Perlindungan Hukum Hak-Hak Nasabah atas Penerapan Klausula Baku dalam perjanjian Kredit dengan Bank Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada PT.Bank Sumut Medan )

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, 2003, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung. Bahsan, M., 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Darmawi, Herman, 2011Manajemen Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta.

Djumahana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Fajar, Mukti dan Yulianto, Achmad, 2012, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta.

Ibrahim, Johannes, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Revika Aditama, Bandung.

Ibrahim,Johny, 2008, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif,

Bayumedia Publishing, Malang.

Kasmir, 2000, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja, 2004, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia), Penerbitan Fak. Ekonomi UI, Jakarta.

Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Naja, H. R. Daeng, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nugroho, Susanti Adi, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Prenada Media Group, Jakarta.

Nasution, Az, 2002, Suatu Pengantar Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta.

Sdb, Burhanudin Ali & Nathaniela Stg, 2009, 60 Contoh Perjanjian (Kontrak), Hi-Fest Publishing, Jakarta.


(2)

Subekti & R. Tjitrosudibio, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Supramono, Gatot, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Supramono, Gatot, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Sutarno, 2009, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Penerbit Alfabeta, Bandung.

Susanto, Happy, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta. Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, 2013, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia

Moderen, CV. Pustaka Agung Harapan, Surabaya.

Tobing, Rudyanti Dorotea, 2014, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang Berdasarkan Demokrasi Ekonomi, Laskbang Grafika, Yogyakarta.

Untung, Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta. Usman, Rachmadi, 2003, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Lembaran Negara Nomor 31 Tahun 1992.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 1998. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang


(3)

Wawancara

Hasil wawancara dengan Bapak Faisal, staf bagian Analisis Kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan, tanggal 12 Agustus 2015

Hasil wawancara dengan Bapak Rudi Hermawanto, staf Bagian Administrasi Kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan, tanggal 12 Agustus


(4)

A. Perlindungan Konsumen dan Peraturan Tentang Perlindungan Konsumen

Setiap bank dalam menyelenggarakan kegiatan usaha operasionalnya harus berdasarkan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian, bahwa bank-bank di Indonesia dalam menjalankan usaha operasionalnya harus berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia dan mempunyai kewenangan untuk menentukan konsep klausula dalam penyelenggaraan kegiatan usaha operasionalnya sesuai peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku serta tidak bertentangan dengan undang-undang yang lainnya yang berlaku di Indonesia diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Istilah klausula dialih bahasakan dari dari istilah asing yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract” (bahasa Inggris) atau “standard voorwaarden” (bahasa Belanda). Kata standard mempunyai berbagai arti, yaitu tiang (panji), kelas, ukuran (sebagai pedoman). Sedangkan kata contract artinya perjanjian atau hubungan. Dengan memperhatikan arti kedua kata tersebut, maka standart contract artinya perjanjian dengan menggunakan ukuran tertentu.49

H. J. Sluiter mengatakan bahwa pengertian standart contract merupakan kontrak yang bersifat paksaan, bersifat lebih dipaksakan berdasarkan ketentuan

49


(5)

ekonomi yang lebih kuat, sedangkan salah satu pihak kurang cukup pengertian

tentang kontrak tersebut atau mungkin juga kecerobohan pada pihak lain.50

Klausula merupakan suatu perjanjian yang telah dipersiapkan dan ditetapkan secara sepihak yang dituang kedalam suatu perjanjian untuk ditaati oleh pihak lainnya, hal ini sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat -syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Dari pengertian-pengertian diatas maka klausula baku (standard contract) merupakan perjanjian yang bentuknya tertulis dan isinya ditentukan secara sepihak oleh kreditur, serta sifatnya memaksa debitur untuk menyetujui. Perjanjian yang bentuknya demikian tidak dapat dilakukan secara lisan. Hal ini karena kreditur akan mengalami kesulitan untuk dapat mengingat seluruh isi perjanjian yang biasanya tidak sedikit. Dengan dibuat secara tertulis kreditur dapat menentukan isi perjanjian cukup 1 (satu) kali untuk dipergunakan secara berkali-kali.51

Dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan dapat dijadikan sebagai payung dasar hukum pengaturan pelaksanaan perjanjian kredit yang menggunakan kontrak standar/kontrak baku di dunia perbankan pada umumnya dalam praktik perjanjian

50 Ibid. 51


(6)

kredit perbankan khususnya agar memberikan perlindungan dan kedudukan yang seimbang bagi para pihak, yakni nasabah selaku konsumen sebagai pengguna jasa kredit dari suatu bank selaku sebagai pelaku usaha.

Adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menjadikan kepastian hukum untuk melindungi hak-hak nasabah sebagai konsumen, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan harapan agar bank sebagai pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak nasabahnya. Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan nasabah maupun bank bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.

Klausula merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir yang ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa suatu klausula adalah perjanjian yang memuat di dalamnya ketentuan-ketentuan yang sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir (blanko) dan dengan jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama jenisnya.

Dewasa ini terdapat syarat-syarat baku dalam kontrak dihampir setiap bidang termasuk syarat-syarat umum perbankan. Pada perjanjian baku dalam perjanjian kredit menempatkan bank pada posisi yang kuat terutama memiliki kewenangan untuk mengubah, mengurangi dan bahkan menghentikan fasilitas kredit yang diberikan kepada nasabah sewaktu-waktu hanya berdasarkan


(7)

pertimbangan yang dianggap baik oleh bank semata tanpa nasabah dapat menahannya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa dalam realitanya nasabah sebagai selaku konsumen pengguna jasa kredit pada suatu bank yang dituangkan dalam perjanjian berbentuk klausula baku hanya dijadikan objek, nasabah sebagai selaku konsumen tidak mempunyai kekuatan untuk menimbang suatu kredit yang menggunakan perjanjian berbentuk klausula baku yang ditawarkan oleh bank. Namun, ketika nasabah sebagai selaku konsumen mendapati masalah pada jasa kredit tersebut, biasanya nasabah tidak bisa berbuat apa-apa, hanya diam seribu bahasa.

Berdasarkan uraian-uaraian yang tersebut diatas, bahwa posisi nasabah sebagai selaku konsumen terhadap bank selaku pelaku usaha, dalam hubungan atau transaksi ekonomi harus terjadi pada posisi saling berhadapan antara nasabah dan pihak bank. Posisi nasabah dan pihak bank penting untuk dicermati agar

terjadi hubungan yang seimbang.52

Upaya perlindungan nasabah sebagai selaku konsumen pengguna jasa kredit bank, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 2 menyatakan ada 5 (lima) asas perlindungan terhadap konsumen, yaitu:

1. Asas manfaat

Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

52


(8)

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan, barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastiaan hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.53

B.Ciri-ciri dan Bentuk Klausula Baku

Dalam praktik perbankan selama ini, seluruh bank telah menerapkan penggunaan klausula baku (standar kontrak) yang telah dipersiapkan. Ketika bank

53


(9)

telah mengambil keputusan menyetujui permohonan kredit, bank menyerahkan blanko atau formulir perjanjian kredit kepada nasabah. Dalam blanko atau formulir perjanjian kredit tersebut tersusun isi perjanjian, pada bagian-bagian tertentu antara lain seperti identitas para pihak, jumlah kredit, jangka waktu pengembalian, bunga, barang yang akan diagunkan sengaja dikosongkan untuk diisi. Maksud penyerahan blanko atau formulir perjanjian kredit ini kepada nasabah, nasabah hanya diminta untuk memberikan tanggapannya apakah ia

menyetujui atau tidak.54

Sering dijumpai di masyarakat ketika para pihak membuat perjanjian tertulis salah satu pihak menyodorkan blanko atau formulir perjanjian kepada pihak lainnya. Blanko atau formulir perjanjian ini sudah berisi naskah yang tinggal diisi kelengkapan antara lain identitas dan tandatangan para pihak saja. Klausul blangko suatu perjanjian dengan isi dan susunannya sudah baku, disebut klausul baku. Biasanya perjanjian dengan klausul baku digunakan oleh para pedagang atau perusahaan dengan tujuan agar perjanjian dapat dilakukan secara

cepat dan praktis.55

Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:

1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi

54 Ibid.

55 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hal 19


(10)

kuat dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku

yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat.

Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model.

Pada prakteknya, bentuk dan isi perjanjian kredit yang ada saat ini masih berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya. Namun demikian, pada dasarnya prototype suatu perjanjian kredit harus memenuhi 6 (enam) syarat minimal, yaitu:

1. Jumlah hutang.

2. Besarnya bunga.

3. Waktu pelunasan.

4. Cara-cara pembayaran.

5. Klausula opeisbaarheid, yaitu klausula yang memuat hal-hal yang

mengenai hilangnya kewenangan atau hilangnya hak debitur.

6. Barang jaminan.56

56


(11)

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, bahwa perjanjian kredit yang baik seyogianya sekurang-kurangnya berisi klausul-klausul sebagai berikut:

1. Klausul tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit, dan batas izin tarik.

2. Klausul tentang bunga, commitment fee, dan denda kelebihan tarik. 3.Klausul tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening pinjaman nasabah debitur.

4. Klausul atas representation an warranties, yaitu klausul yang berisi

pernyataan-pernyataan nasabah debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum. keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut.

5. Klausul tenang condition precedent, yaitu klausul tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum bank

berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah debitur berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut.

6. Klausul tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan.

7. Klausul tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan berlakunya hubungan rekening koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan.

8. Klausul tentang affirmative covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku.

9. Klausul tentan negative covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian masih berlaku. 10. Klausul tentang financial covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangan kepada bank dan pada minimal taraf tertentu. 11. Klausul tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan, dan penyelesaian kredit. 12. Klausul tentang events of default, yaitu klausul yang menentukan suatu peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding kredit.

13. Klausul tentang arbitrase, yaitu klausul yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan diantara para pihak melalui suatu badan arbitrasi, baik badan arbitrase ad hock ataupun badan arbitrase institusional. 14. Klausul tentang bunga rampai atau miscellaneous provisions atau boilerplate provisions, yaitu klausul yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung secara khusus didalam klausul-klausul lain. Termasuk didalam klausul-klausul ini adalah klausul yang disebut pada pasal tambahan, yaitu klausul yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tambahan yang belum diatur didalam pasal-pasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan khusus yang dimaksudkan sebagai syarat-syarat dan ketentuan-


(12)

telah tercetak didalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku.57

Kemudian, menurut Ch. Gatot Wardoyo, beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, yaitu:

1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause).

Klausul ini menyangkut pembayaran provisi, premi asuransi kredit, penyerahan barang dan jaminannya, pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut serta pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit.

2. Klausul mengenai klausul kredit (amount clause).

Klausul ini merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru.

3. Klausul mengenai jangka waktu kredit.

Klausul ini menyangkut tentang jangka waktu berlakunya kredit yang disepakati oleh kedua belah pihak yang biasanya ditentukan oleh bank. 4. Klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause).

Klausul ini mengatur tentang bunga dari pinjaman kredit bank yang harus dibayarkan setiap bulannya oleh debitor kredit kepada bank.

5. Klausul mengenai barang agunan.

Klausul ini membahas mengenai barang-barang/benda-benda apa saja yang dijadikan agunan. Biasanya jumlah agunan harus jauh lebih besar dari jumlah kredit yang diminta oleh debitur. Hal ini dilakukan untuk menjamin bank apabila terjadinya penurunan harga barang agunan.

6. Klausul asuransi (insurance clause).

Klausul ini memberikan perlindungan terhadap barang agunan yang dijadikan jaminan oleh debitur. Segala kerusakkan dan kelalaian merupakan tanggung jawab si debitur.

7. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause). 8. Trigger clause atau Opeisbaar clause.

Klausul ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secra sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir. Klausul ini memuat hal-hal mengenai hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak bagi debitur untuk mengatur harta kekayaannya, barang jaminan serta kelalaian debitur untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit/pengakuan hutang, sehingga debitur harus membayar secara seketika dan sekaligus lunas.

9. Klausul mengenai denda (penalty clause).

Klausul ini berisi tentang jumlah denda yang wajib dibayarkan oleh si debitur apabila terjadi keterlambatan pembayaran bunga kredit setiap bulannya.

57


(13)

10. Expence clause.

Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada debitur antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta, dan penagihan kredit.

11. Debet autthorization clause.

Klausul ini berisi pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan seizin debitur. Bahwa yang mempunyai hak untuk mendebet adalah debitur sendiri atau yang telah diberi kuasa oleh debitur yang melalui persetujuan dari bank dengan memakai lampiran surat kuasa.

12. Representation and warranties.

Klausul ini berisi pernyataan-pernyataan hal tertentu nasabag debitur

mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut.

13. Klausul financial cobenants.

Klausul yang berisi janji-janji nasabah bagi debitur untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu.

14. Miscellaneous (pasal-pasal tambahan).

Klausul ini berisi tentang peraturan-peraturan tambahan yang berbeda disetiap banknya yang merupakan salah satu syarat mengajukan kredit pada bank tersebut.

15. Dispute settlement (alternatif dispute resolution).

Klausul ini mengatur mengenai penyelesaian jika antara kreditur dan debitur terjadi perselisihan. Bagaimana tindakan bank apabila debitur melakukan wanprestasi, dimana disebutkan bahwa barang jaminan dikuasai oleh bank. 16. Pasal penutup, memuat eksemplar perjanjian kredit yang memuat pengaturan mengenai jumlah alat bukti, tanggal berlakunya serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit.58

C.Akibat Hukum Perjanjian Kredit yang Menggunakan Klausula Baku Semua perikatan maupun perjanjian yang telah dibuat berdasarkan kesepakatan bersama diantara para pihak, yakni antara bank dengan nasabah, yang sama-sama cakap bertindak, mengenai suatu objek tertentu, berdasarkan atas hak (klausa) yang halal, adalah mengikat secara sah bagi pihak-pihak yang bersangkutan, sebagaimana layaknya UU bagi para pihak yang membuatnya.

58


(14)

Klausula yang dibuat dalam bentuk baku merupakan perjanjian yang isi, syarat, dan ketentuannya disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada nasabah untuk disepakati, hal ini untuk mempermudah dan mempermudah kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar (standaardform) secara lengkap.

Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian kredit yang menggunakan klausa baku adalah sama halnya dengan syarat sahnya suatu perjanjian pada umumnya, yakni sebagaimana yang tertuang pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian terdapat 4 (empat) syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Mengenai sesuatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal;

Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku terdapat dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku tersebut dimaksudkan oleh UU sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan

pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.59

Dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka pencantuman klausula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut:

59 Penjelasan pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(15)

1. Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan bahwa :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang

atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat

jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku

usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan

bahwa :

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan


(16)

Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, menyatakan

bahwa :

Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Penggunaan klausul baku dalam perjanjian sifatnya adalah memaksa, dalam hal ini memaksa debitur untuk menyetujui isi perjanjiannya. Ketika debitur hendak transaksi, yang banyak terjadi ketika negosiasi dilakukan kreditur menyodori blanko/formulir perjanjian kepada debitur. Biasanya debitur tidak diberi waktu yang cukup untuk mempelajari perjanjian tersebut, melainkan debitur diminta untuk memperlihatkan kartu identitasnya (KTP, SIM dan lain sebagainya) kemudian diisikan kedalam perjanjian dan meminta debitur untuk

menandatangani blanko/formulir perjanjian tersebut.60

Seluruh kalangan perbankan dalam memberikan kredit kepada nasabahnya, telah mempraktikkan penggunaan klausul baku. Ketika bank telah mengambil keputusan untuk menyetujui permohonan kredit, bank menyerahkan blanko/formulir perjanjian kredit kepada nasabah. Dalam blanko/formulir perjanjian tersebut, pihak bank telah menentukan isi perjanjiannya, pada bagian-bagian tertentu seperti identitas para pihak, jumlah kredit, jangka waktu, maupun jenis barang yang akan dijaminkan sengaja dikosongkan untuk diisi. Maksud

60


(17)

penyerahan ini adalah nasabah diminta untuk memberikan pendapatnya apakah ia

menyetujui atau tidak klausul baku tersebut.61

Untuk itu, setiap nasabah merupakan sebagai konsumen pada suatu bank perlu memperhatikan hak-hak yang harus diperjuangkan. Sebagai nasabah tidak bisa hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa ketika hak-hak sebagai

nasabah jelas-jelas telah dirugikan.62

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa hak-hak konsumen adalah sebagai berikut:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang/jasa.

2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai

tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang/jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang

digunakanya.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

61 Ibid., hal 23. 62


(18)

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peratura perundang-undangan

lainnya.

Nasabah sebagai konsumen juga memliki kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 5 dinyatakan bahwa kewajiban konsumen sebagai berikut:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan

pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalh untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya.

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa.

Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu

membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan


(19)

masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan

asalkan memerhatikan norma dan prosedur yang berlaku.63

Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi nasabah/konsumen agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dengan cara seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang bakal menimpanya. Untuk itulah, perhatian terhadap kewajiban sama pentingnya dengan perhatian terhadap

hak-haknya sebagai nasabah/konsumen.64

63 Ibid., hal 27. 64


(20)

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.Kedudukan Para Pihak Antara PT. Bank Sumut Cabang Medan Dan Nasabah Dalam Perjanjian Kredit Dengan Menggunakan Klausula Baku

Klausula baku (contract standart) adalah perjanjian yang disepakati dalam bentuk tertulis yang telah digandakan, yang isinya telah dibakukan secara sepihak oleh pihak perbankan dalam hal ini selaku sebagai kreditur (pemilik dana) dan ditawarkan kepada nasabah yang merupakan selaku sebagai pengguna jasa kredit perbankan.

Bentuk perjanjian kredit perbankan dalam praktiknya telah disediakan oleh pihak bank sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahami dngan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (contract standart), dimana debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada

kemungkinan untuk tawar-menawar.65

Klausula baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak

65


(21)

tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempakatan untuk

menegosiasi atau mengubah klausula-klausula.66

Dari uraian tersebut diatas, secara jelas menggambarkan posisi bank yang menentukan secara sepihak terhadap klausula-klausula perjanjian pada posisi yang kuat sehingga nasabah/debitur berada pada posisi tawar yang tidak setara. Artinya dalam hal ini tidak adanya pilihan bagi nasabah/debitur selaku konsumen untuk secara bebas menentukan pilihannya.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tujuannya adalah melindungi hak-hak konsumen dari perilaku pelaku usaha atas kecurangan yang dapat merugikan konsumen, UU tersebut menjadi suatu payung hukum bagi setiap konsumen sehingga konsumen tidak dirugikan oleh pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat pada konsiderans bagian menimbang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa tujuan keberadaan undang-undang tersebut adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa nasabah/debitur pada suatu bank adalah berkedudukan sebagai konsumen, maka setiap hak-hak dan kewajibannya diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga sebaliknya,

66 Ibid.


(22)

bank yang merupakan sebagai pelaku usaha sebagai penyedia jasa keuangan memiliki hak dan kewajiban yang juga diatur oleh undang-undang tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, bank dalam menentukan perjanjian kredit yang berbentuk klausula baku (standart contract) maka harus berdasarkan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan keberadaan penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menempatkan nasabah selaku konsumen harus memiliki kedudukan yang setara dengan bank sebagai pelaku usaha dalam suatu perjanjian kredit.

Dalam praktek perbankan, secara yuridis ada 2 jenis standart contract yang selalu digunakan bank dalam memberikan kreditnya, yaitu:

1. Perjanjian kredit dengan akta di bawah tangan, yaitu perjanjian

pemberian kredit yang klausula-klausulanya telah dibuat sendiri oleh pihak bank, kemudian disodorkan kepada debitur. Penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan oleh mereka sendiri, tanpa adanya notaris.

2. Perjanjian kredit dengan akta otentik, yaitu perjanjian pemberian

kredit oleh bank pada debitur yang dibuat dengan akta notaris. Namun tetap saja bahwa klausula-klausula yang dicantumkan dalam akta notaris tersebut berpedoman pada klausula-klausula perjanjian kredit

yang dibuat oleh bank.67

Salah satu bank yang pernah menggunakan jenis perjanjian seperti yang

telah disebut diatas adalah PT. Bank Sumut Cabang Medan. Dalam praktek

biasanya PT. Bank Sumut Cabang Medan telah menyediakan blanko atau formulir yang isinya telah dipersiapkan terlebih dulu untuk ditujukan kepada setiap calon nasabah yang melakukan pengajuan permohonan kredit. Calon nasabah yang mengajukan permohonan kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan tidak turut

67Budi Untung, “Kredit Perbankan di Indonesia”, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hal. 14


(23)

serta dalam merumuskan mengenai isi perjanjian kredit tersebut, kepada nasabah PT. Bank Sumut Cabang Medan hanya diminta persetujuannya apakah menerima syarat-syarat yang disebutkan dalam blanko/formulir yang telah dipersiapkan tersebut atau tidak.68

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, dalam suatu perjanjian maka para pihak harus mempunyai kedudukan-kedudukan yang seimbang/setara, hal ini dikarenakan bahwa dalam setiap perikatan perjanjian yang dibuat secara sah dan berlaku terhadap bagi mereka-mereka yang menghendakinya yang mana sebelumnya mereka bersepakat untuk memenuhi masing-masing hak dan kewajibannya yang telah diatur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menempatkan konsumen dengan pelaku usaha dalam kedudukan yang setara berdasarkan prinsip azas kebebasan berkontrak sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi setiap mereka yang membuatnya.

Berdasarkan Pasal 1338 KUPerdata tersebut, bahwa setiap orang bebas untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang yang berlaku. Adapun ruang lingkup yang terkait dengan azas kebebasan berkontrak, yaitu:

68 Hasil wawancara dengan Bapak Faisal, staff bagian Analisis Kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan, tanggal 12 Agustus 2015


(24)

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat pernjanjian.

2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia membuat

perjanjian.

3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian

yang akan dibuatnya.

4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpan ketentuan UU yang

bersifat opsional (optional).69

Dalam upaya mencapai kedudukan yang setara antara konsumen dengan pelaku usaha terkait dengan hak-hak nasabah dalam perjanjian kredit yang menggunakan klausula baku (contract standart) telah disebutkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak-hak dan kewajiban sebagai konsumen.

Hak-hak sebagai konsumen yang dinyatakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

69


(25)

Sedangkan kewajiban sebagai konsumen yang dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Bagi pelaku usaha, dalam upaya mencapai kesetaraan kedudukan dengan konsumen terkait penerapan perjanjian kredit kepada nasabah yang menggunakan klausula baku (contract standart) telah disebutkan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak-hak dan kewajiban sebagai konsumen.

Hak-hak sebagai pelaku usaha yang dinyatakan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:

1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Sedangkan kewajiban sebagai pelaku usaha yang dinyatakan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:


(26)

2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Terkait dengan hak-hak nasabah yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juga menyebutkan secara tidak tersirat mengenai hak-hak dan kewajiban nasabah sebagai pengguna jasa perbankan diantaranya, yaitu:

1. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah.

2. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa nasabah berhak memperoleh atas informasi tentang berbagai resiko produk perbankan.


(27)

3. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa nasabah berhak memperoleh kerahasiaan atas keterangan nasabah dan simpanannya.

Bentuk Klausula baku (standart contract) perjanjian kredit antara PT. Bank Sumut Cabang Medan dengan nasabahnya dituangkan dalam suatu perjanjian “Persetujuan Membuka Kredit.” Didalam perjanjian Persetujuan Membuka Kredit tersebut terdapat beberapa klausula-klausula yang telah ditentukan oleh PT. Bank Sumut Cabang Medan diantaranya, yaitu:

1. Klausula yang memuat tentang jumlah hutang kredit, jangka waktu

kredit, tujuan kredit. (Pasal 1 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang medan)

2. Klausula yang memuat tentang kewajiban membayar oleh debitur,

yakni; pembiayaan hutang/angsuran, bunga, biaya administrasi, dan biaya-biaya lainnya. (Pasal 2 dan Pasal 9 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

3. Klausula yang memuat tentang penyerahan agunan oleh debitur kepada

PT. Bank Sumut Cabang Medan. (Pasal 3 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

4. Klausula yang memuat tentang kewenangan mutlak PT. Bank Sumut

Cabang Medan untuk mengatur agunan yang diagunkan oleh nasabah/debitur. (Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8 dan dan Pasal 11 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

5. Klausula yang memuat tentang perlindungan terhadap barang agunan

yang diagunkan oleh nasabah/debitur, bahwa PT. Bank Sumut Cabang

Medan mengambil alih kewajiban untuk memelihara atau

mengasuransikan barang agunan milik debitur. (Pasal 7, Pasal 12 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

6. Klausula yang menyatakan tentang penyerahan kembali agunan milik

nasabah/debitur oleh PT. Bank Sumut Cabang Medan atas pelunasan kredit secara keseluruhan atau sebahagian. (Pasal 10 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

7. Klausul tentang bentuk penyerahan agunan milik nasabah/debitur

kepada PT. Bank Sumut Cabang Medan. (Pasal 13 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)


(28)

8. Klausula tentang kewenangan PT. Bank Sumut Cabang Medan untuk melakukan pendebetan/pembukuan atas pinjaman nasabah/debitur, hal ini juga dituangkan dan dilampirkan dalam Surat Kuasa atas nama nasabah/debitur sendiri yang memberikan kuasa kepada pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan. (Pasal 14 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

9. Klausula yang memuat pernyataan tentang nasabah harus mematuhi dan

tunduk atas segala hal ketentuan aturan yang ada pada PT. Bank Sumut Cabang Medan. (Pasal 15 dan Pasal 16 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

10. Klausul yang memuat kewajiban nasabah untuk menyampaikan

memberikan laporan keuangan atau keterangan lainnya kepada PT. Bank Sumut Cabang Medan. (Pasal 17 Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

11. Klausul miscellaneous, klausul yang berisi tentang peraturan-peraturan

(pasal) tambahan . (Pasal Tambahan Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

12. Klausul penutup, klausul yang memuat tentang menyangkut untuk

menetapkan domisili atau tempat kedudukan hukum untuk penyelesaian apabila terjadi perselisihan. (Pasal Penutup Perjanjian Persetujuan Membuka Kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan)

Berdasarkan klausula-klausula pada perjanjian Persetujuan Memberikan Kredit yang tersebut diatas, maka jelas bahwa perjanjian-perjanjian kredit yang yang dilakukan oleh PT. Bank Sumut Cabang Medan tidak seimbang, kedudukan antara nasabah atau debitur tidak setara sebagaimana diatur Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tentang 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan klausula perjanjian Persetujuan Membuka Kredit, bahwa nasabah dan debitur hanya memiliki pilihan untuk menerima atau menolak atas perjanjian tersebut. Hal ini sesuai sebagaimana yang telah dikemukakan oleh H. J. Sluiter ysng mengatakan bahwa standard contract (perjanjian baku) merupakan perjanjian yang bersifat paksaan, bersifat lebih dipaksakan berdasarkan ketentuan ekonomi yang lebih kuat, sedang salah satu pihak dipaksa oleh pihak lain yang memiliki ekonomi yang lebih kuat.


(29)

Perjanjian baku (standard contract) merupakan perjanjian yang ditentukan oleh sepihak dalam hal ini adalah kreditur, bentuk perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis. Oleh karena itu, kreditur yang mengatur dan menentukan isi perjanjian karena memiliki kedudukan yang lebih kuat dibanding debiturnya sehingga terjadinya ketidakseimbangan kedudukan antara kreditur dengan debitur, Hal ini dapat terlihat dari isi perjanjian kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan yang dibuat oleh PT. Bank Sumut Cabang Medan secara sepihak, yang mana pada perjanjian kredit tersebut tercantum klausul-klausul yang tidak adil bagi nasabahnya karena pada perjanjian kredit tersebut hanya memuat klausul-klausul yang menjadi kewajiban bagi nasabah dan merupakan hak-hak PT. Bank Sumut Cabang Medan yang harus dipenuhi dan dipatuhi.

Umumnya nasabah bersikap menyetujui apa yang tertera dalam standart contract. Jarang ditemukan ada nasabah yang tidak setuju dengan perjanjian demikian, sebab nasabah dihadapkan pada keadaan yang menyulitkan dirinya. Misalnya, apabila kredit yang telah disetujui oleh bank tidak diambil maka proyek

nasabah akan menjadi terkatung-katung dan akibatnya proyek menjadi gagal.70

Standard contract (perjanjian baku), selain kreditur yang mengatur dan menentukan isi perjanjian dipandang memiliki kedudukan ekonomi yang lebih kuat dibanding debiturnya. Disamping itu, dari sisi administrasi terdapat alasan-alasan lain seperti menghemat waktu, praktis, dan sebagai pelayanan yang baik

kepada debitur.71

70 Gatot Supranomo, Op. Cit., hal. 175 71


(30)

B.Pertanggung jawaban Pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan Dalam Penerapan Klausula Baku Atas Perjanjian Kredit Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa tanggung jawab pelaku usaha ialah:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)

hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Berdasarkan dengan bunyi Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat beberapa bentuk pertanggung jawaban pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen, yaitu:

1. Pertanggung jawaban kontraktual (contractual liability).

2. Pertanggung jawaban produk (product liability).

3. Petanggung jawaban profesional (professional liability).

4. Pertanggung jawaban langsung (strict liability).72

72 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 94.


(31)

Larangan pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan debitur setara dengan pihak bank berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena

ingkar janji atau perbuatan melannggar hukum.73

Klausula eksonerasi biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umunya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen dengan adanya

klausula tersebut menjadi beban konsumen.74

Timbulnya tanggung jawab kontraktual disebabkan adanya hubungan kontraktual antara konsumen dengan pelaku usaha, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Hubungan kontraktual tidak disyaratkan jika konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum. Dalam kualifiksi pelanggaran hubungan kontraktual konsumen harus membuktikan unsur-unsur:

1. Adanya perbuatan melawan hukum.

2. Adanya kesalahan/kelalaian pelaku usaha.

3. Adanya kerugian yang dialami konsumen.

73 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2011, Op. Cit., hal 114. 74


(32)

4. Adanya hubungan klausul antara perbuatan melawan hukum dengan

kerugian yang dialami konsumen.75

Tanggung jawab kontraktual berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku dengan isi, letak, bentuk, atau pengungkapannya seperti diuraikan di atas dalam dokumen atau perjanjian baku yang dibuatnya dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:

a. Sanksi Perdata

Klausula baku tersebut jika digugat di pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim harus membuat putusan declaratoir bahwa klausula tersebut batal demi hukum (void), Hal ini sebagaimana tersebut pada Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pelaku usaha yang pada saat ini mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau perjanjian baku yang digunakannya, wajib merevisi klausula baku yang digunakannya itu agar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hal ini sebagaimana tersebut pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Sanksi Pidana

Mengenakan sanksi pidana kepada pelaku usaha yang melanggar pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

75 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum


(33)

Konsumen sebagaimana ditetapkan dalam pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).

Ketentuan mengenai pertanggung jawaban professional telah diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal pelaksanaan pemberian kredit perbankan, perlindungan konsumen terkait pertanggung jawaban professional terdapat dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: Pelaku usaha dalam menawarkan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan mengenai:

1. harga atau tarif suatu jasa;

2. kegunaan suatu jasa;

3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi suatu jasa;

4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

5. bahaya penggunaan jasa.

Pelaku usaha yang di dalam memberikan jasanya melanggar ketentuan tersebut di atas, dan kemudian ternyata menimbulkan kerugian pada badan, jiwa, dan barang milik konsumen, maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:


(34)

a. Sanksi Perdata

Apabila pemberian jasa oleh professional menggunakan suatu perjanjian baku yang mencantumkan klausula baku yang berisi klausula eksonerasi, maka sanksi perdata yang dapat dikenakan adalah sanksi yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, apabila perjanjian pemberian jasa tersebut melanggar ketentuan yang tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka berarti perjanjian pemberian jasa tersebut tidak memenuhi syarat sebab/kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila hal ini dilanjutkan ke Pengadilan, hakim harus menetapkan putusan yang declaratoir bahwa perjanjian pemberian jasa tersebut batal demi hukum (void).

b. Sanksi Pidana

Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 62 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka pelaku usaha yang melanggar ketentuan dia atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun/2 (dua) tahun, atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua Milliar Rupiah)/Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta rupiah) sesuai dengan pasal yang dilanggar.

Dalam rangka pemberdayaan nasabah jasa perbankan, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertanggung jawab sebagai pelaksana otoritas


(35)

moneter sangat diharapkan sekali mempunyai kepeduliannya. Dengan berlakunya PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan yang ada. Oleh karena itu, pelaku usaha perbankan dituntut untuk:

1. Memberikan pelayanan terbaik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan jasa yang diberikannya.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskrimatif.

4. Menjamin kegitan usaha perbankan berdasarkan ketentuan standar

perbankan yang sudah berlaku.76

C.Upaya-upaya Perlindungan Hukum Dari Pelaksanaan Perjanjian Kredit Terhadap Klausula Baku Pada Nasabah

PT. Bank Sumut adalah merupakan sebuah lembaga keuangan perbankan di Sumatera Utara yang mengandalkan dan mengutamakan kepercayaan masyarakat diatas segalanya. Hal ini dikarenakan PT. Bank Sumut sangat sekali membutuhkan kepercayaan masyarakat dalam melakukan dan menjalankan

kegiatan usahanya.77

Untuk mempertahankan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap PT. Bank Sumut, maka dilakukan upaya-upaya perlindungan hukum terhadap nasabah dari segala tindakan yang merugikan serta menindak secara tegas

76 Muhammad Djumahana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2000, hal. 281

77 Hasil wawancara dengan Bapak Rudi Hermawanto, staff Bagian Administrasi Kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan, tanggal 12 Agustus 2015


(36)

terhadap setiap oknum pegawai di PT. Bank Sumut yang sengaja melakukan

kesalahan dan tidak bertanggung jawab.78

Perlindungan terhadap nasabah dalam bidang perbankan merupakan suatu ketentuan yang tidak boleh diabaikan begitu saja, alasannya dikarenakan nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali dalam dunia perbankan, dalam arti kata hidup matinya perbankan hanyalah bersandarkan kepada kepercayaan dari

masyarakat khususnya nasabah di PT. Bank Sumut Cabang Medan.79

Upaya perlindungan nasabah sebagai konsumen selaku pengguna jasa perbankan (kredit), bahwa Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan ada 5 (lima) azas perlindungan terhadap konsumen, yaitu:

1. Azas manfaat

Maksud azas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Azas keadilan

Azas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Azas keseimbangan

Azas ini dimaksudkan untuk memberikan kesimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.

4. Azas keamanan dan keselamatan konsumen

Azas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan, abrang/jasa yag dikonsumsi atau digunakan.

5. Azas kepastian hukum

Azas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menajmin kepastian hukum.

78 Ibid. 79


(37)

Dalam hal perjanjian kredit, hubungan hukum yang terjadi antara nasabah dengan bank terwujud karena adanya kesepakatan karena suatu perjanjian, dimana perjanjian tersebut telah terlebih dulu dibakukan dan dibuat dalam bentuk formulir oleh pihak bank dan semua isi-isi dalam perjanjian tersebut harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah dan pihak bank.

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian baku, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan

adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian.

b. Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan

perjanjian kredit/pembiayaan.

c. Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.

d. Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui

isi perjanjian.80

Oleh karena itu, kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian baku mengenai kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening di bank maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang

berkepanjangan di kemudian hari.81

Pelaksanaan perjanjian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan, upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi nasabah dalam perjanjian kredit tersebut antara lain:

80 Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya

Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Revika Aditama, Bandung, hal. 42.

81 Ibid.


(38)

a. Perlindungan pada saat pembuatan dan perumusan perjanjian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan.

Dalam perumusan perjanjian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan berdasarkan dengan beberapa peraturan yang berlaku sekarang dan tetap memperhatikan kepentingan nasabah, dan jaminan kepastian hukum.

b. Perlindungan terhadap isi perjanjian kredit yang harus ditandatangani

oleh nasabah kredit dari PT. Bank Sumut Cabang Medan.

Perjanjian ini sudah disediakan terlebih dulu oleh pihak bank dan sudah tercetak dalam bentuk formulir tertentu, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut akan ditandatangani maka nasabah hanya mengisikan data-data informatif saja dengan sedikit atau tanpa perubahan klausula-klausula dalam perjanjian kredit tersebut.

c. Perlindungan dalam pelaksanaan kredit.

Jika terjadi/timbul permasalahan dalam pelaksanaan kredit, maka pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan dalam mengatasi permasalahan tersebut mengacu pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank

Indonesia.82

Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UPPB tertanggal 31 Maret 1995 tentang kewajiban Penyusunan dan pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi bank Umum pada Pasal 1 menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui

82


(39)

dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

Berdasarkan Pasal 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR, dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UPPB tentang kewajiban Penyusunan dan pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi bank Umum, menyatakan bahwa:

Bank Umum wajib memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :

1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;

2. organisasi dan manajemen perkreditan;

3. kebijakan persetujuan kredit;

4. dokumentasi dan administrasi kredit;

5. pengawasan kredit;

6. penyelesaian kredit bermasalah

Dalam memberikan perlindungan terhada pelaksanaan kredit, jika terjadi atau timbul permasalahan dalam pelaksanaan kredit maka pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan dalam mengatasi permasalahan tersebut mengacu pada kebijakan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, yaitu:

1. Bank wajib menyelesaikan setiap pengaduan yang diajukan nasabah

dan atau perwakilan nasabah.

2. Untuk menyelesaikan pengaduan, bank wajib menetapkan kebijakan

dan memiliki prosedur tertulis yang meliputi:

a. penerimaan pengaduan;

b. penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan

c. pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.

Ketentuan-ketentuan aturan yang telah tersebut diatas berlaku untuk segala macam jenis perjanjian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan, jika terjadi timbul permasalahan antara pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan dengan


(40)

nasabah yang menyimpang terhadap suatu perjanjian kredit maka ketentuan-ketentuan tersebut itulah yang berlaku untuk dijadikan acuan dalam

menyelesaikan masalah-masalah tersebut.83

Perjanjian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan tidak terdapat pencantuman klausula yang letaknya maupun bentuknya tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit untuk dimengerti oleh nasabah. Pihak Bank Sumut Cabang Medan selalu tetap menjelaskan kepada nasabah tentang isi perjanjian kredit tersebut dengan detail, dan jelas tentang syarat-syarat yang ada

pada diperjanjian kredit tersebut.84

Kenyataannya selama ini di PT. Bank Sumut Cabang Medan, klausula-klausula dari perjanjian kredit yang ditawarkan dan diberikan kepada nasabah biasanya yang dianggap berat dan dikeluhkan oleh nasabah itu sendiri adalah klausula tentang persoalan bunga, akan tetapi pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan juga menjelaskan dan memberi perbandingan kepada nasabah bahwa bunga perkreditan yang ditentukan di PT. Bank Sumut Cabang Medan lebih rendah dari Koperasi maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan selama ini juga pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan dalam memberikan pelayanan kepada

nasabah bersifat kekeluargaan.85

Berdasarkan peraturan umum pemberian kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan dijelaskan bahwa langkah pertama yang dilakukan apabila terjadi perselisihan dalam perjanjian yang berbentuk baku (standart contract) antara pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan dengan nasabahnya maka diselesaikan

83 Ibid. 84 Ibid. 85


(41)

secara musyawarah dan mufakat. Ini menunjukkan adanya upaya penyelesaian secara baik-baik untuk melindungi kepentingan bagi para pihak dalam

melaksanakan perjanjian kredit tersebut.86

Adanya upaya penyelesaian yang dicapai secara musyawarah dan mufakat oleh PT. Bank Sumut Cabang Medan terhadap nasabahnya adalah merupakan wujud dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yaitu sebagaimana disebutkan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa “sengketa

konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan

pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.”

Berdasarkan sebagaimana yang dimaksud Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian sengketa antara PT. Bank Sumut Cabang Medan terhadap nasabah secara damai tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang perlindungan konsumen.

Upaya terakhir yang dapat dilakukan terhadap timbulnya pemasalahan dalam pelaksanaan perjanjian kredit yang dituangkan dalam klausula baku (standard contract) yang disepakati oleh para pihak adalah dengan melakukan

gugatan ke pengadilan setelah sebelumnya telah dilakukan upaya

mediasi/pedamaian (negoisasi) secara musyawarah dan mufakat.

86


(42)

Pengajuan gugatan melalui pengadilan untuk upaya penyelesaian sengketa yang timbul diantara para pihak bank dengan nasabah adalah sesuai dengan rumusan pada perjanjian Persetujuan Membuka Kredit di PT. Bank Sumut Cabang Medan.

Pasal Penutup pada perjanjian Persetujuan Membuka Kredit terdapat klausula yang berbunyi “untuk segala yang berkenaan dengan Persetujuan Membuka Kredit ini, kedua belah pihak memilih tempat kedudukan (domisili) pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan. Peralihan domisili ini berlaku juga untuk ahli waris debitur/Pemberian agunan (pihak ketiga) dan untuk siapa saja yang akan menjadi gantinya.”


(43)

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pembahasan permasalahan penelitian ini adalah:

1. Kedudukan para pihak antara bank dan nasabah dalam perjanjian kredit

yang menggunakan klausula baku (standart contract), bank menawarkan dan memberikan perjanjian kepada nasabah yang telah lebih dulu dibakukan dan dibuat dalam bentuk blangko/formulir dan nasabah hanya dalam posisi menerima atau menolak perjanjian tersebut sehingga nasabah berada pada posisi tawar (bergaining position) yang tidak setara. Hal tersebut secara jelas, menggambarkan posisi bank yang menentukan secara sepihak. Oleh karena itu, dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka bank dalam menentukan perjanjian kredit yang berbentuk klausula baku (standart contract) harus berdasarkan dan tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.

2. Pertanggung jawaban bank dalam penerapan klausula baku atas perjanjian

kredit yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Thun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa bank sebagai lembaga keuangan yang bergerak dibidang jasa, maka bentuk pertanggung jawaban dalam hukum perlindungan nasabah adalah melalui pertanggung jawaban profesional dan pertanggung jawaban kontraktual antara pihak bank dan


(44)

nasabah. Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak bank sebagaimana berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disebutkan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Upaya-upaya perlindungan hukum dari pelaksanaan perjanjian kredit

terhadap klausula baku pada nasabah bahwa Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa ada 5 (lima) asas perlindungan hukum terhadap konsumen, yaitu: asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen, asas kepastian hukum. dalam peraturan umum pemberian kredit PT. Bank Sumut Cabang Medan dijelaskan bahwa langkah pertama dilakukan bila terjadi perselisihan terhadap perjanjian yang berbentuk baku (standart contract) antara PT. Bank Sumut Cabang Medan dengan nasabahnya adalah diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Ini menunjukkan adanya upaya penyelesaian secara baik untuk melindungi kepentingan-kepentingan bagi kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian yang berbentuk baku (standart contract).


(45)

B.Saran

Adapun yang menjadi saran atas hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pihak perbankan yang memiliki kedudukan yang lebih kuat pada saat

pembuatan kontrak baku/klausula baku harus memperhatikan keadilan dan hak-hak nasabah sehingga tercapainya kemanfaatan yang seimbang.

2. Agar Setiap calon nasabah sebelum perjanjian kredit terlebih dahulu

membaca dan memahami klausula baku yang diberikan oleh pihak bank, sehingga tidak bertentangan dengan UU no.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

3. Diharapkan PT. Bank Sumut Cabang Medan lebih meningkatkan

pelayanannya kepada setiap nasabah khususnya pelayanan pemberian kredit kepada nasabah.


(46)

Beberapa penyebutan istilah kredit dari berbagai bahasa asing, yakni credere (bahasa Yunani), credito (bahasa latin). Di dalam kamus lengkap bahasa Indonesia moderen, istilah kredit diartikan ansuran, cicilan, mengangsur, mencicil.14

Kata kredit merupakan bentuk past participle dari kata credere yang berarti to trust atau faith. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit) dalam hubungan perkreditan debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dengan syarat-syarat yang telah setuju bersama, dan dapat mengembalikan (membayar

kembali) kredit yang bersangkutan.15

Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapatkan kredit dari bank, orang atau

badan usaha telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit.16 Dengan

pengertian tersebut dapat dipahami, bahwa kredit merupakan suatu utang atau peminjaman uang.

Kredit yang berarti kepercayaan, maka kredit tanpa kepercayaan tidak akan terwujud karena kepercayaan merupakan faktor yang mendasar dalam pelaksanaan perjanjian pemberian kredit. Dalam dunia perdagangan kepercayaan dapat diberikan dalam bentuk uang, barang atau jasa. Untuk perjanjian pemberian

14

Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen, CV. Pustaka Agung Harapan, Surabaya, 2013, hal. 323

15 Rudyanti Dorotea Tobing, Op. Cit., hal. 178

16 H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.123


(47)

kredit mutlak adanya 2 (dua) pihak yang berhubungan satu sama lain. Di satu piak

pemberi kredit dan dipihak lain yang menerima kredit.17

Menurut O. P. Simorangkir, bahwa kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada

waktu mendatang.18

Savelberg menyatakan bahwa kredit mempunai arti antara lain:

1. Sebagai dasar dari setiap perikatan dimana seseorang berhak

menuntut sesuatu dari orang lain.

2. Sebagai jaminan dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada

orang lain dengan tujuan memperoleh kembali apa yang diserahkan

itu (commdatus, depositus, regulare, pignus).19

Levy merumuskan arti hukum dari kredit, bahwa kredit ialah menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan

jumlah pinjaman itu dibelakang hari.20

M. Jakile mengemukakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti

dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tersebut.21

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak lain untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

17 Ibid. 18 Ibid.

19 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 2003, hal. 21 20 Ibid.

21


(48)

Berdasarkan dari pengertian kredit menurut undang-undang yang tersebut diatas, maka terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat dalam kredit, yaitu pihak yang meminjam atau debitur, dan pihak yang membiayai atau kreditur, adanya kepercayaan, balas jasa, perjanjian dan kesepakatan, adanya jangka waktu, dan resiko yang harus ditanggung.

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana tersebut diatas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yakni:

1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan penyediaan uang.

Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian (penerbitan) garansi bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan letter of credit (LC).

2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara

bank dengan pihak lain.

Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan peyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit.

Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian, tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUHPerdata, Buku Ketiga tentang Perikatan, dan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen sepanjang yang mengatur tentang larangan

pencantuman klausul baku dalam perjanjian.

Perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank dengan debitur lazim disebut perjanjian kredit, surat perjanjian kredit, akad kredit, dan sebutan lain yang hampir sejenis. Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata) merupakan UU bagi bank dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata


(1)

ABSTRAK *

Reza Endara Arham

**

Sinta Uli P., SH., M.Hum *** Mulhadi, SH., M.Hum

Pelaksanaan perjanjian kredit diperbankan dituangkan kedalam perjanjian standar (contract standard) yang memuat klausula-klausula yang telah dibakukan, dan ditentukan sepihak oleh bank, sehingga permalasahan yang diangkat dalam peneltian ini adalah tentang Perlindungan Hukum Hak-Hak Nasabah atas Penerapan Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit dengan Bank Dikaitkan dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini menyebabkan ketentuan klausula baku tersebut kebanyakan menguntungkan pihak bank sebagai kreditur dan cenderung merugikan nasabah sebagai debitur yang menjadikan kedudukan yang tidak seimbang bagi nasabah. Mengenai sahnya perjanjian kredit yang menggunakan klausula baku adalah sama halnya dengan syarat sahnya perjanjian pada umumnya yang diatur Pasal 1320 KUHPerdata. Pengaturan mengenai klausula baku diatur UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh UU Perlindungan Konsumen tersebut sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prisnsip kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur Pasal 1338 KUHPedata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi setiap para pihak yang membuatnya.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian Yuridis Normatif dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara langsung (field research) dengan pegawai PT. Bank Sumut Cabang Medan. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu berasal dari buku perpustakaan, artikel-artikel, internet, termasuk perundang-undangan.

Kedudukan para pihak dalam perjanjian kredit bank yang menggunakan klausula baku (standart contract), ditentukan oleh pihak bank selaku kreditur, sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan kedudukan antara nasabah terhadap pihak bank. Pertanggung jawaban pihak bank dalam penerapan klausula baku atas perjanjian kredit yang bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen adalah melalui pertanggung jawaban profesional dan pertanggung jawaban konraktual, ketentuan mengenai timbulnya pertanggung jawaban profesional diatur pada Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen, sedangkan timbulnya tangung jawab kontraktual disebabkan adanya hubungan kontraktual antara nasabah dengan pihak bank karena disebabkan wanprestasi pada suatu perjanjian yang sebagaimana diatur oleh KUHPerdata. Pengaturan melalui UU Perlindungan Konsumen yang terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencantuman klausula baku, juga melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia.

Kata kunci: hak-hak nasabah, klausula baku perjanjian kredit

*

Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Dagang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan

kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “

Perlindungan Hukum Hak-Hak Nasabah Atas Penerapan Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit dengan Bank Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” yang membahas tentang

pengaturan mengenai Pencatuman klausula baku dimaksudkan untuk

menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang.

Skripsi ini ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum , Departemen Hukum Perdata Program Kekhususan Hukum Peradata Dagang Universitas Sumatera Utara. Penulis sangat menyadari bahwa kehadiran karya ini tidak terlepas dari perhatian,bimbingan,dorongan dan bantuan dari semua pihak.Untuk ini izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besar nya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Syafruddin, SH, MH, Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum


(3)

4. Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

5. Prof . Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, Selaku ketua Departemen Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Rabiatul Syariah, SH,M.Hum, Selaku Sekertaris Departemen Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Sinta Uli P., SH, M.Hum, Selaku Ketua Program Kekhususan Hukum

Perdata Dagang dan sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

8. Mulhadi, SH, M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing II yang banyak

memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen Selaku Staf pengajar dan seluruh administrasi

Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan.

10. Kepada Orang Tua saya Ir. Iskandar Arham dan Dra.Endang

Karosmayuti Terima kasih yang tak terhingga atas do’a, curahan kasih

sayang, dan segala bentuk dukungan yang selalu diberikan yang tidak mungkin dapat saya balaskan sampai kapan pun.

11. Kepada Abang saya Achmad Fauzi Arham, Kakak saya Lila Meutia

Iskandar, Kak Fitri, Kak Lica, dan Adik saya Aditya Gunadi Arham yang telah membantu dan memberi motivasi dalam pembuatan skripsi.

12. Kepada teman saya Putri Indah, SE yang selalu membantu dan


(4)

13. Semua kawan-kawan stambuk 2010 yang tidak bisa disebut secara satu persatu, khususnya buat anak-anak Departemen Hukum Perdata Dagang: Mpit (Fitra), Ea(Andrea),Ayul(Fachrul),Babaliong(Elio), Song(Bima), Bg ariel (Andi),Kong (Devi), Aisyah, Mbah Mud( Mahmud) dan Megik Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

14. Kepada adik-adik stambuk 2012 :Danil, Margareth, Monica, Rachel,

Fani, Deardo, Chelsya, Putra dan Leo

Akhirnya tiada kata yang lebih baik dapat penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, melainkan hanya kepada Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu hukum meskipun penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Medan, 20 Januari 2016 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematikan Penulisan ... 10

G. Keaslian Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT BANK ... 13

A. Pengertian dan Bentuk Perjanjian Kredit Bank ... 13

B. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit oleh Bank Kepada Nasabah ... 22

C. Pengaturan Hukum tentang Syarat Sahnya Perjanjian Kredit ... 25

D. Hapusnya Perjanjian Kredit ... 30

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PENERAPAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK ... 34

A. Perlindungan Konsumen dan Pengaturan Hukum tentang Perlindungan Konsumen ... 34

B. Ciri-ciri dan Bentuk Klausula Baku ... 38

C. Akibat Hukum Perjanjian Kredit Yang Menggunakan Klausula Baku ... 43

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK NASABAH ATAS PENERAPAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN BANK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 50 A. Kedudukan Para Pihak Antara Bank dan Nasabah Dalam


(6)

B. Pertanggungjawaban Pihak Bank dalam Penerapan Klausula Baku atas Perjanjian Kredit yang Bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ... 60

C. Upaya Perlindungan Hukum dari Pelaksanaan Perjanjian Kredit terhadap Klausula Baku pada Nasabah ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76 Lampiran


Dokumen yang terkait

Pencantuman Klausula Baku Dalam Akad Pembiayaan Syariah Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Studi Pada PT.Bank Muamalat CAB.Medan

6 69 88

Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3 72 93

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 2 21

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada

0 3 13

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 11

PELAKSANAAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

PERJANJIAN STANDAR DALAM PEMBERIAN KREDIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA PT.BPR X KOTO SINGKARAK.

0 0 7

PENERAPAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) PADANG).

1 3 8

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen - Repository Unja

0 0 13

ASPEK PERJANJIAN BAKU DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN - Repository UNRAM

0 0 19