Kerangka Teori Gereja sebagai Agen Sosialisasi dan Mobilisasi Suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun Tahun 2014

E. Kerangka Teori

1. Pemikiran Politik Kristen 1.1 Pemikiran Martin Luther Gerakan konsiliar adalah upaya Gereja Romawi untuk mengatasi korupsi dengan memberikan kekuasaan pengambilan keputusan yang sebelumnya hanya diberikan ke Paus semacam dewan council yang memliki wewenang untuk mereformasi struktur Gereja. Ada dua konsili yang diandalkan, yaitu: konsili constance pada periode 1414-1418 dan konsili Basel dari 1431-1439- tetapi tidak satupun yang efektif dalam melakukan perubahan sistematik 16 . Ketika struktur Ekklesiatikal tidak bisa mereformasi dirinya sendiri, muncul pemberontakan dari Gereja Romawi. Meski Martin Luther bukanlah yang pertama atau yang terakhir yang mendukung reformasi teologia dan politik, namun dia yang paling berpengaruh dalam memicu dan memenuhi Reformasi Protestan 17 16 John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 941 . Deklarasinya yang terkenal, Ninety-Five Theses pada tahun 1517 adalah serangan awal nya pada keserakahan paus, yang menurutnya sudah merusak Gereja baik secara teologies maupun politik. System keselamatan yang ditanamkan oleh elemen Gereja Barat untuk jaminan keselamatan hanya bagi yang mampu, telah memperkaya Pendeta dan memiskinkan orang beriman. 17 John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ibid. Hal. 942 Kontribusi Agama dan Politik Luther sifatnya Paralel: Individu dapat memahami Firman Tuhan secara langsung tanpa perantara. Gereja atau Negara tidak diisyaratkan untuk mengintervensi didalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena iman adalah personal dan internal, iman sejati tidak pernah bisa dipaksakan. Hanya perilaku yang benar yang bisa dipaksakan. Meskipun ada klaim Aristotelian dari Gereja, namun orang beriman tidak seharusnya mencari kebenaran agama melalui akal - meskipun orang punya kemampuan berfikir – tetapi melalui kemampuan untuk percaya 18 Luther menolak tradisi keagamaan katolik yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, yakni Hak istimewa pastor untuk membaca dan menafsirkan kitab suci. Menurut beliau, siapapun pengikut Kristus, bukan hanya pendeta, berhak membaca dan menafsirkan alkitab. Menurut Luther, sebenarnya semua orang itu adalah sama, namun yang membedakan hanya kebajikan dan iman yang mereka miliki. . Martin Luther mengatakan bahwa, Orang Kristen sendiri tidak perlu hukum karena mereka diatur langsung oleh Tuhan; namun, mereka hanya harus patuh dan mendukung pemerintah demi mengayomi orang- orang kafir. Pemerintah tercipta karena dunia penuh dengan kekacauan. Tujuan pemerintah adalah untuk menjaga ketertiban. Perhatian utama 18 John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ibid Martin Luther adalah pengajaran Kitab Suci, Pemberian Sakramen dan interpretasi doktrin harus dilindungi dari kekuasaan Negara. Tuhan adalah sumber etika dan moral, kehendak-Nya diwahyukan kepada individu melalui iman dan hal ini adalah proses yang sepenuhnya terpisah dari pemerintaha. Menurut Luther, kepatuhan kepada penguasa masih merupakan kewajiban orang beriman, sebab menurutnya, dunia adalah tempat yang jahat dan harus diperintah secara keras. 1.2 Sosialisasi Politik Sosialisasi politik adalah suatu proses, dimana seseorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi- persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Harry Eckstein menyatakan bahwa sosialisai politik merupakan sebuah proses dimana nilai-nilai, kognisi dan symbol dipelajari dan diimplementasikan dan melalui hal tersebut norma social operatif politik ditanamkan, peran politik diinstitusionalisasikan dan consensus politik diciptakan, entah itu secara efektif atau tidak 19 Gabriel Almond, menyatakan berhasil tidaknya fungsi sosialisasi politik mencapai sasaran, sangat bergantung kepada berperan tidaknya . 19 Hyman. Mass Media and Political Socization: Therole of Patterns of Comunication. Dalam John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1294 agen-agen sosialisasi politik mentransformasikan materi-materi politik secara efektif 20 Agen sosialisasi politik dibagi dalam dua kategori, yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder . 21 1. Kelompok primer, sebagai sosialisasi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahap ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak kedalam dunia umum adalah keluarga. . 2. Kelompok sekunder. kelompok dimana individu secara regular menjalin kontak dari waktu ke waktu sehingga kelompok ini mempengaruhi perasaan, pemikiran dan perilakunya. Contohnya, sekolah, teman sebaya, rekan kerja, agama maupun media. Cara untuk mengetahui peranan agen sosialisasi politik adalah melalui tingkat intensitas dan efektifitas interaksi antara indiviu dengan agen sosialisasi politik. Semakin berperan agen sosialisasi politik berpengaruh kepada semakin tingginya orientasi politik dan pada gilirannya akan membentuk perilaku politik sesuai dengan sistem politik. 20 Gabriel Almod. Introduction: A Fungcional Approach tocomparative Politik. Dalam John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1294 21 A. Campbell, Gurin, G,. Miller, W. E. The Voters Decides. Dalam John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1296 Dilihat dari satu segi pandangaan politik tertentu, sosialisasi politik adalah luar biasa pentingnya sebagai proses, dengan mana individu- individu, sampai pada kadar yang berbeda bisa terlibat dalam satu sistem politik, yaitu dalam partisipasi politik 22 Gambar 1 . Proses sosialisasi politik dapat kita pahamani dari staggered berikut: Proses Sosialisasi Politik Proses sosialisasi politik dimulai dari penanaman nilai-nilai politik, yang dalam hal ini adalah nilai-nilai tentang partisipasi politik. Penanaman nilai-nilai tersebut bisa melalui pembelajaran akan nilai-nilai partisipasi politik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Penanaman nilai-nilai tentang partisipasi politik tersebut bisa dilakukan oleh kelompok primer maupun sekunder. Dalam hal ini, Gereja sebagai kelompok 22 Rush, Michael dan Philip Alhoff. 1986. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : CV. Rajawali. Hal. 24 Transfer nilai: Ideologi Negara, Urgensi Sistem Politik, demokrasi, Partisipasi politik Agen: Keluarga, Sekolah, Gereja, Masjid, Teman Sebaya, Rekan Kerja dan Organisasi Sosial, Partai Politik Kaderisasi Penerima: Anak - Dewasa, Elit Politik, dan Gender. sekunder yang menjadi agen pentransfer nilai-nilai partisipasi politik tersebut. Gereja memberikan pendidikan politik pada jemaat, yakni orang dewasa baik itu laki-laki maupun perempuan. Gereja menanamkan nilai- nilai partisipasi politik yang bersifat otonom yakni, partisipasi yang aktif. Patisipasi yang didasarkan oleh kesadaran sendiri. Faktor-faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi proses sosialisasi, baik itu secara langsung maupun tidak langsung atau kedua- keduanya adalah kultur, lingkungan dan personalitas. Input pertama adalah kultur. Kultur adalah dasar dari bangunan kerangka tempat individu disosialisasikan. Kardinger berpendapat bahwa pengaruh sosialisasi dari orang tua ditentukan oleh tradisi cultural: kultur orang tua yang berbeda akan mensosialisasikan anaknya secara berbeda berdasarkan tradisi cultural 23 23 A. Kardinger. The Psikological Frontier of Society. Dalam Dalam John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1295 . Dia kemudian berdampat bahwa pengalaman belajar dari awal ini akan memberi efek kepribadian yang bertahan lama. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah tradisi cultural yang sama akan mempromosikan pembelajaran yang sama, yang kemudian akan mempromosikan dalam karateristik kepribadian diantara orang-orang dalam kultur spesifik. Ketika diaplikasikan ke bidang politik, kultur politik akan menentukan cara orang tua mensosialisasikan anak-anaknya secara politik, menghasilkan system politik yang stabil dan awet. Oleh karena itu, kultur individual adalah input penting ke cara orang disosialisasikan. Subkultur di dalam masyarakat suatu masyarakat juga merupakan agen sosialisasi yang penting. Membanding subkultur di Indonesia seperti yang berbasis ras, etnis, klass, agama dan gender adalah salah satu cara untuk memahami bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda disosialisasikan 24 Input kedua adalah lingkungan. Di satu sisi, lingkungan mungkin dikontruksi sebagai ruang yang mencakup semua agen social, seperti media, pendidikan, kelompok teman sebaya atau keluarga. Disisi lain, lingkungan berarti lingkungan politik dimana orang tinggal dan personalitas dan kejadian politik yang berlangsung selama era politik tertentu . Misalnya, kultur Politik Kristen berbeda dengan kultur Politik Islam ataupun Kultur politik Hindu maupun Budha. Dan mengidentifikasi perbedaan kultur bisa menjelaskan perbedaan sikap dan perilaku antar kelompok-kelompok tersebut. 25 24 Jaros, Hirsch Fleron. The Malevolentleader: Political Socialization in An American sub Cultur. American Politik Science. Dalam John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1295-1296 . Jadi lingkungan adalah variabel input yang mempengaruhi proses sosialisasi yang ketika dipisahkan, merangkum banyak variabel yang berbeda secara individu, seperti asosiasi primer dan sekunder, media, peristiwa kontenpirer, personalitas politik, dll. 25 Searing, Wright Rabinowitz. The Primacypinciple: Attitude Change and Political Socialization. Dalam John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1296 Input ketiga yang berdampak signifikan pada sosialisasi politik adalah personalitas atau kepribadian. Personalitas tidak sepenuhnya independen dari kultur dan lingkungan dan bahkan dipengaruhi, setidaknya sebagian, oleh keduanya. Meski demikian, mengungkap ciri personalitas individual adalah cara lain untuk memahami proses sosialisasi politik, khususnya orientasi politik. Individual dan dari mana asalnya. 1.3 Partisipasi Politik 1.3.1 Konseptualisasi Partisipasi Politik Partisipasi merupakan masalah yang cukup rumit di negara berkembang. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan. Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi dan partisipasi orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri 26 26 Ramlan surbakti. 1990. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo. Hal. 140. . Miriam Budiardjo dalam tulisannya mendefinisikan partisipasi politik secara umum sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah public policy 27 Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Partisipasi politik dapat bersifat indivual maupun kolektif, secara terorganisasi maupun spontan. . Menurut Huntington dan Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik 28 27 Miriam Budiardjo ed. 1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT. Gramedia. Hal. 1 . 28 Samuel P. Huntington, dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 9 Dalam konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan berikut: 1. Perbedaan antara partisipasi otonom atau mobilisasi lebih tajam dalam prinsip dari pada di alam realitas. Hal ini terlihat ketika kita dapat mengiden-tifikasikan banyak kegiatan sebagai sesuatu yang nyata dimobilisasikan ataupun otonom, tetapi banyak sekali kasus yang terletak di perbatasan keduanya. Kasus yang nyata dan dapat diteliti lebih lanjut adalah mengenai Sikap Gereja. Di satu sisi terlihat bahwa hubungan Negara dan Gereja adalah terpisah atau berdiri sendiri, dengan kata lain idealnya Gereja dan negara tidak dapat disatukan, negara sifatnya duniawi dan Gereja bersifat Rohani. Tetapi disisi lain ada juga Gereja yang dalam hal ini adalah pengurus Gereja yang terlibat dalam politik. Yaitu dengan menjadi calon anggota dewan dengan menggunakan identitasnya sebagai pengurus gereja, yaitu sintuaParhanger. Oleh karena itu, masih menurut Huntington dan Nelson, partisipasi yang dimobilisasikan dan yang otonom bukanlah merupakan katego- risasi yang dikotomis untuk membedakan secara tajam satu sama lain. 2. Dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran antara partisipasi otonom atau mobilisasi. Maksudnya, tingkat partisipasi yang otonom yang umumnya terjadi atau lebih tinggi di dalam sistem politik yang demokratis dibandingkan dalam sistem politik yang otoriter, di sisi lain ada juga partisipasi politik yang otonom di sistem politik yang diktator dan otoriter. 3. Hubungan antara partisipasi otonom atau mobilisasi bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena factor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. 4. Partisipasi otonom atau Mobilisasi mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik. Mobilisasi politik merupakan sebuah cara yang besar untuk merekrut individu atau kelompok agar supaya bisa ikut berpartisipasi dalam proses politik untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat elektoral 29 29 Kris Nugroho. Ikhtiar Teoritik Mengkaji Peran Partai dalam Mobilisasi Politik Elektoral. Jurnal Tahun 2011, Volume 24, Nomor 3. Hal: 204 . Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan elektoral tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen mobilisasi politik non partai politik. Munculnya instrumen non partai politik sebagai mobilizer dalam mendongkrak suara dalam pemilihan dikarenakan rendahnya Kapasitas institusional partai dalam menggerakkan massa , aktor calon secara pragmatis memilih menggunakan instrumen mobilisasi politik non partai yang dianggap lebih efektif dalam menggerakkan massa ketimbang menggunakan instrumen partai politik. Menurut Olsen partisipasi dapat dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Dia membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan 30 Apatisme politik individu seperti ini oleh McLosky disebut sebagai apathy, bahwa ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak ter-tarik oleh, atau kurang paham mengenai masalah politik. Juga karena ketidakyaki-nan bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan , yaitu: Pemimpin politik, aktivis politik, Komunikator orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik lainnya kepada orang lain, Warga negara, Marginal orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan system politik dan Orang yang terisolasikan orang yang jarang melakukan partisipasi politik. 30 Ramlan Surbakti. 1990. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo. Hal. 140 minoritas di-mana ketidak-ikutsertaan adalah hal yang terpuji. kelompok ini kita kenal dengan sebutan golongan putih golput. Partisipasi politik dalam kehidupan politik, menurut Paige 31 Gambar 2 dapat berbentuk ”aktif, radikal, alienasi, apatis serat partisipasi pasif”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat model atau bentuk partisipasi tersebut sebagai berikut: Tipologi Politik Kesadaran Aktif Pasif Radikal Apatis Kepercayaan Berdasarkan tinggi-rendahnya kedua faktor kesadaran dan kepercayaan tersebut, dimana partisipasi politik masyarakat dibagi menjadi 4 empat tipe yaitu: a. Partisipasi politik aktif apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan yang tinggi. Contohnya mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, 31 Ramlan Surbakti. Ibid . Hal. 144 mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan pemerintah. b. Partisipasi politik apatisalienasi apabila kesadaran politik dan kepercayaan politik kepada pemerintah rendah. Contohnya kegiatan yang hanya menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah. c. Partisipasi politik radikal apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan ketentuanketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. d. Partisipasi politik pasif apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, yakni bersikap tidak peduli terhadap situasi politik di tempatnya.

F. Metodolologi Penelitian