Pengamatan Histopatologis Uji Proksimat, β-karoten, dan fitokimia

e.Pengamatan Histopatologis

Pada akhir penelitian minggu ke-8, kelinci disembelih memutuskan vena jugularis di leher menggunakan pisau tajam. Selanjutnya tubuh kelinci diseksi untuk pengambilan organ yang diperlukan, yaitu seperti jantung aorta. Secara ringkas tahapan ini dapat dilihat pada Gambar 11. 1 Pengambilan dan pemeriksaan organ Secara umum tahap analisis histologi adalah sebagai berikut: pemeriksaan organ-organ kelinci setelah dieuthanasi adalah dilakukan fiksasi, dehidrasi, clearing , infiltrasi, embedding, pemotongan, pewarnaan, dan mikrofotografi. Kelinci Organ Pewarnaan HE Clearing Xylol I, 40 menit Xylol II, 40 menit Xylol III, 40 menit Infiltrasi Parafin I, 30 menit, 60 o C Parafin II, 30 menit, 60 o C Parafin III, 30 menit, 60 o C Parafin IV, 30 menit, 60 o C Embedding Pemotongan Slide Mikroskop cahaya Mikrofotografi Fiksasi Formalin 10 Dehidrasi Alkohol 70, 2 jam Alkohol 80, 2 jam Alkohol 90, 2 jam Alkohol 95, 2 jam Alkohol absolut I, 2 jam Alkohol absolut II, 2 jam Gambar 11 Tahapan preparasi sediaan jaringan organ kelinci Aorta yang telah diambil disimpan dalam cairan formalin 10. Aorta dipotong menjadi 5 bagian untuk pembuatan sediaan histologi. Tahap selanjutnya adalah dilakukan dehidrasi dalam 1 seri larutan alkohol kemudian dilakukan clearing dengan xylol. Proses dehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol 70 2 jam, alkohol 80 2 jam, alkohol 90 2 jam, 95 2 jam, alkohol absolut I 2 jam, dan alkohol absolut II 2 jam. Preparat kemudian dibersihkan dalam larutan xylol I 40 menit, xylol II 40 menit, xylol III 40 menit selanjutnya dimasukkan ke dalam parafin cair I 30 menit, dan parafin cair II 30 menit, parafin cair III 30 menit, dan parafin cair IV 30 menit untuk proses infiltrasi. Semua proses di atas dilakukan menggunakan alat Autotechnicon. Tahap selanjutnya dilakukan embedding atau penanaman jaringan dalam parafin yang dilakukan dekat sumber air panas dan oven. Penanaman dilakukan dalam cetakan blok. Setelah blok parafin yang berisi jaringan menjadi padat, kemudian dipotong menggunakan Rotary Microtom dengan ukuran potongan sekitar 5 mikron. Setelah dipotong, lembaran hasil potongan diletakkan di atas gelas obyek untuk kemudian dipanaskan dalam oven atau inkubator selama 24 jam sebelum proses selanjutnya. Tahap terakhir adalah pewarnaan Haematoxyllin-Eosin HE sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditentukan Lampiran 14 yaitu pencelupan gelas obyek yang berisi preparat dalam masing-masing pelarut alkohol absolut I dan II, xylol I dan II, alkohol 80, alkohol 95, litium karbonat, dan eosin. Selanjutnya preparat tersebut siap diperiksa menggunakan mikroskop cahaya dan dilakukan pemotretan di bawah mikroskop mikrofotografi. 2 Penentuan Kadar Malondialdehyde Hati Kelinci Pengukuran kadar malondialdehyde MDA dilakukan mengikuti prosedur Singh et al. 2002. Sekitar 2,5 gram hati yang telah dicacah keadaan dingin ditambahkan ke dalam 10 ml larutan PBS phosphat buffered saline yang mengandung 11,5 gl KCl. Selanjutnya dihancurkan dengan digerus, kemudian disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Sebanyak 2 ml supernatan hati kelinci ditambah 8,0 ml HCl 0,25 N dingin yang mengandung 15 TCA trichloroacetic acid, 0,38 TBA thiobarbituric acid, dan 0,5 BHT butylated hydroxytoluena. Campuran dipanaskan dalam water batch pada 80 o C selama 1 jam. Setelah dingin, campuran disentrifus pada 3000 rpm selama 15 menit. Absorbansi supernatan diukur dengan spektrofotometer pada 532 nm. Sebagai larutan standar digunakan TEP 1,1,3,3-tetraethoxypropane. Bila konsentrasi MDA rendah, menunjukkan adanya penghambatan terhadap oksidasi lipid oleh suatu antioksidan. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap RAL. Data karakteristik fisik-kimia produk Cu-turunan klorofil dianalisis secara statistika dengan analisis ragam ANOVA, sedangkan data profil lipid darah menggunakan analisis kovariat ANCOVA. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata, maka pengujian dilanjutkan dengan uji beda Duncan pada taraf 5 Steel dan Torrie 1993 untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Setiap perlakuan menggunakan 3 ekor kelinci 18 unit percobaan. Namun untuk menghindari adanya drop out mati, maka setiap perlakuan percobaan ini dicukupkan menjadi 5 kelinci. Model matematika dari rancangan ini adalah : Yij = μ + τi + βxij + εij , dimana i= 1, 2, ...a j = 1, 2, ...ni dimana: Yij : nilai peubah respon pada perlakuan ke-i observasi ke-j xij : nilai covariate pada observasi yang bersesuaian dengan Yij τi : pengaruh perlakuan ke-i β : koefisien regresi linier HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan dan Indikasi Terbentuknya Cu-turunan klorofil Daun Cincau Premna oblongifolia Merr. Pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil diawali dengan melakukan ekstraksi daun cincau hijau menggunakan etanol 95. Etanol digunakan karena relatif aman dibanding pelarut lain dietil eter, aseton, metanol, petroleum, dan eter. Pengekstrak etanol juga dapat memberikan nilai recovery yang tinggi, dan kemurnian klorofil Bianca 1993, Mahmud 1994, Alsuhendra 2004. Pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil menggunakan freeze dryer. Freeze dryer digunakan bila senyawa zat bioaktif yang terkandung dalam bahan, akan mengalami degradasi bila menggunakan sistem pengering yang lain spray dryer. Ferruzzi et al. 2005 melaporkan efek pemanasan terhadap degradasi klorofil komersial. Pemanasan Sodium Copper Chlorophyllin SCC 500 ppm antara suhu 25 o C dan 100 o C akan mengalami penurunan absorbansi pada 627 nm. Pada hasil analisis dengan HPLC ditunjukkan bahwa terjadi kehilangan CuII chlorin e 4 komponen mayor dalam SCC. Sebelum ekstrak Cu-turunan klorofil dikeringkan, terlebih dahulu ditambahkan dekstrin 3. Tujuan penggunaan dekstrin ini adalah untuk mempersingkat waktu pengeringan, dan menghasilkan performa produk yang relatif bagus. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa ekstrak Cu- turunan klorofil yang dikeringkan tanpa menggunakan dekstrin, produknya lengket pada wadah bubuk tidak terbentuk, dan warnanya hijau kehitam- hitaman. Hal ini berarti bahwa semakin kecil konsentrasi dekstrin di bawah 3, performa produk relatif kurang optimal. Alasan penambahan Cu pada ekstrak turunan klorofil adalah untuk mempertahankan kestabilan warna hijau klorofil dan meningkatkan kelarutan maupun pH dari produk bubuk yang dihasilkan. Dibandingkan dengan Zn, Cu mempunyai afinitas yang lebih tinggi untuk bergabung dengan ligan. Namun Cu dalam konsentrasi yang berlebih dapat berubah menjadi prooksidan Hanna et al.1993, Hamada 1995. Konsumsi Cu perhari yang diizinkan adalah maksimal 3 mghari BPOM 2004. Syarat ini relatif lebih rendah dibanding Tolerable Upper Intake Levels ULnya yaitu 10 mghari. Dosis ini tidak berbahaya, kecuali dapat menyebabkan diare. Pada penelitian Pratt et al. 1985 dalam DiSilvestro 2005 dilaporkan bahwa selama 12 minggu penelitian, dosis 10 mghari tidak menimbulkan gejala fisikal dan kimia klinis yang nyata. Indikasi terikatnya tembaga pada turunan klorofil dapat ditinjau dari segi fisika dan kimia. Indikasi dari segi fisik adalah terbentuknya warna hijau, sedangkan dari segi kimia dapat dilihat dari adanya pergeseran panjang gelombang pada absorpsi maupun fluoresensi cahaya, seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Panjang gelombang dari produk bubuk klorofil Panjang gelombang nm Konsentrasi Cu dalam bubuk ekstrak ppm Absorpsi Fluoresensi 0 ppm 663,24 674,91 100 ppm 660,19 673,93 Absorpsi cahaya optimum pada daerah merah oleh bubuk klorofil alami Cu 0 ppm terjadi pada panjang gelombang yang lebih tinggi yaitu pada 663,24 nm, sedangkan bubuk Cu-turunan klorofil Cu 100 ppm pada 660,19 nm. Pada Gambar 12 tampak bahwa terjadi penurunan daya absorpsi dari bubuk Cu- turunan klorofil dibanding klorofil alami. Hal yang sama juga terjadi pada daya fluoresensi, dimana bubuk Cu-turunan klorofil alami mengalami penurunan daya fluoresensi optimum Gambar 13. -0.1 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 250 500 750 1000 1250 Panjang gelombang nm A b sor b an si Cu0 Cu-100 Gambar 12 Absorpsi bubuk klorofil alami dan bubuk Cu-turunan klorofil 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 250 500 750 1000 1250 Panjang gelombang nm Fl uor e sens i Cu0 Cu100 Gambar 13 Fluoresensi bubuk klorofil alami dan bubuk Cu-turunan klorofil Indikator di atas juga diperkuat oleh data spektrum infra red IR. Berdasarkan spektrum pada Gambar 14 tampak bahwa ada perbedaan jumlah pik puncak antara bubuk ekstrak klorofil daun cincau dengan Cu 0 mgl dan Cu 100 mgl. Hal ini ditandai dengan munculnya pik baru atau terjadi pergeseran bilangan gelombang pada bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil 100 mgl Cu. Pik baru yang ditemukan adalah pada bilangan gelombang 1283,63 cm - , dan pik tersebut tidak muncul pada bubuk klorofil dengan Cu 0 mgl. Hasil ini agak berbeda seperti yang dilaporkan oleh Petrovic et al. 2006, bahwa bilangan gelombang vibrasi pada atom C13 3 yang mengikat O atau ditulis V as C13 3 -O dari ester adalah 1288,51cm - dari senyawa Cu-klorofil. Penelitian Petrovic et al. 2006, menggunakan daun bayam sebagai sumber klorofil hasil isolasi, sedangkan pada penelitian ini menggunakan klorofil dari daun cincau, tanpa isolasi. Heavy metal complexes Chl–HMS dapat dibuat dengan pemanasan klorofil dan direaksikan dengan garam-garam logam dalam suasana asam atau larutan organik. Asidifikasi larutan klorofil dengan HCl dan diikuti oleh penambahan larutan logam berat untuk membentuk Chl–HMS. Adanya pergeseran panjang gelombang ke arah biru, menunjukkan telah terbentuknya formasi Cu-chl dan diikuti oleh nilai koefisien absorpsi menurun secara signifikan dibandingkan dengan klorofilnya sendiri alami Zvezdanovi ć et al. 2007, dan Petrovi et al. 2006. Kepastian tentang turunan klorofil yang mengikat Cu tidak diuji pada penelitian ini, namun besar kemungkinan turunan klorofil yang dimaksud adalah feofitin pheophytin, sehingga yang terbentuk adalah kompleks Cu-feofitin yang berwarna hijau terang. Mortensen 2006 menyatakan bahwa Cu dapat membentuk kompleks dengan feofitin. Kompleks ini sering disebut sebagai Cu- klorofil atau kompleks Cu-klorofil atau tidak lain adalah Cu-feofitin. A B Gambar 14 Spektra infra red IR bubuk ekstrak klorofil daun cincau dengan Cu 0 mgl A, dan Cu 100 mgl B Pada penelitian ini sistem ekstrak klorofil diasamkan menggunakan HCl 1N hingga pH 5,5. Hal ini dapat menyebabkan Mg akan lepas dari klorofil alami, dan akan diganti oleh hidrogen, yang nantinya akan berwarna coklat feofitin, tetapi karena pH dinaikkan secara perlahan hingga menjadi 8,5, maka pada kondisi ini sesungguhnya H dan atau sisa Mg sendiri, akan kalah bersaing dengan Cu untuk terikat pada cincin porfirin, sehingga feofitin tidak terjadi secara permanen. Buktinya bubuk Cu-turunan klorofil yang terbentuk berwarna hijau terang, dan bukan berwarna coklat Gambar 17. Cincin porfirin adalah cincin yang mengikat empat atom N, dimana atom N tersebut mengikat atom Mg pada klorofil alami, seperti tampak pada Gambar 1 sebelumnya. Berdasarkan nilai elektronegativitasmya, maka Cu akan relatif lebih mudah terikat pada cincin porfirin dari pada Mg, karena Cu mempunyai keelektronegatifan yang lebih tinggi yaitu 1,9, sedangkan Mg hanya 1,31 Oxtoby et al. 2001. Cu menggantikan posisi Mg yang secara alami memang terdapat pada struktur kimia klorofil. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah turunan klorofil feoforbida. Feoforbida terbentuk bila gugus fitol pada feofitin atau Cu-feofitin terlepas, sehingga akan terbentuk Cu-feoforbida. Senyawa feoforbida dapat dibuat dengan mereaksikan klorofil dengan asam pekat HCl 30 Gross 1991 atau setara dengan 3 x 10 5 mgl atau dikonversi menjadi 8,22 N, tetapi konsentrasi asam yang digunakan pada penelitian ini hanya 1N, sehingga kecil kemungkinan terbentuknya feoforbida. Pada sisi yang lain, Hutchings 1994 melaporkan bahwa pada kondisi asam dan temperatur tinggi atom magnesium diganti oleh hidrogen membentuk feofitin. Pada temperatur kira-kira 60 sampai 80 o C, aktivitas klorofil meningkat membentuk klorofilid hijau. Klorofilid merupakan senyawa yang berwarna hijau masih mengikat Mg, dan mempunyai sifat spektral yang sama dengan klorofil, tetapi larut dalam air. Klorofilida dapat terjadi bila klorofil terhidrolisis pada suasana asam atau basa atau ada aktivitas klorofilase. Jadi diduga bahwa klorofilid juga telah terjadi, karena penelitian ini pada awalnya bekerja pada suasana asam dan basa. Klorofilase adalah enzim yang terdapat dalam jaringan tanaman hijau Gross 1991. Enzim ini akan aktif pada suhu kamar, jika dalam pelarut-pelarut organik. Dalam pelarut air, klorofilase akan berperan optimum pada kisaran suhu 65- 75 o C. Tetapi kemungkinan hal ini relatif sulit terjadi karena pada penelitian ini tidak menggunakan pelarut air, tetapi menggunakan pelarut etanol 95, dan dalam suasana suhu kamar. Jadi berdasarkan pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar Cu terikat dengan porfirin dalam bentuk Cu-feofitin, yang karakternya berbeda dengan feofitin sesungguhnya. Kalaupun ada feoforbida, dan klorofilid yang terbentuk, maka jumlahnya adalah relatif kecil. Karakteristik Fisiko-kimia Bubuk Cu-turunan klorofil dari Berbagai Konsentrasi Cu Bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil mengandung tembaga yang kadarnya berbeda, yaitu masing-masing 0, 50, 100, dan 150 mgl. Untuk menentukan bubuk ekstrak yang akan dipilih untuk bahan intervensi pada hewan percobaan kelinci, maka dilakukan uji karakteristik fisiko-kimia utama antara lain: rendemen, pH, kelarutan, dan warna. Khusus untuk uji warna digunakan parameter antara lain: tingkat kecerahan atau whiteness W, kehijauan atau greeness G, dan kekuningan atau yellowness Y. Hasil uji rendemen, pH, dan kelarutan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Rata-rata rendemen, pH, dan kelarutan bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil Bubuk dengan kadar Cu mgl Rendemen pH Kelarutan 0 13,95±007 a 4,53 ± 0,04 a 91,07 ± 0,11 a 50 14,10±0,14 a 7,53 ± 0,09 bc 92,57 ± 0,08 b 100 14,20±0,14 ab 7,64 ± 0,12 c 98,04 ± 0,36 c 150 14,45±0,07 b 7,28 ± 0,15 b 98,26 ± 0,59 c Angka dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0,05 Rendemen Rendemen dihitung berdasarkan jumlah massa gram bubuk Cu-turunan klorofil mengandung dekstrin yang diperoleh dibandingkan dengan berat daun cincau hijau yang digunakan untuk membuat ekstrak. Pada Tabel 8 tampak bahwa bubuk kontrol Cu 0 mgl memiliki rendemen yang paling rendah 13,95 dibanding bubuk ekstrak lainnya. Sedangkan produk yang ekstraknya mengandung Cu 150 mgl memiliki rendemen yang tertinggi 14,20, walaupun tidak berbeda nyata p 0,05 dengan produk bubuk yang ekstraknya mengandung Cu 100 mgl Lampiran 15. Terjadinya perbedaan rendemen ini diduga karena adanya perbedaan kandungan Cu dari produk bubuk yang dihasilkan. Hasil rendemen ini relatif sama dengan hasil penelitian Alsuhendra 2004 yang menggunakan Zn-turunan klorofil, yaitu 14,3 pada konsentrasi Zn 100 ppm dalam ekstrak klorofil daun singkong. pH pH menunjukkan tingkat keasaman suatu produk. pH akhir dari produk ekstrak Cu-turunan klorofil yang dihasilkan adalah 8,5. Pengukuran pH produk bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil dilakukan setelah pengeringan produk menggunakan freeze dryer. Pada Tabel 8 tampak bahwa produk dengan konsentrasi Cu 0 mgL memiliki pH paling rendah, dan berbeda nyata p 0,05 dengan produk lainnya Lampiran 16. Produk dengan kadar Cu 100 mgl memiliki pH paling tinggi yaitu 7,64. Hal ini menunjukkan bahwa produk tersebut relatif lebih stabil atau lebih mampu menahan penurunan pH selama proses pengolahan pengeringan, sedangkan produk ekstrak dengan kandungan Cu 150 mgl memiliki pH 7,28, dan berbeda nyata p 0,05. Penurunan pH dapat disebabkan karena suatu produk berinteraksi dengan CO 2 yang ada di udara sesudah pengeringan. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan pernyataan LaBorde dan von Elbe 1994 dalam Alsuhendra 2004, bahwa penambahan beberapa bahan yang bersifat alkali pada sayuran dapat mempertahankan warna hijau klorofil karena terjadinya kenaikan pH, dimana pada pH tinggi, stabilitas klorofil juga relatif tinggi. Kelarutan Kelarutan menunjukkan banyaknya bagian dari suatu produk yang dapat larut dalam suatu pelarut dengan volume tertentu. Pada Tabel 8 tampak bahwa kelarutan dalam air cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi Cu yaitu berkisar antara 91,07 hingga 98,26. Hasil kelarutan produk ini relatif lebih tinggi dibanding hasil penelitian Alsuhendra 2004 yang menggunakan ekstrak klorofil daun singkong dengan zat pengompleks Zn 100 mgl yaitu antara 89,4 hingga 90,7 dengan sistem pengeringan spray dryer. Produk dengan penambahan Cu 0 ppm memiliki kelarutan paling rendah yaitu 91,07. Rendahnya kelarutan ini diduga karena Mg 2+ yang terlepas dalam sistem larutan konsentrasinya relatif rendah, sehingga kemampuan pengikatan molekul klorofil dari produk ini dengan dekstrin dan air menjadi turun. Produk dengan penambahan Cu 150 mgl memiliki kelarutan paling tinggi, namun tidak berbeda nyata p 0,05 dengan Cu 100 mgl Lampiran 17. Tingginya kelarutan ini diduga karena banyaknya Cu yang tidak terikat terlepas pada cincin tetrapirol, sehingga dalam larutan berubah menjadi Cu 2+ yang mempunyai kelarutan tinggi. Warna Uji warna ini dilakukan untuk menentukan tingkat kecerahan whiteness, kehijauan greeness, dan tingkat kekuningan yellowness dari produk bubuk Cu- turunan klorofil menggunakan kromameter. Uji warna dilakukan sebelum dan sesudah pemanasan pada suhu 105 o C. Datanya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-rata nilai uji warna bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil, sebelum dan sesudah pemanasan Nilai Uji Warna Sebelum dipanaskan Sesudah dipanaskan Cu 2+ mgL W G Y W G Y 0 36,82±0,03 d -4,31±0,43 c 12,47±0,27 d 37,09±0,02 d -3,93± 3,48 a 12,44 ± 0,07 d 50 28,42±0,06 a -5,99±0,04 b 8,18±0,03 a 29,67±0,05 a -5,86 ± 0,02 a 8,75 ± 0,02 a 100 32,88±0,01 c -8,83±0,04 a 11,20±0,03 c 33,05±0,04 c -7,74 ± 0,03 a 11,04 ± 0,00 c 150 32,12±0,01 b -8,44±0,04 a 10,61±0,04 b 32,39±0,01 b -7,55± 0,05 a 10,21 ± 0,06 b Angka dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0,05 W = kecerahan whiteness; G = tingkat kehijauan greeness dengan tanda + berarti merah, dan - adalah hijau; Y = tingkat kekuningan yellowness, dengan tanda + berarti kuning, dan - adalah biru 1. Tingkat Kecerahan W Pada Tabel 9 tampak produk bubuk dengan konsentrasi Cu 0 mgl mempunyai tingkat kecerahan yang tertinggi yaitu sebesar 36,82, namun tingkat kehijauannya paling rendah di antara semua produk bubuk. Tingginya tingkat kecerahan bubuk yang mengandung Cu 0 mgl dapat dipahami karena memang awalnya produk tersebut berwarna coklat-terang. Tingkat kecerahan tertinggi berikutnya adalah produk bubuk dengan konsentrasi Cu 100 mgl. Pada Tabel tersebut juga tampak bahwa semua produk bubuk berbagai konsentrasi Cu mengalami kenaikan tingkat kecerahan, setelah dipanaskan pada suhu 105 o C, dan berbeda nyata di antara semua perlakuan Lampiran 18. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya penguapan pelarut. 2.Tingkat Kehijauan G Pada Tabel 9 tampak bahwa sebelum pemanasan pada 105 o C, produk bubuk Cu 2+ 100 mgl, tingkat kehijauannya relatif tinggi dibanding konsentrasi Cu 2+ yang lain, namun tidak berbeda nyata dengan Cu 2+ 150 mgl Lampiran 19, baik sebelum maupun sesudah dipanaskan Gambar 15 dan 16. Cu 2+ 0 mgl Cu 50 mgl Cu 100 mgL Cu 150 mgl Gambar 15 Warna bubuk Cu-turunan klorofil sebelum dipanaskan Cu 0 mgl Cu 50 mgl Cu 100 mgl Cu 150 mgl Gambar 16 Warna bubuk Cu-turunan klorofil setelah dipanaskan Nilai tingkat kehijauan produk bubuk sebelum pemanasan lebih tinggi dibandingkan dengan produk sesudah pemanasan. Produk kontrol Cu 2+ 0 mgl mempunyai tingkat kehijauan yang paling rendah. Hal ini menunjukkan penambahan Cu 2+ relatif dapat mempertahankan tingkat kehijauan produk yang dihasilkan, karena adanya ikatan antara Cu 2+ dengan turunan klorofil feofitin yang relatif kuat. Perubahan tingkat kehijauan produk bubuk Cu-turunan klorofil Cu 100 mgl setelah pemanasan jauh lebih rendah dibanding bubuk Zn-turunan klorofil daun singkong Zn 2+ 100 mgl yang dilakukan oleh Alsuhendra 2004. Hasil penelitiannya menunjukkan penurunan tingkat kehijauan bubuk Zn-turunan klorofil sebesar 5,60 poin, setelah dipanaskan pada temperatur 105 o C. Hal ini berarti bahwa kadar klorofil dalam bubuk juga menurun. Terjadinya penurunan tingkat kehijauan yang relatif besar, diduga terkait dengan rendahnya afinitas Zn terhadap porfirin dibanding Cu. Dalam hubungannya dengan klorofil alami, Faboya 2006 melaporkan bahwa pada suhu sekitar 100 o C pada pH 6, total klorofil akan hilang paling sedikit 56. Namun pada penelitian ini tidak dilaporkan adanya tambahan mineral logam tertentu, selain Mg yang secara alami memang terkandung pada klorofil tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan tingkat kehijauan bubuk Cu- turunan klorofil relatif kecil, hanya sebesar 1,09 poin. Hal ini menunjukkan bahwa logam pengelat Cu relatif lebih stabil dalam mempertahankan tingkat kehijauan klorofil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cheng et al., 1982, serta Mahan dan Stump 2004, bahwa Cu mempunyai tingkat stabilitas atau keelektronegatifan yang lebih tinggi untuk berikatan dengan ligan yang kaya elektron dibanding Zn sebagai berikut adalah: PtPdNiCoCuFeZnMnMgCdSnHgPbBa. 2. Tingkat Kekuningan Y Pada Tabel 8 tampak produk bubuk dengan konsentrasi Cu 100 mgl mempunyai tingkat kekuningan yang berbeda nyata dengan Cu 50 mgl, 150 mgl, Lampiran 20. Pada Tabel tersebut tampak bahwa tingkat kekuningan relatif berfluktuasi seiring dengan meningkatnya konsentrasi Cu dalam produk bubuk. Warna kuning-hijau menunjukkan klorofil b yang lebih polar, sedangkan bila berwarna biru-hijau menunjukkan klorofil a yang kurang polar Gross 1991. Hasil Uji Proksimat, dan Serat Kasar, Bubuk Cu-turunan klorofil Terpilih Berdasarkan uji karakterisasi fisiko-kimia di atas, tampak bahwa produk bubuk ekstrak klorofil daun cincau hijau yang mempunyai tingkat kehijauan, kelarutan, dan pH yang tinggi adalah produk ekstrak dengan konsentrasi Cu 100 mgl. Berdasarkan hal tersebut, maka produk bubuk ini akan digunakan sebagai bahan intervensi terhadap hewan percobaan kelinci untuk mempelajari efektivitasnya sebagai penurun kolesterol, antioksidan, dan antiaterosklerosis. Kadar gizi, dan serat kasar bubuk klorofil tersebut tampak pada Tabel 10. Bila dibandingkan dengan hasil uji proksimat daun cincau Tabel 1, terlihat bahwa kadar protein dan serat kasar bubuk Cu-turunan klorofil adalah relatif rendah, namun kadar lemaknya relatif tinggi. Rendahnya kadar serat kasar bubuk Cu-turunan klorofil, dapat disebabkan karena dalam proses pembuatannya mengalami beberapa kali penyaringan, baik menggunakan kain saring halus, dan kertas saring Whatman No. 1 dan 42. Tabel 10 Kadar zat gizi, serat kasar bubuk Cu-turunan klorofil Parameter Kadar Protein 0,89 Lemak 7,11 Abu 2,63 Air 6,93 Karbohidrat 82,44 β-karoten mg100 g 3,38 Serat kasar 3,31 Hasil Uji Kualitatif Zat Fitokimia Bubuk Cu-turunan klorofil dan Klorofil Komersial Uji fitokimia ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis zat bioaktif lain dalam bubuk klorofil yang dibuat, maupun bubuk klorofil komersial sebagai pembanding. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil mengandung 5 zat fitokimia yang dominan antara lain: alkaloid, saponin, tanin, steroid, dan glikosida, sedangkan bubuk klorofil komersial hanya mengandung zat fitokimia utama yaitu alkaloid, dan steroid Tabel 11. Tabel 11 Hasil analisis fitokimia kualitatif bubuk Cu-turunan klorofil Cu 2+ 100 mgl dan bubuk klorofil komersial Komponen Bubuk Cu-turunan klorofil daun cincau Bubuk klorofil komersial Alkaloid ++++ ++++ Saponin ++++ ++ Tanin ++++ - Fenolik - + Flavonoid - + Triterpenoid - - Steroid ++++ ++++ Glikosida ++++ ++ Keterangan: Hasil negatif = - Hasil positif lemah = + Hasil positif kuat = ++ Hasil positif kuat sekali= +++ Hasil positif sangat kuat= ++++ Bubuk klorofil komersial juga sedikit mengandung fenolik, dan flavonoid, yang tidak dipunyai oleh bubuk Cu-turunan klorofil. Tetapi klorofil komersial tidak mengandung tanin seperti halnya bubuk Cu-turunan klorofil. Kandungan tanin dalam bubuk Cu-turunan klorofil cincau mempunyai nilai tambah tersendiri. Tanin dapat digunakan untuk membunuh bakteri baik pada Streptococcus pyogenes maupun Pasteurella multocida in vitro Siswantoro 2008. Kadar Klorofil Bubuk Klorofil Alami, Cu-turunan klorofil, dan Klorofil Komersial Kadar klorofil dari produk yang dibuat ini, dibandingkan dengan kadar klorofil alami dan komersial seperti tampak pada Tabel 12. Pada Tabel tersebut tampak bahwa bubuk klorofil komersial BKK mempunyai kadar klorofil tertinggi, dibanding bubuk Cu-turunan klorofil BCTK, dan bubuk klorofil alami BKA. Adanya kadar klorofil yang relatif berbeda ini, juga ditunjukkan oleh warna produk bubuk dimana intensitas warna hijau juga berbeda seperti tampak pada Gambar 17. Penentuan kadar klorofil dari produk bubuk ini menggunakan metode spektrofotometri. Kusharto et al. 2008 melaporkan kadar klorofil daun cincau hijau Premna oblongifolia Merr. adalah sekitar 1709 mgkg. Namun setelah daun cincau hijau tersebut diekstrak dengan etanol 95 dan diberikan bahan pengisi dekstrin, selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer, kandungan klorofilnya meningkat, yaitu sekitar 3986 mgkg. Hal ini terjadi karena adanya pemekatan sebagai akibat dari penguapan pelarut. Tabel 12 Kadar klorofil berbagai produk klorofil atau turunan klorofil Produk Bubuk Kadar Klorofil mgkg Klorofil alami P2 2736 Cu-turunan klorofil P3 3986 Cu-turunan klorofil P4 = 3P3 11958 Klorofil komersial P5 5328 A B C Gambar 17 Bubuk klorofil komersial A, bubuk Cu-turunan klorofil B, dan bubuk klorofil alami C Uji Biologis Uji biologis ini menggunakan hewan percobaan kelinci. Alasan penggunaan hewan percobaan kelinci dalam penelitian ini, karena kelinci mempunyai daya absorpsi yang relatif tinggi terhadap kolesterol Beynen 1988, sehingga jangka waktu untuk mencapai tingkat kolesterol yang tinggi adalah relatif cepat Jokinen et al. 1995. Hal ini diperkuat oleh penelitian Marliyati 2005 yang memberikan kolesterol 0,2 perhari dalam jangka waktu dua bulan kepada masing-masing kelinci dan tikus. Hasilnya dilaporkan bahwa pada kelinci ditemukan adanya lesiplak aterosklerosis, sedangkan pada tikus tidak ditemukan adanya hal tersebut. Hal ini berarti bahwa tingkat absorpsi kolesterol kelinci adalah relatif tinggi dibanding tikus, atau tikus cenderung lebih resisten terhadap pembentukan lesi aterosklerosis. Tingkat absorpsinya tampak pada Tabel 13. Finking 2003 juga melaporkan bahwa arteri kelinci yang mengalami aterosklerosis juga sangat mirip seperti yang terjadi pada manusia. Pemilihan kelinci jantan pada penelitian ini adalah untuk menghindari adanya pengaruh hormon estrogen, seperti yang dimiliki oleh kelinci betina atau secara umum mahluk hidup berkelamin betina atau perempuan, sehingga pengukuran kolesterol dan atau kadar MDA tidak bias. Refici Khachadurian 1992 melaporkan bahwa hormon estrogen memiliki aktivitas antioksidan, yang diketahui hal tersebut dapat menghambat terjadinya LDL teroksidasi. Selain itu estrogen diketahui dapat menghambat perkembangan awal aterosklerosis dengan mengurangi pembentukan sel busa pada makrofag yaitu dengan mengurangi penangkapan lipoprotein melalui lintas reseptor pembersih Sulistiyani Clair 1997. Tabel 13 Daya absorpsi kolesterol berbagai jenis hewan Beynen 1988 Hewan Absorpsi kolesterol Rhesus monkey 51 Swine babi 49 Rat tikus besar 52 Kelinci 77 Anjing 80 Guinea pig babi 53 Hamster 54 Tahap penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil daun cincau, dan dikontrol oleh klorofil alami, maupun bubuk klorofil komersial terhadap profil lipid darah kelinci yaitu kolesterol total, trigliserida, kolesterol-HDL, dan kolesterol-LDL. Parameter lain yang akan diuji adalah kadar klorofil dalam serum, kadar MDA pada hati. Pengujian terakhir adalah variabel terikat dari penelitian ini adalah pencegahan pembentukan lesi aterosklerosis. Profil lipid darah kelinci percobaan

1. Kolesterol Total