Gereja sebagai Agen Sosialisasi dan Mobilisasi Suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun Tahun 2014

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo Miriam. 2003. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta : Yayasan Obor Indonoesia.

Creswell, Jhon W. 2002. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications.

Djiwandono, J. Soedjati. 1999. Gereja dan Politik. Yogyakarta: Kanusius.

Faisal, Sanafiah. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-dasar Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Handari, Nawawi. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: gajah Mada University Press.

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Lexy J, Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Ngelow Zakaria J. 2014. Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam Politik Di Indonesia. Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2 Nugroho, Kriss. 2011. Ikhtiar Teoritik Mengkaji Peran Partai dalam Mobilisasi


(2)

Prasetyo, Bambang, dkk. 1995. Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta. Rush, Michael & Althoff, Phillip. 2002. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press

Sinaga Martin L. 2013. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputra, Jakarta: BPK Gunung Mulia

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian kuantitatife, Kualitatife, dan R & D. Bandung: ALFABETA.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Thompson. “The Political Thought of Martin Luther”. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Prof. Dr. I Wayan Koyan. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNDIKSHA Singaraja


(3)

Sulistyo-Basuki. Metodologi kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian ilmu perpustakaan dan informasi. Departemen Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan. Depok: Universitas Indonesia

Andrias Darmayadi. Pergerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Partisipasi Politik : Partisipasi Otonom Atau Mobilisasi. FISIP – Universitas Komputer Indonesia. Jurnal Ilmiah UNIKOM Vol.9, No. 1

JURNAL

Ariefa Efianingrum. Metode Penelitian Kualitatif dan Kantatif. Seminar Sosiologi Hambali Nanda Manurung dan Tri Joko Waluyo. Peran Sosialisasi Politik Dalam

Perolehan Suara Partai. FISIP Universitas Riau, Kampus Bina Widya

Zakaria J. Ngelow. Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam Politik Di Indonesia. Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2, Oktober 2014.

ALKITAB DOKUMEN

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah Undang-undang Dasar 1945


(4)

Syafrika Henri. Partisipasi Politik Pemilih Pemula pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009: (Studi Di Kelurahan Penyengat Kecamatan Tanjungpinang Kota). Naskah Publikasi. Tahun 2013. Diakses 19 February 2015


(5)

BAB III

Kontribusi Gereja sebagai Agen Sosialisai dan Mobilisasi Suara Dalam Pemilihan DPRD di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun

Tahun 2014

1. Kontribusi Gereja sebagai Agen Sosialisasi Politik

Dalam surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam rangka menyambut pemilihan umum legislatif tahun lalu, himbauan yang pertama dan utama adalah “untuk tidak memilih berdasarkan agama. Oleh karena itu, dalam memilih berilah penilaian berdasarkan kapasitas, kualitas dan rekam jejak figur” 46

Dalam penjelasannya, himbauan dalam pengumuman ini menolak pendekatan agama yang seketarian, supaya masyarakat Indonesia tidak terkotak-kotak berdasarkan agama. Hal ini dimaksudkan karena dalam pelayanan politik gereja, bukan terutama supaya orang-orang Kristen berkuasa, duduk di berbagai posisi penting untuk memuluskan kepentingan orang Kristen atau kepentingan gereja, melainkan supaya orang-orang yang baik, profesional dan berintegritas, dari berbagai latar belakang agama, Kristen atau bukan Kristen, bersama-sama melayani kepentingan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan.

.

46

Pesan Pastoral MPH PGI kepada Segenap Umat Kristiani untuk Berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif 2014”, diakses 10 Agustus 2014., http://pgi.or.id/archives/799.


(6)

Untuk itu Gereja memiliki kewajiban dalam melakukan pendidikan politik untuk memperlengkapi warga atau Jemaatnya agar berperan dalam masyarakat. Pendidikan politik sangatlah penting bagi jemaat karena dianggap sebagai salah satu penentu perilaku politik dari jemaat itu sendiri. Gabriel Almond, menyatakan berhasil tidaknya fungsi sosialisasi politik mencapai sasaran, sangat bergantung kepada berperan tidaknya agen-agen sosialisasi politik mentransformasikan materi-materi politik secara efektif. Agen sosialisasi terdiri dari kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer, sebagai sosialisasi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahap ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak kedalam dunia umum adalah keluarga. Sedangkan kelompok sekunder merupakan kelompok dimana individu secara regular menjalin kontak dari waktu ke waktu sehingga kelompok ini mempengaruhi perasaan, pemikiran dan perilaku dari pihak yang disosialisasikan. Dalam hal ini, Gereja adalah sebagai kelompok sekunder.

Pentingnya pendidikan politik dilakukan oleh Gereja adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik pada jemaat. Dalam perspektif ini, pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja digunakan sebagai cara untuk melibatkan jemaat gereja dalam system politik melalui partisipasinya dalam memilih calon pemimpin. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara dalam pemilihan umum.


(7)

Selain agar jemaat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam system politik, pendidikan politik juga berguna untuk memberikan informasi pada jemaat yang tujuannya adalah supaya masyarakat mengetahui apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban yang mereka miliki. Di lain pihak, masyarakat-Jemaat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah.

Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah pendidikan politik diberikan kepada jemaat sesuai dengan himbauan dalam surat pastoral PGI di dua desa, yaitu desa Simanosor dan Hutagur-gur kecamatan Sibabangun yang penulis teliti dapat dilihat dari dua indikator, yaitu transfer nilai dan Komunikan.

1.1 Transfer Nilai

Transfer nilai merupakan distribusi pesan-pesan berupa nilai-nilai, norma-norma, ide-ide atau gagasan-gagasan dari komunikator ke komunikan. Nilai merupakan suatu gambaran mengenai apa yang diinginkan, pantas, dan berharga yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial pada tiap-tiap kelompok masyarakat sudah pasti beda sesuai dengan . Meskipun memiliki perhimpunan yang berbeda-beda, ajaran-ajaran ke-Kristenan menjadi alat pemersatu perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, nilai-nilai ke-Kristenan lah yang menjadi salah satu tolok ukur kepribadian seseorang dalam masyarakat di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur yang menjadi lokus penelitian saya.


(8)

Struktur formal untuk pertemuan regular disetiap minggunya dan pertemuan-pertemuan lainnya, seperti kebaktian malam kaum Ibu, kaum Bapak dan kaum Muda-mudi. Bila dimanfaatkan bisa berguna sebagai arena sosialisasi atau pendidikan politik pada jemaat. Transfer nilai tentang partisipasi politik yang sifatnya otonom dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan tersebut. Namun pada realitanya, dari semua gereja-gereja yang penulis teliti, tidak ada satu gereja pun yang memberikan sosialisasi atau pendidikan politik pada jemaat.

Ketidak-adaan sosialisasi atau pendidikan politik yang diberikan oleh para pengurus gereja pada jemaat dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yakni faktor sosial, ekonomi dan personalitas.

1.1.1 Faktor sosial, meliputi lingkungan dan kultur.

Lingkungan adalah salah satu variable input yang melatarbelakangi mengapa sosialisasi politik tidak dilakukan di desa lokus penelitian saya. Lingkunagan mempunyai andil yang cukup besar dalam kehiidupan masyarakat. Di satu sisi, lingkungan mungkin dikontruksi sebagai ruang yang mencakup semua agen social, seperti media, pendidikan, kelompok teman sebaya, agama dan keluarga. Disisi lain, lingkungan berarti lingkungan politik dimana orang tinggal dan kejadian politik yang berlangsung selama era politik tertentu.

Pendidikan adalah salah satu yang masih menjadi masalah di negeri ini. Majunya suatu bangsa harus didukung oleh rakyat yang memiliki sumber


(9)

daya manusia yang baik dan terampil. Untuk itu pendidikan formal maupun informal sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi, masih rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan yang dimiliki masyarakat membuat Negara kita kekurangan sumber daya manusia yang baik dan terampil. Hal itulah yang menjadi polemik yang belum bisa terpecahkan dinegri ini dan membuat Negara kita sulit untuk maju. Pemasalahan-permasalahan disetiap distrik atau daerah, mulai dari angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kelahiran yang cukup tinggi sampai masalah pendidikan. Hal itulah yang menjadi masalah disetiap daerah di Indonesia. Contohnya daerah kabupatenTapanuli tengah.

Secara politik, Tapanuli tengah telah keluar dari zona daerah tertinggal menjadi daerah berpotensi maju. Hal ini terjadi satelah Pemerintah pusat telah menetapkan Kabupaten Tapanuli Tengah bukan lagi sebagai daerah miskin. Secara simbolik pada tahun lalu mantan bupati Bonaran situmeang menerima sertifikat Peresmian Daerah Tertinggal yang Terentaskan dari Kemiskinan 2014 dari Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal PDT bapak Helmy Faisal. Tetapi itu semua tipuan politik semata. Apakah dengan adanya pembangunan infrastruktur di beberapa bidang sudah dapat kita jadikan tolak ukur bahwa daerah itu tidak tertinggal lagi? Pantaskah kepala daerah dengan bangganya menerima sertifikat akan keluarnya daerah yang dia pimpin dari zona miskin ke zona berpotensi maju setelah dia memperbaiki bangunan dua RSU, perbaikan jalan dititik tertentu,


(10)

dan menggarap pantai untuk menjadikannya destinasi parawisata yang kemudian masyarakat harus mengeluarkan gocek untuk masuk menikmati pemandangan pantai tersebut? Luas kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 2.194,98 km2 yang tersebar di 20 kecamatan dengan total jumlah penduduk sebanyak 324 006 jiwa. Apakah dengan memiliki dua RSU telah cukup untuk menampung 10 % saja dari jumlah masyarakat? Tapanuli tengah tercatat sebagai daerah yang telah menerapkan swaswembada beras tahun 2013 setelah berhasil meningkatkan hasil produksi petani, pertanyaannya, petani yang mana? Berdasarkan berita yang saya dapatkan dari Harian Medan Bisnis di internet pada tanggal 08 juli 2013 mengatakan bahwa Bapak bonaran mantan bupati Tapanuli tengah mengaku bahwa 30 % dari APBD di alokasikan untuk pembangunan sektor pertanian. Dengan berbagai program, yakni pembinaan melalui penyuluhan maupun pembentukan kelompok tani, peningkatan pembangunan infrastruktur pertanian dan pemberian bantuan sarana dan prasarana pertanian. Beliau mengatakan bahwa setiap tahun pemerintah daerah memberikan bantuan alat-alat pertanian, obat-obatan anti hama, pupuk, benih unggul bahkan pemberian modal kepada seluruh petani d tapteng melalui kelompok tani. Pertanyaannya, apakah memang di semua desa disetiap kecamatan tapteng kelompok tani dibentuk? Apakah bantuan yang seperti disebutkan bapak bonaran tadi memang sudah terealisasikan? Apakah dengan ketidak adaannya kelompok tani, modal yang telah disalurkan


(11)

pemerintah bisa sampai pada petani? Ataukah modal tersebut tersendat dan dinikmati oleh oknum-oknum pejabat beserta konco-konconya?

Dengan demikian, akankah daerah kabupaten tapanuli tengah masih dapat kita katakan sebagai daerah yang berhasil keluar dari zona termiskin menjadi zona berpotensi maju tanpa melihat bagaimana kondisi masyarakat yang sebenarnya, khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan. Daerah Kabupaten Tapanuli tengah merupakan satu dari 70 kabupaten yang menerima sertifikat Peresmian Daerah Tertinggal yang Terentaskan dari Kemiskinan 2014 dari Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal PDT bapak Helmy Faisal. Yang pastinya setiap daerah memiliki kisah tersendiri dengan permasalahan yang tidak jauh berbeda. Diharapkan perbaikan dan pembangunan dilakukan mulai dari pemerintahan paling bawah, yaitu desa. Mengingat desa merupakan sentral pembangunan terkecil yang ada di daerah. Perbaikan dan pembangunan diharapkan bisa meminimalisir banyaknya desa yang tertinggal di negri ini.

Desa Simanosor dan Hitagur-gur merupakan contoh 2 dari sekian banyak desa yang masih tertinggal dinegri ini. Desa Simanosor dan Hutagur-gur merupakan desa yang mayoritas penduduknya berfrofesi sebagai petani. Dari data dan informasi yang saya temukan dilapangan bahwa tidak ada satu pun program pemerintah daerah yang menyentuh masyarakat di dua desa ini. Kelompok tani seperti yang disebutkan oleb bapak bonaran tidak ada saya dapati disana. Bahkan yang lebih memilukan, saat dalam proses wawancara,


(12)

pada 3 nara sumber dari pengurus gereja, ada perwakilan dari kepala desa yang datang mendata nara sumber tersebut untuk dimasukkan dalam kelompok tani tersebut. Saat saya membaca isi dari surat tersebut, dijelaskan bahwa pembentukan kelompok tani tersebut dibuat pada tahun 2013. Dan masih berlangsung hingga sekarnag. Namun, saat mereka dimintai pas photo dan foto copy ktp sebagai bukti bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok tani itu, mereka langsung memberikannya tanpa mempertanyakan tujuan dari surat tersebut. Hal itulah yang menandakan bahwa rendahnya pengetahuan dari pengurus gereja tersebut membuat mereka tidak mengetahui bahwa mereka sedang dipolitiki oleh pejabat Negara tersebut.

Rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan yang dimiliki oleh sebagian besar pengurus Gereja dan juga jemaat membuat minimnya pengetahuan mereka akan politik. Pemahaman mereka masih sebatas pengetahuan yang diperoleh dari berita di televisi dan sosialisasi dari elit politik. Para pengurus gereja di desa-desa kecamatan Sibabangun rata-rata mengecam pendidikan sebatas Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama. Tetapi untuk pendeta, mereka telah mengecam pendidikan di perguruan tinggi. Walaupun demikian, pendidikan strata 1 pun tidak menjadi jaminan mereka paham akan politik. Begitu juga dengan jemaat masyarakat simanosor dan hutagur-gur, yang mayoritas masih mengecam pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Untuk anak-anak mereka sudah mengecam pendidikan sekolah menengah atas, tetapi bagi keluarga


(13)

yang cukup mapan sudah mengecam pendidikan di perguruan tinggi. Walaupun perguruan tinggi swasta. Meskipun demikian, pendidikan yang mereka peroleh dari perguruan tinggi tidak membuat mereka mampu membangun desa tersebut. Hal terjadi, menurut persepsi saya adalah tidak lain karena mutu pendidikan yang mereka peroleh kurang berkualitas. Walau tidak dipungkiri, skill dan personality seseorang juga sangat mempengaruhi.

Hampir semua narasumber (pengurus gereja) yang peneliti wawancarai, mengatakan bahwa ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan politik tersebut. Disaat peneliti bertanya apa pendapat mereka mengenai politik, mereka langsung mengatakan bahwa politik itu kotor dan harus dihindari. Dengan demikian, bukan suatu hal mengherankan lagi bila semua narasumber-jemaat gereja yang peneliti wawancara buta akan politik.

Sama halnya dengan pemikiran Martin Luther, Para pengurus Gereja, seperti Sintua dan Parhanger juga berpandangan bahwa politik dan Gereja merupakan dua entitas yang berbeda. Tidak dapat disatukan. Negara tidak boleh campur tangan dalam Gereja. Gereja juga tidak boleh terlibat dalam pemerintahan. Jika pengurus Gereja mau terlibat dalam pemerintahan, sebaiknya ia harus menanggalkan profesinya atau kedudukannya dalam Gereja. Agar Gereja terhindar dari unsur politik. Tetapi ada juga Parhanger yang tidak setuju bila politik dijauhkan dari pengurus Gereja. Karena dia sendiri merupakan bagian dari satu partai politik.


(14)

Pendidikan politik yang diberikan oleh pihak Gereja pada jemaat hanya bersifat penyampaian nilai-nilai tentang partisipasi politik yang didasari oleh kesadaran sendiri atau otonom pada jemaat dari atas mimbar oleh pendeta maupun Sintua. Dari atas mimbar, pendeta mengajar jemaat agar ikut aktif berpartisipasi dalam pemilihan umum. Karena menentukan pemimpin merupakan hak dari masyarakat itu sendiri. Menurut St. P. Siregar, selaku Parhanger di Gereja HKBP Simanosor mengatakan bahwa “Memilih (voting) merupakan hak setiap masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk menentukan siapa pemimpinnya secara bebas dan rahasia. Jemaat memilih karena mendapat undangan langsung yang dibagi-bagikan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah melalui kepala lorong. Dengan memilih juga menghindari berbagai kecurangan yang akan dilakukan oleh oknum-oknom yang tidak bertanggung jawab”

Pendeta GPdI Simanosor, Bapak Pdt. Y. Purba mengatakan bahwa ia tidak mengerti sama sekali tentang politik. Menurut beliau, politik adalah sesuatu yang sifatnya dosa. Meskipun beliau merupakan alumni dari SAAT, sebuah perguruan tinggi agama Kristen yang cukup elit di Asia Tenggara. Tidak membuat beliau mengerti arti dari politik itu. Beliau juga mengatakan bahwa jika ia paham akan politik itu maka ia akan memberikan pendidikan politik pada jemaatnya.

Bapak St. M. Simanungkalit yang merupakan Parhanger di Gereja HKBP Hutagur-gur mengatakan bahwa “ di gereja kami tidak memiliki


(15)

program terkait dengan pendidikan politik. Saya bahkan tidak mengerti apa itu politik. Yang saya tahu, politik merupakan taktik kotor yang dipergunakan calon elit politik untuk mendapatkan kekuasaan. Pendidikan politik yang diberikan oleh Gereja pada jemaat sifatnya hanya memberi dorongan pada masyarakat agar semua jemaat tidak ada golput”.

Ketidak adaan pendidikan politk di dua desa yang saya teliti ini juga dilatarbelakangai oleh karena ketidak pedulian dari jemaat itu sendiri. Ketidak pedulian itu terjadsi karena menurut masyarkat, pendidikan poltik itu tidak begitu penting bagi masyarakat. Jika pemerintah memang peduli pada masyarakat, pemerintah sebaiknya memberikan pendidikan tentang bercocok tanam yang baik dan benar itu pada masyarakat. Sehingga hasil panen masyarkat tidak terus merosot. Pemerintah seharusnya memberi solusi atas masalah yang dihadapi warga akan pertaniannya. Seperti menurut Bapak Kaosa Halawa dari gereja BNKP pendidikan politik itu tidak diperlukan dalam kondisi masyarakat seperti ini. Yang perlu itu bagaimana pendidikan tentang bertani yang baik, agar hasil panen bagus. Supaya padi-padi yang kami tanam terhindar dari hama dan tikus dan lain-lain. Juga supaya pembagian bibit unggul dari pemerintah tidak dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Jangan dinikmati sama keluarga bapak kepala desa dan kepala lorong saja. Kami rakyat kecil harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan uang. Bukan Cuma itu, beras bulog yang seharusnya juga gratis tapi kami harus membayar 35.000 rupiah perkeluarga. Itupun cuma dapat 10 kg. Sebenarnya


(16)

itu beras tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia, ayam pun tidak mau memakannya. Tapi apa boleh buat, sulitnya perekonomian karena harga getah karet turun drastis membuat kami terpaksa memakannya. Untuk itu besar harapan kami, untuk semua anak bangsa agar bisa merubah politik kotor dinegri ini.

Begitu juga halnya dengan bapak Darius gulo dari gereja BNKP juga berkata demikian. Bahwa menganggap pendidikan politik untuk masyarakat di desa ini tidak perlu. Karena kondisi perekonomian mereka yang masih sulit membuat masyarakat lebih membutuhkan program pemerintah dan juga program dari gereja untuk memberikan solusi pada setiap masalah yang masyarakat hadapi. Beliau mengatakan bahwa masyarakat sebaiknya diberi bimbingan bagaimana bisa bertani dengan baik. Biar hasil panen bisa banyak.

Untuk itu, selain karena tingkat dan kualitas pendidikan yang dimiliki seseorang, yang dalam hal ini adalah pengurus gereja merupakan salah satu hal yang melatar belakangi mengapa pendidikan politik tidak ada diberikan di dua desa ini. Ketidak pedulian juga merupakan factor yang mendasar mengapa masyarakat tidak membutuhkan pendidikan politik. Oleh sebab itu, pengetahuan atau wawasan dan perilaku yang dimiliki seseorang adalah salah satu penentu dari tingkat kepeduliannnya terhadap fenomena-fenomena politik yang terjadi saat ini.

Faktor kedua adalah kultur. Kultur kita kenal dengan istilah budaya. Kultur adalah dasar dari bangunan kerangka tempat individu disosialisasikan.


(17)

Kultur yang dimiliki oleh setiap individual akan sangat mempengaruhi bagaimana cara dia disosialisasikan. Karena Kultur merupakan keseluruhan system, gagasan, tidakan dan hasil karya dari kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia sendiri yang diperoleh dengan cara belajar.

Kebudayaan sifatnya dilestarikan atau diajarkan turun temurun pada generasi berikutnya. Kardinger berpendapat bahwa pengaruh sosialisasi dari orang tua ditentukan oleh tradisi kultural: kultur orang tua yang berbeda akan mensosialisasikan anaknya secara berbeda berdasarkan tradisi cultural. Yang intinya, tradisi kultural yang sama akan mempromosikan pembelajaran yang sama, yang kemudian akan mempromosikan dalam karakteristik kepribadian diantara orang-orang dalam kultur spesifik.

Subkultur yang terdapat di dalam masyarakat di kecamatan Sibabangun, yakni di desa Simanosor dan Hutagur-gur juga merupakan faktor yang melatarbelakangi mengapa pendidikan politik tidak diberikan. Satu cara untuk memahami mengapa pendidikan politik itu tidak dilakukan adalah dengan menelaah subkultur itu sendiri. Subkultur menyangkut agama. Secara terminology agama diartikan sebagai aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Agama merupakan landasan jati diri untuk sebagian besar orang, dan bagaimana cara mereka bertindak dalam membuat dan mengambil suatu keputusan. Hal ini dikarenakan agama dapat dipergunakan untuk memperoleh pembenaran atas praktik kehidupan dalam masyarakat sekaligus peneguh nilai-nilai yang


(18)

dipegang masyarakat. Oleh karena itu, agama mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi sikap dan perilaku manusia dalam menjalani hidupnya.

Adanya persepsi bahwa politik tabu di kalangan masyarkat umat Kristen tidak lain adalah karena politik merupakan hal duniawi. Dalam ajaran Kristen, hal duniawi adalah pertentangan dengan Allah. Hal ini djelaskan dalam Kitab Perjanjian Baru, Yakobus 4:4 “ Hai kamu, orang-orang yang tidak setia. Tidakkah kamu tahu, persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barang siapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah” .

1.1.2 Faktor Ekonomi

Masyarakat di desa Simanosor dan Hutagur-gur cenderung bersikap apatis terhadap segala fenomena politik yang terjadi di tanah air. Hal ini bisa maklumi, selain karena tingkat pendidikan dari masyarakat masih cukup rendah. Rendahnya tingkat pendidikan yang dikecam pada masyarakat disebabkan oleh rendahnya income (penghasilan) dari masyarakat itu sendiri.

Majunya sebuah bangsa harus didukung oleh kemapanan ekonomi dari Negara itu sendiri. Kesulitan ekonomi yang dialami oleh masyarakat di desa Simanosor maupun Hutagur-gur mengakibatkan sikap apatisme pada masyarakat akan fenomena politik yang terjadi di negeri ini. Sumber income masyarakat yang hanya mengandalkan hasil dari pertanian membuat para masyarakat kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak didesa ini hanya mengecam pendidikan sampai


(19)

tingkat menengah keatas atau SMA. Anak-anak yang sudah tamat merantau keberbagai daerah di negeri ini. Berbakal ijazah SMA yang merek miliki, mereka hanya bisa bekerja sebagai buruh pabrik dan lain-lain. Sementara untuk anak-anak yang cukup mapan melanjutkan sekolahnya di unversitas-universitas swasta terdekat, tetapi ada juga diluar daerah, seperti Padang, Medan dan lain-lain.

Penghasilan masyarakat di dua desa ini bersumber dari hasil karet dan tanaman padi. Getah karet di panen setiap siminggu sekali yaitu setiap hari rabu yang kemudian dijual dipasar. Untuk saat ini, di bulan maret, penurunan harga karet dunia membuat mayarakat harus berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal ini dikarenakan hasil karet merupakan penghasilan utama dari masyarakat di dua desa ini.

Berbeda dengan keadaan dipulau jawa, di desa simanosor dan hutagur-gur, mayoritas masyarakat memiliki lahan pertanian sendiri. Istilah tuan tanah tidak dikenal di desa terpencil dan masih kolot ini. Walaupun demikian, itu tidak membuat masyarakat mendapatkan keuntungan yang penuh atas hasil taninya. Masyarakat masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli pupuk, obat anti hama, obat penyubur tanaman, alat untuk menyewa traktor untuk membajak sawah, sewa untuk mesin pemroses hasil panen dan lain sebagainya. Terkadang lebih besar pengeluaran dari pada hasil yang di dapatkan oleh petani. Meskipun seperti itu, masyarakat tidak pernah meminta bantuan pada pemerintah untuk sesuap


(20)

nasi. Bahkan masyarakat tidak pernah mengeluh atau menuntut pemerintah akan kesulitan ekonomi yang mereka alami.

Bisa kita katakan, masyarakat di desa simanosor dan desa hutagur-gur adalah masyarakat yang sangat mandiri. Berjuang untuk hidupnya tanpa berpikir bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk mensejahterahkan mereka. Bahkan fenomena yang saya dapati di desa ini, bantuan dari pemerintah, seperti pemberian bibit padi, pupuk bersubsidi, beras bulog dan lain-lainnya. tidak langsung dibagikan pada masyarakat, kepala desa dan kepling nya banyak melakukan kecurangan. Mereka membagi-bagikan bantuan tersebut pada saudara-saudara terdekatnya. Justru masyarakat yang lebih membutuhkannya harus merogoh kantong untuk mendapatkannya. Contohnya, bibit padi dan beras bulog yang harusnya dibagi-bagikan pada masyarakat secara gratis dan diberikan pada masyarakat yang membutuhkannya. Namun pada realitanya, masyarakat harus membayar 35.000-40.000 perkarungnya untuk beras bulog tersebut. Sementara mahalnya harga beras dipasar membuat masyarakat mau tidak mau akan membeli beras tersebut.

Dengan demikian, sulitnya perekonomian yang ada di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur inilah yang merupakan salah satu penyebab mengapa pendidikan politik tidak diberikan pada masyarakat. Hal tersebut juga merupakan alasan mengapa masyarakat bersikap apatis terhadap fenomena ataupun permasalahan politik yang terjadi di negeri ini.


(21)

1.1.3 Personalitas

Input ketiga yang berdampak signifikan yang melatarbelakangi mengapa sosialisasi politik tidak diberikan oleh pengurus gereja pada jemaat adalah personalitas atau kepribadian. Personalitas tidak sepenuhnya independen dari kultur dan lingkungan dan bahkan dipengaruhi, setidaknya sebagian, oleh keduanya.

Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda dengan individu lain. Kepribadian tersebut dimiliki melalui sosialisasi sejak seseorang dilahirkan. Dalam bahasa sehari-hari istilah kepribadian juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten yang memberikan identitas bagi dirinya sebagai individu khusus. Ciri watak yang diperlihatkan secara lahir, konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya membuat individu tersebut memiliki identitas khususnya yang berbeda dengan individu lain. Kepribadian (personality) adalah ciri-ciri dan sifat khas yang mewakili sikap atau tabiat seseorang yang mencakup pola-pola pemikiran dan perasaan, konsep diri, perangai, mentalitas, yang umumnya sejalan dengan kebiasaan umum.

Setiap kelompok manusia memiliki nilai-nilai, norma-norma, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Setiap individu dalam kelompok manusia secara sadar atau tidak berupaya mempengaruhi anggota-anggotanya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Setiap kelompok mewariskan pengalaman khasnya, sehingga menimbulkan kepribadian khas dari anggota


(22)

masyarakat tersebut. Kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan yang baik disertai pendidikan yang bagus akan membuat pribadi seseorang lebih mapan.

Sikap apatisme merupakan satu watak yang sudah mengakar dalam masyarakat. selain karena disebabkan oleh rendahnya pendidikan, juga karena adanya persepsi bahwa politik itu adalah sesuatu yang dianggap tabu dan bertentangan di kalangan umat Kristen. Persepsi ini tertanam karena melihat carut-marutnya dunia politik yang disuguhkan baik di pertelevisin maupun didepan mata.

1.2 Komunikan

Komunikan merupakan orang-orang penerima pesan yang mencakup nilai-nilai. Norma-norma, ide-ide atau gagasan-gagasan dari komunikator atau sipemberi pesan atau informasi tersebut. Komunikan dalam hal ini juga bisa diartikan sebagai objek. Komunikan disini adalah jemaat Gereja itu sendiri. Baik laki-laki maupun perempuan yang sudah tergolong dewasa. Sementara pendidikan politik untuk anak-anak sendiri hanya bersifat pembentukan karakter. Pembentukan karakter dilakukan sejak dini agar mampu menjadi anak bangsa yang memiliki moral yang agamais.


(23)

2. Kontribusi Gereja sebagai Agen mobilisasi Suara

Sikap apatisme dari masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan terhadap fenomena politik disebabkan oleh faktor karena tidak adanya kepercayaan masyarakat pada pemerintah, tidak ada kesadaran politik, tidak tertarik pada masalah politik dan juga dikarenakan kurangnya pemahaman akan politik tersebut. Oleh karena sikap apatisme dari masyarakat inilah yang menyebabkan mobilisasi politik seringkali terjadi di dalam masyarakat. Mobilisasi tersebut terjadi dalam upaya meraup suara dari masyarakat yang oleh calon elit politik tertentu yang tujuan tidak lain adalah untuk pemenangannya dalam pemilihan umum (voting).

Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan (elektoral) tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrument-instrumen mobilisasi politik non partai politik.47

47

Kris Nugroho. Ikhtiar Teoritik Mengkaji Peran Partai dalam Mobilisasi Politik Elektoral. Jurnal Tahun

2011, Volume 24, Nomor 3. Hal: 202

Non partai politik artinya adalah orang-orang yang tidak terlibat atau bagian dari partai politik. Seperti tokoh agama, tokoh adat dan lain sebagainya. Ketidak efektifan partai politik sebagai agen mobilisasi adalah karena tidak adanya legitimasi yang diperoleh dari masyarakat pada partai politik tersebut. Masyarakat menganggap partai politik tidak mewakili suara mereka dalam pemerintahan melainkan mewakili suara elit tertentu. Mobilisasi politik non partai pun menjadi alternatif yang cukup menjanjikan karena dianggap lebih


(24)

efektif dalam menggerakkan massa ketimbang menggunakan instrumen partai politik. Hal inilah yang mendasari para aktor calon wakil rakyat secara pragmatis memilih menggunakan instrument non partai sebagai agen pendongkrak suaranya dalam pemilihan umum. Salah satunya adalah melalui tokoh agama dalam Gereja. Baik itu Pendeta maupun Sintua/Parhanger.

Hal ini terjadi karena para calon elit politik melihat Pendeta maupun Sintua/Parhanger memiliki kepercayaan penuh dari jemaatnya, selain itu gereja juga memiliki basis massa yang cukup besar. Sehingga para calon wakil rakyat tersebut memilih melakukan pendekatan untuk menarik simpati pada para pengurus Gereja bahkan langsung pada pimpinan Gereja dan tidak jarang para pengurus gereja tersebut terpolitisasi oleh elit politik tersebut untuk memobilisasi jemaatnya dalam kegiatan elektoral. Adanya kepercayaan yang dimiliki oleh pengurus gereja dari jemaat membuat para pengurus gereja tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sikap dari jemaat dalam menentukan pilihan politiknya. Untuk mereka calon wakil rakyat yang beragama Kristen dan juga merupakan bagian dari pengurus gereja, menjadi satu alternatif bagi mereka dalam pendekatannya pada jemaat yang tujuannya untuk mendapatkan simpati dari jemaat. Maka mereka akan memilih menggunakan identitasnya sebagai pengurus gereja baik sintua maupun parhanger di gereja mereka untuk meraih dukungan penuh dari semua jemaat.

Pada pemilihan umum tahun 2014 lalu, pendekatan-pendekatan yang dilakukan baik oleh calon eksekutif (kepala daerah/Bupati) maupun calon


(25)

legislatif (DPRD) pada gereja sudah mulai berkurang. Yang sebelumnya mereka mengaku bahwa ada begitu banyak kandidit-kandidat yang melakukan money politik. Dengan memberikan sejumlah uang untuk pembangunan gereja. Ada juga pemberian unag secara kess langsung pada masyarakat. Dan hampir semua masyarakat menerima sogokan uang tersebut. Bahkan tidak jarang kita bisa menemukan sejumlah pengurus gereja bahkan ada pendeta yang terlibat dalam pemenangan calon kepala daerah dan juga calon legislatf. Berkurangnya keterlibatan mereka dalam pemenangan calon tertentu disebabkan mulai adanya kesadaran dalam diri mereka. Dimana pada pemilihan umum sebelum-sebelumnya mereka aktif sebagai agen mobilisasi suara dalam pemenangan calon tertentu, tetapi untuk pemilihan umum tahun 2014 lalu, kontribusi mereka sebagai agen mobilisasi suara bersifat pasif.

Rentannya politisasi yang dilakukan oleh calon elit politik pada pengurus gereja disebabkan oleh rendahnya tingkat dan kualitas pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki oleh pengurus gereja itu sendiri dan juga faktor personalitas pengurus gereja itu sendiri yaitu rendahnya realisasi dari pada tindak lanjut terhadap manajemen kepemimpinan dan spritualitas yang semakin merosot pada pemimpin agama. Minimnya pengetahuan dari pengurus gereja akan politik membuat para pengurus gereja tersebut tidak sadar bahwa mereka telah dipolitisisasi oleh calon elit politik tersebut.

Berdasarkan data yang saya peroleh dari hasil wawancara baik pada pemimpin gereja maupun pengurus gereja di dua desa, yakni desa Simanosor


(26)

dan desa Hutagur-gur yang merupakan pusat pemukiman di kecamatan sibabangun. Kontribusi Gereja sebagai agen mobilisasi suara dapat kita katakana sifatnya pasif, yang artinya kontribusi yang diberikan gereja hanya member pandangan-pandangan atau arahan-arahan kepada masing-masing jemaat agar memberikan dukungannya pada kandidat sesuai hati nurani. Tetapi dalam penyampaiannya cenderung diselipkan kata-kata yang sifatnya mempersuasif jemaat agar memberikan pilihan politiknya pada calon tertentu. Dengan mengatakan “memilih sesuai hati nurani. Pilihlah yang dianggap kira-kira yang bisa mewakili suara kita dalam pemerintahan. Tetapi alangkah baiknya kita memilih calon yang sudah kita kenal dan yang paling utama yang seiman dengan kita”.

Dilapangan penulis juga menemukan bahwa ucapan syukur yang diberikan oleh calon legislatif tertentu dalam bentuk dana ke gereja dalam upaya pendekatan dengan meminta dukungan doa, dianggap oleh pihak gereja sebagai hal yang wajar. Karena menurut mereka ucapan syukur yang diberikan oleh calon legiislatif tersebut tidak akan mempengaruhi sikap gereja. Menurut mereka, pemberian dana merupakan bentuk rasa syukur si calon legislatif tersebut kepada Tuhan.

Namun pertanyaannya, mengapa ucapan syukur diberikan sebelum pemilihan umum berlangsung? Mengapa setelelah terpilih sebagai anggota dewan perwakilan rakyat daerah, beliau tidak ada memberikan ucapan syukurnya pada gereja? Para pengurus mengatakan bahwa ucapan syukur


(27)

dapat dilakukan kapan saja. Karena menurut mereka waktu bukanlah menjadi patokan untuk kita menyampaikan rasa syukur kita pada Tuhan. Tetapi bukankah rasa syukur itu kita berikan atas pencapaian akan sesuatu yang sudah kita raih dengan susah payah. Pemberian sejumlah uang untuk gereja sebagai rasa ucapan syukur kita memanglah baik, tetapi alangkah baiknya ucapan syukut itu tidak dijadikan sebagai satu pendeatan dalam upaya meminta dukungan. Dengan menyelipkan kata-kata dukung dalam doa agar menang. Maka secara tidak langsung beliau sudah meminta pengurus gereja dan jemaat memberikan sura padanya untuk pemenangannya.


(28)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sesuai surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyambut pemilu legislatif tahun lalu, Gereja memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan politik bagi jemaat. Agar jemaat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik, yaitu dengan cara memillih calon-calon pemimpinnya dalam pemilihan umum. Pendidikan politik juga berguna untuk memberikan informasi pada jemaat yang tujuannya adalah supaya masyarakat mengetahui apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban yang mereka miliki. Oleh karena itu, pendidikan politik senantiasa diperlukan bukan hanya disekitar pemilihan umum, tetapi juga terus-menerus dalam proses bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Untuk mengetahui apakah pendidikan politik diberikan kepada jemaat dapat dilihat dari dua indikator, yaitu transfer nilai dan Komunikan. Transfer nilai merupakan distribusi pesan-pesan berupa nilai-nilai, norma-norma, ide atau gagasan dari komunikator ke komunikan. Sementara Komunikan merupakan orang-orang penerima pesan yang mencakup nilai-nilai.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dengan jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini sifatnya


(29)

subyektif, hal ini menitik beratkan pada pemahaman atau penilaian dari peneliti sendiri.

Pada penelitian ini, penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

Berdasarkan dari data yang penulis dapatkan dari nara sumber melalui proses wawancara, dapat saya simpulkan bahwa pendidikan politik tidak ada dilakukan di dua desa penelitian saya, yaitu desa Simanosor dan desa Hutagur-gur. Pendidikan politik yang diberikan oleh pihak Gereja pada jemaat hanya bersifat penyampaian nilai-nilai tentang partisipasi politik yang didasari oleh hati nurani pada jemaat dari atas mimbar oleh pendeta maupun Sintua. Ketidak-adaan sosialisasi atau pendidikan politik yang diberikan oleh para pengurus gereja pada jemaat dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yakni faktor sosial, ekonomi dan personalitas.

Sikap apatisme dari masyarakat, khususnya masyarakat yang berada dipedesaan menyebabkan mobilisasi politik seringkali terjadi. Yang alih-alih memobilisasi tersebut mereka sebut sebagai sosialisasi politik. Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan (elektoral) tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen mobilisasi politik non partai politik. Salah satunya adalah melalui Gereja.


(30)

BAB II

PROFIL KECAMATAN SIBABANGUN

D. Profil Tapanuli Tengah

1. Sejarah singkat Kabupaten Tapanuli Tengah

Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten tertua di Sumatera Utara. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, wilayah Tapanuli Tengah masuk Keresidenan Tapanuli yang dipimpin seorang residen yang berkedudukan di Sibolga. Salah satu putera daerah Tapanuli tengah yang pernah duduk sebagai residen di Keresidenan Tapanuli adalah Dr.Ferdinand Lumbantobing. Dipercaya sebagai menteri di zaman Orde Lama dan permulaan Orde Baru, beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional dan dimakamkan di Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Jauh sebelumnya kawasan Tapanuli Tengah sekarang – tepatnya di Barus – sudah dikenal sebagai pelabuhan laut yang masyhur di Pulau Sumatera berabad-abad silam, juga sebagai salah satu pusat perdagangan dan peradaban dunia. Ahli geografi Yunani, Claudios Ptolemaios pada tahun 165 Masehi menguraikan Barus sebagai penghasil kapur barus

(camphor), suatu produk alamiah berbentuk kristal yang dihasilkan dari


(31)

dan lainnya pada saat itu. Kedudukan Barus kurang lebih seperti Paris saat ini, yang terkenal dengan inovasi parfum mewahnya.

Selain Barus, dua daerah lainnya di Tapanuli Tengah, yaitu Sorkam dan Mungkur sejak 3.000 tahun lalu juga dikenal karena ekspor kemenyan dunia yang sangat digemari di Timur Tengah dan Mesir Kuno. Barus menjadi sangat penting dalam sejarah peradaban di Indonesia karena dipercaya sebagai tempat masuknya ajaran Islam pertama dan Katolik di Nusantara. Yang jelas, dalam sejarah Pekabaran Injil di Tanah Batak, IL Nomensen sebelumnya pernah berpos di Barus pada 1862. Pamor Barus sebagai pelabuhan besar lambat laun surut seiring peradaban waktu. Pelabuhan utama di jazirah Tapanuli kemudian berpindah ke Teluk Tapianauli, persisnya Kota Sibolga40

Keresidenan Tapanuli beberapa kali mengalami perubahan teritorial atau pembagian wilayah seiring proses pendudukan kolonia Belanda di kawasan Tapanuli. Kawasan Tapanuli Tengah sebagai Daerah Tingkat II baru tercermin melalui Staadblad No.563 tahun 1937. Berdasarkan staadblad tersebut kawasan Tapanuli Tengah masuk dalam Afdeling Sibolga yang terdiri dari dari Onder Distrik Sibolga, Lumut dan Barus. Adapun afdeling lainnya selain Sibolga di Keresidenan Tapanuli adalah Afdeling Nias, Sidempuan, dan Tanah Batak. Setelah kemerdekaan, Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai daerah otonom dipertegas oleh

.

40


(32)

pemerintah dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 19 Tahun 2007 maka ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Tapanuli Tengah adalah 24 Agustus 194541.

2. Kondisi Alam

Secara geografis, Kabupaten Tapanuli Tengah berada di antara 1°11’00” - 2°22’0” Lintang Utara dan 98°07’ - 98°12’ Bujur Timur. Daerah ini terletak di pesisir pantai barat Pulau Sumatera dan sebagian lainnya d pulau-pulau kecil. Luas wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah sekitar 6.194,98 km² yang terdiri atas darat 2.194,98 km² dan laut 4.000 km². Wilayah Tapanuli Tengah berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Aceh Singkil (Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam), disebelah Timur dengan Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Pakpak Barat, disebelah Selatan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, serta disebelah Barat dengan Kota Sibolga dan Samudera Indonesia.

Kabupaten Tapanuli Tengah sebagian besar berbukit dengan ketinggian 0-1.266 meter di atas permukaan laut. Dari seluruh wilayah

41


(33)

Tapanuli Tengah, 43,90% berbukit dan bergelombang. Klimatologi Kabupaten Tapanuli Tengah, sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah berbatasan dengan lautan sehingga berpengaruh pada suhu udara yang tergolong tropis.

3. Pemerintahan

Kabupaten Tapanuli Tengah pertama kalinya terdiri atas 4 kecamatan, yaitu Sibolga, Lumut, Barus, dan Sorkam. Namun, seiring perkembangan jaman, jumlah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah kini telah mencapai 20 kecamatan, kita bisa lihat dari table berikut42

Tabel 1.1

ini:

Banyaknya Desa/Kelurahan menurut Kecamatan Tahun 2013

42

BPS. Kecamatan Sibabangun Dalam Angka 2014.

Kecamatan/

District

Desa/ Village Kelurahan/ Urban Village Jumlah/ Total

(1) (2) (3) (4)

Pinangsori 5 5 10

Badiri 7 2 9

Sibabangun 6 1 7


(34)

Sukabangun 6 0 6

Pandan 2 20 22

Sarudik 1 4 5

Tukka 4 5 9

Tapian Nauli 8 1 9

Sitahuis 5 1 6

Kolang 12 2 14

Sorkam 17 4 21

Sorkam Barat 10 2 12

Pasaribu Tobing 9 0 9

Barus 11 2 13

Sosor Gadong 8 1 9

Andam Dewi 13 1 14

Barus Utara 6 0 6

Manduamas 17 3 20

Sirandorung 7 1 8


(35)

Tabel 1.2

Luas Daerah menurut Kecamatan Tahun 2013

Kecamatan/

District

Luas/

Area (km2)

% terhadap Total/

Ratio on Total

(1) (2) (3)

Pinangsori 78,32 3,57

Badiri 129,49 5,90

Sibabangun 284,64 12,97

Lumut 105,98 4,83

Sukabangun 49,37 2,25

Pandan 36,31 1,65

Sarudik 25,92 1,18

Tukka 148,92 6,78

Tapian Nauli 83,01 3,78

Sitahuis 50,52 2,30

Kolang 400,65 18,25

Sorkam 116,25 5,30

Sorkam Barat 44,58 2,03

Pasaribu Tobing 103,36 4,71


(36)

Sosor Gadong 143,14 6,52

Andam Dewi 122,42 5,58

Barus Utara 63,02 2,87

Manduamas 99,55 4,54

Sirandorung 87,72 4,00

Tapanuli Tengah 2 194,98 100,00

Tabel 1.3

Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan Tahun 2013

Kecamatan/ District

Luas/ Area Populasi/ Population Kepadatan Penduduk (orang/km2)/Population

Density (person/km2)

km2 % Jumlah/ Total %

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Pinangsori 78,32 3,57 23 641 7,30 301,85

Badiri 129,49 5,90 22 990 7,10 177,54

Sibabangun 284,64 12,97 16 972 5,24 59,63

Lumut 105,98 4,83 11 800 3,64 111,34

Sukabangun 49,37 2,25 2 873 0,89 58,19

Pandan 36,31 1,65 51 174 15,79 1 409,36


(37)

Sarudik 25,92 1,18 23 022 7,11 888,19

Tapian Nauli 83,01 3,78 18 808 5,80 226,58

Kolang 400,65 18,25 17 122 5,28 42,74

Sorkam 116,25 5,30 16 277 5,02 140,02

Sorkam Barat 44,58 2,03 14 949 4,61 335,33

Pasaribu Tobing 103,36 4,71 6 602 2,04 63,87

Barus 21,81 0,99 15 745 4,86 721,92

Sosor Gadong 143,14 6,52 12 687 3,92 88,63

Andam Dewi 122,42 5,58 14 306 4,42 116,86

Barus Utara 63,02 2,87 4 212 1,30 66,84

Manduamas 99,55 4,54 20 155 6,22 202,46

Sirandorung 87,72 4,06 13 859 4,28 157,99

Tapanuli Tengah 2 194,98 100,00 324 006 100,00 147,61

4. Keadaan Penduduk

Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2013 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah, jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah yang tersebar di 20 kecamatan adalah 324 006 jiwa yang terdiri atas 162.603 laki-laki dan 161.403 perempuan. Pandan, Pinangsori, dan Sarudik adalah tiga kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak, masing-masing berjumlah jiwa, 51 174 jiwa, 23 641 jiwa dan 23 022 jiwa.


(38)

Sedangkan kecamatan yang menjadi objek penelitian saya yaitu kecamatan Sibabangun dengan jumlah penduduknya adalah sebesar 16 972 jiwa.

Penduduk Tapanuli Tengah terdiri atas multi etnik yaitu suku Batak, Minang, Jawa - Madura, Bugis, Cina, Aceh, Melayu, Sunda, dan lain-lain, dengan mayoritas suku Batak. Kerukunan, keamanan, ketertiban dan toleransi dalam semangat gotong-royong yang terjalin dan terbina selama ini membuat Tapanuli Tengah semakin kondusif dan tangguh secara sosial kemasyarakatan dalam menyikapi globalisasi dengan berbagai perubahan yang begitu cepat. Penduduk Tapanuli Tengah hidup rukun dalam pluralisme yang dianut secara turun temurun. Penduduk terbanyak dari suku Batak, dengan penganut agama Kristen sebagai penduduk dengan jumlah terbesar disusul penganut agama Islam. Penduduk hidup rukun dan damai, harmoni yang terbangun dari kesadaran kearifan lokal sesama komponen bangsa. Batak Kristen dan Batak Islam dalam kesehariannya masih bertahan dengan tatanan adat Dalihan Natolu, sistem sosial budaya yang melekat sebagai penopang jati diri suku Batak di mana saja berada. Berikut jumlah penduduk berdasarkan kelompok unsur dan jenis kelamin.


(39)

Table 1.4

Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2013

Kelompok Umur/ Age

Group

Penduduk (orang)/ Population (person)

Laki-laki/ Male Perempuan/ Female Jumlah/ Total

(1) (2) (3) (4)

0-4 21 867 20 922 42 789

5-9 21 434 20 142 41 576

10-14 19 420 19 096 38 516

15-19 17 532 16 017 33 549

20-24 13 204 11 669 24 873

25-29 11 657 11 293 22 950

30-34 11 113 10 729 21 842

35-39 10 235 9 936 20 171

40-44 8 821 9 245 18 066

45-49 7 917 8 281 16 198

50-54 6 592 7 298 13 890

55-59 5 090 5 677 10 767

60-64 3 512 4 146 7 658


(40)

70-74 1 215 1 990 3 205

75+ 1 035 2 203 3 238

E. Profil Kecamatan Sibabangun 1. Letak Geografis

Kecamatan Sibabangun terletak antara 02° 01’ - 2°22’0” Lintang Utara dan 98° 22’ Bujur Timur. Letak kecamatan Sibabangun 0-800 meter dari atas permukaan. Kecamatan Sibabangun sebagian besar berbukit dari 0-1.266 meter di atas permukaan laut. Dari seluruh wilayah kecamatan Sibabangun, 60, 56% berbukit dan bergelombang.. Klimatologi Kecamatan Sibabangun, sebagian besar wilayah desa di Kecamatan Sibabangun dikelilingi oleh bebukitan yang masih dipenuhi oleh pepohonan dan kecamatan terdekat dengan pesisir pantai setelah kecamatan Pinangsori sehingga berpengaruh pada suhu udara yang mengakibatkan suhu di siang hari sangat panas sementara di malam hari cukup dingin.

Kecamatan Sibabangun berbatasan dengan kecamatan Suka Bangun sebelah Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan sebelah selatan dan kabupaten Tapanuli Utara sebelah timur.

Luas kecamatan Sibabangun sekitar 284,64 km2. Mombang Boru merupakan kecamatan terluas di kecamatan Sibabangun yaitu


(41)

sekitar 43.29 km2. Dan kecamatan Anggoli merupakan kecamatan yang tersempit yaitu 6.02 km2.

2. Pemerintahan

Kecamatan Sibabangun terdiri dari 7 desa. Yaitu Desa Mombang Boru, desa Anggoli, desa Sibabangun, desa Simanosor, desa Muara Sibuntuon, desa Sibio-bio dan desa Hutagur-gur.

Dengan luas wilayah 284.64 km2 yang didiami 16.972 jiwa penduduk maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah adalah sebesar 142 orang per km2. Yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah kecamatan Pandan, yakini sebesar 142 orang per km2, sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Kolang, yakni 42 orang per km2.

Untuk lebih jelasnya lagi, kita bisa lihat dari table 1.5 berikut

ini: Table 1.5

Luas Kecamatan Sibabangun menurut Desa/ Kelurahan Tahun 201343

No. Desa/Kelurahan Luas (km2) Rasio terhadap Total Luas Kecamatan (%)

1. Mombang Boru 43.29 15.21

2 Anggoli 6.02 2.11

43


(42)

3 Sibabangun 31.24 10.97

4 Simanosor 18.18 6.39

5 Muara Sibuntuan 36.05 12.67

6 Sibio-bio 114.15 40.10

7 Hutagur-gur 35.71 12.55

Sibabangun 284.64 100

3. Keadaan Penduduk 3.1 Jumlah Penduduk

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat statistic kabupaten Tapanuli Tengah yang diperoleh dari hasil pencacahan Sensus Penduduk 2013, jumlah penduduk Kecamatan Sibabangun yang tersebar di 7 kecamatan adalah 16.972 jiwa yang terdiri atas 8.409 laki-laki dan 8.564 perempuan. Sibabangun, Anggoli dan Simanosor adalah tiga Desa dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak, masing-masing berjumlah 5.888 jiwa, 2.717 jiwa, dan 2.563 jiwa. Sedangkan Desa yang paling sedikit penduduknya adalah Mombang Boru, yaitu sebesar 1.027 jiwa. Untuk lebih jelasnya lagi, kita bisa lihat dari tabel 6 dan 7 berikut ini:


(43)

Tabel 1.6

Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk44 Desa/Kelurahan Tahun 2013

No. Desa/Kelurahan Luas (Km2) Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk

1 Mombang Boru 43.29 1.027 23.73

2 Anggoli 6.02 2.717 451.32

3 Sibabangun 31.24 5.888 188.47

4 Simanosor 18.18 2.563 140.97

5 Muara Sibuntuon 36.05 1.941 53.84

6 Sibio-bio 114.15 1.314 11.51

7 Hutagur-gur 35.71 1.522 42.62

Sibabangun 284.64 16.972 56.62

44


(44)

Gambar 1.7

Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin45 Desa/Kelurahan Tahun 2013

3.2 Pekerjaan Penduduk

Penduduk dikecamatan Sibabangun mayoritas berfrofesi sebagai petani. Hal ini karena pertanian merupakan sumber utama penghasilan dari masyarakat itu sendiri. Petani yang terdiri dari petani menanam padi, nelayan, kebun karet, kelapa sawit, coklat, kelapa, durian dan lain-lain.

45

Badan Pusat Statistik. Ibid.

No. Desa/Kelurahan Laki-laki Perempuan

Jumlah Penduduk

1 Mombang Boru 509 518 1.027

2 Anggoli 1.337 1.381 2.717

3 Sibabangun 2.910 2.978 5.888

4 Simanosor 1.276 1.288 2.563

5 Muara Sibuntuon 965 976 1.941

6 Sibio-bio 637 677 1.314

7 Hutagur-gur 775 746 1.522


(45)

Karet merupakan salah satu komoditas unggulan dari kecamatan Sibabangun. Luas tanaman Karet Rakyat di kecamatan Sibabangun pada tahun 2013 adalah 7.110 Ha dengan produksi 2.773 ton. Luas wilayah tanaman kita lihat dari table 8 berikut:

Tabel 1.8

Luas Tanaman Keras Dirinci menurut Jenis Tanaman (Ha) Desa/Kelurahan Tahun 2013

3.3 Agama Penduduk

Penduduk Kecamatan Sibabangun memiliki mayoritas agama Islam dan Kristen Protestan. Sedangkan agama lain yang dianut oleh penduduk No. Desa/Kelurahan Kelapa Karet Kopi Coklat Kemiri Pinang

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Mombang Boru 15 518 - 14 2 10

2 Anggoli 10 275 - 17 1 7

3 Sibabangun 59 1.833 - 20 2 15

4 Simanosor 18 893 1 12 1 10

5 Muara Sibuntuon 5 995 1 4 1 6

6 Sibio-bio 4 1.189 1 3 - 7


(46)

kecamatan Sibabangun yaitu Kristen Katolik. Sementara agama Budha dan Hindu sebagai agama yang diakui dinegara Indonesia tidak ada disana. Hal ini dipengaruhi oleh suku atau etnis yang ada disana. Mayoritas suku yang ada di kecamatan Sibabangun adalah suku Batak Toba, Batak Mandailing dan Nias. Sementara suku minoritas adalah suku Jawa, batak Karo dan batak Angkola. Suku asli penduduk kecamatan Sibabangun adalah batak Toba. Sementara yang lain merupakan suku pendatang dari berbagai daerah. Suku Mandailing merupakan pendatang dari daerah tetangga, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan. Sementara suku nias merupakan pendatang dari pulau Nias.

Persentase agama yang dianut oleh penduduk kecamatan Sibabangun bisa kita lihat dari table 9 berikut:

Table 1.9

Persentase Penduduk Menurut Agama/Kepercayaan yang Dianut Desa/Kelurahan Tahun 2013

No. Desa/Kelurahan

Islam

Kristen Katolik

Kristen Protestan

Hindu Budha Jumlah

1. Mombang Boru 55.0 1.0 44.0 - - 100

2 Anggoli 70.0 1.0 29.0 - - 100


(47)

4 Simanosor 50.0 1.0 49.0 - - 100 5 Muara

Sibuntuan

20.0 1.0 79.0 - - 100

6 Sibio-bio - 2.0 98.0 - - 100

7 Hutagur-gur - 1.0 99.0 - - 100

Sibabangun 37.0 1.2 61.8 - - 100

F. Profil Gereja Sibabangun

1. Jumlah Gereja di Kecamatan Sibabangun

Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Camat Sibabangun mengatakan bahwa jumlah Gereja yang ada di kecamatan Sibabangun sebanyak 39 Gereja yang tersebar di 7 desa. Gereja terbanyak berada di Sibio-bio yaitu 8 Gereja. Hal ini dikarenakan, mayoritas suku yang ada di Sibio-bio adalah suku Nias. Suku Nias pada umumnya adalah penganut dari agama Kristen.

Jumlah Gereja di setiap desa yang ada di kecamatan Sibabangun dapat kita lihat dari table 10 berikut ini:


(48)

Tabel 1.10

Daftar Gereja se kecamatan Sibabangun

No. Nama Desa Nama Gereja

1 Mombang Boru 1. GBI Mombang Boru

2. GPDI Mombang Boru 3. HKBP Mombang Boru

2 Anggoli 1. Katolik Suka Rame

2. HKBP Suka Rame 3. GBI Suka Rame 4. GKPI Suka Rame 5. BNKP Suka Rame

3 Sibabangun 1. HKBP Sibabangun

2. HKBP Kampung Baru 3. GKPA Sikkam

4. HKBP Rawa Genjer 5. GPI Rawa Genjer 6. Katolik RawaGenjer


(49)

7. GBI Sikkam

4 Simanosor 1. HKBP Simanosor

2. BNKP Simanosor 3. GPDI Simanosor 4. GKPI Simanosor 5. Katolik Simanosor

5 Muara Sibuntuan 1. GBI Muara Sibuntuon 2. BNKP Muara Sibuntuon 3. BNKP Faokmahoda 4. BNKP Sibuntuan 5. BNKP Muara 6. BNKP Sosopan

6 Sibio-bio 1. BNKP Hosana

2. GTDI Simarsakbosi 3. Katolik Simarsakbosi 4. BNKP Simarsakbosi 5. BNKP Efrata


(50)

6. Katolik Pintu Sosopan 7. Katolik Sibio-bio 8. GBI Sibio-bio

7 Hutagur-gur 1. HKPB Hutagur-gur

2. BNKPI Hutagur-gur 3. GPI Hutagur-gur 4. GKII Hutagur-gur 5. GPDI Gunung Serasi


(51)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Negara Republik Indonesia, agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk sebagian besar orang, Agama merupakan sebuah landasan jati diri dan bagaimana cara mereka bertindak dalam membuat dan mengambil suatu keputusan1

Besarnya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari peran Negara di dalamnya. Negara memberikan jaminan (meski sejauh mana pengimplementasiannya masih menjadi bahan perdebatan) dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pemeluk agama untuk berkembang di Indonesia. Hal ini tertuang dalam ideology bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu Ideologi Pancasila. Dalam Sila pertama, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” . hal ini juga diperjelas dalam

Undang-. Hal ini dikarenakan Agama dapat dipergunakan untuk memperoleh pembenaran atas praktik kehidupan dalam masyarakat sekaligus peneguh nilai-nilai yang dipegang masyarakat. Oleh karena itu, agama mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi sikap dan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya.

1

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu:


(52)

undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 1 dan 22

Agama Kristen sebagai salah satu agama yang di akui di Negara Indonesia berpendapat bahwa Negara dan Gereja merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak dapat disatukan.

. Pasal 1 “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pasal 2 “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menuruti agamanya dan kepercayaannya itu”.

Secara Etimologis, Gereja berasal dari bahasa Yunani, Gereja disebut ekklesia (ek=keluar, kaleo=memanggil). Secara harafiah berarti memanggil keluar. Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah dan yang terpanggil adalah umat manusia. Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib. Pengertian Gereja juga dijelaskan dalam 1 Petrus 2:9-103

“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan”.

yang bunyinya:

2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 . Pasal 29 ayat 1 dan 2

3


(53)

Martin Luther mengatakan bahwa Gereja adalah sebuah kongregasi, sebuah assembly, sebuah komunitas. Artinya Gereja adalah sebuah persekutuan. Persekutuan di dalam Kristus. Persekutuan dengan Kristus4

Pemisahan gereja dan negara bermula terjadi dalam sejarah gereja di Eropa, karena pengaruh gerakan kebudayaan Renaissance dan Pencerahan (Jerman: Aufklärung). Sementara untuk di negara Indonesia sendiri, pemisahan antara Gereja dengan Negara, karena masyarakat umat Kristen beranggapan bahwa politik itu tabu dan perlu dihindari. Hal ini karena politik itu sifatnya duniawi. Selain itu, Pemisahan Gereja dan Negara bertolak dari pemikiran bahwa negara atau pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam urusan agama, yakni dalam relasi pribadi seseorang dengan yang Ilahi, pemerintah tidak boleh mencampuri keputusan hati nurani seseorang. Urusan agama bukan urusan negara, atau masyarakat, melainkan urusan pribadi yang menjadi tanggung jawab dari lembaga agiama yang bersangkutan.

.

Sejajar dengan itu perspektif tersebut, Martin Luther mengemukakan ajaran mengenai dua kerajaan, yaitu duniawi dan rohani, dengan menekankan bahwa kuasa duniawi tidak punya kewenangan untuk campur tangan dalam urusan kerajaan rohani5

4

Martin L. Sinaga. 2013. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputra, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 409.

. Dengan kata lain, pemerintah tidak berkuasa apa-apa dalam urusan ajaran, ibadah dan Gerejawi. Negara hanya berperan melindungi

5

Zakaria J. Ngelow. 2014. Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam Politik Di Indonesia. Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2. Hal. 219


(54)

hak-hak natural manusia dan menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama yang ia miliki.

Martin Luther tidak percaya bahwa Kristen perlu Negara tetapi cukup patuh pada Negara sekuler demi mengayomi orang-orang kafir dalam masyarakat6. Menurut beliau, Orang beriman taat kepada kuasa pemerintahan dan pengaturannya sejauh tidak mengikat hati nurani melainkan hanya urusan lahiriah. Kuasa dan pemerintahan duniawi terbatas hanya pada masalah-masalah eksternal dan jasmaniah7. Pemikiran beliau didasari oleh ayat Alkitab. Dalam Roma 13: 1-68

“Setiap jiwa mesti tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi. Sebab tidak ada kekuasaan selain Tuhan: kekuasaan yang ditasbihkan dari Tuhan. Barang siapa menentang kekuasaan itu, menentang perintah Tuhan; dan mereka yang menentang akan mendapat hukuman. Karena pemimpin bukan ancaman atas karya kebaikan, tetapi ancaman bagi kejahatan. Akankah engkau tidak takut pada kekuasaan? Lakukan perbuatan baik, maka kalian akan mendapat pujian yang sama: sebab dialah wakil Tuhan untuk kalian demi kebaikan kalian. Tetapi jika kalian melakukan kejahatan, takutlah; sebab ia tidak menghunuskan pedangnya dengan sia-sia: sebab dia adalah wakil Tuhan, yang menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang berbuat jahat. Karena

mengatakan bahwa:

6

Thompson. “The Political Thought of Martin Luther”. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu

Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2,

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 932

7

Zakaria J. Ngelow. Loc. Cit.

8


(55)

itu kalian harus patuh, bukan hanya demi menghindari kemarahan, tetapi demi keselamatan. Sebab ini juga membuat mu terhormat; sebab mereka adalah wakil Tuhan, yang selalu memerhatikan segala sesuatu”.

Negara dan Gereja memiliki nilai tersendiri bagi umat Kristiani. Gereja mengurus hal yang bersifat keagamaan dan Negara mengurus hal-hal kenegaraan, tetapi keduanya hendaklah bekerja bersama-sama selaras dalam berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun, Gereja bukan hanya sekedar lembaga ritual keagamaan, melainkan alat yang dihadirkan Tuhan di dalam dunia untuk kesaksian Injil Kerajaan Allah mengenai kasih, keadilan dan damai sejahtera Allah dalam Kristus. Karena itu Gereja terpanggil untuk melakukan transformasi kehidupan manusia bai secara pribadi maupun masyarakat.

Dalam surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyambut pemilu legislatif yang lalu, petunjuk pertama yang dicantumkan adalah “jangan memilih berdasarkan agama”. Dalam penjelasannya, petunjuk ini menolak pendekatan agama yang sekatarian, supaya kita tidak terkotak-kotak berdasarkan agama9

9

Pesan Pastoral MPH PGI kepada Segenap Umat Kristiani untuk Berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif

2014”, diakses 10 Agustus 2014., http://pgi.or.id/archives/799.

. Dalam pelayanan politik gereja, bukan terutama supaya orang-orang Kristen berkuasa, duduk di berbagai posisi penting untuk memuluskan kepentingan orang Kristen atau kepentingan gereja, melainkan supaya orang-orang yang baik, profesional dan berintegritas, dari berbagai


(56)

latar belakang agama, Kristen atau bukan Kristen, bersama-sama melayani kepentingan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan. Politik Kristen bukan politik kekuasaan dan kepentingan, melainkan politik pelayanan dan keadilan bagi seluruh warga masyarakat bangsa kita.

Untuk itu Gereja memiliki kewajiban dalam melakukan pendidikan politik untuk memperlengkapi warga atau Jemaatnya agar berperan dalam masyarakat. Pendidikan politik sangatlah penting bagi jemaat karena dianggap sabagai salah satu penentu perilaku politik dari jemaat itu sendiri. Pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja sebagai kelompok sekunder bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik pada jemaat agar jemaat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik. Dalam perspektif ini, pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja digunakan sebagai cara untuk melibatkan jemaat gereja dalam sistem politik melalui partisipasinya dalam memilih calon pemimpin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Dengan demikian jemaat telah ikut serta dalam proses politik, yaitu dengan memilih calon pemimpinnya untuk lima tahun kedepan.

Terkait pelayanan politik Kristen itu, ada dua hal yang harus kita perhatikan, yakni keterlibatan institusi/pimpinan gereja dalam politik, dan keterlibatan para pendeta secara pribadi. Pertama, gereja melayani di bidang politik, tetapi tidak boleh terlibat dalam “politik praktis” (politik kekuasaan), karena Gereja bukan organisasi politik dan tidak boleh menjadi onderbouw


(57)

(organisasi bawahan) suatu partai politik. Pemimpin Gereja tidak boleh menjadi bagian dalam kampanye politik untuk mendongkrak suara calon legislatif. Pemimpin Gereja dapat mengemukakan pendapat pribadinya tentang calon tertentu tetapi tidak dari atas Mimbar. Pendeta tidak boleh mempersuasif jemaatnya untuk memilih partai politik atau calon tertentu dalam pemilihan umum.

Pemimpin Gereja, Pendeta memiliki peran yang sangat penting di dalam sebuah Gereja, karena merekalah yang dipilih Tuhan sebagai hamba-Nya untuk melayani umat manusia. Pendeta dipakai Tuhan untuk mengayomi jemaatnya agar berpegang teguh akan Firman Tuhan. Oleh karena itu, setiap pesan atau wejangan-wejangan atau nasehat-nasehat yang diberikan oleh Pendeta tersebut akan berdampak terhadap kehidupan para jemaat. Hal ini menyebabkan mereka mengubah dan memperbaiki perilakunya yang menyimpang dari ajaran-ajaran Kristus.

Arti penting fundamental agama bagi setiap individu dapat menimbulkan banyak menifestasi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan sejumlah elit politik tertarik untuk melancarkan misinya melalui agama. Salah satunya adalah melalui Gereja, dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri. Para elit politik melihat institusi agama (Gereja) mempunyai basis massa dan ikatan emosional yang kuat. Selain itu, Gereja memiliki struktur formal untuk pertemuan regular dan pertukaran ide-ide. Faktor-faktor ini berkombinasi dan


(58)

menempatkan agama dalam posisi unik untuk mempengaruhi publik10

Untuk melancarkan misinya tersebut, elit politik ini melakukan pendekatan langsung pada para pengurus Gereja bahkan langsung pada pemimpin Gereja itu sendiri. Pendekatan yang dilakukan oleh calon aparatur Negara ini pun tidak jarang membuahkan hasil. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat dan kualitas pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki oleh pengurus gereja tersebut dan juga faktor personalitas pengurus gereja itu sendiri. Hal ini mengakibatkan para pengurus maupun pemimpin Gereja tersebut diperalat oleh yang katanya calon wakil rakyat tertentu untuk memobilisasai para Jemaat untuk mendongkrak suaranya dalam pemilihan umum. Rentannya politisasi ini juga dipicu oleh minimnya realisasi dari pada tindak lanjut terhadap manajemen kepemimpinan dan spritualitas yang semakin merosot

. Sedangkan para elit politik selalu membutuhkan dukungan politik riil untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Maka, agama sering menjadi ajang strategis untuk diperebutkan oleh calon aparatur Negara dalam bursa pemilihan umum.

11

Tugas pelayanan yang seyogianya diutamakan oleh para hamba Tuhan, kini sudah mulai terkikis oleh faktor kepentingan tertentu, baik

pada pemimpin agama tersebut.

10

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu:

Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 1361. 11


(59)

kepentingan pribadi maupun kelompok12

Pengurus gereja tidak boleh menjadi bagian dari tim sukses suatu partai atau kelompok politik dan mengambil hak pilih warganya untuk memilih partai politik atau calon tertentu yang seharusnya masing-masing pilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Namun pada kenyataannya, terdapat sejumlah pemimpin dan pengurus Gereja di daerah-daerah, baik di daerah Perkotaan maupun Pedesaan yang menjadi bagian dari pendongkrak suara calon tertentu dengan memobilisasi jemaatnya untuk memilih calon wakil rakyat tersebut. Hal ini bisa terjadi karena adanya ikatan ke sukuan (marga) atau juga karna persamaan keyakinan. Tetapi tidak dapat dipungkiri ada juga karena demi sejumlah uang atau materi untuk pembangunan Gereja tersebut. walaupun tidak ada satupun dari antara mereka yang mengaku bahwa mereka merupakan bagian dari tim pemenangan calon elit poltik tertentu.

. Seharusnya mereka (Pimpinan Gereja dan Pengurus Gereja) berfungsi sebagai pemeran utama dalam memberikan pendidikan politik terhadap warga gereja atau masyarakat. Tetapi realitanya, Elit politik mampu menjadikan Gereja sebagai agen mobilisasi untuk mendongkrak suaranya dalam pemilihan umum.

Hal ini juga terjadi di sejumlah Gereja di kecamatan Sibabangun. Terdapat beberapa pengurus Gereja yang mengambil bagian dalam pemenangan calon wakil rakyat tertentu. Meskipun kini kontribusinya dalam memobilisasi suara jemaat bersifat pasif.

12


(60)

Para pengurus baik itu pemimpin maupun Sintua (Penatua) Gereja seharusnya memberikan pendidikan politik bagi para Jemaatnya agar para Jemaatnya tersebut tidak terlibat dalam praktik money politik. Tetapi pada realitanya, ada beberapa pengurus Gereja yang bertindak sebagai salah satu penyebab money politic tersebut terjadi. Dan hal yang paling memilukan, para pemimpin Gereja tersebut menjadikan Mimbar Pemberitaan Firman Allah sebagai mimbar kampanye. Dari atas Mimbar yang suci, ia mempromosikan si calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam upaya menarik simpati jemaatnya agar memilihnya (calon DPRD) dalam pemilihan umum. Pemimpin Gereja tersebut mengungkapkan pendapatnya mengenai si calon politik tersebut, meskipun tidak ada pemaksaan yang dilakukan, tetapi sifatnya mempersuasif. Para pengurus Gereja (baik itu Pendeta maupun Sintua) mempersuasif jemaat agar memilih calon politik tertentu yang dianggapnya dapat mewakili kepentingan masyarakat.

Kompleksitas permasalahan inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk meneliti tentang hubungan antara Agama (Kristen) dengan Negara. Dalam kasus Kontribusi Gereja sebagai agen sosialisai dan mobilisasi suara dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2014 di kabupaten Tapanuli Tengah, kecamatan Sibabangun.


(61)

B. Rumusan Masalah.

Untuk memperlengkapi warga atau Jemaatnya agar berperan dalam masyarakat. Pendidikan politik sangatlah penting bagi jemaat karena dianggap sabagai salah satu penentu perilaku politik dari jemaat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam rangka menyambut pemilihan umum legislatif tahun lalu, himbauan yang pertama dan utama adalah “untuk tidak memilih berdasarkan agama. Karena itu, dalam memilih berilah penilaian berdasarkan kapasitas, kualitas dan rekam jejak figur”. Dalam penjelasannya, himbauan dalam pengumuman ini menolak pendekatan agama yang seketarian, supaya kita tidak terkotak-kotak berdasarkan agama13

Hal ini dimaksudkan karena dalam pelayanan politik gereja, bukan terutama supaya orang-orang Kristen berkuasa, duduk di berbagai posisi penting untuk memuluskan kepentingan orang Kristen atau kepentingan gereja, melainkan supaya orang-orang yang baik, profesional dan berintegritas, dari berbagai latar belakang agama, Kristen atau bukan Kristen, bersama-sama melayani kepentingan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakannya.

.

Pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja sebagai kelompok sekunder bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik pada jemaat agar jemaat aktif berpartisipasi dalam sistem politik. Dalam perspektif

13

Pesan Pastoral MPH PGI kepada Segenap Umat Kristiani untuk Berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif


(62)

ini, pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja digunakan sebagai cara untuk melibatkan jemaat gereja dalam sstem politik melalui partisipasinya dalam memilih calon pemimpin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.

Namun dalam prakteknya, sosialisasi dalam masyarakat cenderung sifatnya mobilisatif. Yang mana, sosialisasi bukan menjadi pendidikan politik bagi jemaat, tetapi cenderung sebagai mobilisasi untuk mengumpulkan suara dalam pemenangan elit politik tertentu. Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan (elektoral) tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen mobilisasi politik non partai politik.14

14

Kris Nugroho. Ikhtiar Teoritik Mengkaji Peran Partai dalam Mobilisasi Politik Elektoral. Jurnal Tahun 2011, Volume 24, Nomor 3. Hal: 202

Mobilisasi politik non partai yang dianggap lebih efektif dalam menggerakkan massa ketimbang menggunakan instrumen partai politik. Hal inilah yang mendasari para ator calon wakil rakyat secara pragmatis memilih menggunakan instrumen non partai, salah satunya adalah melalui Gereja. Para calon wakil rakyat tersebut melakukan pendekatan pada para pengurus Gereja bahkan langsung pada pimpinan Gereja tersebut. Pendeta dan Sintua sebagai wakil Tuhan. Dipakai untuk mengayomi jemaatnya agar berpegang teguh akan Firman Tuhan. Oleh karena itu, setiap pesan yang disampaikannya dapat berdampak kuat pada setiap Jemaat atau umat Kristen.


(63)

Gereja yang dalam hal ini adalah para pengurus gereja berfungsi sebagai agen pentransfer nilai-nilai partisipasi politik yang sifatnya otonom pada jemaatnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Dengan demikian jemaat telah ikut serta dalam proses politik, yaitu dengan memilih calon pemimpinnya untuk lima tahun kedepan. Memilih calon pemimpin adalah hak dari masyarakat itu sendiri. Untuk memberikan pendidikan politik terhadap Jemaat, maka dalam hal ini para pengurus dan pemimpin Gereja harus memiliki pengetahuan tentang politik tersebut. Pengetahuan para pengurus Gereja tentang politik disini bisa diperoleh berbagai sumber, baik itu dari pembelajaran dari buku-buku politk maupun dari orang-orang tertentu.

Namun untuk masyarakat di pedesaan seperti dikecamatan Sibabangun yang masih kolot, pemahaman akan politik itu masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan keterbatasan pendidikan dan pembacaan akan buku-buku politik oleh pengurus Gereja tersebut. Sehingga pemahaman mereka masih sebatas pengetahuan dari berita di tv dan sosialisasi dari elit politik. Sosialisasi yang di lakukan oleh calon elit politik yang dalam hal ini adalah calon wakil rakyat pada pengurus gereja sifatnya hanya agar para pengurus gereja memandu jemaat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Para calon elit politik dalam hal ini memberikan pendidikan politik pada para pengurus gereja bukan hanya karena tanpa alasan. Mereka memiliki tujuan tertentu didalamnya.


(64)

Para calon elit politik melihat institusi agama (Gereja) mempunyai basis massa dan ikatan emosional yang cukup kuat. Tidak dapat dipungkiri, hal ini karena dalam jemaat masih terdapat nilai persaudaraan yang cukup kuat. Selain karena dipersatukan oleh Kristus. Juga karena dalam masyarakat dan jemaat yang mayoritas suku batak masih memegang nilai-nilai leluhur seperti Dalihan Natolu (Somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu). Selain itu, Gereja memiliki struktur formal untuk pertemuan regular dalam pertukaran ide-ide.

Fator-faktor ini berkombinasi dan menempatkan agama dalam posisi unik untuk mempengaruhi publik15

Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah:

. Sedangkan para elit politik selalu membutuhkan dukungan politik riil untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Maka untuk mendapatkan dukungan politik tersebut, maka baik secara langsung maupun tidak langsung para elit politik tersebut telah memberikan pendidikan politik pada para pengurus Gereja tersebut. Dan selanjutnya para pengurus Gereja tersebut mentransfer nilai-nilai tentang partisipasi politik pada para Jemaat.

“Bagaimana kontribusi Gereja sebagai Agen sosialisasi dan mobilisasi suara dalam pemilihan DPRD 2014 di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun”.

15

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu:


(65)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah pendidikan politik telah diberikan pada jemaat di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur kecamatan sibabangun sesuai dengan surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

2. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi dari gereja dalam memobilisasi suara jemaat.

3. Untuk mengetahui apakah politisasi masih marak dilakukan oleh calon legislatif pada pemilihan umum tahun lalu pada gereja di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur kecamatan sibabangun

D. Manfaat Penelitian

Dalam sebuah penelitian selain terdapat tujuan penelitian, juga terdapat beberapa manfaat yang selanjutnya berguna bagi penulis sendiri dan juga terhadap banyak orang. Adapun beberapa manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Praktis, adalah sebagai masukan bagi penulis dalam usaha untuk mengetahui hasil-hasil kegiatan politik juga untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program sarjana strata satu (S1) Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(66)

2. Secara Teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mencari khasanah ilmiah dengan kaitan Politik dan Agama. Serta melihat relevansi teori-teori yang telah dipelajari dengan kenyataan yang terjadi.

3. Manfaat Akademis

• Untuk memperluas pemahaman pengetahuan peneliti mengenai hubungan antara Agama dan Politik. Peneliti berusaha memahami dan mendeskripsikan bagaimana Perspektif Kristen tentang Politik melalui pemahaman Alkitabiah maupun dari Filsuf-filsuf Kristen.

• Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan teori-teori politik yang tentu saja berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis yaitu Agama Kristen dan Politik.

• Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi dan memperkaya khasanah pengetahuan di bidang Agama dan Politik. Khususnya kajian tentang Hubungan antara Gereja dan Politik. Dimana Gereja sebagai agen mobilisasi suara dalam pemilihan umum. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang Hubungan antara Agama dan Politik. Khususnya hubungan Gereja dan Politik.


(67)

E. Kerangka Teori

1. Pemikiran Politik Kristen 1.1 Pemikiran Martin Luther

Gerakan konsiliar adalah upaya Gereja Romawi untuk mengatasi korupsi dengan memberikan kekuasaan pengambilan keputusan yang sebelumnya hanya diberikan ke Paus semacam dewan (council) yang memliki wewenang untuk mereformasi struktur Gereja. Ada dua konsili yang diandalkan, yaitu: konsili constance pada periode 1414-1418 dan konsili Basel dari 1431-1439- tetapi tidak satupun yang efektif dalam melakukan perubahan sistematik16. Ketika struktur Ekklesiatikal tidak bisa mereformasi dirinya sendiri, muncul pemberontakan dari Gereja Romawi. Meski Martin Luther bukanlah yang pertama atau yang terakhir yang mendukung reformasi teologia dan politik, namun dia yang paling berpengaruh dalam memicu dan memenuhi Reformasi Protestan17

16

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah

Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 941

. Deklarasinya yang terkenal, Ninety-Five Theses pada tahun 1517 adalah serangan awal nya pada keserakahan paus, yang menurutnya sudah merusak Gereja baik secara teologies maupun politik. System keselamatan yang ditanamkan oleh elemen Gereja Barat untuk jaminan keselamatan hanya bagi yang mampu, telah memperkaya Pendeta dan memiskinkan orang beriman.

17


(68)

Kontribusi Agama dan Politik Luther sifatnya Paralel: Individu dapat memahami Firman Tuhan secara langsung tanpa perantara. Gereja atau Negara tidak diisyaratkan untuk mengintervensi didalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena iman adalah personal dan internal, iman sejati tidak pernah bisa dipaksakan. Hanya perilaku yang benar yang bisa dipaksakan. Meskipun ada klaim Aristotelian dari Gereja, namun orang beriman tidak seharusnya mencari kebenaran agama melalui akal - meskipun orang punya kemampuan berfikir – tetapi melalui kemampuan untuk percaya18

Luther menolak tradisi keagamaan katolik yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, yakni Hak istimewa pastor untuk membaca dan menafsirkan kitab suci. Menurut beliau, siapapun pengikut Kristus, bukan hanya pendeta, berhak membaca dan menafsirkan alkitab. Menurut Luther, sebenarnya semua orang itu adalah sama, namun yang membedakan hanya kebajikan dan iman yang mereka miliki.

.

Martin Luther mengatakan bahwa, Orang Kristen sendiri tidak perlu hukum karena mereka diatur langsung oleh Tuhan; namun, mereka hanya harus patuh dan mendukung pemerintah demi mengayomi orang-orang kafir. Pemerintah tercipta karena dunia penuh dengan kekacauan. Tujuan pemerintah adalah untuk menjaga ketertiban. Perhatian utama

18


(1)

ABSTRAK

Sikap apatisme dari masyarakat, khusunya masyarakat yang berada di pedesaan menyebabkan mobilisasi politik sering kali terjadi. Yang alih-alih mobilisasi tersebut mereka sebut sebagai sosialisasi politik. Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemelihan (elektoral) tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen mobilisasi politik non partai politik. Salah satunya melalui gereja. Gereja sebagai organisasi formal memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan politik pada jemaat. Hal ini sesuai dengan surat pastoral PGI menyambut pemilihan umum tahun lalu.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosialisasi politik, partisipasi politik dan pemikiran politik kristen oleh martin luther. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dengan jenis penelitian kualitatif. Pada penelitian ini, penarikan sampel deilakukan dengan metode purpossive sampling.

Ketidakadaan pendidikan politik yang diberikan oleh pengurus gereja pada jemaat dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yakni faktor sosial, faktor ekonomi dan personalitas. Hal tersebut jugalah yang menyebabka pengurus gereja tersebut dipakai memobilisasi sauara jemaat, walau pada pemilihan umum tahun lalu kontribusinya bersifat pasif.


(2)

ABSTRACK

Apatism of people, especially who living in rural areas made political mobilization often happen in there. Instead, the mobilization they call as political socialization. Activity of political mobilization fo election interest not just do by political party but it also can do by political mobilization’s instruments non-political party. The example is by church. A Church as a fomal organization has responsibility to give political aducation for his people. This is consistent with the pastoral letter from the unity if church in Indonesia.

This study used theory of political socialization, political participation and Christian political thought by Martin Luther. This research uses descriptive method with qualitative research. In this research, sampling was done using purposive sampling metods.

The absence of political education given by the sexton for his people has motivated by some factor: social factors, economic and personality. It’s also one of factor why them used to mobilize the voice of his people. Although the general election on last year, their contribution is passive.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa. Atas kasih dan anugrahnya yang besar dan tidak terukur, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: Gereja sebagai Agen sosialisasi dan mobilisasi suara dalam pemilihan DPRD di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun Tahun 2014. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penghargaan dan terimakasih yang penulis berikan kepada Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.S.P. selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis menyadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaanny. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Medan, Juni 2015 Penulis

Pasra Kristina Siringo ringo NIM. 110906017


(4)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK

ABSTRACK

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ……… ii

DARTAR GAMBAR ……….. iii

DAFTAR TABEL ……… iv

DAFTAR LAMPIRAN ……… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Perumusan Masalah ……… 11

C. Tujuan Penelitian ……… 15

D. Manfaat Penelitian ………. 15

E. Kerangka Teori 1. Pemikiran Politik Kristen ………. 17


(5)

2. Sosialisasi Politik ………….……… 19

3. Partisipasi Politk ……….. 24

F. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian ……… 30

2. Jenis Penelitian ………. 31

3. Lokasi Penelitian ………. 34

4. Teknik Pengumpulan Data ……… 35

BAB II PROFIL KECAMATAN SIBABANGUN A. Profil Tapanuli Tengah 1. Sejarah singkat Kabupaten Tapanuli Tengah ………. 38

2. Kondisi Alam ………. 40

3. Pemerintahan ……….. 41

4. Keadaan Penduduk ………. 45

B. Profil Kecamatan Sibabangun 1. Letak Geografis ……….. 48

2. Pemerintahan ……….. 49

3. Keadaan Penduduk ……….……….. 50

3.1. Jumlah Penduduk ……….. 50

3.2. Pekerjaan Penduduk ……….. 52

3.3.Agama Penduduk ……….……… 53 C. Profil Gereja Sibabangun


(6)

BAB III Kontribusi Gereja sebagai Agen Sosialisai dan Mobilisasi Suara Dalam Pemilihan DPRD di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun Tahun 2014

1. Gereja sebagai Agen Sosialisasi Politik ……… 59

1.1 Transfer Nilai ……….. 61

1.1.1 Faktor sosial, meliputi lingkungan dan kultur …………. 62

1.1.2 Faktor Ekonomi ………...………. 73

1.1.3 Personalitas ………….……… 75

1.2 Komunikan ……….. 76

2. Kontribusi Gereja sebagai Agen mobilisasi Suara ……… 77

BAB IV PENUTUP Kesimpulan ……….……….. 82