19 alkaloid merupakan salah satu senyawa kimia tumbuhan yang mendominasi daun tembakau.
Sementara itu, secara kualitatif pula dapat dilihat bahwa sampel B mengandung alkaloid yang lebih tinggi dibandingkan sampel A dengan adanya perubahan warna pada pengujian kimia yang
tampak lebih jelas Gambar 3. Tabel 5. Hasil uji fitokimia ekstrak etanol daun tembakau sampel A dan B
Pengujian Hasil
Sampel A Sampel B
Alkaloid -
Meyer -
Wagner -
Dragendrof ++++
++++ ++++
+++++ +++++
+++++ Flavonoid
+++ +++
Terpenoid +++
+++ Steroid
++++ -
Gambar 3. Hasil uji alkaloid Senyawa alkaloid adalah senyawa alami amina yang bersifat basa yang mengandung satu
atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik Harborne 1993. Menurut Andersen et al. 1991, senyawa alkaloid pada tembakau adalah penentu aroma yang terkait dengan kualitas
tanaman tembakau. Senyawa tersebut didominasi oleh nikotin hingga 95 Shen et al. 2006 yang bersifat karsinogenik. Senyawa alkaloid lainnya yang juga terkandung dalam tembakau
adalah nornikotin dan anabasin yang dapat menimbulkan kecanduan apabila dikonsumsi Nugroho et al. 2002.
Pada tembakau, nikotin yang terkandung di dalamnya digunakan sebagai zat pertahanan diri dari serangan lingkungan Wink 1998. Oleh karena itu, produksi nikotin semakin meningkat
saat tanaman mulai mengalami kerusakan. Produksi nikotin mencapai kondisi maksimum ketika selang waktu 9 hari setelah terjadi kerusakan awal Baldwin 1989. Hal tersebut dibuktikan juga
oleh penelitian Misuzaki et al. 1973 yang menyatakan bahwa pemangkasan daun tembakau menyebabkan peningkatan produksi nikotin oleh tembakau. Dengan demikian, kondisi tersebut
sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak sampel B memiliki kadar alkaloid yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak sampel A. Telah diketahui bahwa sampel B
merupakan daun tembakau dengan karakteristik fisik yang banyak mengalami luka akibat letaknya pada bagian bawah batang tanaman sehingga lebih rentan mengalami gangguan dari
Keterangan: +
: sangat rendah ++
: rendah +++
: sedang ++++
: tinggi +++++
: sangat tinggi
Sampel A
Meyer Wegner
Dragendof
Sampel B
20 lingkungannya. Dengan demikian, diduga daun tersebut sampel B memproduksi nikotin yang
tergolong alkaloid lebih banyak sebagai bentuk pertahanan diri terhadap lingkungannya. Senyawa nikotin yang tergolong alkaloid tersebut telah diujikan kemampuan aktivitas
antibakterinya terhadap beberapa strain bakteri oleh Pavia et al. 2000. Adanya nikotin dalam media cair yang di dalamnya ditumbuhkan bakteri S. aureus, E. coli, Mycobcterium phlei, dan
Viridians streptococci dapat menghambat pertumbuhan bakteri secara berurutan pada konsentrasi minimum 10, 10, 0, dan 0. Kemampuan aktivitas antibakteri oleh
ekstrak nikotin daun tembakau ditunjukkan dengan adanya penurunan total bakteri uji dalam media cair cguml.
Senyawa kimia lainnya yang terdapat pada tumbuhan adalah flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan
berbentuk aglikol maupun terikat pada gula sebagai glikosida Middleton dan Chitan 1994. Pada pengujian fitokimia senyawa flavonoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A
dan B, ditunjukkan terjadinya perubahan warna reaksi menjadi merah Gambar 4. Hal itu menjadi dasar pendugaan adanya senyawa flavonoid pada daun tembakau yang kadarnya
tergolong sedang untuk kedua jenis sampel. Dugaan tersebut sesuai dengan penelitian oleh Fathiazad et al. 2006 yang berhasil membuktikan adanya flavonid pada daun tembakau. Jenis
flavonoid yang berhasil diisolasi tersebut adalah rutin. Rutin dapat berfungsi mengobati diabetes Grinberg et al. 1994, meregenerasi sel, serta bersifat anti tumor Sambantham 1985. Rutin
juga dapat dipakai untuk pewarna makanan dan minuman Evans 1996.
Gambar 4. Hasil uji flavonoid Kelompok fenol yang mencakup senyawa flavonoid diketahui memiliki aktivitas antibakteri
terhadap bakteri S. aureus, E. coli, dan B. subtilis. Zona hambat yang terbentuk pada media tumbuh ketiga bakteri tersebut di media agar oleh polifenol dengan konsentrasi 1 mg ml secara
berurutan adalah 17.7 mm, 20.2 mm, dan 12.9 mm. Steroid dan terpenoid juga ditemukan sebagai senyawa fitokimia dalam ekstrak etanol daun
tembakau sampel A yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna keunguan dan hijau pada pengujian fitokimia Gambar 5. Sementara itu, pada ekstrak etanol daun tembakau sampel B
tidak ditemukan adanya steroid. Adanya dugaan senyawa steroid dan terpenoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A sesuai dengan karakteristik warna dan aromanya. Ekstrak etanol
daun tembakau sampel A berwarna hijau, selaras dengan sifat steroid yang berwarna hijau Cowan 1999. Selain itu, aromanya juga khas, sesuai dengan sifat steroid yang tergolong
terpenoid, yaitu komponen minyak atsiri yang memiliki kekhasan aroma Gunta et al. 1985. Hal itu berbeda dengan ekstrak etanol daun tembakau sampel B yang berwarna coklat dan tidak
beraroma khas sehingga diduga tidak mengandung steroid dan telah dibuktikan melalui pengujian fitokimia secara kualitatif.
Sampel A
Sampel B
21 Gambar 5. Hasil uji steroid dan terpenoid
Kandungan terpenoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A dan B tergolong sedang berdasarkan penilaian kualitatif, sedangkan steroid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A
tergolong kuat. Hal itu menunjukkan bahwa steroid merupakan senyawa yang menyusun sebagian besar komponen terpenoid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel A. Sementara
itu, tidak adanya kandungan steroid pada ekstrak etanol daun tembakau sampel B pada pengujian fitokimia menunjukkan pula bahwa senyawa terpenoid dalam kandungan ekstrak tersebut diduga
tersusun atas senyawa selain steroid. Senyawa steroid dan terpenoid yang tergolong komponen minyak atsiri telah dibuktikan
kemampuan antibakterinya terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa pada konsentrasi 1 mgml Palic et al. 2002. Diameter zona hambat yang terbentuk pada konsentrasi tersebut
terhadap bakteri uji secara berurutan adalah 15.2 mm, 15.0 mm, dan 15.2 mm.
C. AKTIVITAS ANTIBAKTERI
EKSTRAK DAUN
TEMBAKAU TERHADAP BAKTERI
S. aureus DAN E. coli
Pengujian aktivitas antibakteri oleh ekstrak daun tembakau dapat dilakukan dengan mengukur daya hambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli. Hal itu dapat diketahui
melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada agar yang diisikan ekstrak sampel. Pengukuran itu bertujuan mengetahui potensi senyawa bioaktif pada
ekstrak daun tembakau dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Hasil penelitian tentang parameter aktivitas antibakteri pada ekstrak etanol daun tembakau
yang dapat disajikan hanya untuk sampel A yaitu daun tembakau yang dipetik dari batang tembakau bagian atas dan tengah. Sementara itu, pengujian parameter daya aktivitas antibakteri
terhadap ekstrak etanol daun tembakau sampel B pada tahap penelitian ini tidak diuji lanjut karena data yang diperoleh kurang layak sedangkan kendala waktu tidak memungkinkan untuk
melakukan pengujian ulang. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun tembakau sampel A dilakukan dengan
mengukur diameter zona hambat pada berbagai konsentrasi ekstrak etanol 20 bv, 40 bv, 60 bv, 80 bv, dan 100 bv sehingga diperoleh nilai daya hambat tumbuh bakteri. Zona
hambat tersebut berupa zona bening yang merupakan zona yang tidak ditumbuhi oleh bakteri. Selain itu digunakan pula kontrol positif tetrasiklin dan kontrol negatif DMSO. Tetrasiklin
yang digunakan dalam penelitian ini tergolong senyawa antibiotik yang menghambat bakteri dengan cara merusak mekanisme sintesis protein pada sel bakteri. Penggunaan tetrasiklin sebagai
kontrol positif tersebut dikarenakan daya spektrum menghambatnya yang luas yaitu terhadap bakteri Gram negatif dan positif Fardiaz et al. 1987. Sementara itu, pengunaan DMSO sebagai
pelarut dan kontrol negatif didasarkan atas sifatnya yang dapat melarutkan senyawa hidrokarbon
Sampel B Sampel A
22 Merck 1986 seperti senyawa bioaktif dalam daun tembakau tanpa berpengaruh terhadap
pengujian aktivitas antibakteri ekstrak sampel. Perlakuan diberikan terhadap bakteri uji S. aureus Gram positif dan E. coli Gram negatif.
Kekuatan daya hambat terhadap bakteri tersebut dapat dinilai dari ukuran zona bening yang terbentuk yaitu daerah yang tidak ditumbuhi oleh bakteri Kusumaningjati 2009. Penentuan sifat
daya hambat bakteri pada penelitian ini didasarkan pada ketentuan Davis-Stout bahwa daya hambat bakteri tergolong sangat kuat bila bernilai 20 mm, kuat bila bernilai 10-20 mm, sedang
bila bernilai 5-10 mm, dan tergolong lemah bila bernilai 5 mm. Tabel 6 menunjukkan kekuatan aktivitas antibakteri oleh ekstrak etanol daun tembakau sampel A berdasarkan pengukuran
diameter zona hambat yang terbentuk pada pengujian daya hambat tumbuh bakteri. Tabel 6. Diameter zona hambat mm ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap bakteri
S. aureus dan E. coli
Perlakuan S. aureus
E. coli
Kontrol + Tetrasiklin 10 29.5
37 Kontrol - DMSO
Konsentrasi ekstrak 20 bv 4
4 Konsentrasi ekstrak 40 bv
6 6
Konsentrasi ekstrak 60 bv 6
6 Konsentrasi ekstrak 80 bv
7 8
Konsentrasi ekstrak 100 bv 7
8 Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa ekstrak etanol daun tembakau sampel A memiliki
kemampuan antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli dengan adanya zona hambat terbentuk Gambar 6. Pada konsentrasi 20, daya hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A
terhadap S. aureus dan E. coli tergolong lemah 4 mm. Sementara itu, daya hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap S. aureus dan E. coli tergolong sedang pada
konsentrasi 40-100 bv. Dengan demikian, ekstrak etanol daun tembakau pada rentang konsentrasi 20-100 bv tidak memiliki aktivitas yang kuat dalam menghambat bakteri S.
aureus maupun E. coli 5-10 mm. Hal itu dimungkinkan karena rentang konsentrasi 20 bv hingga 100 bv tersebut terlalu
rendah bagi senyawa antibakteri pada daun tembakau untuk bekerja optimal. Pada konsentrasi tersebut kemungkinan telah terbentuk kompleks protein dengan senyawa antibakteri melalui
ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian. Akibatnya senyawa antibakteri belum mampu mengkoagulasi protein serta melisis sel bakteri. Dengan demikian, daun tembakau lokal
asal Temanggung memiliki aktivitas antibakteri yang rendah, tidak sekuat daun tembakau jenis Prilep Palic et al. 2002 dan Oltja Stojanovic et al. 2000 dalam menghambat bakteri S. aureus
15.2 mm 15.0 mm maupun E. coli 15.4 mm 15.0 mm. Kemungkinan lainnya yang menjadi penyebab lemahnya daya hambat tumbuh bakteri S.
aureus dan E. coli oleh ekstrak etanol tembakau adalah faktor kemurnian konsentrasi ekstrak yang digunakan. Nilai konsentrasi ekstrak yang digunakan sebagai sampel uji diduga masih
mengandung air sehingga konsentrasi sebenarnya yang digunakan lebih rendah daripada nilai yang digunakan dalam pengujian. Dengan demikian, adanya kandungan air dalam ekstrak
berpengaruh negatif pada kemampuan hambat tumbuh bakteri S. aureus dan E. coli.
23 Nilai daya hambat tumbuh bakteri S. aureus dan E. coli oleh ekstrak etanol daun tembakau
menunjukkan nilai yang secara umum lebih rendah 10 mm bila dibandingkan dengan senyawa atsiri dan polifenol daun tembakau. Nilai daya hambat tumbuh bakteri oleh senyawa
atsiri daun tembakau jenis Prilep dapat mencapai 15.2 mm dan 15.0 mm terhadap bakteri S. aureus dan E. coli Palic et al. 2002. Sementara itu, nilai daya hambat tumbuh bakteri oleh
senyawa polifenol daun tembakau dapat mencapai 17.6 mm dan 20.2 mm terhadap bakteri S. aureus dan E. coli Wang 2008. Dengan demikian, penggunaan ekstrak kasar etanol daun
tembakau tidak mampu memberikan pengaruh aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan ekstrak yang telah dimurnikan menjadi flavonoid dan polifenol.
Hal itu berbeda dengan kontrol positif tetrasiklin 10 yang memberikan nilai diameter zona bening pada S. aureus dan E. coli sebesar 29 mm dan 37 mm yang keduanya memiliki
aktivitas antibakteri yang tergolong sangat kuat. Adanya ukuran diameter zona hambat bakteri oleh tetrasiklin sebagai kontrol positif dikarenakan keunggulannya sebagai antibiotik
berspektrum luas. Sementara itu, kontrol negatif DMSO tidak menunjukkan adanya zona bening yang berarti bahwa peranannya sebagai pelarut tidak berdampak pada pengaruh aktivitas
antibakteri ekstrak etanol daun tembakau. Data pada tabel 6 juga menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak 20-60 bv memiliki
aktivitas antibakteri yang sama terhadap kedua bakteri uji S. aureus dan E. coli. Pada konsentrasi yang tinggi 60-80 bv terlihat perbedaan daya hambat ekstrak terhadap kedua
jenis bakteri uji. Pada konsentrasi itulah, senyawa bioaktif ekstrak dapat berpenetrasi optimal ke dalam sel bakteri dan membuatnya lisis.
Gambar 6. Zona hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap bakteri S. aureus dan E. coli
Ekstrak etanol daun tembakau sampel A pada konsentrasi 80 bv dan 100 bv memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik terhadap E. coli 8 mm dibandingkan S. aureus 7 mm
berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk Gambar 6. Hal itu dipengaruhi oleh adanya sifat dinding sel bakteri Gram negatif E.coli yang lebih tipis 5-80 nm dibandingkan dengan
Gram positif 10-15 nm. Perbedaan ketebalan tersebut menyebabkan bakteri Gram negatif lebih mudah untuk dihambat aktivitasnya dengan cara merusak dinding sel bakteri Pelczar Chan
1998. Adanya aktivitas antibakeri pada pengujian ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap
S. aureus dan E. coli diduga dipengaruhi oleh kandungan senyawa antibakteri berupa komponen S. aureus
E. coli
20 40
60 20
40 60
100 60
80 100
60 80