Universitas Sumatera Utara
paradigma ini tidak terlalu berpenngaruh dalam kancah teori komunikasi bila dibandingkan dengan dua paradigma terdahulu, namun teori-teori komunikasi
menggunakan perkembangan teknologi media ini untuk merevisi berbagai teori komunikasi yang ada hubungannya dengan media dan komunikasi Bungin, 2006
: 234. Paradigma ilmu komunikasi berdasakan metodologi penelitiannya, menurut
Dedy N. Hidayat dalam Bungin 2006 yang mengacu pada pemikiran Guba ada tiga paradigma : 1 paradigma klasik classical paradigm; 2 paradigma kritis
critical paradigm; dan 3 paradigma konstruktivisme constructivism paradigm.
Menurut Sendjaja, paradigma klasik gabungan dari paradigma ‘positivism’ dan post-positivism menurut Guba, menurut Dedy N. Hidayat, bersifat
‘interventionist’, yakni melakukan pengujian hipotesis dalam struktur hypothetico-deductive method, melalui laboratorium, eksperimen, atau survei
eksplanatif dengan analisis kuantitatif. Dengan demikian objektivitas, validitas, dan realibilitas diutamakan dalam paradigma ini. Paradigma kritis lebih
berorientasi ‘participative’ dalam arti mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis, dan peneliti beperan sebagai aktivis atau
partisipan. Sedangkan paradigma konstruktivisme, bersifat reflektif dan dialektikal. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu
tercipta empati adn interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi partisivasi participant
observation Bungin, 2006 : 236
2.1.1. Paradigma Kritis
Menurut Habermas setiap penelitian ilmiah diarahkan oleh kapentingan- kepentingan vital umat manusia baik dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial. Oleh karena itu postulat tentang kebebasan nilai merupakan “ilusi” tidak hanya bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga bagi ilmu-ilmu alam. Melepaskan
Universitas Sumatera Utara
nilai-nilai dari fakta-fakta sama artinya dengan mempertentangan Sein Ada yang murni dengan Sollen seharusnya yang abstrak.
Pertanyaan utama dari paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Paradigma
ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalkan mereka dengan
menguasai dan mengontrol media. Salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini Eriyanto, 2001
: 24. Analisis kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses
produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat Ardianto, 2007 : 187. Menurut Griffin yang dikutip Sendjaja dalam
Bungin 2006, Tradisi kritis lebih menekankan pada konsepsi komunikasi sebagai tantangan reflektif terhadap diskursus ketidakadilan.
Meskipun terdapat beberapa macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar
ilmu sosial interpretatif, bahwa ilmuwan kritis mengenggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis
bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini mengkaji
kondisi-kondisi sosial dalam usahanya untuk mengungkap struktur-struktur yang sering kali tersembunyi. Kebanyakan teori-teori kritis mengajarkan, bahwa
pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk mengubah kekuatan penindas.
Ketiga, pendekatan kritis secara sadar berupaya untuk menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai
perubahan dalam berbagai kondisi yang memengaruhi hidup kita Sendjaja dalam Bungin, 2006 : 257-258.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Uraian Teoritis