Kemandirian Fiskal HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kemandirian Fiskal

Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Perubahan peraturan tersebut dengan harapan dapat lebih mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah, baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dan DPRD, ataupun antara pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pembahasan pengelolaan keuangan daerah hanya dibatasi pada kinerja keuangan baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Kinerja keuangan daerah diukur dari rasio keuangan daerah yang digunakan untuk menilai kemandirian fiskal yang dimiliki daerah tersebut, apakah mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi dengan pemerintah pusat. Rasio Kemandirian Fiskal ini menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain pihak ekstern antara lain: Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman Halim, 2007. Seperti yang terdapat pada Tabel 10 yaitu terjadi peningkatan penerimaan daerah tiap tahunnya, peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan pendapatan asli daerah. Pendapatan Asli Daerah PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayah sendiri dapat menggambarkan seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimiliki. Terjadi pertumbuhan pendapatan asli daerah yang sangat berfluktuatif pada periode tahun 2005 hingga 2009. Peningkatan pertumbuhan pada tahun 2006 hingga diatas 20 persen yang selanjutnya terus menurun pada tahun 2009. Penurunan pertumbuhan pendapatan asli daerah pada tahun 2009 terjadi di seluruh provinsi di KTI. Nilai pertumbuhan PAD yang terkecil pada tahun 2009 terjadi pada Provinsi Papua Barat dan Papua masing-masing sebesar minus 25,80 dan 16,05 persen. Sedangkan provinsi yang memiliki pertumbuhan terbesar setiap tahunnya adalah Sulawesi Tenggara yaitu mencapai 75,55 persen pada tahun 2008 dan 59,10 persen pada tahun 2009. Tabel 14 Pendapatan Asli Daerah KTI Tahun 2005-2009 Juta Rupiah Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 Sulawesi Utara 246,980.24 324,855.32 412,446.61 495,384.41 507,317.69 Sulawesi Tengah 177,230.53 282,970.41 322,379.30 438,905.91 417,878.45 Sulawesi Selatan 1,034,274.70 1,294,038.30 1,602,043.30 1,927,953.73 2,111,576.14 Sulawesi Tenggara 145,349.96 213,379.25 267,516.60 469,621.55 747,159.82 Gorontalo 90,044.31 117,583.39 151,388.99 194,986.72 213,686.93 Sulawesi Barat 46,306.48 69,289.00 77,414.18 119,621.17 129,570.01 Nusa Tenggara Barat 330,131.71 442,800.23 526,556.26 629,421.69 715,520.52 Nusa Tenggara Timur 287,904.82 415,455.12 470,368.19 553,804.98 560,432.40 Maluku 118,711.19 141,379.05 198,064.26 258,590.65 286,013.69 Maluku Utara 60,979.56 119,608.13 151,930.49 249,036.27 300,362.99 Papua Barat 53,187.26 75,514.97 162,137.15 248,241.41 184,196.28 Papua 273,975.37 411,397.63 634,982.49 796,297.61 668,505.83 KTI 2,865,076.13 3,908,270.80 4,977,227.81 6,381,866.10 6,842,220.74 Sumber : Kemenkeu diolah Pada Tabel 14 terlihat peningkatan PAD yang cukup signifikan pada periode tahun 2005 hingga 2009. Namun dengan peningkatan ini apakah benar daerah tersebut telah menggali potensi yang dimilikinya sehingga dapat membangun daerahnya sendiri tanpa tergantung dengan pemerintah pusat? Hal ini dapat terlihat pada rasio kemandirian yang besarannya dapat menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap sumber dana dari luar daerah ekstern. Semakin tinggi besaran rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak luar daerah dalam hal ini pemerintah pusat semakin rendah dan begitupun sebaliknya. Rasio kemandirian provinsi di KTI pada tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel tersebut menunjukkan bahwa provinsi di wilayah timur Indonesia masih memiliki kemampuan keuangan yang rendah sekali dengan tingkat kemandirian 0-25. Sehingga provinsi di KTI memiliki pola hubungan instruktif dengan pemerintah pusat, yang mengandung arti bahwa provinsi di KTI masih melakukan kegiatan pemerintahannya sesuai dengan perintah pemerintah pusat. Tabel 15 Rasio Kemandirian Fiskal Provinsi KTI Tahun 2005-2009 2005 2006 2007 2008 2009 Sulawesi Utara 16.12 10.74 12.89 10.08 8.59 Sulawesi Tengah 15.59 7.23 7.64 8.06 7.38 Sulawesi Selatan 19.67 15.03 19.47 16.62 17.37 Sulawesi Tenggara 12.35 7.07 6.20 9.39 13.20 Gorontalo 10.53 7.04 9.82 8.17 8.45 Sulawesi Barat 7.19 4.88 3.84 6.09 5.19 Nusa Tenggara Barat 12.84 11.87 11.67 12.38 13.01 Nusa Tenggara Timur 9.14 7.63 7.20 7.63 6.97 Maluku 6.46 4.94 5.61 6.25 6.52 Maluku Utara 5.53 4.76 4.61 6.90 7.73 Papua Barat 2.59 1.67 3.03 3.58 2.23 Papua 5.08 3.09 3.76 4.49 3.63 Rasio Kemandirian Fiskal KTI Sumber : Kemenkeu diolah Provinsi yang memiliki rasio kemandirian yang stabil dan terbesar pada setiap tahunnya adalah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki rasio kemandirian yang mencapai 19,47 persen pada tahun 2007 dan 17,37 persen pada tahun 2009. Sedangkan Nusa Tenggara Barat mencapai 12,84 persen pada tahun 2005 dan 13,01 persen pada tahun 2009. Hal ini sesuai dengan pendapatan asli yang dimiliki oleh kedua provinsi tersebut adalah yang terbesar. Dengan rasio kemandirian ini juga dapat menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di kedua provinsi tersebut cukup tinggi sehingga dapat ikut berperan dalam membayar pajak dan retribusi daerah. Kenaikan pada rasio kemandirian di kedua provinsi tahun 2009 juga dapat disimpulkan bahwa share PAD yang meningkat dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Sedangkan provinsi yang memiliki tingkat ketergantungan sangat besar pada pemerintah pusat adalah provinsi dengan rasio kemandirian terkecil yaitu Papua Barat dan Papua masing-masing sebesar 2,23 dan 3,63 persen pada tahun 2009. Terlihat bahwa kemandirian daerah di KTI justru semakin menurun pada periode tahun 2005 hingga 2009. Hal ini disebabkan kenaikan PAD yang terjadi di setiap daerah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah yang membuat penurunan peran share PAD terhadap penerimaan daerah. Beberapa provinsi yang masih memiliki perkembangan PAD yang positif atau semakin besar kemandirian daerahnya adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Maluku Utara. Tabel 16 Derajat Desentralisasi Fiskal KTI Tahun 2005-2009 2005 2006 2007 2008 2009 Sulawesi Utara 13.88 9.69 9.00 9.16 7.91 Sulawesi Tengah 13.49 6.74 6.38 7.46 6.87 Sulawesi Selatan 16.44 13.07 13.56 14.25 14.80 Sulawesi Tenggara 10.99 6.60 5.84 8.58 11.66 Gorontalo 9.53 6.58 7.08 7.55 7.79 Sulawesi Barat 6.71 4.66 3.33 5.11 4.94 Nusa Tenggara Barat 11.38 10.61 10.45 11.01 11.52 Nusa Tenggara Timur 8.37 7.09 6.72 7.09 6.52 Maluku 6.06 4.71 4.78 5.88 6.12 Maluku Utara 5.24 4.54 4.41 6.45 7.18 Papua Barat 2.52 1.65 2.94 3.45 2.18 Papua 4.83 3.00 3.63 4.30 3.50 KTI DDF Sumber : Kemenkeu diolah Selain rasio kemandirian, kinerja keuangan daerah dapat dihitung menggunakan derajat desentralisasi fiskal atau perbandingan antara PAD dengan total penerimaan daerah. Besarannya hampir sama dengan rasio kemandirian hanya saja pembandingnya adalah seluruh penerimaan daerah termasuk PAD daerah tersebut. Dari derajat tersebut, terlihat bahwa yang memiliki rasio terbesar adalah sama dengan provinsi yang memiliki rasio kemandirian terbesar yaitu Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat masing-masing sebesar 14,80 dan 11,52 persen. Namun hal ini masih menunjukkan kemampuan keuangan daerah yang sangat rendah karena berkisar antara 0 hingga 25 persen. Hal ini disebabkan pada struktur perekonomian daerah di KTI yang masih didominasi oleh sektor pertanian. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang termasuk PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah serta penerimaan lain yang sah. Jenis pajak yang masuk kategori ini adalah jenis pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, pajak parkir yang tentunya tidak semua daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan pajak tersebut. Jenis-jenis retribusi antara lain retribusi jalan umum, retribusi jasa serta usaha perijinan tertentu. Melihat sumber-sumber penerimaan yang bersumber dari PAD, wajar jika suatu daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa akan lebih besar jika dibanding daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh bidang pertanian. Sebab, pada dasarnya pajak-pajak yang menjadi sumber PAD berasal dari sektor tersebut. Terlihat perbedaan dengan KBI yang memiliki rasio PAD terhadap total penerimaan jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah di KTI. Hal ini disebabkan antara lain struktur perekonomian daerah di KBI lebih didominasi oleh sektor penghasil pajak dan retribusi serta sumber daya manusia yang sangat mendukung. Menurut Halim 2007 ada beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kenaikan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu : a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada diluar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita. c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Akan tetapi dibalik tingginya keinginan untuk menaikkan rasio kemandirian lewat PAD harus diperhatikan kelangsungan jangka panjangnya. Artinya pada saat sekarang PAD bisa saja meningkat, karena pendapatan dari pajak yang naik akibat kenaikan tarif pajak, akan tetapi hal tersebut menjadi beban pengusaha sehingga mengganggu kegiatan usahanya. Oleh karena itu pembuatan kebijakan dalam rangka meningkatkan PAD harus memperhatikan banyak pihak dan banyak kepentingan. Salah satunya adalah dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi daerahnya masing-masing. Daerah di KTI memiliki PAD yang kecil dibandingkan dengan daerah di KBi karena masih memiliki struktur perekonomian di sektor pertanian atau bukan penghasil pajak. Oleh karena itu masing-masing daerah harus mencari potensi yang paling menonjol atau produk unggulan masing-masing daerah, kemudian di kembangkan dan di beri bantuan dalam hal pengolahan maupun pemasaran. Pada akhirnya tidak hanya sebagai penghasil bahannya saja, tetapi juga mampu mengolah, sehingga jika kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, maka pendapatan asli daerah akan dapat meningkat seiring dengan berkembangnya kegiatan perekonomian suatu daerah.

5.2 Investasi Daerah