Universitas Sumatera Utara
Sebagai pemimpin perusahaan, Nyai paham betul apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menjalankan dan melindungi perusahaan. Penghinaan yang
didapatinya di persidangan yang meragukan kemampuannya memimpin perusahaan tidak membuatnya menyerah melindungi harga dirinya sendiri dan
informasi mengenai perusahaannya. Juga ia tidak segan akan menyingkirkan dan menghindarkan perusahaannya dari pihak-pihak yang akan menimbulkan
kerugian. Sekalipun ia harus memecat seorang laki-laki Eropa. Nyai juga tidak patah semangat saat perusahaan yang ia bangun terancam akan
diambil alih oleh pihak yang lebih berhak menurut hukum Hindia Belanda. Ia bermaksud untuk membangun perusahaan baru agar pekerjanya tidak kehilangan
mata pencaharian. Juga ia akan tetap memiliki kegiatan dan hal yang bisa diurusnya agar hidupnya tidak menjadi terbuang sia-sia.
Ontosoroh sadar, kehilangan tuan adalah akhir dari kehidupan seorang gundik. Status mantan gundik menjadikan mereka tidak lagi diterima di tengah
masyarakat, bahkan keluarga mereka sendiri. Karena itu Nyai membentuk dirinya menjadi mandiri dengan mendirikan perusahaan yang tidak hanya untuk
menggantungkan hidup keluarganya tapi juga memberi lapangan pekerjaan bagi banyak orang lainnya. Bekerja di luar sektor domestik bukan semata-mata hanya
untuk mencari materi, namun juga menjadi sarananya berbagi ilmu dengan orang lain dan media menerapkan ilmu yang telah ia miliki.
Berbeda dengan anggapan masyarakat tentang gundik yang bergantung pada kekayaan dan kekuasaan tuannya. Nyai Ontosoroh menjadikan ajaran
pengatahuan yang diberikan tuannya sebagai modal ia menjadikan hidupnya lebih bermartabat sebagai seorang manusia. Ia dihormati karena kemampuannya
mengatur dan memimpin perusahaan Boerderij Buitenzorg di Wonokromo, bukan statusnya sebagai gundik seorang totok mantan Administratur Pabrik Gula.
4.2. Pembahasan
Dari semua kutipan yang mewakili keseluruhan isi novel, pengarang benar- benar menggambarkan tokoh Nyai Ontosoroh sebagai sosok yang berusaha lepas
dari stereotipe perempuan Jawa yang dikenal penurut, pasrah, sabar, halus, tidak memiliki daya pikir yang tinggi dan bergantung pada laki-laki. Nyai Ontosoroh
Universitas Sumatera Utara
merupakan gambaran ideal perempuan modern Jawa yang memenuhi kriteria keibuan, terdidik dan berperan ganda. Dengan sikap dan pemikiran yang bahkan
masih tergolong maju untuk saat ini. Nyai Ontosoroh juga bisa dijadikan contoh ideal perempuan modern masa kini.
Roland Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu
Sobur, 2004 : 69. Dalam analisis semiotika, makna denotatif suatu kata adalah makna yang biasanya ditemukan dalam kamus. Sedangkan makna konotatif
adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu Sobur, 2004 : 263.
Lewat novel Anak Semua Bangsa, penulis berusaha menciptakan realitas yang terjadi pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Cerita yang disajikan tidak hanya
bentukan atau karangan semata. Namun juga berdasarkan peristiwa sejarah yang terjadi pada rentang waktu itu. Juga beberapa tokoh, termasuk tokoh utamanya
Minke. Sosok Nyai Ontosoroh ditambahkan untuk menyisipkan impian penulis bagaimana idealnya seorang perempuan modern.
Makna denotasi dalam penelitian ini diambil dari makna yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kerancuan bahasa dalam makna denotasi timbul
karena peneliti berusaha menyusunnya sesuai dengan terjemahan perkata yang digunakan penulis. Sedangkan makna konotasi yang dijelaskan berdasarkan
pemahaman peneliti atas kutipan yang dipilih dari novel yang diteliti. Hal yang menjadi batasan pada pemaknaannya adalah pengetahuan peneliti.
Dari kutipan yang dipilih, tampak penulis berusaha mengulang beberapa pesan tentang sosok ideal seorang perempuan Jawa modern lewat tokoh Nyai
Ontosoroh. Seperti sikap adil, tangguh, mendidik, dan selalu bepikir berdasarkan kebenaran. Juga sikap tidak setuju Nyai atas tindakan dan keberadaan
kolonialisme yang dilakukan Belanda di Nusantara. Sosok perempuan Jawa dengan stereotipe yang dijelaskan sebelumnya tidak
banyak dimunculkan dalam novel. Meskipun ada, digambarkan oleh tokoh lain bukan Nyai Ontosoroh. Peneliti berpendapat bahwa penulis berusaha tetap
menonjolkan tokoh Nyai Ontosoroh sebagai guru Minke untuk menunjukkan apa
Universitas Sumatera Utara
yang dapat dilakukan perempuan terlepas dari pandangan dan ketetapan tradisi yang dibentuk masyarakat.
‘Kewanitaan’ atau ‘feminitas’ perempuan ditentukan oleh perean mereka di sektor-sektor domestik. Konsep perempuan sebagai ibu dan istri merupakan tema
sentral dalam pembicaraan tentang perempuan, kedua konsep tersebut seolah-olah tidak bisa dilepaskan dari kehidupan perempuan. Kedirian perempuan tidak dapat
dilepaskan dari peranannya sebagai ibu dan istri, perempuan dianggap sebagai makhluk sosial dan budaya yang utuh apabila telah memainkan kedua peranan
tersebut dengan baik Kusujiarti, 1997 : 91. Penulis tetap tidak lepas dari pnadangan tersebut, namun ia mengemas sosok Nyai Ontosoroh yang
menjalankan perannya sebagai perempuan dengan cara lain. Sebagai istri, ia menjadikan dirinya tidak bergantung pada suaminya Tuannya
Herman Mellema dengan tetap menjalankan perusahaan meski Tuannya sudah meninggal. Sebagi seorang ibu, Nyai tetap tidak kehilangan sisi keibuannya
dengan tetap mengajarkan nilai-nilai moral dan melindungi tokoh utama yang dianggapnya sebagai anak.
Dalam kehidupan nyata, sosok Nyai Ontosoroh bisa didapati pada tokoh-tokoh perempuan berpengaruh di Indonesia. Jika Kartini dikenal sebagai tokoh
emansipasi perempuan di Indonesia lewat pemikirannya yang tertuang pada surat- suratnya, namun ia tidak dapat lepas dari tuntutan menjadi perempuan Jawa.
Kartini termasuk beruntung karena mendapatkan pendidikan formal berkat kedudukan ayahnya sebagai seorang Bupati. Pendidikan bahasa Belanda yang
didapatkan dari bersekolah di ELS menjadi modalnya untuk berkirim surat dengan teman-teman korespondensinya yang berada di Belanda. Dalam surat-suratnya,
Kartini banyak bercerita bagaimana penderitaan perempuan pribumi atas batasan- batasan berdasarkan adat yang mengekang. Cita-cita Kartini adalah untuk melihat
perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar sama seperti yang dilakukan laki-laki pada zamannya.
Saat menginjak usia 24 tahun, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Bukti sifat pasrah perempuan
Jawa yang melekat pada Kartini dapat dilihat dari fakta bahwa ia menjadi istri ke- tiga dari Bupati Rembang. Juga sikapnya yang mengurungkan niat untuk
Universitas Sumatera Utara
melanjutkan sekolah di Batavia dengan alasan ia sudah menikah. Pada usianya yang ke-25 Kartini meninggal beberapa hari setelah melahirkan anaknya. Kartini
bisa disamakan dengan Nyai Ontosoroh dalam hal pemikiran akan ketidakadilan yang terjadi disekitarnya dan juga tindakan nyatanya untuk merubah ketidakadilan
tersebut. Jika Nyai Ontosoroh berusaha merubah keadaan dengan ajarannya dan tindakannya sehari-hari, Kartini berusaha merubahnya dengan mendirikan sekolah
perempuan. Sifat dan tuntutan istiadat yang mengikat perempuan Jawa menjadikan
perempuan Jawa pada masa lampau kurang memberikan sumbangsih yang besar pada negara. Terbukti dari 11 tokoh pahlawan nasional perempuan, hanya empat
yang benar-benar berdarah Jawa. Dua di antaranya adalah ibu negara pertama dan kedua Indonesia, Fatmawati dan Raden Ayu Siti Hartinah. Pengaruh mereka
terhadap negara tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai ibu negara. Dua pahlawan perempuan lainnya adalah Kartini dan Siti Walidah Nyai Ahmad
Dahlan. Tiga dari keempatnya, mengambil peran mereka dalam memajukan bangsa
karena mendampingi suami mereka. Fatmawati istri dari presiden pertama Indonesia Ir Soekarno, RA Siti Hartinah istri dari presiden kedua Indonesia
Soeharto, dan Siti Walidah istri dari Kyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Gambaran kecil dari superioritas laki-laki tetap berpengaruh,
bahkan pada tokoh-tokoh perempuan tersebut yang dipilih menjadi pahlawan nasional.
Masih ada beberapa nama pahlawan perempuan yang ada di luar Jawa. Bahkan di antara mereka ada yang berjuang dengan ikut dalam peperangan
melawan penjajah. Seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu dan Cut Nyak Meutia. Meski ketiganya juga berjuang mendampingi ayah atau suami
mereka. Pahlawan perempuan dari Jawa memberikan sumbangsih lewat peran mereka
sebagai pengajar. Seperti Kartini yang mendirikan sekolah untuk perempuan. Siti Walidah yang ikut mengajarkan ajaran Islam bersama suaminya. Tindakan dari
wujud tidak lepasnya peran seorang perempuan yang mendidik dalam diri mereka. Juga didasari pada kebutuhan akan pendidikan pada masa pemerintahan Hindia
Universitas Sumatera Utara
Belanda kala itu. Keterbatasan pribumi mengenyam pendidikan dan batasan akan hak perempuan yang ditetapkan oleh adat dan kebiasaan.
Jadi tidak heran selain Kartini yang sudah banyak dikenal, terdapat banyak pihak yang mulai mendirikan sekolah khusus untuk pribumi pada akhir abad 19
dan awal abad 20. Seperti yang dilakukan Raden Ayu Lasminingrat dan Dewi Sartika yang membangun sekolah khusus untuk perempuan pribumi di daerah
Jawa Barat. Mungkin ini yang menjadikan sumber inspirasi oleh penulis dari cerita Nyai Ontosoroh yang ingin mendirikan sekolah bagi pribumi sebagai cara
menebus kesalahannya yang telah menggunakan uang hasil ketidakadilan terhadap pribumi untuk membangun Boerderij Buitenzorg.
Pramoedya dikenal sebagai sosok yang sering memasukkan unsur feminis dalam karya-karyanya. Tidak heran jika Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai
sosok perempuan yang memperjuangkan hak kaum pribumi, khususnya perempuan. Lewat Nyai Ontosoroh, Pramoedya menggambarkan bagaimana
perempuan berusaha untuk menjadi manusia yang bermoral tinggi untuk menaikkan derajatnya.
Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai sosok yang menentang keadaan yang ditetapkan untuknya oleh lingkungan dengan membentuk dirinya menjadi
bermartabat. Meski alasan dasarnya adalah dendam pada ketidakadilan yang dilakukan ayahnya semasa ia gadis, ia membalasnya tidak hanya pada ayahnya
saja tapi juga pada dunia. Pram membentuk Nyai menjadi sosok yang mencari bekal pengetahuan untuk
dirinya dalam proses pembuktian diri. Namun tidak melepaskannya dari kodratnya sebagai perempuan yang memiliki sifat mendidik. Agar layak mendidik
orang disekitarnya tanpa menggurui, Nyai dibuat terdidik lewat ajaran dari Tuannya. Ajaran yang ia terapkan lewat sikap dan pemikirannya setiap saat.
Untuk mempertegas sosok kuat Nyai Ontosoroh, penulis menambahkan unsur tanggungjawab besar yang menjadi media pembuktian diri. Memimpin sebuah
perusahaan yang tidak kecil menjadi unsur tambahan yang menjadikan Nyai bahkan lebih hebat dari perempuan pada masa modern kini. Tugas yang tidak
biasa diemban seorang perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Unsur terdidik, mendidik dan berperan ganda adalah tiga unsur yang saling berhubungan untuk menjadi perempuan modern. Seorang perempuan harus
terdidik untuk mampu mendidik anak-anaknya. Pendidikan yang tidak terbatas hanya pada pengetahuan yang diajarkan di bangku sekolah. Tapi terdidik untuk
mampu bersikap dan berpikir dengan benar. Tidak hanya sebagai pendidik anak-anaknya, seorang perempuan modern juga
harus bermanfaat untuk lingkungan yang lebih luas. Dengan bekerja di luar rumah, perempuan akan mampu berinteraksi dengan lebih banyak orang dan
mendapatkan informasi yang lebih luas. Pengalaman yang ia dapat di sektor publik juga akan menjadi sumber pengajaran yang akan dibagikannya pada anak-
anaknya, lebih luas lagi pada orang di sekitarnya. Seorang perempuan tangguh yang mampu membentuk dirinya lebih
bermartabat dan terhormat tetap tidak mampu lepas dari hal yang dianggap kodratnya sebagai seorang perempuan yang kelak menjadi ibu. Ibu yang mendidik
dan memiliki sifat lemah lembut dan penyayang. Hal ini berlaku tidak hanya pada perempuan Jawa, tapi juga perempuan di belahan bumi lainnya. Sehebat apapun
sosok Nyai Ontosoroh yang digambarkan penulis, unsur mendidik dan melindungi tetap dilekatkan pada Nyai. Menunjukkan Nyai tetap tidak lepas dari kodratnya
sebagai seorang perempuan. Sosok Nyai Ontosoroh ditulis Pramoedya Ananta Toer dengan paduan kondisi
perempuan pada zaman penjajahan dan kemajuan berpikir yang seharusnya. Cita- cita yang dilekatkan pada Nyai memang sesuai dengan latar waktu cerita, namun
sikapnya melampaui zaman. Sikap orang yang tidak mau direndahkan derajatnya karena dia perempuan. Menjadi perempuan modern bukanlah menjadi konsumtif
seperti yang sering dilihat pada masa kini. Melainkan menjadi perempuan yang terdidik dan berpikiran jauh kedepan. Tidak hanya egois mengembangkan dirinya
sendiri, tapi juga ikut mengembangkan orang lain disekitarnya untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan analisis terhadap 22 kutipan dalam novel Anak Semua Bangsa, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam tokoh Nyai Ontosoroh, nilai-nilai perempuan modern Jawa
digambarkan lewat watak keibuan, terdidik dan peran ganda yang dimiliki tokoh Nyai Ontosoroh. Terlepas dari itu, secara lebih spesifik pengarang
juga menggambarkan bahwa perempuan modern Jawa haruslah memiliki prinsip dalam setiap tindakannya, berani menyuarakan pendapatnya
namun juga terbuka pada ide-ide baru. Menjadi seorang perempuan modern Jawa tidak hanya bisa dibentuk di bangku sekolahan, melainkan di
lingkup kehidupan sosial yang menjadikan diri lebih bermoral. Namun tokoh Nyai tetap tidak dilepaskan dari sosoknya yang keibuan, gambaran
ideal perempuan Jawa yang sudah dikenal sejak zaman kerajaan Jawa dan masih dipergunakan hingga kini.
2. Makna dalam novel ini adalah perempuan tanpa melupakan kodratnya
tetap mampu menjadikannya setara dengan laki-laki. Watak keibuan sudah dan tetap menjadi gambaran ideal perempuan modern. Meski dalam aspek
lain, perempuan tidak lagi dibatasi dengan tugasnya di ranah domestik namun juga perannya di ranah publik. Beban ganda perempuan modern
sebagai ibu terdidik yang juga bekerja menjadi nilai tambah dalam hal menjadi perempuan modern ideal Jawa. Dalam novel ini penulis ingin
menekankan bahwa peran perempuan tidak hanya terbatas pada ruang domestik, ada keadaan di mana perempuan bahkan lebih berhasil dalam
ruang publik dan juga lebih maju pemikirannya dibandingkan laki-laki.
3. Pemunculan representasi perempuan dengan analisis semiologi Roland
Barthes, mengacu pada pertentangan akan istiadat yang berlaku di masyarakat Jawa. Novel ini digunakan sebagai media penyampai pesan
bagaimana sosok ideal perempuan modern tidak hanya Jawa tapi semua