yang lama yaitu
memberikan lapangan pekerjaan dengan bayaran yang menjanjikan untuk merekrut jugun ianfu. Namun taktik tersebut tidak berjalan dengan lancar, maka
perekrutan langsung pun menjadi pilihan untuk merekrut jugun ianfu. Perekrutan langsung dilakukan oleh polisi ataupun pemerintahan lokal, yang biasanya
menggunakan kekerasan terhadap para perempuan yang mereka rekrut. Mereka mendatangi rumah-rumah penduduk, kemudian menculik anak gadisnya untuk
dijadikan jugun ianfu. Walaupun sudah melakukan banyak perekrutan disetiap daerah jajahan
Jepang, tetap tidak dapat mengimbangi jumlah personel militer yang ada. Hal ini membuat tentara Jepang turun tangan langsung merekrut perempuan untuk
dijadikan jugun ianfu dengan berbagai cara, termasuk dengan cara kekerasan. Perlakuan yang sangat tidak manusiawi harus diterima oleh perempuan-
perempuan tersebut. Tentara Jepang menganggap Perempuan Jugun ianfu hanya “persediaan militer” yang berguna untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bahkan
Universitas Sumatera Utara
mobilisasi perempuan-perempuan ini tersebut disembunyikan dan dicatat pada daftar transportasi sebagai unit dari ‘amunisi’ dan ‘persediaan kantin’. Barang kali
hanya sedikit yang tidak disembunyikan identitasnya sebagai manusia.
Gambar 3.3. Perempuan-perempuan jugun ianfu yang tewas dibunuh tentara Jepang
Sistem jugun ianfu ini berubah menjadi sebuah eksploitasi terhadap perempuan seiring dengan ekspansi Jepang selama 14 tahun 1931-1945. Dengan
diperkuat Undang-undang Mobilisasi Umum Nasional oleh pemerintah Jepang dimana memungkinkan pemerintah pusat untuk menguasai semua sumber daya
manusia dan bahan-bahan di wilayah kolonial ditambah adanya penolakan pengeluaran visa perjalanan bagi pelacur Jepang oleh Kementerian Luar Negeri
Jepang, sehingga membuat tentara-tentara Jepang menggunakan berbagi macam cara dalam perekrutan jugun ianfu. Pembantaian terhadap perempuan-perempuan
jugun ianfu semakin marak terjadi di daerah-daerah jajahan Jepang. Penolakan melayani para tentara, penyakit kelamin hingga kehamilan menjadi alasan dari
Universitas Sumatera Utara
tentara Jepang untuk menyiksa dan membunuh para jugun ianfu. Pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan juga semakin marak terjadi setiap daerah jajahan
seperti yang terjadi di kota Nanking. Perempuan-perempuan Nanking dibunuh setelah diperkosa, dan mayat-mayat mereka diletakkan di jalan-jalan kota
Nanking dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Penjajahan terhadap perempuan-perempuan malang ini berakhir pada saat
dijatuhkannya bom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Setelah itu Jepang menarik seluruh pasukannya ke Jepang untuk memperbaiki keadaan Jepang yang
sudah porak-poranda. Bersamaan dengan itu, Para jugun ianfu dilepaskan oleh para tentara Jepang. Sebagian dari mereka ada yang dikembalikan ke tempat asal
mereka, namun sebagian ada yang tinggal di tempat dimana mereka ditinggalkan oleh tentara Jepang. Terdapat sekitar 90.000-400.000 perempuan yang tersebar
diseluruh Asia Pasifik yang menjadi korban sistem jugun ianfu yang nasibnya menjadi tidak jelas setelah Perang Dunia II. Kebanyakan wanita korban jugun
ianfu memilih diam akan segala yang pernah mereka alami selama Perang Dunia II, karena bagi mereka itu adalah aib yang harus disembunyikan.
Kim Hak Sun adalah jugun ianfu pertama yang asal korea yang bersedia menceritakan kasih hidupnya kepada dunia luas sebagai bagian dari aksinya untuk
menuntut pemerintah Jepang dengan legal. Berkat keberaniannya, banyak para jugun ianfu yang mengikuti jejaknya. Para korban jugun ianfu khususnya yang
berasal dari China kemudian menuntut haknya pada Tokyo District Count pada tahun 1991. Hicks:1997:11
Universitas Sumatera Utara
Di persidangan, para korban jugun ianfu menuntut adanya kompensasi bagi para jugun ianfu dan juga adanya pengakuan dari pemerintah Jepang atas
perekrutan mereka sebagai perempuan penghibur. Namun disayangkan adalah sulitnya ditemukan dokumen yang secara resmi berkaitan dengan adanya tempat
hiburan para tentara Jepang. Setelah Perang Dunia II, dokumen-dokumen semacam ini dihancurkan oleh pihak Jepang, sehubungan dengan dokumen-
dokumen resmi tersebut dikhawatirkan akan dijadikan sebagai bukti kejahatan perang pada masa Perang Dunia II. Jepang membantah adanya sistem perbudakan
seksual Perang Dunia II dan menolak bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi kepada para korban jugun ianfu. Sehingga para korban jugun ianfu ini harus
kalah dalam persidangan untuk menuntut pemerintahan Jepang. Pada tahun 1995 pemerintah Jepang membentuk Asian Women Fund sebagai
badan yang memberikan dana pertanggung jawaban untuk para korban jugun ianfu. Lembaga swadaya masyarakat milik swasta ini dibentuk untuk meredam
protes Internasional terhadap pertanggung jawaban pemerintah Jepang untuk para korban jugun ianfu.
Penolakan pemerintah Jepang bertanggung jawab atas tindakan perbudakan seksual selama Perang Dunia II menjadi salah satu yang membuat hubungan
Jepang dengan negara-negara tentangganya khususnya China sering memanas China menjadi penyumbang jugun ianfu paling banyak selama Perang Dunia II
merasa Jepang harus bertanggung jawab dengan sistem yang sangat tidak manusiawi dimana eksploitasi perempuan untuk dijadikan jugun ianfu demi
kepuasaan seksual para tentara Jepang selama perang berlangsung. Sebuah fakta sejarah yang terlupakan karena beberapa pihak mencoba untuk menutupinya.
Universitas Sumatera Utara
3.2 The Rape Of Nanking Pembantaian Nanking