Perempuan Jawa Uraian Teoritis

Universitas Sumatera Utara 5. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama burden. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan di banyak tradisi secara adat laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkaitan dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu ‘tersosialisasi’ kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang ’diterima’ dan sudah tidak lagi dapat dirasakan ada sesuatu yang salah Fakih, 2013 : 76.

2.2.6. Perempuan Jawa

Analisis terhadap status dan peran perempuan Jawa menghasilkan kesimpulan yang beragam. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam mencermati hubungan gender dan dinamika interaksi yang terjadi dalam hubungan gender pada masyarakat dan budaya Jawa. Hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai perempuan Jawa, secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan yang berbeda Kusujiarti, 1997 : 82-83. 1. Mengemukakan bahwa perempuan jawa memiliki kekuasaan yang besar dan status yang tinggi, baik dalam masyarakat luas maupun keluarga. Posisi tersebut dicapai perempuan antara lain karena adanya struktur keluarga yang bilateral, anggapan umum yang menyatakkan bahwa laki- laki dan perempuan atau suami dan istri adalah makhluk yang saling Universitas Sumatera Utara melengkapi, serta sumbangan perempuan yang cukup besar dalam ekonomi keluargayang dicapai melalui partisipasi aktif mereka dalam kegiatan produktif. Pada sebagian besar rumah tangga Jawa, perempuanlah yang bertanggung jawab dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. 2. Kelompok kedua menyangkal. Peran penting perempuan dalam sektor ekonomi dan pengelolaan rumah tangga belum tentu menunjukkan tingginya status dan kekuasaan perempuan. Perempuan memiliki beban ganda karena mereka harus mencari nafkah untuk keluarga dan juga dituntut untuk menyelesaikan sebagian besar pekerjaan domestik sehingga mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua kewajiban tersebut secara bersamaan. Ideologi yang menekankan bahwa peran perempuan yang utama adalah di sekitar rumah tangga, sebagai ibu dan istri, telah berabad-abad disosioalisasikan dan diinternalisasikan dalam masyarakat Jawa. Ideologi tersebut telah bersatu dan menjadi elemen dalam budaya Jawa. Ideologi familialisme ideology of familialism timbul dan dilestarikan melalui proses sejarah yang kompleks. Dalam masyarakay jawa ideologi tersebut dilesterikan dan secara terus menerus diredefinisikan melalui hukum-hukum adat yang berlaku, kepercayaan- kepercayaan, serta negara dan pemerinta yang pernah ada dalam sejarah masyarakat Jawa. Ideologi yang menekankan pada peran reproduksi dan domestik perempuan sangat ditekankan pada perempuan kelas atas di zaman kerajaan- kerajaan Jawa. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang anggun, halus rapi tetapi tidak memiliki daya pikir yang tinggi dan kurang memiliki kemampuan serta kekuatan spiritual, sehingga ia dianggap tidak mampu menduduki jabatan- jabatan strategis dalam pemerintahan dan masyarakat. Dengan demikian perempuan dianggap sebagai makhluk yang sekunder atau the second sex. Oleh karena dianggap terhadap sifat-sifat umum perempuan tersebut, perempuan dianggap perlu mendapatkan perlindungan dan pengarahan dari laki-laki. Selain itu, status perempuan dalam masyarakat sangat ditentukan oleh laki-laki atau suaminya. Oleh karenanya, sebagai imbalan, perempuan harus tunduk dan memenuhi kebutuhan laki-laki, serta mendukung keinginan dan kepentingan laki- laki. Dalam masyarakat feodal-aristokratik, ideologi ini sangat penting untuk mendukung kelestarian suatu dinasti. Kesetiaan dan ketundukan perempuan dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan keturunan dan mendapatkan kepastian Universitas Sumatera Utara bahwa keturunan yang ada adalah pewaris yang sah dari raja yang berkuasa Kusujiarti, 1997 : 90-91. Untuk melihat bagaimana budaya Jawa telah mengkondisikan posisi perempuan, dapat dilihat dari karya sastra Jawa sebagai media sosialisasi nilai- nilai budaya dan cerminan representatif yang dapat memberikan informasi tentang peran serta kedudukan perempuan pada masa lalu. Karya sastra Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 yang berpusat di keraton, banyak memuat pandangan keraton khususnya dan masyarakat Jawa umumnya. Sebagian karya sastra Jawa pada masa tersebut berupa serat-serat piwulang yang berisi ajaran tentang moral atau nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan, baik secara individual maupun sosial Sukri, 2001 : v. Selanjutnya, seiring dengan perkembangan cara bertutur yang dipengaruhi oleh interaksi dengan budaya Belanda, saat masa penjajahan, ajaran-ajaran tersebut tidak lagi hanya disampaikan lewat tulisan. Namun juga berbagai pertunjukan seperti tari-tarian, wayang maupun tembang. Para penguasa kerajaan yang mengurangi jarak antara warga keraton dan wong cilik, menyampaikan nasihat-nasihat kepada rakyat kecil lewat tembang atau puisi yang bersifat religius. Selain itu, peran abdi dalem juga berpengaruh dalam proses menyebarnya ajaran dan tatakrama berkehidupan yang menjadi pedoman keluarga kerajaan dan kerabatnya, keluar dari tembok keraton. Sosialisasi tugas-tugas perempuan dalam rumah tangga, selain dilakukan oleh orang tua, juga dilakukan oleh masyarakat, bahkan oleh para pujangga dan raja melalui penulisan serat-serat kitab-kitab. Beberapa kitab yang ditulis oleh para pujangga dan raja yang berkaitan dengan piwulang yang berisi ajaran untuk para putri, misalnya Serat Wulangreh Putri karya Sunan Pekubuwana IV dan Serat Candrarini karya Ranggawarsita. Karya mereka itu sangat besar pengaruhnya dalam kalangan masyarakat. Apalagi, dalam kebudayaan Jawa, raja merupakan penguasa tertinggi yang kekuasaannya tidak hanya terbatas pada persoalan yang berkaitan dengan negara dan kekayaan, tetapi juga pada kehidupan pribadi rakyatnya. Pola peran tugas-tugas perempuan yang digariskan di lingkungan keraton sperti terungkap dalam karya-karya satra Jawa yang secara garis besar Universitas Sumatera Utara mengikuti sistem patriarki, makin memperkuat mata rantai marginalisasi dan subordinasi perempuan Sukri, 2001 : 8. Sekurang-kurangnya sejak Abad 16 berjalan atau Dinasti Mataram Baru memimpin kerajaan tanah Jawa, di dalam konvensi sosial budaya etnik ini mempunyai sofistikasi mengenai kesatria Jawa alias seorang pria Jawa yang baik dan yang buruk. Yang buruk sudah masuk dalam tipologi konsepsional lisan, yang terkenal dengan sebutan malima. Malima itu meliputi ucapan dan tindakan alias perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan etika budaya komunitas Jawa, dan bagi seorang ksatria yang melakukan tindakan tersebut dianggap tidak ngenggoni citra keberadaannya selaku seorang ksatria utama. Adapun wisdom lisan malima itu menyangkut main, madat, mangan, minum dan madon Linus : 1993. Sedang tipologi konsepsional 5 A yang juga sudah menjadi wisdom lisan bagi seorang ksatria utama menyangkut pemenuhan kelengkapan hidup. Adapun tipologi itu sebuah jagad pria Jawa yang hanya mungkin dianggap wong lanang tulen 100 apabila dia sanggup menyediakan pasal ini sebagai persyaratan: wisma, turangga, curiga, kukila dan wanit Linus : 1993. Pasal wisma alias rumah tinggal, sudah menjadi watak warga pedalaman rural sebagai berumah tangga alias omah-omah. Itulah sebabnya, seorang istri dianggap juga sebagai simah. Turangga alias tumpakan memang menjadi kebutuhan vital bagi seorang ksatria Jawa karena kendaraan tradisional itu multifungsi. Curiga alias pusaka alias senjata tradisional Jawa, yang lazim dikenal dengan keris. Kukila alias burung akan menjadi pelengkap rumah sehingga kelihatan asri dan regeng bagi penghuninya Linus : 1993. Pasal ke 5 ialah wanita yang melengkapi keberadaan seorang ksatria Jawa, sehingga citra seorang ksatria Jawa tulen 100 memperoleh bentuk dan wujud komplit. Meskipun seorang pria Jawa sudah punya wisma, turangga, kukila dan curiga, akan tetapi bila dia belum mampu merengkuh seorang wanita, keberadaannya belumlah sempurna. Sebagai mata rantai dari dominasi pandangan hidup pria terhadap perempuan Jawa, tersebarlah wisdom lisan mengenai seorang isteri. Istri itu mesti berperan ganda: dia menjadi sawangan bila kondangan, dia Universitas Sumatera Utara menjadi tuan rumah yang baik bila ketamuan di ruang depan, dia menjadi koki yang ahli di dapur dan menjadi lonte di ranjang. Itu pun demi memenuhi konsep menjadi Juru Leladi terhadap Guru Laki-nya Linus : 1993. Jadi konsep pasrah perempuan Jawa juga mencapai wilayah privacy dan hak hidupnya, sehingga dikenal dia itu masokist, bukankah sudah dibenarkan oleh konvensi dalam sistem sosial-budaya komunitasnya? Pameo jawa pun sudah mengamini: wanita itu ibarat keribetan sinjang dan kabotan gelung. Sedang bagi anak gadis dalam sebuah keluarga Jawa diibaratkan sebagai satru mungguhing cangklakan alias musuh yang mangkal di ketiak orangtuanya. Bahkan di dalam jarwa dosok Jawa, yaitu permainan kata yang mengandalkan pada otak-atik hatik dan otak-atuk gutuk, kata wanita itu sendiri konon berarti kudu wani ditata alias mesti berani diatur Linus : 1993. Peran dan kedudukan perempuan dalam tipologi konsepsional di atas apabila tidak melumpuhkan kegiatan seorang perempuan yang menimbulkan sikap pasrah kersaning Allah, pasrah pada kehendak Tuhan, tentu saja dengan melakukan pengingkaran terhadap martabat dan harkat kewanitaannya selaku manusia. Paling tidak menjadikan perempuan bersikap pasif tanpa inisiatif lagi. Pada tahap lebih jauh, apabila seorang gadis memasuki pintu gerbang pernikahan, dia pun menemukan nasib hidupnya sekedar sebagai pemeran pembantu. Itulah sebabnya mengapa lahir pameo: wanita itu ibarat swargo nunut dan neroko katut. Tetapi lain halnya bagi seorang perempuan yang pintar menyiasati keadaan dan kondisi kaum pria yang kemaki demikian. Dia malah akan memanfaatkan ketakaburan kaum lelaki yang menggelindingkan hukum-hukum Patrilinial, dan dengan gairah wajar menikmatinya dengan kesadaran sepenuhnya. Berlakulah pameo yang berfungsi sebagai sarana keseimbangan, bagi kaum perempuan: ‘karena aku wanita maka aku tanggung jawabmu. Kalau aku menjadi nol besar yang menor-menor, itupun akibat perilakumu yang congkak dan deksura’. Perempuan pun bukan lawan jenis, yang dapat menjadi mitra mengarungi hidup di dunia, namun perempuan sekedar alat lawan jenis yang tergantung pada suaminya. Linus : 1993 Perempuan selalu tersubordinasi dalam kekuasaan laki- laki sehingga ia harus menampilkan diri dengan serba hati-hati, sementara laki- Universitas Sumatera Utara laki dengan superioritas dan otoritas yang dimilikinya menampilkan diri sebagai pengawas Sukri, 2001 : 94. Tentang kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat, tampaknya karya sastra Jawa tidak jelas menggambarkannya. Namun, dari data historis dalam babad memang pernah muncul nama-nama perempuan yang mempunyai kedudukan dan peranan dalam bidang politik dan ekonomi karena mereka berkedudukan sebagai ratu, misalnya Ratu Sima abad ke-7, Ratu Suhita abad ke-15, dan Ratu Kalimanyamat awal abad ke-16. Namun, pada abad ke-19 sampai dengan munculnya Kartini tidak digambarkan peran dan kedudukan perempuan Jawa di tengah-tengah masyarakat di luar tugasnya sebagai pendamping suami dan ibu rumah tangga. Barangkali, hal ini karena memang sebagaimana tercermin dalam gambaran perempuan ideal waktu itu, mereka harus tetap tinggal di rumah melayani suami dan anak-anak tanpa perlu terlibat dalam urusan sosial kemasyarakatan. Perempuan juga tidak perlu keluar rumah mencari nafkah sebagai perempuan karier karena mereka sudah cukup atau harus merasa cukup cumadhog, nrima dengan nafkah yang diberikan oleh suami Sukri, 2001: 86. Gambaran ideal serta peran perempuan Jawa sebagaimana yang ditulis oleh para pujangga keraton dalam karya-karya sastra mereka menunjukkan bahwa perempuan telah ditempatkan sedemikian rupa sehingga berbeda dengan peran dan kedudukan kaum laki-laki. Dengan demikian, kedudukan perempuan tersubordinasi di bawah laki-laki. Penempatan perempuan Jawa dalam posisi tersubordinasi tidak bisa dilepaskan dari cara pandang serta budaya yang tumbuhdan berkembang dalam kehidupan sosial saat itu. Pandangan-pandangan yang dibentuk oleh budaya Jawa sebagaimana tercermin dalam karya sastra Jawa tersebut bertitik tolak dari semacam anggapan ataupun keyakinan tentang stereotipe perempuan. Gambaran perempuan Jawa menurut cara pandang budaya Jawa itu adalah sebagai berikut Sukri, 2001 : 88-93. 1. Secara kodrati perempuan merupakan makhluk lemah jika dibandingkan dengan laki-laki sehingga perlu dilindungi oleh laki-laki. Kelemahan perempuan dapat dilihat dari dua sisi, yakni fisik dan psikis. Universitas Sumatera Utara 2. Karena perempuan dipandang sebagai makhluk lemah sehingga perlu mendapat perlindungan dari laki-laki, nasib perempuan sebagai istri tergantung pula pada suami. 3. Perempuan diciptakan dari bagian tubuh laki-laki. Pandangan tersebut berasal dari kisah penciptaan perempuan yang pertama, yakni Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki Adam. Terlepas dari kebenarannya, kisah tersebut telah menanamkan suatu sikap superioritas laki-laki terhadap perempuan. 4. Perempuan diciptakan untuk berbakti kepada laki-laki suami. Tugas perempuan adalah melayani kebutuhan laki-laki, khususnya kebutuhan seks. Oleh karena itu, perempuan ditempatkan sebagai objek seksual sehingga tidak heran kalau raja Jawa pada masa lalu memiliki banyak selir. Perempuan sendirilah yang mendukung budaya represi dengan merasa tidak aman jika tidak didampingi laki-laki, lewat rasa bangga yang dimiliki jika diperistri atau dimadu oleh pangeran ataupun raja. 5. Kedudukan perempuan semata-mata dipandang sebagai alat reproduksi. Artinya, perempuan hanya berfungsi sebagai objek bagi laki-laki untuk mengandung dan melahirkan anak keturunan. Ada semacam kebanggaan dalam budaya Jawa terhadap banyaknya anak keturunan yang dapat dimiliki. 6. Perempuan hanya mengurusi soal-soal domestik, urusan-urusan kerumahtanggaan atau urusan dapur. Oleh karena itu, perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Di depan umum seorang istri tidak boleh lebih menonjol dari suami. Perempuan selalu tersubordinasi dalam kekuasaan laki-laki sehingga ia harus menampilkan diri dengan serba hati-hati, sementara laki-laki dengan superioritas dan otoritas yang dimilikinya menampilkan diri sebagai pengawas. Jika pandangan- pandangan tersebut dianalisis lebih lanjut, sesungguhnya hal itu tidak bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran agama besar yang berskala luas. Oleh karena itu, pandangan yang menempatkan perempuan dalam kedudukan yang lebih rendah daripada pria tidak saja terdapat pada masyarakat Jawa, khususnya bagi kalangan menengah dan atas, tetapi juga terdapat pada masyarakat di berbagai belahan dunia Sukri, 2001 : 94.

2.2.7. Perempuan Jawa Modern