Representasi Perempuan Jawa Dalam Novel “Anak Semua Bangsa”

(1)

BIODATA PENELITI

Data Pribadi

Nama : Nur Fitriyani Saputri

NIM : 110904068

Tempat/Tanggal Lahir : Tarutung, 4 April 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat Lengkap : Jl Cornelius Lumban Tobing No. 58 Huta Toruan X, Tarutung, Tapanuli Utara.

Telepon Seluler : 0852 7534 1064

Surat Elektronik

Orangtua

Ayah : Agus Suryoto Ibu : Saiyem

Anak ke : 3 dari 3 bersaudara Nama Saudara Kandung : Sri Lestari, S.S.

Herry Setianto, S.S.

Pendidikan Formal

1997 – 1999 : TK Al-Falah Tarutung 1999 – 2005 : SD Negeri 173100 Tarutung 2005 – 2008 : SMP Negeri 2 Tarutung 2008 – 2011 : SMA Negeri 1 Tarutung 2011 – 2016 : Ilmu Komunikasi FISIP USU

Pendidikan Non-Formal

2013 : Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar

Pers Mahasiswa Pijar FISIP Universitas Sumatera Utara, Medan. 2013 : Pelatihan Kerja Jurnalistik Tingkat Nasional (PKJTLN)

Surat Kabar Kampus GANTO Universitas Negeri Padang, Padang Panjang.


(2)

2013 : Pelatihan Jurnalistik Tingkat Nasional (PJTLN)

Pers Mahasiswa Suara USU Universitas Sumatera Utara, Parapat. 2015 : Sosialisasi Standar Kompetensi Wartawan (SKW)

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Medan.

Organisasi

2005 – 2008 : PRAMUKA SMP Negeri 2 Tarutung

Anggota (2005-2007), Pratama Putri (2007-2008) 2008 – 2011 : PRAMUKA SMA Negeri 1 Tarutung

Anggota (2008-2010), Pemangku Adat (2010-2011) 2011 – 2013 : UKMI As Siyasah FISIP USU

Anggota Divisi Komunikasi Dakwah (2011), Sekretaris Divisi Komunikasi Dakwah (2012), Sekretaris Divisi Kaderisasi (2013)

2012 : HMI FISIP USU Anggota (2012)

2012 – 2013 : Persada Medan KENDO Club (PMKC) Anggota (2012-2013)

2013 – 2015 : Pers Mahasiswa Pelita Insan Terpelajar (Pijar) FISIP USU Anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan (2013-2014), Pemimpin Umum (2014-2015)

2013 – 2016 : Pusat Pengkajian Komunikasi Massa (P2KM) USU

Anggota (2013-2014), Staf Editorial Jurnal Flow dan Jurnal KOMUNIKA (2015-2016)


(3)

Daftar Referensi

AG, Linus Suryadi. (1993). Regol Megal Megol : Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogyakarta : Andi Offset Yogyakarta.

Ardianto, Elvinaro. Q-Anees, Bambang. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Berger, Arthur Asa. (2010). Pengantar Semiotika. Yogyakarta : Tiara Wacana. Barthes, Roland. (2011). Mitologi. Bantul : Kreasi Wacana.

Bungin, Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana. Yogyakarta : LkiS. _______. (2008). Analisis Wacana. Yogyakarta : LkiS.

Fakih, Mansour. (2013). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hellwig, Tineke. (2007). Citra Kaum Permpuan di Hindia Belanda. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Kriyantono, Rachmat. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana.

Lubis, Mochtar. (1997). Sastra dan Tekniknya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Permanadeli, Risa. (2015). Dadi Wong Wadon :Representasi Perempuan Jawa di

Era Modern. Sleman : Pustaka Ifada.

Pohan, Syafrudin. Dkk. (2012). Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Proposal Penelitian. Medan : PT Grasindo Monoratama.

Pujileksono, Sugeng. (2015). Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Malang : Intrans Publishing.

Ratna, Nyoman Kutha. (2010). Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


(4)

Salamun, Sadilah. Emiliana. Dkk. (2002). Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa Di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah. Yogyakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.

Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. _________. (2004). Semiotika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Sukri, Sri Suhandjati. Sofwan, Ridin. (2001). Perempuan dan Seksualitas dalam

Tradisi Jawa. Yogyakarta : Gama Media.

Toer, Pramoedya Ananta. (2010). Anak Semua Bangsa. Jakarta : Lentera Dipantara.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. (2011). Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media.

Artikel Jurnal

Abdullah, Irwan. (1997). Dari Domestik ke Publik : Ja;an Panjang Pencarian Identitas Perempuan. Sangkan ParanGender. 3-27.

Kusujiarti, Siti. (1997). Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi : Dinamika Hubungan gender dalam masyarakat Jawa. Sangkan Paran Gender. 82-99.

Wiyatmi. (2010). Citra Perlawanan Simbolis Terhadap Hegemoni Patriarki Melalui Pendidikan dan Peran Perempuan di Arena Publik dalam Novel-Novel Indonesia. Atavisme. 13, 137-217.

Skripsi

Sembiring, Jusia. (2013). Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals. Medan : Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(5)

Zahrawi, Muhammad. (2015). Konstruksi Media Massa dalam sampul Depan Majalah. Medan : Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Sumber Lain

Ajat Sudrajat dalam tulisan Jurgen Habermas : Teori Kritis Dengan Paradigma Komunikasi.

Sumber Internet

12:12 WIB)

(diakses 20 Juli 2016 6:45 WIB)


(6)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian

Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller, pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Lalu mereka mendefinisikan bahwa metodologi kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kekhasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Pujileksono, 2015 : 35).

3.2.Objek Penelitian

3.2.1. Profil Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer (lahir di meninggal di sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejar Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Pramoedya dilahirkan di sebelah timur Pulau Sumatera, sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di kabar

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis Jakarta pada


(7)

dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke anggota berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara Pramoedya dan pemerintaha

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di

Selain pernah ditahan selama tiga tahun pada masa kolonial dan satu tahun pada mas ditahan sebagai dilarang menulis selama masa penahanannya di mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul serial empat kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat


(8)

satu kali seminggu ke

Selama masa itu ia menulis

berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis

namun tak diizinkan untuk dikirimkan, da

Samuels, diterbitkan di Indonesia ole

Semenj menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik

pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis b

wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama mas

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri.


(9)

Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada

Pada pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

3.2.2. Bibliografi Pramoedya Ananta Toer

Bar

Di Tepi Kali Bekasi

(dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme)


(10)

• cerpen

Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953

dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965

triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebaga Oktober 1965

Darat pada 13 Oktober 1965


(11)

1995

• (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995

3.3. Subjek Penelitian

Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagian isi cerita yang terdapat dalam novel “Anak Semua Bangsa” karya Pramoedya Ananta Toer, yang terdiri dari 539 halaman. Sebagian isi cerita yang dimaksud adalah bagian yang menunjukkan sisi perempuan modern Jawa dari tokoh Nyai Ontosoroh. Novel Anak Semua Bangsa pertama kali diterbitkan pada tahun 1981. Beberapa bulan setelah terbit, novel ini dilarang beredar oleh Jaksa Agung saat itu. Penelitian ini menggunakan novel cetakan September 2011 yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara.

3.4. Kerangka Analisis

Penelitian ini menggunakan pisau analisis semiotika, yaitu semiologi Roland Barthes. Proses analisis dilakukan dua tingkatan yaitu teks dan konteks. Semiologi Roland Barthes bertumpu pada pemaknaan denotatif, konotatif, serta mitos yang terkandung dari teks yang diteliti. Analisis semiotik dipilih sebab dianggap relevan dan memiliki kekuatan dalam mempelajari hakikat tanda. Saussure berpendapat bahwa persepsi dan pandangan kita mengenai realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial (Sobur, 2004 : 87).


(12)

3.5.Teknik Pengumpulan Data

Seorang periset harus melakukan kegiatan pengumpulan data. metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan periset untuk mengumpulkan data. metode pengumpulan data ini sangat ditentukan oleh metodologi riset, apakah kuantitatif atau kualitatif (Kriyantono, 2007 : 91). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer, yaitu data unit analisis dari teks-teks yang tertulis pada novel Anak Semua Bangsa.

b. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dengan cara mempelajari dan mengumpulan data melalui literature buku, jurnal ilmiah, serta bacaan lain di internet yang relevan dan mendukung penelitian.

3.6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan salah satu langkah penting dalam penelitian untuk memperoleh temuan-temuan hasil penelitian. Data yang telah dikumpul akan menuntun peneliti ke arah temuan ilmiah, bila dianalisis dengan teknik-teknik yang tepat. Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Pujileksono, 2015 : 151).

Penelitian ini akan dianalisis menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, berupa penanda dan petanda, denotasi dan konotasi terhadap sebagian isi novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian akan dilakukan dengan menganalisis 22 kutipan dalam novel yang menggambarkan sisi perempuan modern Jawa tokoh Nyai Ontosoroh. Keseluruhan analisis nantinya akan disajikan dalam bentuk uraian deskriptif.


(13)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Hasil

Perangkat analisis semiotika akan dipakai pada novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa. Novel yang dibuat saat pengarang masih dalam masa pengasingan di Pulau Buru ini merupakan buku kedua dari tetralogi Buru yang bercerita tentang kehidupan seorang pribumi terdidik yang berlatar Hindia Belanda pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Dalam buku kedua diceritakan tokoh utama tinggal dengan ibu mertuanya yang merupakan seorang Nyai dari Herman Mellema, seorang bekas Administratur Pabrik Gula Tulangan. Seorang perempuan Jawa yang diangkat menjadi gundik dan mendapatkan pendidikan Eropa dari Tuannya. Bukan hanya kebiasaan dan tata krama Eropa yang ia dapat dan terapkan, namun juga pemikiran yang menjadikannya lebih berani dibanding perempuan Jawa terdidik lainnya. Hal inilah yang membuat peneliti semakin tertarik untuk menelitinya.

Adapun kutipan isi novel yang akan diteliti adalah kutipan yang berisi tentang pendapat tokoh lain maupun dialog dari Nyai Ontorosoh sendiri yang menunjukkan sisi perempuan modern Jawa yang ada pada tokoh Nyai Ontosoroh. Dari keseluruhan isi novel, peneliti memilih 22 kutipan yang menunjukkan sisi perempuan Jawa modern dari diri Nyai Ontosoroh. Kemudian peneliti akan mencoba menggali makna denotasi dan konotasi melalui perangkat analisis semiologi Roland Barthes.

Berikut daftar 22 kutipan yang akan diteliti: Tabel IV.1 Daftar Kutipan

No Kutipan Halaman

1 “Memang, sudah selesai dengan kekalahan kita, tetapi tetap ada azas yang telah mereka langgar. Mereka telah tahan kita di luar hukum. Jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tak acuh terhadap azas, biar sekecil-kecilnya pun...”

4


(14)

kudengarkan dengan setengah hati, “kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu, azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan. Apalagi. Pencurian terhadap kebebasan kita selama beberapa hari ini.”

3 Tidak lain dari Mama yang mengatakan: nama berganti

seribu kali dalam sehari, makna tetap. 26 4 “Tidak, Nak, ini perbuatan manusia. Direncanakan oleh

otak manusia, oleh hati manusia yang degil. Pada manusia kita harus hadapkan kata-kata kita. Tuhan tidak pernah berpihak pada yang kalah.”

54

5 Memang sekali ia pernah bilang: tak ada guna menyewa

tenaga Eropa kalau Pribumi bisa melakukan. 58 6 “... Dan engkau tahu perusahaan ini pada suatu kali akan

diambil oleh orang lain yang dianggap lebih berhak oleh Hukum. Aku hendak membuka perusahaan baru....”

97-98

7 “Bagaimana bisa orang berbohong dalam tulisan semacam ini? tulisan yang harus dihormati karena dibaca oleh ribuan orang?”

100

8 “Kau dididik untuk menghormati dan mendewakan Eropa, mempercayai tanpa syarat. Setiap kau melihat kenyataan adanya Eropa tanpa kehormatan, kau lantas jadi sentimen. Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu contoh yang dekat – aku, orang desa, tapi juga bisa sewa orang-orang Eropa yang ahli. Juga kau bisa. Kalau mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?”


(15)

9 “... Eropa tidak hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembihing dengan ilmu dan pengetahuannya.”

102

10 “Seluruh dunia kekuasaan memuji-muji yang kolonial. Yang tidak kolonial dianggap tak punya hak hidup, termasuk mamamu ini. berjuta-juta ummat manusia menderitakan tingkahnya dengan diam-diam seperti batukali yang itu juga. Kau, Nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudianhari. Dan kolonial itu, kan itu persyaratan dari bangsa pemenang pada bangsa yang dikalahkan untuk menghidupinya? – suatu persyaratan yang didasarkan atas tajamnya dan kuatnya senjata?”

111-112

11 Pada kita dia telah tampilkan Eropa dan Amerika sebagai petualangan-petualangan jahat, Nak. Sekiranya mereka tak punya meriam, apakah ada kehormatan pada mereka?”

122

12 Gelumbang tangisnya memuncak lagi, dengan suara tertahan, menghiba-hiba, tangis seorang wanita yang keras hati, berani dan berpengalaman, terpelajar dan cerdas-tangis seorang yang menyadari telah membangun di atas lumpur.

308

13 “Dengan mengenal bahasa Belanda, mereka akan kurang takut menghadapi Belanda, dengan tahu berhitung mereka takkan terkena tipu...”

339

14 ... Mama, wanita yang kukagumi dalam hidupku, kau, yang dalam tanganmu aku seakan segumpal lempung yang dapat kau bentuk sebagaimana kau kehendaki, yang dapat mengungkap hal-hal besar, yang dapat menggarap banyak soal sekaligus, yang cerdas dan terpelajar, yang mendahului


(16)

jaman, ...

15 Ya, aku sekarang ingat pada Nyai. Ia pun menggaji orang-orang Eropa untuk kepentingan perusahaannya. Mereka datang atas panggilannya. Malah Mr.Deradera Lelliobuttockx diusirnya berdepan-depan karena tidak menguntungkan. Seorang Pribumi mengusir orang Eropa! Betapa banyak yang telah dipelajarinya dari Tuan Mellema.

416

16 “Dia sudah sampai ke tempat yang ditujunya sendiri. Aku kira itu lebih baik. Setidak-tidaknya cita-citanya telah terlaksana: jadi pelaut, berlayar, mengelilingi dunia.”

443

17 Namun aku sekarang mengerti sepenuhnya mengapa Mama tak memberi aku uang saku. Mama hendak mengajar aku mendapatkan uang sendiri dari tenaga kerjaku, dan aku segan bekerja. Berbahagialah Annelies yang mau dan mengerti maksud didikanmu.

448

18 Mama berkukuh menolak memberikan keterangan yang bisa jadi petunjuk ke arah kebijaksanaannya sebagai pemimpin dan pemilik perusahaan.

460

19 “Dalam pelik-pelik kehidupan ini, memang apa yang pernah kau pelajari di sekolah hanya permainan kanak-kanak. Kau sudah cukup dewasa, untuk mengerti hukum serigala yang berlaku dalam kehidupan, di antara mereka, juga di antara kita sendiri. Sebentar lagi kau akan lihat, apa yang kukatakan ini tidak meleset dan tidak akan meleset.”

462

20 Di Wonokromo, seorang perempuan, sendirian, harus menghadapi lawan dewa pembangunan dan dewa sukses sekaligus. Secara hukum perempuan yang bediri sendiri itu telah dirampas dari anak dan hartabendanya, keringat, jerih dan payahnya. Ia tak punya kekuatan hukum. Ia tak pergi ke tempat di mana Nederland memanggil. Dan ia hanya didampingi oleh seorang plonco bernama Minke dan seorang Darsam yang telah kehilangan kehebatannya dalam


(17)

bermain parang. Kekuatan apa lagi yang masih tercadang dari tiga orang ini dalam menghadapi Ir.Maurits Mellema yang sedang diurap kejayaan?

21 “orang rakus harta-benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis.”

512

22 “... Melarikan diri adalah kriminal. Sia-sia semua pendidikan dan pengalamanmu. Aku percaya kau bukan pelarian.”

340

Dari 22 kutipan tersebut peneliti membaginya menjadi tiga kelompok berdasarkan model ideal perempuan modern Jawa yang telah dibahas di BAB sebelumnya:

1. Keibuan 2. Terdidik 3. Peran ganda

Namun dalam pengelompokannya, peneliti tidak menutup satu kutipan yang mencakup lebih dari satu kategori. Berikut pembahasan kutipan yang terpilih berdasarkan pengelompokannya.

4.1.1. Keibuan

Dalam pengelompokan ini, terdapat tujuh kutipan yang dibahas Tabel IV.2

Makna Denotasi dan Konotasi Keibuan

No Kutipan Halaman

1 “Tidak, Nak, ini perbuatan manusia. Direncanakan oleh otak manusia, oleh hati manusia yang degil. Pada manusia kita harus hadapkan kata-kata kita. Tuhan tidak pernah berpihak pada yang kalah.”


(18)

Denotasi

“Tidak, Nak, ini sesuatu yang dilakukan manusia. Dirancang oleh Manusia yang memikirkan rencana tersebut. Manusia yang keras kepala dan tidak mau menuruti nasehat orang. Menghadapi manusia harus dengan mengutarakan pendapat lewat kata-kata. Tuhan berpihak pada mereka yang menang.

Konotasi

Suatu hal terjadi bukan hanya mutlak karena ketentuan takdir, namun ada campur tangan manusia yang menjadikannya demikian. Bagaimana pun beraninya manusia, campur tangan Tuhan tidak bisa dilupakan. Namun Tuhan lebih menyenangi orang-orang yang berusaha dalam mencapai takdirnya. Maka dari itu meski bukan kapasitas manusia untuk menentang takdir Tuhan, namun untuk membela diri di hadapan manusia, haruslah dengan gagasan dan perkataan yang lebih baik.

2 Gelumbang tangisnya memuncak lagi, dengan suara tertahan, menghiba-hiba, tangis seorang wanita yang kerashati, berani dan berpengalaman, terpelajar dan cerdas-tangis seorang yang menyadari telah membangun di atas lumpur.

308

Denotasi

Gerakan beruntun-runtun ungkapan perasaan sedih dengan mencucurkan air mata dan mengeluarkan suara tersedu-sedunya meningkat tinggi-tinggi lagi, beserta suara terhambat, menimbulakn rasa belas kasihan, ungkapan perasaan sedih satu orang perempuan yang tidak lekas putus asa, mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya dan mempunyai pengalaman, telah mendapat


(19)

pelajaran (di sekolah) dan sempurna perkembangan akal budinya - ungkapan perasaan sedih satu orang yang mengetahui sudah bangkit berdiri di atas tanah lunak yang berair.

Konotasi

Menangis adalah kekuatan terakhir seorang perempuan. Bukan menandakan mereka lemah, tapi untuk sedikit melepaskan beban. Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang yang teguh, berani dan berpengalaman, namun hatinya tetap lembut. Ia menangisi perusahaan yang telah ia bangun ternyata bermodalkan uang yang bukan haknya.

Lumpur dimaknakan sebagai suatu yang kotor dan menenggelamkan karena sifatnya yang tidak padat. Semakin lama berdiri di atas lumpur maka akan semakin tenggelam di dalamnya dan semakin kotor. Nyai ingin menghentikan kesalahan yang selama ini ternyata telah meliputi perusahaannya.

3 “Dengan mengenal bahasa Belanda, mereka akan kurang takut menghadapi Belanda, dengan tahu berhitung mereka takkan terkena tipu...”

339

Denotasi

“Dengan mengetahui percakapan Belanda, mereka akan sedikit merasa gentar bertemu muka dengan orang Belanda, dengan mengerti mengerjakan hitungan mereka tidak akan sudah kena kecoh...”

Konotasi

Keterbatasan bahasa menjadi alasan yang memperkuat ketakutan pribumi pada orang Belanda. Pendidikan bahasa dan berhitung hanya bisa didapat di bangku sekolah yang diperuntukkan untuk golongan tertentu. Pribumi yang biasanya menjadi buruh bagi orang


(20)

Belanda bukanlah golongan yang mampu dan diperbolehkan mengenyam pendidikan. Minimnya pendidikan yang dimiliki pribumi tersebut menjadikan kekuasaan orang Belanda semakin besar dan disegani. Dengan mudah pribumi dirugikan dengan upah yang tidak sesuai dengan hak yang seharusnya mereka terima.

Sama halnya dengan kekhawatiran setiap individu akan suatu hal baru. Orang akan cenderung waspada pada apa yang baru pertama kali mereka temui. Pengetahuan yang cukup atas objek tersebut akan mengurangi rasa khawatir maupun takut yang pernah ada.

4 “... Melarikan diri adalah kriminal. Sia-sia semua pendidikan dan pengalamanmu. Aku percaya kau bukan pelarian.”

340

Denotasi

“... menyelamatkan diri identik dengan berkaitan dengan pelanggaran hukum. Tidak ada gunanya segala upaya pengajaran dan pelatihan dan yang pernah kau alami. Aku yakin kau sebenarnya tidak perihal melarikan diri.”

Konotasi

Tidak berharga gelar yang dimiliki seseorang jika ia tidak bertanggung jawab atas kewajibannya. Pendidikan dan jabatan yang tinggi tidak menjamin sikap seseorang akan dapat dipercaya dan dapat bertanggung jawab sepenuhnya. Orang yang lari dari tanggung jawab merupakan orang yang hanya memikirkan diri sendiri. Sedangkan sebagai manusia seseorang tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan manusia lain. Maka dari itu setiap orang harus


(21)

mempertanggung jawabkan tindakannya dihadapan orang lain.

5 ... Mama, wanita yang kukagumi dalam hidupku, kau, yang dalam tanganmu aku seakan segumpal lempung yang dapat kau bentuk sebagaimana kau kehendaki, yang dapat mengungkap hal-hal besar, yang dapat menggarap banyak soal sekaligus, yang cerdas dan terpelajar, yang mendahului jaman, ...

378

Denotasi

... Mama, perempuan yang aku herani dengan rasa memuji dalam hidupku, kau, yang dalam tanganmu aku seperti sebongkah tanah liat yang mampu kau bangun sebagai halnya kau inginkan, yang mampu membuka perkara besar, yang mampu mengerjakan tidak sedikit masalah pada saat yang sama, yang sempurna pekembangan akal budinya dan telah mendapat pelajaran (di sekolah), yang lebih maju dari masa.

Konotasi

Segumpal lempung dijadikan analogi yang menggambarkan bagaimana Nyai dapat membentuk pribadi seseorang menjadi lebih baik lewat ajarannya. Menjadi pencerah bagi banyak orang akan perubahan besar yang dibawanya. Pribadi yang mampu menghadapi banyak permasalahan tanpa menjadi kesusahan. Tidak hanya pintar dalam pendidikan namun juga unggul dalam pola pikir dan sikap yang terhormat. Tidak hanya dapat mengikuti perkembangan zaman, namun juga berpikir jauh kedepan.

6 “Dia sudah sampai ke tempat yang ditujunya sendiri. Aku kira itu lebih baik. Setidak-tidaknya cita-citanya


(22)

telah terlaksana: jadi pelaut, berlayar, mengelilingi dunia.”

Denotasi

Dia telah mencapai ke tempat yang dijadikan maksudnya sendiri. Aku sangka itu semakin patut. Sekurang-kurangnya keinginannya sudah dapat dilaksanakan : menjadi orang pekerjaannya berlayar di laut, mengarungi lautan, mengitari bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di atasnya.”

Konotasi

Cita-cita merupakan hal yang menjadikan manusia memiliki tujuan untuk tetap bertahan hidup. Memperjuangkan cita-cita adalah kewajiban yang harus dilakukan para pengejar mimpi. Menjadi manusia yang biasa-biasa saja - dengan kata lain hidup hanya sekedar hidup tanpa mimpi dan impian - adalah sebuah kesia-siaan. Tidak ada yang lebih terhormat dibandingkan menghargai impian mulia seseorang. Bagaimana pun buruknya sikap seseorang, jika ia mempertahankan impiannya maka perjuangannya patut dihargai.

Sebagai seseorang yang berpikiran terbuka, Nyai sangat menghargai orang yang memperjuangkan cita-citanya. Ia menganggap memiliki impian dan memperjuangkannya adalah sebaik-baiknya memiliki tujuan hidup. Semua manusia pada akhirnya akan mati, namun manusia yang telah mewujudkan impiannya tidak mati dengan sia-sia.

7 Namun aku sekarang mengerti sepenuhnya mengapa Mama tak memberi aku uang saku. Mama hendak mengajar aku mendapatkan uang sendiri dari tenaga kerjaku, dan aku segan bekerja. Berbahagialah


(23)

Annelies yang mau dan mengerti maksud didikanmu. Denotasi

Tetapi aku kini memahami seluruhnya alasan Mama tidak membagikan aku uang jajan. Mama bermaksud memberi pelajaran aku memperoleh uang sendiri disebabkan oleh kegiatan bekerjaku, dan aku malas melakukan suatu pekerjaan. Dalam keadaan bahagialah Annelies yang sudi dan memahami tujuan cara mendidikmu.

Konotasi

Nyai mendidik anak-anaknya untuk menjadi mandiri dengan cara meminta mereka bekerja di perusahaan miliknya. Seseorang harus berusaha untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan tidak dengan meminta, nilai inilah yang ingin ditanamkan Nyai Ontosoroh pada anak-anaknya. Meski kebutuhan sehari-hari Annelies dan Robert (anak-anak Nyai Ontosoroh) sudah dipenuhi, namun Nyai tetap menggaji mereka sama seperti ia menggaji orang yang bekerja untuknya.

Sosok perempuan tidak dapat dilepaskan dari peran domestik yang sudah melekat juga dilekatkan oleh masyarakat padanya, menjadi ibu. Seorang ibu tidak dapat dilepaskan dari tugasnya sebagai pengelola rumah tangga dan pendidik bagi anak-anaknya. Maka tidak heran jika anak-anak akan cenderung lebih dekat dengan ibunya.

Dalam budaya Jawa dikenal istilah mbok-mboken. Ungkapan mbok-mboken itu digunakan untuk menganalisis sebuah konstruksi mental Jawa, tetapi ungkapan itu sesungguhnya merepresentasikan satu bentuk kontinuitas masyarakat Jawa untuk melestarikan tempat perempuan di dunia sosial ini. Konstruksi mental itulah yang menjadi struktur dasar idealisasi perempuan Jawa sekaligus merepresentasikan juga sebuah dasar moral masyarakat Jawa (Permanadeli, 2015 : 232-233).


(24)

Seperti yang disebutkan dalam bukunya, Permanadeli menilai martabat atau nilai seorang perempuan sebagai seorang ibu terletak dalam tindakan dan perkataan. Mulder (dalam Permanadeli : 2015) menceritakan kekagumannya ketika mendengar laki-laki dari berbagai tempat menggunakan eulogi ‘ibuku’. Mulder mendapati perempuan sebagai sumber pembentukan struktur psikologis dan juga sekaligus menjadi Superego. Dari sumber itulah rupanya konsepsi kehidupan dan juga konsepsi moral berasal.

Peran seorang ibu tidak hanya selalu mengenai bagaimana ia mengurus dan melindungi anaknya, namun juga bagaimana ia mendidik anaknya tentang kehidupan yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Seperti yang dilakukan Nyai Ontosoroh kepada tokoh utama, Minke. Nyai Ontosoroh banyak mengajarkan niai-nilai moral dan bagaimana harus bersikap dalam menghadapi persoalan hidup. Kumpulan kutipan di atas menunjukkan bagaimana Nyai Ontosoroh mendidik orang-orang di sekitarnya, khususnya Minke, lewat tindakan dan pemikiran. Peran perempuan yang menanamkan nilai-nilai moral dilakukannya dengan memberikan ajaran tentang berkehidupan.

Kutipan kedua menunjukkan, dengan semua didikan dan pengalaman yang menjadikannya perempuan tangguh, tidak menutup dan mematikan sisi lembut pada Nyai. Lemah lembut yang biasanya menjadi ciri kelemahan perempuan justru menjadi kekuatan yang menegaskan perempuan memiliki kekuatan lebih pada perasaan lembutnya.

Sikap merasa bersalah yang ditunjukkan Nyai atas tindakannya menunjukkan ia bukan sosok yang egois dan keras hati. Ia peduli pada nasib orang-orang yang ternyata ia rugikan dan tidak melarikan diri dari tanggung jawab atas kesalahan. Rasa tanggung jawab juga diajarkan Nyai pada kutipan ke-empat. Nyai menanamkan bahwa tanggung jawab tidak bergantung pada status pendidikan maupun jabatan seseorang, melainkan kewajiban setiap orang.

Nyai juga mengajarkan betapa pentingnya ajaran moral dan pendidikan untuk bekal masa depan. Seperti Nyai yang mendidik anak-anaknya untuk mandiri sejak dini. Juga kepeduliannya akan nasib pribumi yang sering dirugikan pihak Belanda


(25)

atas ketidaktahuan mereka akan bahasa dan ilmu hitungan. Ilmu adalah bekal masa depan yang tidak akan habis pakai.

Jika pada masa itu seorang ibu, khususnya di kalangan priyayi, akan menyerahkan anak-anaknya untuk diasuh oleh pengasuh dan membedakan asuhan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Maka Nyai mendidik anak-anaknya untuk ikut membantu pekerjaan di perusahaan miliknya tanpa membedakan perempuan ataupun laki-laki. Di samping Nyai juga memberikan hak anak-anaknya untuk bersekolah di sekolah formal.

Nyai tidak memanjakan anak-anaknya juga orang-orang yang ia sayangi dengan memberikan kemudahan materi yang dapat menjadi sumber kemalasan mereka nantinya. Juga rasa bergantung pada dirinya. Sikap mandiri yang ia tanamkan tidak hanya diajarkan lewat kata-kata yang membosankan. Namun lewat tindakan. Begitu pula dengan ajaran moral lainnya. Ia menjadikan dirinya contoh nyata dari ajaran-ajaran yang ia berikan.

Sebagai ibu yang baik, seorang perempuan tidak hanya harus mampu memberikan keturunan, tetap juga mampu menghasilkan anak-anak yang berguna. Pengasuhan anak-anak yang dilahirkan menjadi tanggung jawab perempuan, sehingga kenakalan anak-anak dianggap sebagai tanda dari kegagalan perempuan di dalam mengurus anak. Sistem kosmologi semacam ini telah menjadi blue-print yang tidak hanya mempengaruhi sikap dan perilaku sosial laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga menentukan bagaimana perempuan mengambil tempat dan peran di dalam keseluruhan proses sosial (Abdullah, 1997 : 7).

Ia tidak menjadikan kehebatannya hanya untuk dirinya sendiri. Ia ingin orang lain juga bisa menjadi lebik baik lewat berbagi pandangan. Ia mengajarkan hal-hal baik pada orang-orang di dekatnya tanpa bersikap menggurui. Yang ia lakukan adalah memberi contoh langsung lewat tindakan dan pemikirannya. Karena itu, meskipun kedua anaknya telah meninggal, Nyai tetap menjalankan peran seorang ibu untuk orang-orang disekitarnya.

Nyai menunjukkan sikap terbuka terhadap pentingnya impian untuk setiap individu. Impian atau cita-cita bagi seorang perempuan Jawapada masa lampau


(26)

hanya sebatas mimpi penyenang hati, bukan untuk diperjuangkan. Sebab masa depan bukanlah hal yang dapat mereka pilih dan tentukan jalannya. Ada orangtua yang akan memilihkan jalan untuk anak-anaknya.

Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti(mengabdi) kepada orangtua. Setelaah menikah, pengabdian sebagai anak bertambah dengan wajib bekti kepada mertua. Dalam Serat Wulangreh dijelaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai anak, perempuan dan laki-laki harus berbakti kepada orang tua maupun mertua. Disebut juga bahwa bapak/ibu adalah sebagai perantara anak lahir ke dunia. Mereka pula yang menuntun anak dapat menikmati kehidupan ini dan mendapatkan berbagai kepandaian walaupun pada hakikatnya semua itu datang dari Tuhan (Sukri, 2001 : 69-70).

Bakti kepada orang tua (termasuk kepada mertua), kakek, nenek, dan sanak saudara, merupakan keharusan dan jika tidak dilaksanakan berarti ia telah berbuat durhaka. Orang yang durhaka kepada orang tua akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya (Sukri, 2001 : 71). Perintah berbakti kepada orang tuasudah ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil. Mereka percaya tindakan yang menentang kehendak orangtua akan memicu kesengsaraan dalam kehidupan mereka kelak. Maka akan lebih baik jika selalu menuruti kehendak orang tua demi kehidupan yang diharapkan tetap baik di kemudian hari, meskipun hal tersebut berkaitan dengan penentuan masa depan mereka.

Namun Nyai berkeyakinan bahwa setiap manusia berhak dan wajib memperjuangkan impiannya. Impian yang menjadikan hidup seseorang memiliki tujuan agar tidak hanya sekedar hidup sia-sia tanpa suatu pencapaian berarti atau tanpa menjadi bermanfaat untuk orang lain.

Pada kutipan pertama diberikan gambaran, meskipun penulis menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai sebagai sosok yang tangguh dan tidak takut pada kekuasaan dan kekuatan Belanda, Nyai tetap mengingat hakikat dirinya sebagai seorang hamba ciptaan Tuhan. Sebagai hamba, manusia tidak akan mampu melawan dan menentang ketetapan Tuhan. Dalam hidup manusia tetap harus selalu ingat akan kekuatan yang lebih besar dari semuanya dan bahwa Tuhan


(27)

adalah apa yang menjadikan mereka ada. Dari semua ajarannya tentang kehidupan, ia tetap mendidik menantunya untuk tidak lupa akan Tuhan.

Sifat keibuan yang melekat dalam tokoh Nyai Ontosoroh digambarkan lewat cara dan sikapnya mendidik orang-orang di sekitarnya. Karena hakikat seorang ibu adalah menjadi pendidik untuk anak-anaknya. Nyai Ontosoroh melakukannya lebih baik dengan tidak hanya mendidik anak-anak kandungnya saja, melainkan orang-orang yang ia sayangi. Bahkan gerak dan pemikirannya menjadi ajaran dan pengetahuan baru bagi orang lain.

Tanpa sadar Nyai menjadikan dirinya sebagai guru tentang kehidupan bagi orang-orang di sekitarnya. Pelajaran yang diberikan bukan lewat nasihat panjang ataupun kelas khusus, melainkan dengan keberadaannya sebagai Nyai Ontosoroh, seorang manusia bukan gundik bermoral rendah. Nyai mengajarkan untuk menjadi manusia, bukan bagaimana menjadi manusia.

Seorang ibu selalu berharap dan mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Untuk kasus Nyai Ontosoroh dalam buku ini, ia mengusahakn yang terbaik untuk orang-orang yang ia sayangi. Seperti yang ia lakukan pada Minke, ia berusaha untuk menjadikan Minke manusia yang lebih baik. Dengan memberikannya pengetahuan baru yang lebih luas. Tentang kehidupan yang berlaku di Hindia Belanda dan apa yang tidak pernah didapatkannya di bangku sekolah.

Pendidikan pertama yang didapat setiap orang adalah dari ibunya sendiri. Sekalipun hanya belajar berbicara dan belajar. Nyai Ontosoroh melampauinya dengan memberikan semua pelajaran yang ada pada dirinya. Usaha terbaik yang dapat dilakukannya sebagi seorang ibu yang mendidik. Kasih sayang dan kehangatan seorang ibu ia salurkan dengan memenuhi dengan tuntas perannya sebagai pendidik.

Gambaran ideal perempuan Jawa serta perannyayang lebih banyak diposisikan dalam kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. gambaran ideal serta peran perempuan Jawa sebagaimana ditulis oleh para pujangga keraton dalam karya-karya sastra mereka menunjukkan bahwa perempuan telah ditempatkan


(28)

sedemikian rupa sehingga berbeda dengan peran dan kedudukan kaum laki-laki (Sukri, 2001 : 88).

Jika membandingkan hasil penelitian Permanadeli dan gambaran perempuan ideal Jawa yang diterjemahkan Sukri lewat serat serat ajaran Jawa dalam bukunya, tidak jauh berbeda. Sifat keibuan tetap menjadi tolak ukur perempuan Jawa ideal. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari cara pandang serta budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial hingga kini. Dengan kata lain, pandangan budaya Jawa masih tidak berubah dalam memandang peran perempuan.

4.1.2. Terdidik

Dalam pengelompokan ini, terdapat 12 kutipan yang dibahas Tabel IV.3

Makna Denotasi dan Konotasi Terdidik

No Kutipan Halaman

1 “Memang, sudah selesai dengan kekalahan kita, tetapi tetap ada azas yang telah mereka langgar. Mereka telah tahan kita di luar hukum. Jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tak acuh terhadap azas, biar sekecil-kecilnya pun...”

4

Denotasi

“Sebenarnya, telah habis dengan kekalahan kita, tapi ada dasar sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat yang sudah mereka tentang. Mereka sudah hentikan kita yang tidak merupakan bagian dari peraturan resmi. Hendaknya tidak kau sangka mampu memihak untuk melindungi sesuatu, lebih-lebih perlakuan yang adil, kalau tidak mengindahkan kepada dasar sesuatu yang


(29)

menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, meskipun kurang berarti...”

Konotasi

Mengakui kekalahan merupakan tindakan mulia dalam pertentangan. Terlebih mengakui kekalahan dari orang yang melakukan kecurangan. Lebih baik kalah dengan tanpa melanggar suatu ketetapan dari pada menang dengan cara yang tidak adil. Dalam membela dan mendapatkan keadilan, haruslah memperhatikan ketetapan yang sudah ada. Hal sederhana sekalipun akan menjadi sangat penting untuk menegakkan keadilan.

2 “Lihat, biar kau kaya bagaimana pun,” ia memulai dan kudengarkan dengan setengah hati, “Kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu, azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan. Apalagi. Pencurian terhadap kebebasan kita selama beberapa hari ini.”

4-5

Denotasi

“Perhatikan, meskipun kau mempunyai banyak harta bagaimana juga,” ia mengawali dan kuperhatikan dengan separuh hati, ”kau wajib berbuat kepada siapa pun yang merebut semua atau satu bagian dari kepunyaanmu, meskipun hanya segumpal kecil batu dari tanah yang terletak begitu saja di bawah lubang jendela. Bukan karena batu itu mempunyai harga, dasar pemikirannya : mengambil kepunyaan/hak tidak dengan persetujuan adalah perbuatan mengambil dengan tidak sah, itu tidak benar, harus ditentang. Apalagi perbuatan mengambil dengan tidak sah kebebasan selama beberapa hari.”


(30)

Konotasi

Segala hal yang melekat pada diri manusia adalah kepemilikan manusia tersebut, karena itu ia memiliki hak atasnya. Bukan hanya harta yang berupa materi namun juga hak hidup dengan nyaman. Sekecil apapun hak tersebut dilanggar oleh pihak lain, tidak boleh dibiarkan. Bukan didasarkan oleh kesombongan atas kepemilikannya, namun karena ketetapan yang telah dilanggar. Mengambil milik orang lain adalah sebuah kesalahan yang tidak boleh dibiarkan. Begitu pula dengan melanggar hak kebebasan seseorang. Semua yang melanggar harus dilawan.

3 Tidak lain dari Mama yang mengatakan: nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap.

26

Denotasi

Ialah Mama yang menuturkan : gelar bertukar seribu kali dalam satu hari, arti tidak berubah.

Konotasi

Kita akrab dengan anggapan nama adalah doa. Namun nama tidak akan merubah watak seseorang. Bagaimana pun seseorang memilih nama yang memiliki arti hebat, itu tidak akan merubah watak yang telah dimilikinya. Masyarakat Jawa zaman dulu dikenal gemar menggunakan nama-nama yang terdengar hebat agar disegani oleh orang lain.

4 “Bagaimana bisa orang berbohong dalam tulisan semacam ini? Tulisan yang harus dihormati karena dibaca oleh ribuan orang?”

100

Denotasi

“Bagaimana bisa orang berkata tidak benar dalam karangan sejenis ini? Karangan yang wajib dihargai disebabkan oleh dibaca oleh beribu-ribu manusia?”


(31)

Nilai terpenting dari sebuah berita adalah fakta atau kebenaran akan apa yang diberitakan. Menulis berita bohong tidak bisa dibenarkan. Berita menjadi sumber informasi penting bagi banyak orang. Oleh karena itu berita harus disajikan berdasarkan fakta tanpa terpengaruh pendapat si penulis. Khalayak memiliki hak untuk mendapatkan berita yang berkualitas dengan isi dan penyajiannya. Maka kewajiban wartawan adalah menyajikan berita yang berimbang dan berdasarkan fakta. 5 “Kau dididik untuk menghormati dan mendewakan Eropa,

mempercayai tanpa syarat. Setiap kau melihat kenyataan adanya Eropa tanpa kehormatan, kau lantas jadi sentimen. Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih tidak. Lihatlah aku, satu contoh yang dekat – aku, orang desa, tapi juga bisa sewa orang-orang Eropa yang ahli. Juga kau bisa. Kalau mereka bisa disewa oleh siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?”

100-101

Denotasi

“Kau diberi latihan ajaran untuk menghargai dan memuja Eropa, menganggap benar tanpa janji. Setiap melihat yang benar-benar keadaan Eropa tidak dengan penghargaan, langsung jadi berpendapat dengan dasar perasaan yang berlebihan. Eropa tidak lebih berharga daripada Minke. Eropa lebih baik hanya di bidang pengetahua, segala sesuatu yang diketahui dan pengendalian diri. Selebihnya tidak. Nyai salah satu contoh dekat, orang dusun, tapi bisa memakai tenaga Eropa yang ahli dengan memberi uang. Kalau mereka tenaga mereka bisa dibayar oleh siapa saja yang bisa memberikan uang, mengapa roh jahat tidak akan membayar tenaga mereka juga?”


(32)

Konotasi

Eropa mengajarkan apa yang ada pada diri bangsa mereka adalah sepenuhnya benar. Segala sesuatu yang paling maju ada pada bangsa mereka. Tidak terkecuali ajaran akan sikap menjalani hidup. Bangsa lain yang tidak mampu mengikuti kemajuannya dianggap kelompok manusia yang tertinggal dan terbelakang. Tidak heran jika hasil didikan mereka akan merasa gusar jika mendapati sedikit kesalahan pada ajaran yang didapatnya.

Bangsa Eropa akan bekerja untuk mereka yang mampu membayar. Mereka akan bekerja memanfaatkan segala kemajuan yang dimiliki untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Sekalipun mereka dibayar mahal untuk sebuah kehancuran bangsa lain.

Mereka mendewakan pengetahuan mereka dan menggadaikannya demi keuntungan dan kemashuran. Bukan hanya kekayaan harta yang mereka kejar namun juga pengakuan dan rasa takut dari bangsa lain atas kebesaran dan kehebatan bangsa Eropa.

6 “... Eropa tidak hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya.”

102

Denotasi

“... Orang Eropa tidak membesar-besarkan dengan nama, orang Eropa membesar-besarkan dengan pengetahuan dan segala sesuatu yang diketahui. Tapi orang yang menipu tetaplah menipu, orang yang suka berkata tidak sebenarnya tetaplah orang yang suka berbohong dengan pengetahuan dan segala sesuatu yang diketahui.”

Konotasi


(33)

nama, melainkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Dengan ilmu pengetahuan pula mereka bisa menjadi seorang penolong ataupun pembohong. Seorang terpelajar menentukan ilmu yang mereka miliki dengan sikap mereka, apakah untuk menolong atau menipu. Ilmu pengetahuan akan menjadi berbahaya ditangan mereka para penipu dan pembohong, mereka akan semakin pandai menipu dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

7 “Seluruh dunia kekuasaan memuji-muji yang kolonial. Yang tidak kolonial dianggap tak punya hak hidup, termasuk mamamu ini. Berjuta-juta ummat manusia menderitakan tingkahnya dengan diam-diam seperti batukali yang itu juga. Kau, Nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudianhari. Dan kolonial itu, kan itu persyaratan dari bangsa pemenang pada bangsa yang dikalahkan untuk menghidupinya? – suatu persyaratan yang didasarkan atas tajamnya dan kuatnya senjata?”

111-112

Denotasi

Seantero lingkungan yang meliputi menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan melahirkan kekaguman dan penghargaan kepada yang berhubungan dengan sifat jajahan. Yang tidak berhubungan dengan sifat jajahan dipandang tidak memiliki hak untuk hidup, terhitung juga Mamamu ini. Berjuta-juta sekalian bangsa manusia menanggung perbuatannya yang tidak menyenangkan dengan diam-diam serupa batu dari sungai yang selalu demikian halnya. Kau, nak, teramat sedikit wajib mampu berseru dengan suara keras. Mengerti kau


(34)

mengapa aku cintai kau lewat dari semestinyadari siapa pun? Karena kau melahirkan pikiran atau perasaan. Ucapanmu tidak akan mati dimakan angin, akan kekal, sampai jauh, jauh di waktu yang akan datang. Dan yang berhubungan dengan sifat jajahan itu, bukan kah itu hal-hal yang menjadi syarat dari kelompok masyarakat yang menang pada kelompok masyarakat yang dapat ditandingi untuk memberinya nafkah? Satu hal yang menjadi syarat yang dijadikan pokok suatu pendapatnya sesuai dengan runcingnya dan tahannya alat yang dipakai untuk perang?” Konotasi

Menjajah merupakan cara yang dipuji oleh bangsa-bangsa yang haus akan kekuasaan wilayah. Penjajah yang haus akan kekuasaan dan kebesaran diri adalah orang yang pantas dipuja. Tidak heran jika hanya mereka yang penjajah dan setuju atas penjajahanlah yang lebih dihargai. Berbeda dengan warga jajahannya, penjajah hanya mengganggap mereka sebagai manusia rendahan. Seorang manusia rendahan tidak memiliki hak atas dirinya, sekalipun hak bersuara. Tidak heran jika mereka hanya mampu diam-diam mengeluh dan protes atas apa yang menimpa mereka tanpa berani bertindak. Suara protes mereka tenggelam oleh rasa takut atas penjajah. Tidak ada yang lebih berani lagi dibanding pribumi yang mampu dan berani menyuarakan pendapatnya lewat tulisan. Sebuah ide dan gagasan yang dituangkan dalam tulisan akan lebih kekal dibandingkan gagasan yang hanya terbentuk dalam pikiran seseorang. Tulisan tidak hanya akan dinikmati sendiri oleh penulisnya, namun juga orang lain yang bukan hanya disatu waktu. Tapi selama tulisan itu masih ada, akan ada lebih banyak manusia yang mengetahui gagasan tersebut. Gagasan yang tertuang dalam tulisan tidak kalah


(35)

tajam dengan senjata yang digunakan penjajah untuk menaklukkan suatu wilayah. Untuk menjadi menang melawan penjajah, tidak selalu harus mengikuti cara mereka yang menggunakan senjata tajam. Sebuah tulisan bisa menjadi senjata yang melawan penjajah lewat adu pengetahuan dan gagasan. Karena kekuasaan kolonial tidak sebatas menguasai suatu wilayah beserta kekayaan di dalamnya. Namun juga meliputi menentukan cara pandang manusia dan bagaimana manusia dipandang.

8 Pada kita dia telah tampilkan Eropa dan Amerika sebagai petualangan-petualangan jahat, Nak. Sekiranya mereka tak punya meriam, apakah ada kehormatan pada mereka?”

122

Denotasi

Kepada kita dia sudah munculkan Eropa dan Amerika semacam perihal-perihal bertualang buruk, nak. Seandainya mereka tidak memiliki senjata berat yang larasnya besar dan panjang, apakah mereka mempunyai penghargaan?

Konotasi

Eropa dan Amerika dua benua besar dengan bangsa-bangsa yang maju dan juga berbahaya. Mereka dihormati oleh bangsa lain karena kehebatannya dalam banyak hal. Salah satunya dalam hal persenjataan. Mereka tidak akan memiliki kehormatan jika tidak memiliki senjata api. Kehormatan mereka didapat dari memenangkan perang melawan bangsa lain. Tidak sedikit jumlah jajahan mereka. Kemenangan mereka didapat dari persenjataan yang lebih maju dari lawannya. Tujuan perang mereka adalah untuk menaklukkan banngsa lain, menguasai wilayahnya dan yang terpenting diakui kehebatannya dan dihormati bangsa lain.


(36)

mendapatkan pegangan pada kebenaran yang berakar pada kebenaran. Ia mencoba menghadapi dan bertahan terhadap tragedi kehidupan. Lambat tapi pasti sorak-soraiku sendiri dan dunia akan datangnya jaman modern hanya satu kesia-siaan semata. Yang modern hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, di darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri.

Denotasi

Ia baru saja memeriksa untuk mengetahui mutu akalnya sendiri. Ia melakukan suatu usaha memperoleh barang yang dipegang pada keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya yang berpegang teguh pada keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Ia berusaha mengalami dan mempertahankan diri lawan peristiwa menyedihkan keadaan hidup. Perlaha-lahan tapi sudah tetap suara teriak dan pekikku sendiri dan dunia hendak tibanya masa sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman cuma satu perihal yang bersifat sia-sia belaka. Yang sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman cuma benda-benda yang dipakainya, kata Mama, dan jalan aturan melakukan sesuatu. Manusia selalu berada di tempatnya, tidak menjadi lain dari semula, di laut, di darat di kutub, dalam hal yang berciri kaya dan keadaan miskin buatan manusia sendiri.

Konotasi

Sebaik-baiknya acuan adalah kebenaran yang berdasarkan pada kebenaran. Bukan hal yang disepakati oleh manusia unsur kebenarannya.

Zaman modern sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh banyak orang. Disebutkan pula dunia turut menunggu


(37)

zaman modern. Bukan berarti dunia secara keseluruhan yang menantinya. Kebanyakan manusia dianggap mewakili dunia.

Zaman modern hanya meliputi hal-hal teknis, baik alat maupun cara. Tidak diiringi dengan kemajuan pemikiran dan sikap manusia.

Kaya dan miskin adalah konsep buatan dan bentukan manusia. Manusia yang menentukan apa yang disebut miskin dan kaya. Bukan keadaan yang menjadi ketentuan alam. Keadaan kaya dan miskin tetap sama, manusia yang menciptakan perbendaan di antara keduanya.

10 “Dalam pelik-pelik kehidupan ini, memang apa yang pernah kau pelajari di sekolah hanya permainan kanak-kanak. Kau sudah cukup dewasa, untuk mengerti hukum serigala yang berlaku dalam kehidupan, di antara mereka, juga di antara kita sendiri. Sebentar lagi kau akan lihat, apa yang kukatakan ini tidak meleset dan tidak akan meleset.”

462

Denotasi

Di antara keanehan-keanehan cara hidup ini, sebenarnya apa yang sudah kau dapatkan pelajaran di lembaga untuk belajar cuma sesuatu yang digunakan untuk bermain anak masa prasekolah. Kau telah jadi tidak kurang matang dalam pemikiran, sebab memahami peraturan resmi anjing hutan yang masih berjalan di antara cara hidup, di tengah mereka, sama halnya di tengah kita sendiri. Dalam waktu singkat lagi kau akan membuktikan, apa yang kuceritakan ini tidak tidak mengenai sasaran dan tidak hendak tidak mengenai sasaran.

Konotasi

Pendidikan formal hanya mengajarkan teori-teori yang tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial manusia. Dalam kehidupan nyata yang dihadapi setiap hari,


(38)

teori-teori yang diajarkan di sekolah tidak akan berguna. Hukum serigala yang disebutkan mengacu pada peribahasa Latin Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala untuk manusia lainnya. Manusia harus melawan manusia lainnya untuk bertahan hidup, karena yang kuat akan selalu menang dan memangsa manusia lainnya. Nyai mengajarkan pada Minke, ia harus tahu siapa yang dia hadapi dalam segala masalahnya sehari-hari. Bukan hanya orang-orang yang tidak sepaham dengannya, namun semua orang yang ada di sekelilingnya.

11 Di Wonokromo, seorang perempuan, sendirian, harus menghadapi lawan dewa pembangunan dan dewa sukses sekaligus. Secara hukum perempuan yang bediri sendiri itu telah dirampas dari anak dan hartabendanya, keringat, jerih dan payahnya. Ia tak punya kekuatan hukum. Ia tak pergi ke tempat di mana Nederland memanggil. Dan ia hanya didampingi oleh seorang plonco bernama Minke dan seorang Darsam yang telah kehilangan kehebatannya dalam bermain parang. Kekuatan apa lagi yang masih tercadang dari tiga orang ini dalam menghadapi Ir.Maurits Mellema yang sedang diurap kejayaan?

500

Denotasi

Di Wonokromo sebuah kabupaten di Jawa Timur satu orang perempuan, tidak dengan yang lain, wajib bertanding dengan tandingan orang yang sangat dipuja proses membangun dan yang sangat dipuja berhasil pada saat yang sama. Menurut peraturan resmi perempuan yang tegak bertumpu pada kaki sendiri itu sudah diambil dengan paksa dari anak dan kekayaannnya, usahanya, kelelahan dan penatnya. Ia tidak memiliki kekukuhan peraturan resmi. Ia tidak berangkat ke tempat di mana Nederland meminta datang. Dan ia cuma ditemani dengan satu orang


(39)

calon mahasiswa yang sedang mengikuti acara kegiatan pengenalan kampus mempunyai nama Minke dan satu orang Darsam yang sudah menderita sesuatu karena hilang kedahsyatannya dalam memainkan parrang untuk bersenang-senang. Keteguhan apa lagi yang masih tersimpan dari tiga orang ini dalam melawan Ir. Maurits Mellema yang baru saja dilumasi kemegahan?

Konotasi

Belanda adalah pusatnya segala kemajuan dan kemewahan. Kemajuan dalam segala bentuk, baik ilmu pengetahuan juga manusianya. Kekuasaan atas jajahan yang tidak sedikit, membawa Belanda menjadi Kerajaan yang dihujani kekayaan yang melimpah. Sebagai seorang perempuan pribumi dan khususnya seorang gundik, Nyai Ontosoroh tidak sebanding dengan kebesaran yang dimiliki Kerajaan Belanda. Apa yang ia miliki telah dirampas secara paksa atas nama hukum Hindia Belanda. Ia bukan hanya kehilangan darah daging yang ia lahirkan dan rawat sejak kecil namun juga perusahaan dan harta benda yang ia bangun dengan usahanya sendiri. Sebagai individu yang tidak diakui hukum Hindia Belanda, tentu tidak ada kekuatan yang ia miliki untuk merebut haknya kembali. Ia tidak seperti Ir. Maurits Mellema, anak sah dari tuannya, yang menjadikan Belanda semakin besar atas keberhasilan menguasai daerah yang diinginkan Belanda. Ia melakukan banyak pekerjaan atas nama dan permintaan Belanda. Nyai tidak sebanding dengan nama besar yang diperoleh dengan menjadi pesuruh Belanda. Ia hanya seorang Nyai yang berjuang untuk haknya dengan sisa kekuatan terakhir meski sadar hukum Hindia Belanda bukanlah tandingannya. Seorang calon mahasiswa dan pendekar pribumi menjadi teman perjuangannya. Tiga


(40)

orang pribumi yang berusaha menghadapi kekuatan Hindia Belanda. Ir. Maurits Mellema menjadi simbol apa yang diagungkan dan dipuja oleh Eropa khususnya Belanda. Menjadi wakil kerajaan Belanda yang membanggakan dengan prestasinya di mata dunia.

12 “orang rakus harta-benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia takkan pernah perhatikan nasib orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis.”

512

Denotasi

“manusia tamak barang kekayaan selalu tidak pernah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal, manusia tidak mempunyai kecerdasan lahir batin. Dia tidak akan pernah mengamati takdir manusia. Lebih-lebih manusia yang cuma dalam tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal sudah ditulis.”

Konotasi

Orang yang sibuk mengumpulkan harta dan menimbun kekayaan tidak akan membuang waktunya untuk membaca berita. Orang yang menerapkan prinsip waktu adalah uang dalam kehidupannya. Sehingga menghabiskan waktu mereka untuk mencari dan mengumpulkan uang. Orang seperti itu tidak akan menaruh perhatian pada nasib orang lain.

Seorang perempuan yang memiliki sifat keibuan telah menjadi model ideal perempuan sejak lama, bukan hanya model ideal perempuan modern. Namun perempuan keibuan yang terdidik memiliki nilai lebih. Masuknya pendidikan tinggi sebagai salah satu kriterium perempuan modern, menunjukkan bahwa idealisasi perempuan Jawa ternyata tidak bersifat menutup pada watak keibuan semata (Permanadeli, 2015 : 239). Namun dalam penelitian ini, peniliti lebih memilih untuk menggunakan pengkategorian ‘terdidik’ dibandingkan


(41)

‘berpendidikan tinggi’. Untuk membedakan orang yang berpendidikan dengan orang yang mengenyam pendidikan formal hingga tingkat yang lebih tinggi.

Orang yang terdidik bukan hanya mereka yang mampu mengenyam pendidikan formal hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Melainkan mereka yang memiliki prinsip, memahami dinamika antar manusia, berani menyuarakan pendapatnya, menghargai kebenaran lebih dari materi dan terbuka pada pendapat orang dan ide-ide baru. Masih banyak bahasa dan kategori yang bisa menjelaskan bagaimana ciri orang terdidik lainnya. Namun hal yang disebutkan di atas merupakan ciri terdidik yang dimiliki Nyai Ontosoroh.

Sebelum menjadi seorang nyai, Sanikem (nama gadis Nyai Ontosoroh) adalah anak dari petugas kasir pada pabrik gula di Tulangan. Sama seperti anak perempuan Jawa lainnya, ia tidak diperbolehkan untuk bersekolah. Namun setelah diangkat menjadi gundik oleh Herman Mellema, Sanikem dididik oleh tuannya menjadi perempuan yang tidak lebih rendah pendidikannya dengan perempuan Eropa. Ia tidak hanya mendapatkan pendidikan seperti apa yang diajarkan di sekolah formal namun juga bagaimana bersikap dan bertindak sebagai manusia yang patut dihormati.

Pengetahuan Nyai tentang kekuasaan dan ekonomi menjadikannya menentang penjajahan dan segala tindakan kolonial yang merugikan dan tidak adil. Di tengah kemeriahan menyambut zaman modern di Hindia Belanda, Nyai tetap tegak dengan prinsip-prinsipnya yang bahkan lebih maju dari pemikiran modern yang mulai merambah Hindia Belanda kala itu.

Sebagai orang yang terdidik, Nyai mendasarkan segala penilaiannya pada kebenaran yang berdasarkan pada kebenaran sesungguhnya. Bukan pada kebenaran buatan manusia. Tidak heran jika ia benar-benar memperhatikan persoalan keadilan, hak dan kebebasan. Meski untuk mempertahankannya yang harus dilawan adalah hukum Hindia Belanda. Bahkan saat itu hukum Hindia Belanda tetap bukan hukum yang adil bagi pribumi. Pengadilan dan hukum Hindia Belanda didirikan untuk kepentingan Hindia Belanda dan orang-orang Eropa, maka tidak ada kesempatan bagi pribumi untuk memenangkan proses peradilan dengan jalan yang adil.


(42)

Nyai terdidik secara moral untuk menerima kekalahan yang diartikan sebagai sikap terbuka atas pendapat lain juga taat pada azas dan aturan yang mengikat. Meski sadar pula kekalahannya tidak diakibatkan atas kebenaran, melainkan intrik kepentingan pemerintah dan pihak-pihak yang pro pemerintahan Hindia Belanda. Pendidikan moral tidak diajarkan melalui teori di bangku sekolahan. Pengalaman dan ajaran tuannya menjadikan Nyai Ontosoroh bahkan lebih bermoral dibanding pemerintahan Hindia Belanda.

Meski darah Jawa mengalir dalam darahnya, namun ia seringnya tidak sepaham dengan kebiasaan-kebiasaan dan budaya masyarakat Jawa. Seperti halnya nilai nama bagi masyarakat Jawa. Meski sampai saat ini, nama masih tetap dianggap sebagai doa yang akan terus melekat pada si pemilik nama, namun bagi Nyai nama hanya sebutan yang melekat untuk membedakan setiap orang tanpa memiliki arti tersendiri. Nama dengan arti yang sangat mulia tidak akan mempengaruhi pribadi seorang yang keras kepala dan keji.

Seseorang dikenali lewat kepribadian dan pencapaiannya, keberhasilan seseorang adalah buah dari kerja keras yang dilakukan, bukan karena nama yang ia gunakan. Seperti halnya Eropa yang membesarkan diri lewat ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Dengan sendirinya nama ‘Eropa’ menjadi lekat akan kehebatan peradabannya. Bukan pengaruh nama yang menjadikan mereka disegani, melainkan lewat kehebatan mereka memanfaatkan ilmu pengetahuan dala membangun bangsanya.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan sendiri bisa menjadi sangat berbahaya ditangan orang-orang tamak. Seperti pada Eropa selain menjadikan dirinya dianggap oleh bangsa lain berkat kemajuan teknologinya, Eropa juga memanfaatkan ilmu pengetahuan mereka untuk mendapatkan keuntugan bagi bangsanya dengan cara menjajah bangsa lain. Orang tidak mendapatkan pendidikan formal tapi bermoral lebih layak dihormati dibanding terpelajar yang menggunakan ilmu pengetahuan nya untuk keuntungan pribadi yang merugikan pihak lain.

Lewat pandangan Nyai, didapati pengetahuan bagaimana Eropa memanfaatkan Ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk menguasai Hindia Belanda tidak hanya sebatas wilayahnya saja namun juga mencakup pada penguasaan sistem politik, ekonomi bahkan kehidupan sosial warganya. Terlihat


(43)

dari bagaimana ajaran-ajaran Eropa selalu menuntut pemujaan atas kehebatan yang telah mereka raih. Juga hukum yang mengisyaratkan tidak adanya hak bagi kaum pribumi atas apa yang dimilikinya. Segala yang ada di atas bumi Hindia Belanda adalah milik pemeritah Hindia Belanda. Tugas pribumi adalah mengolahnya untuk keuntungan pemerintah.

Seperti yang disebutkan di atas, penguasaan kolonial tidak berbatas pada wilayah, tapi juga berbagai aspek kehidupan jajahannya. Bahkan kolonial juga menguasai pengendalian pandangan jajahannya. Lewat pemberitaan yang dikemas sedemikian rupa untuk menghindari timbulnya pemberontakan dari warga jajahan. Jelas hal tersebut telah melanggar hak warga untuk mendapatkan berita yang didasarkan pada fakta yang berimbang, tidak hanya menitik beratkan pada pandangan kolonial yang memihak.

Ajaran filsuf Yunani juga menjadi ilmu yang dipelajari dan dipahami Nyai. Nyai paham betul bagaimana hukum serigala berlaku bagi segala yang hidup. Pihak yang kuat yang akan bertahan, sedangkan yang lemah akan kalah dan lenyap. Karena itu semua pihak harus bertahan hidup dengan melakukan perlawanan maupun sikap bertahan. Sebagai kepentingan kolektif pribumi, perlawanan terhadap Belanda yang ideal menurut Nyai adalah lewat kata-kata dan tulisan. Berisikan gagasan dan pendapat yang menyajikan kebenaran. Lalu disebarkan untuk membangunkan pribumi dari kesadaran palsu bentukan Belanda. Kekuatan ide dan gagasan yang ditularkan lebih ampuh dibandingkan senjata tajam.

Ciri perempuan terdidik yang ditunjukkan Nyai Ontosoroh menggambarkan tindakan dan pemikiran yang terhormat dengan mempercayai dan berpegangan pada kebenaran dalam semua aspeknya. Cakupan pengetahuan yang ia miliki menunjukkan seberapa terdidiknya ia sebagai seorang pribumi dengan status gundik. Perempuan pribumi dengan kasta rendah yang tidak memiliki hak untuk bersekolah.

Pada masa lampau, ntuk dapat menempuh pendidikan seorang perempuan harus berhadapan dengan dua hal, yaitu tradisi masyarakat yang masih menjalankan pingitan dan terbatasnya sekolah yang dapat menerima perempuan untuk belajar. Pingitan adalah sebuah tradisi yang ada di beberapa masyarat di


(44)

Indonesia yang mengharuskan seorang anak perempuan berumur 12 tahun harus tinggal di rumah, sampai mendapatkan jodohnya. Di samping harus berhadapan dengan tradisi pingitan yang berlaku tidak hanya di Jawa, tetapi juga daerah lain di luar Jawa, para perempuan yang akan belajar di sekolah juga terkendala oleh jumlah sekolah yang masih terbatas, yang tidak semuanya dapat dimasuki oleh perempuan. Sesuai dengan konteks sosial historis saat itu, jumlah sekolah dan orang Indonesia yang menempuh pendidikan masih sangat sedikit, terlebih kaum perempuan (Wiyatmi, 2010 : 7).

Mengutip dari Jurnal Wiyatmi (2010), berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahlenfeld yang dimuat di harian de Locomotief pada awal abad XX di Pulau Jawa rata-rata dari 1000 orang hanya 15 orang saja yang dapat membaca dan menulis. Bila perempuan dihitung, jumlahnya menjadi 16. Sementara itu, berdasarkan penelitian Groeneboer, Gouda mengemukakan data bahwa pada tahun 1915 jumlah murid Indonesia yang sekolah di HIS Negeri adalah 18.970 (laki-laki) dan 3.490 (perempuan); 1925: 28.722 laki) dan 10.195 (perempuan); 1929-1930: 29.984 (laki-laki) dan 11.917 (perempuan); 1934-1935: 31.231 (laki-(laki-laki) dan 15.492 (perempuan); 1939-1940: 34.307 (laki-laki) dan 19.605 (perempuan). Data-data tersebut menunjukkan masih rendahnya partisipasi pendidikan pada masyarakat Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan.

Kebiasaan atau tradisi duduk di bangku sekolah baru ditularkan oleh orang Belanda pada tahun 1849. Pada mulanya sekolah hanya khusus untuk orang Belanda dan juga bagi bangsawan pribumi yang kemudian diangkatuntuk menjadi pegawai administrasi kolonial. Pembatasan akses ke sekolah itu secara mental memberikan makna bagi sekolah dalam struktur sosial Jawa. Pergi ke sekolah sama dengan hak untuk emnggapai impian dan hak istimewa yaitu menjadi bagian dari sebuah kekuasaan penjajah (Permanadeli, 2015 : 205-206).

Perempuan baru boleh masuk sekolah pada awal abad ke-20. Harus dikatakan bahwa pada mulanya sekolah dikhususkan bagi perempuan bangsawan dan bahwa pendidikan yang memperluas cakrawala pandang perempuan memang tidak bergeser untuk memajukan perempuan sebagaimana pengertian pendidikan di Barat, akan tetapi selalu berada dalam kerangka struktur dan organisasi Jawa. Artinya sekolah perempuan tidak difungsikan secara sosial sebagai alat yang membuat perempuan bisa duduk pada meja yang sama dengan laki-laki –bekerja sebagai pegawai-, melainkan sekolah semata-mata dipahami sebagai suatu ruang lain yang berbeda dari rumah tangga (Permanadeli, 2015 : 206). Perempuan boleh


(45)

sekolah semata-mata hanya karena perempuan Belanda boleh sekolah, jadi tujuan diperbolehkannya perempuan pribumi sekolah secara politis adalah bentuk representasi kesetaraan orang Belanda dan orang pribumi. Sekolah yang dimasuki perempuan pribumi tidak pernah bertentangan dengan rumah tangga. perbedaannya hanya mereka mampu membaca dan berhitung.

Tokoh Nyai Ontosoroh menunjukkan bagaimana seorang perempuan terdidik tanpa mengenyam bangku sekolah mampu bersikap dengan moral yang lebih tinggi dari mereka yang bersekolah, bahkan lebih dari laki-laki. Terdidik bukan hanya sekedar sampai seberapa tinggi jenjang pendidikan seseorang, melainkan bagaimana ia bersikap dan memperlakukan orang lain dengan adil. Situasi Hindia Belanda yang ia hadapi setiap harinya mengajarkan dia bagaiman adil itu seharusnya. Adil yang berpegang pada kebenaran yang dipercayainya.

Berkaitan dengan kategori sebelumnya. Seseorang, tidak hanya tertutup pada perempuan, haruslah terlebih dahulu terdidik untuk bisa mendidik dengan tepat. Bukan hanya benar yang merupakan hasil kesepakatan manusia. Sama halnya dengan status sosial yang juga bentukan manusia seperti yang diungkapkan Nyai.

4.1.3. Peran Ganda

Dalam pengelompokan ini, terdapat empat kutipan yang dibahas Tabel IV.4

Makna Denotasi dan Konotasi Peran Ganda

No Kutipan Halaman

1 Memang sekali ia pernah bilang: tak ada guna menyewa tenaga Eropa kalau Pribumi bisa melakukan.

58

Denotasi

Sebenarnya satu kali ia pernah mengatakan : tidak ada manfaat memakai (dengan memberi uang) tenaga Eropa kalau penghuni asli bisa melakukannya.

Konotasi

Apa yang berbau Eropa selalu dianggap paling baik, tidak terkecuali keahlian pekerjanya. Namun tidak ada bedanya


(46)

dengan hasil tangan pekerja pribumi. Tenaga Eropa dianggap lebih bermartabat karena status pendidikan yang mereka peroleh. Sedangkan pribumi sebagai warga jajahan dengan keterbatasan akses pendidikan, mereka dianggap lebih rendah.

2 “... Dan engkau tahu perusahaan ini pada suatu kali akan diambil oleh orang lain yang dianggap lebih berhak oleh Hukum. Aku hendak membuka perusahaan baru....”

97-98

Denotasi

“... Dan engkau mengerti kegiatan yang diselenggarakan dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan ini pada satu kali hendak diambil oleh manusia asing yang dipandang lebih mempunyai hak oleh peraturan resmi. Aku bermaksud akan mengembangkan kegiatan yang diselenggarakan dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan yang belum pernah ada...”

Konotasi

Hukum yang berlaku memliki hak untuk mengatur kepemilikan suatu properti. Jika Hukum sudah memutuskan suatu properti menjadi hak milik siapa, maka tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk merubahnya. Meskipun tidak selamanya hukum memiliki pandangan yang adil. Saat hukum memutuskan perusahaan Nyai menjadi hak milik orang lain, Nyai lebih memilih membangun perusahaan baru untuk menghindarkan diri dari masalah yang lebih rumit dengan Hukum Hindia Belanda.

3 Ya, aku sekarang ingat pada Nyai. Ia pun menggaji orang-orang Eropa untuk kepentingan perusahaannya. Mereka datang atas panggilannya. Malah Mr.Deradera Lelliobuttockx diusirnya berdepan-depan karena tidak


(47)

menguntungkan. Seorang Pribumi mengusir orang Eropa! Betapa banyak yang telah dipelajarinya dari Tuan Mellema.

Denotasi

Iya, aku kini tidak lupa pada Nyai. Ia juga memberi gaji manusia-manusia Eropa dengan maksud keperluan perusahaan miliknya. Mereka hadir sesuai imbauannya. Bahkan Mr. Deradera Lelliobuttockx disuruh pergi dengan paksa berhadap-hadapan disebabkan oleh tidak mendatangkan laba. Satu orang penghuni asli menyuruh pergi dengan paksa manusia Eropa! Alangkah tidak sedikit yang sudah didapatkan pelajaran melalui Tuan Mellema. Konotasi

Seorang Nyai atau gundik memperkerjakan orang-orang Eropa di perusahaan miliknya. Suatu hal yang berbeda jika dibandingkan dengan keadaan umum di mana biasanya bangsa Eropa yang memperkerjakan pribumi untuk pekerjaan rendahan. Nyai tidak segan memecat orang yang merugikan perusahaan, meskipun ia berkebangsaan Eropa. Sikap yang ia pelajari dari Tuannya, Tuan Mellema.

4 Mama berkukuh menolak memberikan keterangan yang bisa jadi petunjuk ke arah kebijaksanaannya sebagai pemimpin dan pemilik perusahaan.

460

Denotasi

Mama berteguh hati tidak menerima menyampaikan penjelasan yang mampu menjadi suatu tanda untuk menunjukkan ke maksud kepandaian menggunakan akal budinya menjadi orang yang memimpin dan yang memiliki kegiatan yang diselenggarakan dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan.


(48)

Sebagai seorang pemimpin dan pemilik perusahaan, Nyai Ontosoroh sadar bahwa kewajibannyalah untuk tidak memberitahukan kebijakannya dalam mengelola perusahaan pada khalayak umum. Ia harus melindungi perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dari campur tangan pihak yang akan merugikan mereka jika ia membeberkan informasi penting mengenai perusahaannya.

Jika dalam tesisnya Permanadeli menjadikan terkenal atau artis sebagai bentuk syarat ketiga dari perempuan ideal modern Jawa. Maka dalam kasus Nyai Ontosoroh, peneliti menggantinya dengan ‘peran ganda’. Maksud dan inti dari keduanya tidak jauh berbeda, yakni tetap manjalankan tugas sebagai ibu namun juga berhasil dalam pekerjaan di luar wilayah domestik.

Ada dua pandangan mengenai kedudukan tinggi perempuan lewat perannya dalam keluarga, seperti yang sudah dibahas di BAB II. Salah satunga menganggap peran penting perempuan dalam sektor ekonomi dan pengelolaan rumah tangga belum tentu menunjukkan tingginya status dan kekuasaan perempuan. Perempuan memiliki beban ganda karena mereka harus mencari nafkah untuk keluarga dan juga dituntut untuk menyelesaikan sebagian besar pekerjaan domestik sehingga mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua kewajiban tersebut secara bersamaan.

Secara ideal masih terdapat anggapan bahwa peran utama perempuan ada di sekitar rumah tangga dan tugas-tugas domestik. Aktivitas perempuan dalam sektor lain, seperti sektor produksi dianggap sebagai tugas sekunder (Kusujiarti, 1997 : 91). Dalam novel Anak Semua Bangsa, Pram menggambarkan bagaimana Nyai Ontosoroh dapat bebas menjalankan perannya di ranah produksi dengan posisi yang tidak biasa ditempati seorang perempuan pribumi.

Keempat kutipan di atas menunjukkan bagaimana Nyai Ontosoroh memimpin dan menjalankan perusahaannya. Nyai tetap dapat menghidupi keluarganya dan menjadikan perusahaannya semakin berkembang selepas ditinggalkan tuannya. Statusnya sebagai seorang perempuan pribumi tidak menjadikannya merasa kecil untuk memimpin sebuah perusahaan yang mempekerjakan bukan hanya pribumi tapi juga orang Eropa.


(49)

Sebagai pemimpin perusahaan, Nyai paham betul apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menjalankan dan melindungi perusahaan. Penghinaan yang didapatinya di persidangan yang meragukan kemampuannya memimpin perusahaan tidak membuatnya menyerah melindungi harga dirinya sendiri dan informasi mengenai perusahaannya. Juga ia tidak segan akan menyingkirkan dan menghindarkan perusahaannya dari pihak-pihak yang akan menimbulkan kerugian. Sekalipun ia harus memecat seorang laki-laki Eropa.

Nyai juga tidak patah semangat saat perusahaan yang ia bangun terancam akan diambil alih oleh pihak yang lebih berhak menurut hukum Hindia Belanda. Ia bermaksud untuk membangun perusahaan baru agar pekerjanya tidak kehilangan mata pencaharian. Juga ia akan tetap memiliki kegiatan dan hal yang bisa diurusnya agar hidupnya tidak menjadi terbuang sia-sia.

Ontosoroh sadar, kehilangan tuan adalah akhir dari kehidupan seorang gundik. Status mantan gundik menjadikan mereka tidak lagi diterima di tengah masyarakat, bahkan keluarga mereka sendiri. Karena itu Nyai membentuk dirinya menjadi mandiri dengan mendirikan perusahaan yang tidak hanya untuk menggantungkan hidup keluarganya tapi juga memberi lapangan pekerjaan bagi banyak orang lainnya. Bekerja di luar sektor domestik bukan semata-mata hanya untuk mencari materi, namun juga menjadi sarananya berbagi ilmu dengan orang lain dan media menerapkan ilmu yang telah ia miliki.

Berbeda dengan anggapan masyarakat tentang gundik yang bergantung pada kekayaan dan kekuasaan tuannya. Nyai Ontosoroh menjadikan ajaran pengatahuan yang diberikan tuannya sebagai modal ia menjadikan hidupnya lebih bermartabat sebagai seorang manusia. Ia dihormati karena kemampuannya mengatur dan memimpin perusahaan Boerderij Buitenzorg di Wonokromo, bukan statusnya sebagai gundik seorang totok mantan Administratur Pabrik Gula.

4.2. Pembahasan

Dari semua kutipan yang mewakili keseluruhan isi novel, pengarang benar-benar menggambarkan tokoh Nyai Ontosoroh sebagai sosok yang berusaha lepas dari stereotipe perempuan Jawa yang dikenal penurut, pasrah, sabar, halus, tidak memiliki daya pikir yang tinggi dan bergantung pada laki-laki. Nyai Ontosoroh


(50)

merupakan gambaran ideal perempuan modern Jawa yang memenuhi kriteria keibuan, terdidik dan berperan ganda. Dengan sikap dan pemikiran yang bahkan masih tergolong maju untuk saat ini. Nyai Ontosoroh juga bisa dijadikan contoh ideal perempuan modern masa kini.

Roland Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004 : 69). Dalam analisis semiotika, makna denotatif suatu kata adalah makna yang biasanya ditemukan dalam kamus. Sedangkan makna konotatif adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu (Sobur, 2004 : 263).

Lewat novel Anak Semua Bangsa, penulis berusaha menciptakan realitas yang terjadi pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Cerita yang disajikan tidak hanya bentukan atau karangan semata. Namun juga berdasarkan peristiwa sejarah yang terjadi pada rentang waktu itu. Juga beberapa tokoh, termasuk tokoh utamanya Minke. Sosok Nyai Ontosoroh ditambahkan untuk menyisipkan impian penulis bagaimana idealnya seorang perempuan modern.

Makna denotasi dalam penelitian ini diambil dari makna yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kerancuan bahasa dalam makna denotasi timbul karena peneliti berusaha menyusunnya sesuai dengan terjemahan perkata yang digunakan penulis. Sedangkan makna konotasi yang dijelaskan berdasarkan pemahaman peneliti atas kutipan yang dipilih dari novel yang diteliti. Hal yang menjadi batasan pada pemaknaannya adalah pengetahuan peneliti.

Dari kutipan yang dipilih, tampak penulis berusaha mengulang beberapa pesan tentang sosok ideal seorang perempuan Jawa modern lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Seperti sikap adil, tangguh, mendidik, dan selalu bepikir berdasarkan kebenaran. Juga sikap tidak setuju Nyai atas tindakan dan keberadaan kolonialisme yang dilakukan Belanda di Nusantara.

Sosok perempuan Jawa dengan stereotipe yang dijelaskan sebelumnya tidak banyak dimunculkan dalam novel. Meskipun ada, digambarkan oleh tokoh lain bukan Nyai Ontosoroh. Peneliti berpendapat bahwa penulis berusaha tetap menonjolkan tokoh Nyai Ontosoroh sebagai guru Minke untuk menunjukkan apa


(1)

vii Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirrabil ‘alamin. Puji dan syukur hanya layak dipanjatkan kepada Allah SWT pemberi segala yang ada pada kita. Shalawat beriring salam tak lupa saya limpahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi pencerah ummat kepada kebenaran yang hakiki lewat mukjizat yang dititipkan kepadanya sebagai panduan ummat hingga akhir zaman yaitu Al-Qur’an. Rindu ini tiada henti terukir untuk berkumpul dengan beliau di akhirat kelak.

Skripsi ini disusun untuk menambah kajian ilmu komunikasi di bidang semiotika dan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Representasi Perempuan Jawa dalam Novel Anak Semua Bangsa (Studi Analisis Semiotika Representasi Perempuan Modern Jawa Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Novel ‘Anak Semua Bangsa’ Karya Pramoedya Ananta Toer).

Terima kasih tidak akan pernah cukup untuk dua orang paling hebat dalam hidup penulis, (Bapak) Agus Suryoto dan (Mamah) Saiyem yang tiada hentinya mangalirkan kasih sayang untuk perkembangan penulis menjadi anak yang insya’Allah akan terus membahagiakan kedua orangtua. Terima kasih untuk doa yang tiada pernah terhenti untuk kebaikan anak-anaknya, juga bimbingan dan ajaran yang menjadi bekal penulis untuk terus berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Terima kasih juga untuk kesabarannya menanti kecukupan berproses penulis di bangku perkuliahan. Terima kasih pula untuk (Teteh) Sri Lestari dan (Mas) Herry Setianto untuk nilai-nilai berbagi dan dukungan yang selama ini terus mengalir untuk peneliti. Tidak lupa pula terima kasih untuk (Mas) Ratno dan (Kakak) Suryania atas dukungannya selama ini, selamat datang di keluarga

sederhana kami. Insya’Allah Allah SWT akan membalas semua kebaikan yang


(2)

viii Universitas Sumatera Utara Tanpa bantuan berbagai pihak, skripsi ini tidak akan mungkin dapat diselesaikan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Muryanto Amin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A. selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi atas segala dukungan dan bimbingan yang diberikan kepada peneliti.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi.

4. Ibu Dr. Nurbani, M.Si selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas

kesabaran, dukungan dan saran yang sudah Ibu berikan kepada peneliti bahkan sejak sebelum hingga akhir penulisan skripsi ini.

5. Ibu Mazdalifah Ph.D selaku dosen pembimbing akademik peneliti dan

pembina Pusat Pengkajian Komunikasi Massa. Terima kasih atas semua bantuan, kepercayaan, ilmu dan nasihat yang telah Ibu berikan selama peneliti menjadi mahasiswa di Ilmu Komunikasi.

6. Kak Emil selaku mantan pembina P2KM, terima kasih atas bimbingannya

di masa awal peneliti bergabung di dalam Pijar.

7. Kak Maya dan Kak Rose yang telah membantu peneliti selama menjadi

mahasiswa.

8. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Terima

kasih untuk segala ilmu pengetahuan yang telah dibagikan selama saya menjadi mahasiswa. Insya’Allah akan bermafaat juga untuk orang banyak.

9. Bapak dan Ibu Guru peneliti sejak masih di Taman Kanak-Kanak hingga

Sekolah Menengah Atas. Terima kasih telah menjadi pendidik yang tepat bagi peneliti dan ribuan anak lainnya. Semoga kami bisa menjadi generasi hebat yang kalian harapkan.

10.Keluarga kedua peneliti di Pers Mahasiswa Pijar Bang Amir, Frydo,

Suryadi, Handian, Hadis, Dedy, Irfan BB, Rahmat, Guntur, Kak Dhana, Sheila, Trian, Yessy, Atiqa, Bawana, Awi, Edy, Nadya, Uum, Yudha, Ama, Haritz, Meutia dan Zakiyah. Terima kasih untuk tahun-tahun yang luar biasa


(3)

ix Universitas Sumatera Utara 11.Untuk kru Pijar lainnya Ade, Alfi, Artha, Wawan, Fiqa, Reza, Rizka, Silka, Hendro dan Angkatan 3 yang sudah semakin ramai. Menjadi percik cahaya itu membanggakan.

12.Para Degils Karina Pinem, Helen Putriana Shary Panjaitan, Putri Rizky

Ardhina Damanik dan Siti Nur’aini terima kasih atas ajaran hidup yang tiada pernah habis manfaatnya.

13.The Jurnals yang luar biasa uniknya Bagus, Fira, Riska dan Rifqi. Sudah lunas permintaan kalian.

14.Teman sejak masa kecil Ika dan Puspa terima kasih atas dukungan

semangat kalian yang semakin bertubi akhir-akhir ini.

15.Untuk teman-teman di stambuk 2011 Ilmu Komunikasi FISIP USU. Apri,

Nur, Mirza, Adhe, Fadla, Ghasani, Putri, Dina, Zikra, dan banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Terima kasih atas cerita yang tercipta.

16.Pejuang sidang dan wisuda lainnya Syara, Haris, Rahman, Ray dan yang

lainnya. Terima kasih untuk kebodohan dan semangat yang dibagi di saat yang menegangkan menanti tanggal.

17.Penghuni Kost Bu Zulna lantai tiga Lola, Ayu dan Tio ayo kita wisuda

bareng. Novi segera menyusul.

18.Terakhir untuk semua yang menjadi alasan saya tersenyum setiap harinya. Semoga kebaikan selalu menyertai kalian.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, terutama karena keterbatasan peneliti sendiri. Peneliti menerima kritik dan saran membangun demi perkembangan penelitian-penelitian selanjutnya. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi siapa saja yang berkenan membacanya.

Semoga pelajaran yang ditemui dalam proses pengerjaan skripsi ini menjadikan peneliti menjadi lebih baik lagi dan semakin mengenali diri yang dicari. Segala apa yang ada adalah milikNya dan semua akan kembali pula padaNya. Semoga kita bisa mempertanggungjawabkan titipanNya yang sementara.

Medan, Juli 2016


(4)

x Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah ... 1

1.2. Fokus Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Kajian ... 9

2.1.1 Paradigma Kritis ... 10

2.2. Uraian Teoritis ... 12

2.2.1. Semiotika ... 12

2.2.2. Semiologi Roland Barthes ... 14

2.2.3. Denotatif dan Konotatif ... 16

2.2.4. Representasi ... 17

2.2.5. Gender ... 20


(5)

xi Universitas Sumatera Utara

2.2.7. Perempuan Modern Jawa ... 30

2.2.8. Novel ... 33

2.3 Model Teoritik ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 36

3.2. Objek Penelitian ... 36

3.2.1. Profil Pramoedya Ananta Toer ... 36

3.2.2. Bibliografi Pramoedya Ananta Toer ... 39

3.3. Subjek Penelitian ... 41

3.4. Kerangka Analisis ... 41

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.6. Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 43

4.1.1. Keibuan ... 47

4.1.2. Terdidik ... 58

4.1.3. Peran Ganda ... 75

4.2. Pembahasan ... 79

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 85

5.2. Saran ... 86

DAFTAR REFERENSI ... 88


(6)

xii Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

II.1 Bagan Semiotika ... 17

II.2 Tabel Proses Representasi Fiske ... 19

IV.1 Daftar Kutipan ... 43

IV.2 Makna Denotasi dan Konotasi Keibuan ... 47

IV.3 Makna Denotasi dan Konotasi Terdidik ... 58