3.2 The Rape Of Nanking Pembantaian Nanking
Nanking atau sekarang lebih dikenal dengan nama Nanjing adalah salah satu kota terbesar dan terpenting di negara China. Ibu kota provinsi Jiangsu ini terletak
di selatan Sungai Yangtze. Nanjing dikenal sebagai Ibu kota Ilmu, Sains, Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata. Telah terkenal sebagai pusat kebudayaan
dan Ilmu di Tiongkok selama lebih seribu tahun lamanya. Nanjing adalah salah satu dari empat ibu kota kuno Tiongkok dan menjadi ibu kota sepuluh dinasti dan
atau kerajaan. Juga dikenal sebagai Ibu kota Surga. Nanjing juga menjadi pusat politik dan ekonomi bagi daerah delta sungai Yangtze selama beratus-ratus tahun.
Pada tahun 1931, Chiang Kai Shek berhasil menyatukan kembali China di dalam satu kepemimpinan setelah muncul beberapa pemerintahan di China,
seperti pemerintahan Beijing yang dipimpin oleh Panglima Perang utara dan pemerintahan pengganti yang dipimpin oleh Wang Jiwen di Wuhan. Chiang Kai
Shek mendirikan Nanjing menjadi ibukota China di masa pemerintahannya. Setelah Insiden Mukden pada tanggal 18 September 1931 dimana militer
Jepang memanipulasi dengan membuat skenario peledakkan rel kereta api milik perusahaan Jepang di dekat Kota Mukden, Jepang mulai mengirim secara massal
tentara mereka ke China. Jepang secara perlahan mulai menguasai satu persatu kota besar di China. Pemerintahan Chiang Kai Shek mulai mendeklarasikan
perlawanan terhadap Jepang. Pemerintahan di China yang pada awalnya terpecah- pecah akhirnya bersatu untuk melawan tentara Jepang. Pertempuran besar terjadi
disetiap kota di China khususnya di daerah China Utara dan Tengah. Sebagian
Universitas Sumatera Utara
besar China akhirnya berhasil dikuasai oleh Jepang dan menyisakan kota Shanghai dan Nanking sebagai basis pertahanan pemerintahan Chiang Kai Shek.
Shanghai merupakan kota kosmopolitan dan metropolitan terbesar di China tempat penanaman modal serta aset dari banyak kekuatan internasional,
seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Perancis. Tentara pemerintahan Chiang Kai Shek berusaha mempertahankan kota Shanghai selama mungkin agar
tidak dikuasai oleh Jepang. Usaha Chiang Kai Shek untuk mempertahankan kota Shanghai selain kota itu merupakan inti administrasi dan ekonomi dari
pemerintahan Chiang Kai Shek adalah untuk menarik perhatian dari dunia Barat untuk mengarahkan perhatian mereka ke Shanghai dan membantu China melawan
Jepang. Dengan banyaknya modal Barat yang ditanamkan di Shanghai mendorong
Barat ikut berperang dan berdiri di pihak China. Tetapi kenyataannya peperangan yang terjadi di Shanghai kurang mendapat perhatian dari dunia Barat yang lebih
fokus atas perang yang terjadi di Eropa. Beberapa negosiasi yang dilakukan antara Jepang dan China yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan Liga Bangsa-Bangsa
tidak berhasil membuat Jepang menghentikan invasinya ke China. Jepang akhirnya memutuskan keluar dari Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1933. Pada
tahun 1937 setelah pertempuran yang sengit antara tentara Jepang dan tentara China, akhirnya kota Shanghai berhasil dikuasai oleh Jepang dan memaksa tentara
pemerintahan Chiang Kai Shek untuk mundur ke Nanking. Setelah mengamankan kendali terhadap Shanghai, pada 11 November 1937
tentara Jepang mulai bergerak maju menuju Nanking yang berada sekitar 360 km
Universitas Sumatera Utara
dari kota Shanghai. Tentara Jepang datang mendekati kota Nanking dari berbagai penjuru. Tentara-tentara China yang berada di garis pertahanan di Wufu dan
Xicheng pun berhasil dipukul mundur oleh tentara Jepang. Garis Wufu dan Xicheng merupakan garis pertahanan terakhir sebelum memasuki kota Nanking.
Sebelum tentara Jepang memasuki kota Nanking. Chiang Kai Shek memerintahkan untuk melakukan evakuasi terhadap warga kota Nanking. Banyak
diantaranya adalah orang-orang pelarian dari daerah-daerah sekitar Nanking yang sudah berhasil dikuasai oleh Jepang dan pergi ke Nanking dan berharap Nanking
dapat memberikan rasa aman kepada mereka dari tentara Jepang. Chiang Kai Shek dan beberapa penasihatnya menyingkir dari kota Nanking dan menuju
Wuhan. Chiang Kai Shek menyerahkan tanggung jawab kota Nanking dan pertempuran mempertahankan Nanking kepada Jenderal Tang Shengzhi dan
Komite Internasional pimpinan John Rabe. Dibawah Komando Jenderal Matsui Iwane, Tentara Jepang yang tergabung
dalam SEF Shanghai Expedition Force pimpinan Jenderal Kesago Nakajima dan Jenderal Heisuke Yanagawa, tentara CCAA Japanese Central China Area Army
dan Angkatan Darat ke-10 mulai melakukan serangan ke kota Nanking. Pertempuran sengit pun terjadi antara Tentara Jepang tentara-tentara China
pimpinan Jenderal Tang Shengzhi. Setelah melihat perkembangan pertempuran yang terjadi dan kejatuhan Nanking tinggal menunggu waktu Jenderal Tang
Shengzhi melarikan diri meninggalkan kota Nanking. Tentara-tentara China yang kehilangan pemimpin akhirnya dengan mudah di kalahkan oleh tentara Jepang.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.4. seorang serdadu Jepang berdiri dekat korban pembantaian di sungai Yangtze
Pada tanggal 13 Desember 1937, Nanking akhirnya dapat dikuasai penuh oleh tentara Jepang. Tentara China menyerahkan diri kepada tentara Jepang dan
menjadi tawanan perang karena Jenderal Iwane berjanji tidak akan membunuh mereka jika menyerahkan diri.
Setelah Tentara Jepang memasuki Nanking, terjadi perubahan kepemimpinan militer Jepang di Nanking. Atas perintah dari Kaisar Hirohito, Pangeran Yasuhiko
Asaka yang juga adalah paman dari Kaisar Hirohito ditunjuk sebagai komandan SEF sedangkan Jenderal Matsui Iwane tetap sebagai Komandan tertinggi
mengawasi SEF, CCAA dan Angkatan Darat ke-10 selama berada di Nanking. Iwane pun segera harus meninggalkan Nanking kembali ke Tokyo untuk
menjalani perawatan atas sakit tubekolosis yang dia derita. Sehingga Asaka yang baru saja tiba di Nanking langsung diangkat sementara sebagai komandan
tertinggi tentara Jepang di Nanking. Setelah diangkat sebagai Pemimpin tertinggi tentara Jepang di Nanking,
Pangeran Asaka langsung membuat surat perintah yang ditujukan kepada pimpinan divisi Jenderal Kesago Nakajima dan Jenderal Heisuke Yanagawa untuk
Universitas Sumatera Utara
membunuh seluruh tawanan perang. Sumber lain menyatakan bahwa ajudan Asaka, Kolonel Isamu Cho mengambil inisiatif sendiri dan membuat surat
perintah untuk membunuh para tawanan perang tanpa sepengetahuan Asaka. Asaka yang adalah orang yang bertanggung jawab juga tidak memberikan
perintah untuk menghentikan pembantaian itu. Chang.2009:40-42 Pada tanggal 17 Desember Jenderal Iwane kembali ke Nanking setelah
menjalani pengobatan di Jepang. Setibanya di Nanking dan mengetahui pembantaian tersebut Iwane segera mengeluarkan perintah untuk menghentikan
pembantaian terhadap tawanan perang. Perintah Jenderal Iwane untuk menghentikan pembantaian terhadap tawanan perang tidak menghentikan
rangkaian kekejaman tentara Jepang di Nanking. Selama enam sampai delapan minggu kedepan menjadi hari-hari yang buruk bagi masyarakat China. Setelah
membantai seluruh tawanan perang, tentara Jepang mulai mengalihkan perhatian kepada masyarakat sipil di Nanking. Tentara-tentara Jepang mulai menjarah
barang-barang berharga dan bahan makanan dari masyarakat di Nanking. Tentara- tentara Jepang juga mulai membantai masyarakat sipil tanpa alasan yang yang
jelas. Harian surat kabar Osaka Manichi Shimbun dan Nichi nichi Shimbun
memuat artikel mengenai tragedi Nanking disalah satu kolom surat kabat tersebut yang membahas tentang kontes membunuh 100 orang China dilakukan oleh para
perwira Jepang Toshiaki Mukai dan Tsuyoshi Noda saat tentara Jepang berhasil menguasai Nanking. Perdebatan mengenai kontes tersebut mendapat banyak
sanggahan khususnya dari para perwira Jepang yang bertugas di Nanking.
Universitas Sumatera Utara
Menurut mereka berita yang dimuat oleh kedua harian tersebut tidak benar adanya dan hanya karangan dari kedua harian tersebut. Chang.2009:83-84
Gambar 3.5. seorang perwiraJepang yang bersiap memenggal kepala seorang pria China
Pembantaian terus berlanjut di Nanking dan dari minggu ke minggu, tentara Jepang semakin merajalela membantai orang-orang China. Tentara Jepang juga
menangkap paksa perempuan-perempuan China untuk diperkosa. Bila ada yang berusaha menghalangi para tentara itu maka akan langsung ditembak mati oleh
tentara Jepang. Perempuan-perempuan China diperkosa secara bergiliran oleh para tentara Jepang. Kebanyakan korbannya adalah perempuan-perempuan di
bawah umur. Kekejaman tentara Jepang tidak hanya sekedar memperkosa, tetapi juga
membunuh secara brutal. Tentara Jepang menusukkan kemaluan mereka dengan Bayonet, dan membiarkan mereka menangis kesakitan, terkadang juga tentara
Universitas Sumatera Utara
jepang menusukan tongkat kayu, buluh pipa, wortel, ranting berduri, kedaerah kemaluan mereka, sampai mereka meninggal, dan tentara jepang tersebut tertawa
serta bertepuk tangan disamping mereka. Penyiksaan tidak berhenti saat mereka mati, tetapi setelah mereka mati penyiksaan terus berlanjut seperti seluruh isi
perutnya dikeluarkan dan mayat mereka diletakkan di jalan-jalanan kota Nanking. Tentara Jepang menggunakan banyak cara dalam pembantaian masyarakat
sipil di Nanking. Mulai dari dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, digigit anjing hingga mati hingga dimutilasi. Orang-orang China tersebut banyak juga
yang ditangkap untuk dijadikan sasaran latihan bagi tentara-tentara muda Jepang. Mereka dijadikan sasaran untuk latihan tembak, menusukkan bayonet, hingga
memenggal kepala mereka untuk mencoba ketajaman pedang katana milik perwira-perwira jepang.
Kota Nanking menjadi ladang bagi mayat-mayat orang China korban pembantaian. Di sepanjang jalan kota Nanking dan di pinggir sungai Yangtze
dapat ditemukan tumpukan-tumpukan mayat dengan keadaan yang mengenaskan. Sungai Yangtze menjadi tempat pembuangan mayat-mayat orang China. Sungai
tersebut menjadi dangkal akibat tumpukan mayat yang dibuang orang Jepang ke sungai itu. Tidak ada penguburan yang layak bagi mayat-mayat tersebut. Tentara
Jepang memilih membiarkan mayat-mayat tersebut membusuk dipinggir-pinggir jalan daripada menguburkan mereka.
Dibalik konflik peperangan antara Jepang dan China di kota Nanking ada beberapa orang-orang asing yang dipandang sebagai pahlawan masyarakat China
selama pembantaian Nanking. John Rabe pimpinan komisi Internasional adalah
Universitas Sumatera Utara
orang yang memprakarsai Zona Aman bagi masyarakat China di Kota Nanking. John Rabe yang adalah Pimpinan dan juga Perwakilan Partai Nazi Jerman di
China bersama kolega-koleganya yang berasal dari Amerika dan Eropa mendirikan Zona Aman dibeberapa tempat di Nanking seperti universitas
Nanking, Kedutaan Besar Amerika, Kedutaan Besar Jerman hingga rumah John Rabe sendiri menjadi tempat pengungsian bagi orang-orang China di Nanking
yang sudah kehilangan tempat tinggal akibat pengeboman oleh tentara-tentara Jepang ataupun orang-orang China yang sudah tidak merasa aman lagi tinggal di
rumah mereka masing-masing. Chang.2009:105 Zona Aman yang diprakarsai oleh John Rabe dan beberapa orang-orang asing
yang tinggal di China pada awal mendapat penolakan dari Jepang. Jepang malah semakin membabi buta mengarahkan senjata mereka kepada orang-orang China
yang berada di Zona Aman. Setelah negosiasi yang dilakukan Komite Internasional dengan pihak Jepang akhirnya Jepang menerima Zona Aman dan
tidak lagi mengarahkan senjata-senjata mereka di Zona Aman tersebut karena merupakan wilayah Internasional. John Rabe bagaikan juruselamat bagi orang-
orang China di tengah-tengah kekejaman tentara Jepang yang tanpa pandang bulu melakukan pembantaian di Nanking.
Pembantaian Nanking Rape of Nanking tidak terungkap secara jelas seperti Holocaust Nazi dimana Partai Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler
melakukan pembantaian besar-besar terhadap bangsa Yahudi. Pemerintah Jepang yang terkesan menutup-nutupi adanya kekejaman yang terjadi di Nanking dan
dimusnahkannya dokumen-dokumen penting mengenai peristiwa Nanking oleh
Universitas Sumatera Utara
para perwira Jepang sebelum Perang Dunia II berakhir membuat peristiwa ini tidak terungkap secara jelas di dunia Internasional
Pembantai Nanking terjadi selama enam minggu yaitu dari tanggal 13 Desember 1937 hingga awal Februari 1938. Walaupun setelah enam minggu
tersebut masih banyak terjadi pembantaian lainnya, tetapi selama enam minggu tersebut merupakan minggu-minggu kebrutalan dan kekejaman tentara Jepang di
Nanking Terjadi kesimpang siuran mengenai jumlah korban yang mati di Nanking
selama Jepang mengusai ibukota China tersebut. Hal itu dikarenakan banyaknya dokumen-dokumen penting mengenai peristiwa pembantaian Nanking yang sudah
dimusnahkan oleh pemerintahan Jepang agar tidak dijadikan bukti kejahatan perang setelah Perang Dunia II. Pihak Jepang mengklaim bahwa sekitar 40.000-
200.000 orang yang mati akibat peperangan perebutan Nanking dan membantah adanya kekejaman dan pembantaian masyarakat sipil di Nanking, tetapi pihak
China merasa ada lebih banyak lagi orang-orang China yang mati dibantai tanpa berperang selama Jepang menguasai Nanking.
Irish Chang dalam bukunya The Rape of Nanking - Holocaust yang Terlupakan Dari Sejarah Perang Dunia Kedua 2009:4-5 menuliskan bahwa ada
sekitar 300.000-400.000 orang China baik tentara maupun masyarakat sipil yang dibantai oleh tentara Jepang saat berada di Nanking. Data tersebut membuktikan
bahwa Pembantaian Nanking adalah kejahatan pembantaian manusia yang terkejam terjadi di dalam sejarah. Pembataian Nanking lebih kejam dibandingkan
Holocaust pembantaian orang Yahudi yang dilakukan oleh pihak Nazi. Nazi
Universitas Sumatera Utara
membunuh hampir sekitar 6 juta orang Yahudi dalam kurun waktu enam tahun, tetapi pembantaian Nanking terjadi selama enam minggu, tentara Jepang sudah
membunuh sekitar 300.000-400.000 orang China. Diperkirakan jika pembantaian Nanking berlangsung selama enam tahun, maka jumlah korban Pembantaian
Nanking lebih banyak dibandingkan orang Yahudi yang mati dibunuh oleh Nazi. Pemerintah China mendirikan The Memorial Hall untuk memperingati
Pembantaian Nanking oleh agresi pasukan Jepang. The Memorial Hall ini terletak di sudut barat daya Nanjing dikenal sebagai Jiangdongmen, dimana areal yang
digunakan untuk membangun The Memorial Hall ini adalah salah satu tempat kuburan massal dari pembantaian Nanking. Menempati areal seluas 28.000 meter
persegi dengan luas bangunan 3000, itu dibangun pada tahun 1985 untuk mengenang 300.000 korban dalam kejadiaan tersebut. Kemudian, pada tahun
1995 itu diperbesar dan direnovasi. Di gedung ini terdapat museum yang memuat beberapa benda-benda bersejarah, foto-foto dan video mengenai kekejam
pembantaian manusia yang terjadi di Nanking selama Jepang menguasai China. Mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama 2009-2010 adalah
mantan perdana menteri ketiga Jepang yang mengunjungi gedung peringatan itu setelah Tomiichi Murayama dan Toshiki Kaifu. Kunjugan Hatoyama ke gedung
peringatan korban pembantaian Nanjing merupakan bentuk permintaan maaf pribadi kepada China terhadap kekejaman dan kebrutalan tentara Jepang selama
penjajahan Jepang di China khususnya di Nanjing.
Universitas Sumatera Utara
3.3 Sengketa Kepemilikan Pulau Diaoyu atau Sengkaku