Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan (1950 – 1999)

(1)

PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH TINGKAT II KABUPATEN TAPANULI SELATAN 1950 – 1999

Skripsi Sarjana Dikerjakan O

L E H

Nama : Abdul Azis Matondang NIM : 080706031

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH TINGKAT II KABUPATEN TAPANULI SELATAN (1950 – 1999)

Skripsi Sarjana

Dikerjakan O

L E H

Nama : Abdul Azis Matondang NIM : 080706031

Diketahui Oleh : Pembimbing

NIP. 195908041985032002 Dra. Nina Karina, M. SP

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujan Ujian Skripsi

PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH TINGKAT II KABUPATEN TAPANULI SELATAN (1950 – 1999)

Dikerjakan oleh:

Nama : Abdul Azis Matondang

NIM : 080706031

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing

Dra. Nina Karina, M. SP Tanggal ...

Nip 195908041985032002 Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal ...

Nip 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(4)

Lembar Pengesahan Ketua Departemen

Disetujui Oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Departemen Sejarah

Ketua Departemen Sejarah

NIP. 196409221989031001 Drs. Edi Sumarno, M. Hum


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada,

Hari :

Tanggal :

FAKULTAS ILMU BUDAYA DEKAN,

Dr. Syahron Lubis, M. A. Nip. 195110131976031001

Panitia Ujian : Tanda Tangan

Drs. Edi Sumarno, M. Hum ( ... )

Dra. Nurhabsyah, M.Si ( ... )

Dra. Nina Karina, M. SP. ( ... )

Dra. Ratna, M. S. ( ... )


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat dan anugrah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan seluruh proses perkuliahan dan penulisan skripsi ini dengan baik, mulai dari proses pengumpulan data, verifikasi, interpretasi dan hingga penulisan.

Penulisan skripsi adalah syarat bagi mahasiswa untuk memperoleh suatu gelar sarjana. Skripsi merupakan satu kewajiban akademis untuk meraih gelar sarjana di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini penulis mengangkat sebuah karya yang berjudul “Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan (1950-1999)”.

Atas segala saran, kritik, bantuan spritual maupun materil yang telah diterima dari benrbagai pihak yang membantu dalam penyelesaian hasil karya ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda Abdul Rifai Matondang dan Ibunda Siti Aisah Lubis yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan moril dan materil dan doa restu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan karya sederhana ini. Tanpa kalian penulis bukanlah apa-apa dan karya ini mungkin hanya akan ada dalam khayalan penulis.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Pembantu Dekan beserta seluruh staf pegawainya.


(7)

3. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sejarah Universitas Sumatera Utara yang telah membantu lancarnya penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si. selaku Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah dan Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah mencurahkan perhatian, nasehat, semangat serta kasih sayang sebagai ibu angkat penulis di kampus selama penulis menjadi mahasiswa

5. Dosen pembimbing penulis, Ibu Dra. Nina Karina, M. SP, yang telah memberikan masukan, saran, kritik, nasihat, waktu luang, serta perhatian yang begitu besar kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

6. Kepada Ibu Dra. Ratna, M. S., dan Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M. Si., atas partisipasi dan kerja samanya selaku dosen penguji pada saat sidang/ujian skripsi.

7. Kepada seluruh staf pengajar Departemen Sejarah yang telah memberikan penulis banyak pencerahan, pengetahuan, pengalaman, pendidikan serta wawasan selama penulis menjadi mahasiswa baik itu di kampus maupun di luar kampus. Tidak lupa juga pada staf TU Departemen Sejarah, bang Ampera yang telah banyak membantu penulis terutama masalah administrasi selama penulis menjadi mahasiswa.

8. Seluruh Instansi Pemerintah dijajaran Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian, terutama kepada Kepala BPS, Staf Perpusatakaan Daerah Tapanuli Selatan, Kantor KESBANG


(8)

POL dan LINMAS, dan Kantor Sekretariat Daerah Bagian Hukum yang telah memberikan data dalam menyelesaikan penulisan ini.

9. Kepada Asrama Family, Ardi Hasiholan, Rolanda Sianturi, Ali Haswi Tarigan, Foris Waruwu, Kriston, Muhammad Yusuf, dan lainnya atas dukungan dan dorongan kalian semua.

10.Kepada rekan-rekan stambuk 2008, Royandi Hutasoit, Artono, Dewi, Jansarman, Jakob, Puspita, Erni, Edita, Putri, Novita, Albert dan yang lainnya atas dukungan, dorongan serta kekompakan kita.

11.Kepada seluruh mahasiswa Departemen Sejarah atas dukungan dan perhatian kalian semua.

Akhirnya untuk semua orang yang telah membantu langsung maupun tidak langsung penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga kebaikan kalian semua mendapat imbalan yang sesuai dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dengan segala keterbatasan yang penulis miliki, oleh karena itu kritik dan saran yang sehat dan membangun akan diterima dengan senang hati demi perbaikan skripsi ini nantinya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, September 2013 Penulis,

Abdul Azis Matondang NIM. 080706031


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN DEKAN DAN DOSEN PENGUJI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.4 Tinjauan Pustaka ... 13

1.5 Metode Penelitian ... 16

BAB II GAMBARAN UMUM TAPANULI SELATAN 2.1 Letak Geografis ... 18

2.2 Kondisi Demografi ... 20

2.3 Kondisi Sosial ... 25

2.4 Pemerintahan di Tapanuli Selatan sebelum tahun 1950 ... 31

2.4.1 Pemerintahan Tradisional di Tapanuli Selatan ... 31

2.4.2 Tapanuli Selatan Masa Kolonial Belanda ... 36


(10)

BAB III PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DATI II KABUPATEN TAPANULI SELATAN 1950-1999

3.1 Pengertian dan Hubungan Pemerintah Daerah dengan Pemerintahan

Negara/Pusat ... 46

3.1.1 Pengertian Pemerintah Daerah ... 46

3.1.2 Hubungan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Negara/Pusat ... 48

3.2 Pemerintahan Dati II Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1950-1957 ... 52

3.2.1 Awal Pembentukan Pemerintahan 1950 ... 52

3.2.2 Pembentukan Dati II Kab. Tapanuli Selatan dengan Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1956 ... 56

3.3 Perkembangan Pemerintahan Dati II Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1957-1974 ... 59

3.3.1 Pemberlakuan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok- pokok Pemerintahan Daerah di Dati II Kab. Tapanuli Selatan ... 59

3.3.2 Pemberlakuan Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok- pokok Pemerintahan Daerah di Dati II Kab. Tapanuli Selatan ... 63

3.4 Perkembangan Pemerintahan Dati II Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1974-1999 ... 65

3.4.1 Pemberlakuan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Pemerintahan Daerah di Dati II Kab. Tapanuli Selatan ... 65

3.4.2 Pembagian Wilayah dan Perkembangan Pembangunan Dati II Kab. Tapanuli Selatan ... 71


(11)

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DATI II KABUPATEN TAPANULI SELATAN 1950-1999

4.1 Faktor Politik ... 84

4.2 Faktor Sosial ... 88

4.3 Faktor Ekonomi ... 92

4.4 Faktor Agama dan Budaya ... 95

BAB V KESIMPULAN ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 100

DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel I Nama-nama Distrik menurut Onder Afdeeling

di Tapanuli Selatan ... 40 Tabel II Luhat di Tapanuli Selatan menurut Distrik ... 41 Tabel III Penduduk Tapanuli Selatan diperinci Menurut Pekerjaan dari

tahun 1979-1984 ... 68 Tabel IV Jumlah Kecamatan, Luas, Desa, Ibu Kota dan Camat di Kab.

Tapanuli Selatan tahun 1985 ... 72 Tabel V Pembagian Daerah Administrasi Kabupaten Tapanuli Selatan

diperinci Menurut Kecamatan 1999 ... 76 Tabel VI Jumlah Rumah Ibadah menurut Jenisnya di Kab. Tapanuli Selatan

diperinci Menurut Kecamatan tahun 1999 ... 80 Tabel VII Jumlah Sarana Kesehatan diperinci Menurut Kecamatan


(13)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif. Bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisa Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan serta faktor yang mempengaruhinya.

Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan telah ada jauh sebelum tahun an dengan berbagai macam bentuk. Tetapi, baru dari tahun 1950-an lah pemerintah1950-an tersebut secara resmi berdiri sendiri sebagai auatu daerah otonomi yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya.

Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut telah melalui perkembangan yang sangat pesat hingga perlu dilakukannya pemekaran dari sebagian daerah pemerintahan ini. Hingga akhirnya pada awal tahun 1999 Kabupaten Mandailing Natal dibentuk sebagai pemekaran dari sabagian daerah Tapanuli Selatan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Selain itu juga menggunakan wawancara bebas dan pendekatan disiplin ilmu lain, yakni politik, sosiologi dan ekonomi sesuai dengan kebutuhan guna memperkaya penulisan ini.

Penelitian ini membicarakan tentang Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1950-1999 dan juga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pemerintahan tersebut. Pemerintahan merupakan sesuatu yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Suatu pemerintahan yang baik harus mampu menghimpun satu kelompok masyarakat/organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.

Metode yang digunakan dalam meneliti perkembangan Pemerintahan Tapanuli Selatan adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif naratif.

Tujuan penelitian tentang Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan 1950-1999 adalah untuk menjelaskan bagaimana perjalanan pemerintahan tersebut sejak diresmikannya menjadi daerah otonom sampai sebelum daerah pemerintahan Tapanuli Selatan tersebut mulai dimekarkan menjadi beberapa kabupaten baru. Serta tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pemerintahan tersebut.


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif. Bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisa Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan serta faktor yang mempengaruhinya.

Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan telah ada jauh sebelum tahun an dengan berbagai macam bentuk. Tetapi, baru dari tahun 1950-an lah pemerintah1950-an tersebut secara resmi berdiri sendiri sebagai auatu daerah otonomi yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya.

Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan tersebut telah melalui perkembangan yang sangat pesat hingga perlu dilakukannya pemekaran dari sebagian daerah pemerintahan ini. Hingga akhirnya pada awal tahun 1999 Kabupaten Mandailing Natal dibentuk sebagai pemekaran dari sabagian daerah Tapanuli Selatan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Selain itu juga menggunakan wawancara bebas dan pendekatan disiplin ilmu lain, yakni politik, sosiologi dan ekonomi sesuai dengan kebutuhan guna memperkaya penulisan ini.

Penelitian ini membicarakan tentang Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1950-1999 dan juga tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pemerintahan tersebut. Pemerintahan merupakan sesuatu yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Suatu pemerintahan yang baik harus mampu menghimpun satu kelompok masyarakat/organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.

Metode yang digunakan dalam meneliti perkembangan Pemerintahan Tapanuli Selatan adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif naratif.

Tujuan penelitian tentang Perkembangan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan 1950-1999 adalah untuk menjelaskan bagaimana perjalanan pemerintahan tersebut sejak diresmikannya menjadi daerah otonom sampai sebelum daerah pemerintahan Tapanuli Selatan tersebut mulai dimekarkan menjadi beberapa kabupaten baru. Serta tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pemerintahan tersebut.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah Daerah dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) adalah penyelenggara pemerintahan daerah menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18.

Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Secara historis, asal-usul struktur pemerintahan daerah di Indonesia yang ada sampai saat ini, berakar dari Eropa pada abad 11 dan ke 12, yang dalam perkembangannya dipandang sebagai suatu organisasi pemerintahan yang berbasis geografis tertentu yang ada dalam suatu


(16)

negara berdaulat.1

Dengan demikian, sistem pemerintahan daerah di Indonesia yang berlaku hingga sekarang ini sangat banyak dipengaruhi oleh cara-cara yang ada di Belanda, yaitu dengan adanya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatie Wet) yang membentuk daerah otonom yang terbatas jumlahnya dan merupakan perkembangan paling awal dalam sejarah perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia. Setelah kemerdekaan, melalui penetapan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia, pemerintah Indonesia mendapatkan pengakuan secara institusional.

Perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia dapat ditelusuri mulai dari zaman penjajahan Hindia Belanda.

2

Kemudian setelah disesuaikan dengan amanat yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18, daerah di Indonesia dibagi atas daerah besar dan kecil, yang bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang. Adapun konsep dan pengertian daerah di Indonesia yang terakhir diberlakukan terdapat dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, bahwa konsep “pemerintahan daerah” adalah mengacu pada suatu organisasi pemerintahan berbasis wilayah dan penduduk tertentu yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan yang telah diserahkan kepadanya oleh pemerintahan di atasnya.

Dengan kata lain, bahwa pengertian pemerintahan daerah adalah segenap penyelenggaraan wewenang suatu daerah otonom berikut kewajibannya, tugas, dan

1

S. H. Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Tinjauan Khusus

Pemerintahan Daerah di Indonesia : Perkembangan, Kondisi, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 12.

2


(17)

tanggung jawabnya.3

Sebagian dari wilayah Provinsi Sumatera Utara adalah Daerah Tingkat II, termasuklah Kabupaten Tapanuli Selatan yang dalam perjalanan sejarahnya telah melalui berbagai perubahan dalam perkembangan struktur pemerintahan daerah mulai dari masa pemerintahan tradisional yang biasa disebut dengan huta, masa kolonialisme, masa pendudukan Jepang, hingga pada masa orde baru. Kesemuanya memiliki peranan yang sangat besar dalam pembangunan masyarakat di wilayah Tapanuli Selatan pada khususnya dan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada umumnya.

Pemerintah daerah dalam penyelenggaraannya dibantu oleh staf yang membantu kepala daerah yaitu sekretariat daerah dan dinas-dinas daerah. Sebab, dengan adanya keragaman penduduk, keadaan alam dengan potensi serta permasalahan yang satu sama lain memiliki kekhususan tersendiri yang kesemuannya akan lebih efektif dan efisien apabila dibantu oleh perangkat pemerintah yang perlu diwujudkan di masing-masing wilayah.

Sebelum masa kolonial masyarakat Batak-Toba hampir tidak mengenal negara. Penduduk tinggal di kampung-kampung yang disebut huta.4

3

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan di Negara Republik Indonesia, Jilid III (Edisi diperlengkap), Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 191.

Begitu juga dengan di Tapanuli Selatan, jauh sebelum masuknya pengaruh asing sekitar abad ke-19, sudah terdapat banyak komunitas kecil yang disebut sebagai huta. Setiap huta (village) dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Raja Pamusuk (RP). Setiap huta ini mempunyai sistem pemerintahan sendiri yang secara tradisional berdiri secara

4

Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, Penerjemah Maurits Simatupang, Jakarta: Gramedia, 2001, hal. 6.


(18)

otonom. Pada tahun 1834, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tanah Batak, diawali dari selatan dengan didirikannya Onder Afdeeling Mandailing yang dipimpin Controleur Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal dengan Multatuli, berkedudukan di Natal. Pemerintahan sipil ini kemudian dipindahkan ke Panyabungan, lalu ditingkatkan menjadi Afdeeling Mandailing/Angkola yang dipimpin Asistent Resident T.J. Willer yang berkoordinasi Gouverneur van Sumatra Westkust (Gubernur Pantai Barat Sumatera) yang berkedudukan di Sibolga. Antara tahun 1885 sampai dengan 1906, Padang Sidimpuan menjadi ibukota Residen Tapanuli.

Pada masa pendudukan Belanda, wilayah Tapanuli bagian Selatan disebut Afdeeling Padang Sidimpuan dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Padang Sidimpuan. Afdeeling Padang Sidimpuan pada akhirnya dibagi atas tiga onder afdeeling. Setiap onder afdeeling dikepalai oleh seorang Contreleur yang dibantu oleh seorang Demang. Tiga onder afdeeling tersebut, yaitu: 1. Onder Afdeeling Angkola-Sipirok ibukota di Padang Sidimpuan, 2. Onder Afdeeling Padang Lawas ibukota di Sibuhuan, dan 3. Onder Afdeeling Mandailing-Natal ibukota di Kotanopan.

Seiring dengan masa pendudukan Jepang di Tapanuli, Pimpinan Pendudukan Jepang di Tanah Batak segera memindahkan kantor Residen Tapanuli dari Sibolga ke Tarutung. Istilah Resident peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh Jepang diganti menjadi Cokan; Asistent Resident yang memimpin Afdeeling diganti menjadi Gunseibu; Controleur yang mengepalai Onder afdeeling dihilangkan tetapi posisi Demang yang sebelumnya memimpin Distrik ditingkatkan untuk memimpin


(19)

onder afdeeling yang disebut Gunco; Asisten Demang yang mengepalai Onder distrik diganti menjadi Huku Gunco; Kepala Kampung diganti menjadi Kuco, sedangkan Kepala Polisi disebut Keibi.

Pasca kemerdekaan yaitu pada masa datangnya agresi militer Belanda sekitar tahun 1948, di Tapanuli bagian Selatan dibentuk tiga kabupaten untuk menggantikan istilah onder afdeeling yang dipimpin Asisten Residen/Cokan yang digunakan sebelumnya. Tiga kabupaten yang dibentuk tersebut adalah Kabupaten Angkola-Sipirok, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Mandailing Natal. Selama masa perang pada masa agresi Belanda di Tapanuli Bagian Selatan kedudukan pemerintahan kabupaten berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih aman di luar jangkauan tentara kolonial Belanda.

Setelah Republik Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh pada akhir tahun 1949, maka pembagian daerah administrasi pemerintahan mengalami perubahan. Semenjak awal tahun 1950 terbentuklah Daerah Tapanuli Selatan dan seluruh pegawai yang ada pada kantor Bupati Angkola-Sipirok, Padang Lawas dan Mandailing Natal ditetapkan menjadi pegawai Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang berkedudukan di Padang Sidimpuan. Pada tahun 1956, Daerah Tapanuli Bagian Selatan dibentuk menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Tapanuli Selatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956.5

5

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2012, Kerja sama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. xlix.


(20)

batas-batas yang meliputi wilayah Afdeeling Padang Sidimpuan sesuai Staatsblad 1937 No.563.

Kabupaten Tapanuli Selatan yang memiliki 18 kecamatan dalam waktu yang lama, maka pada tanggal 30 Nopember 1982, wilayah Kecamatan Padang Sidimpuan dimekarkan menjadi empat kecamatan yakni Kecamatan Padang Sidimpuan Timur, Kecamatan Padang Sidimpuan Barat, Kecamatan Padang Sidimpuan Utara dan Kecamatan Padang Sidimpuan Selatan. Nama Kecamatan Padang Sidimpuan dihapus. Selanjutnya Kecamatan Padang Sidimpuan Utara dan Padang Sidimpuan Selatan menjadi bagian dari Kota Administratif Padang Sidimpuan yang dibentuk (PP No. 32 Tahun 1982). Kota administrasi bukanlah daerah otonom sebagaimana Kabupaten atau Kota. Kota administrasi tidak memiliki DPRD. Kota administrasi hanya dipimpin oleh seorang walikota dan dibantu oleh wakil walikota yang diangkat oleh gubernur dari kalangan Pegawai Negeri Sipil. Perangkat daerah kota administrasi terdiri atas Sekretariat Kota Administrasi, Suku Dinas, lembaga teknis lain, kecamatan, dan kelurahan.

Setelah 10 tahun tidak terjadi pemekaran kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, maka pada tahun 1992 dilakukan lagi pemekaran. Berdasarkan PP No. 35 Tahun 1992, Kecamatan Natal dimekarkan menjadi tiga kecamatan dan Kecamatan Siais dibentuk. Kemudian pada tahun 1996 sesuai dengan PP No.1 Tahun 1996 tanggal 3 Januari 1996 dibentuk Kecamatan Halongonan dengan ibukota Hutarimbaru yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Padang Bolak.

Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai kabupaten tunggal di wilayah Tapanuli Bagian Selatan berlangsung selama 42 tahun sampai akhirnya harus dimekarkan.


(21)

Dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 23 Nopember 1998 tentang pembentukan Kabupaten Mandailing Natal, maka Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi dua kabupaten yakni Kabupaten Mandailing Natal (ibukota Panyabungan) dengan jumlah daerah administrasi 8 kecamatan dan Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidimpuan) dengan jumlah daerah administrasi 16 kecamatan.

Dalam proses perkembangannya, pemerintahan daerah di Tapanuli Selatan berlangsung secara bertahap, yang ditandai dengan adanya perubahan maupun peningkatan dalam berbagai segi kehidupan masyarakatnya, seperti pendidikan, ekonomi, sarana dan prasarana, sosial budaya, sistem pemerintahan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan tuntutan hidup masyarakat yang juga semakin meningkat. Berbagai proses yang dijalani dalam roda pemerintahan daerah di wilayah Tapanuli Selatan sebagai pelimpahan wewenang dari pusat (dalam hal ini pemerintah pusat Tingkat I Propinsi Sumatera Utara) merupakan kewajiban yang harus dijalankan secara nyata dan bertanggung jawab sebagai prinsip dasar pemberian otonomi daerah dengan tujuan agar pelayanan terhadap masyarakat dapat lebih ditingkatkan serta mampu memenuhi aspirasi masyarakat tersebut.

Dalam penelitian ini, penulis akan membicarakan masalah perkembangan pemerintahan daerah Tapanuli Selatan yang menyangkut perubahan pemerintahan daerah Tapanuli Selatan dalam pembangunan daerah serta hal-hal yang mempengaruhi perubahan pemerintahan tersebut mulai tahun 1950 sampai dengan tahun 1999. Perubahan pemerintahan yang dimaksud adalah mengenai perubahan sistem kepemimpinan, kebijakan politik, struktur organisasi sampai dengan


(22)

pembentukan atau penghapusan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran daerah dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Dalam hal ini yang cukup penting adalah perubahan bentuk pemerintahan yang dapat memberikan perkembangan yang penting bagi masyarakatnya. Sebab seiring berkembangnya suatu sistem pemerintahan ke arah yang lebih baik akan memberikan dampak yang baik juga bagi masyarakatnya. Maka sangat penting untuk memberikan perhatian pada pembentukan sistem pemerintahan, dengan demikian akan tercipta suatu bentuk pemerintahan yang serasi dengan masyarakatnya demi terciptanya pembangunan nasional dan cita-cita bangsa.

Studi tentang pemerintahan di Tapanuli Selatan sangat menarik dikaji karena perkembangan pemerintahan yang ditandai dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan daerah dan kehidupan masyarakat. Sebab, maju mundurnya suatu daerah juga ditentukan oleh bagaimana kinerja dari aparatur pemerintahan dalam membangun daerahnya. Maksudnya bahwa suatu negara terbentuk oleh pembawaan alami manusia yang menjadi unsur susunannya, maka apabila orang-orang tersebut tidak memiliki kemampuan dalam bidangnya masing-masing, maka tidak dapat diharapkan akan adanya Negara yang lebih baik dan sampai saat itu perubahan yang ada akan tetap sia-sia.6

Studi tentang daerah Tapanuli Selatan sudah sering dikaji, tetapi yang berkenaan dengan pemerintahan daerah dan hal-hal yang mempengaruhi

Jadi ada semacam relasi atau hubungan antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, aplikasinya, dan hasilnya di lapangan.

6


(23)

perkembangan pemerintahan tersebut belum pernah diteliti. Maka dari itu penulis merasa perlu melakukan penelitian yang lebih mendalam lagi tentang pemerintahan di Tapanuli Selatan dan mempelajari bagaimana kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah daerah terhadap masyarakat sehingga masyarakat dan pemerintah setempat bisa berjalan bersama dalam meningkatkan kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya serta agama dalam rentan waktu yang telah ditentukan.

Pemerintah merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam suatu daerah, yang mana pemerintah juga bekerja sama dengan masyarakat. Sama halnya dengan yang terjadi di daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan. Akhirnya, kompleksitas masalah di dalam proses perkembangan pemerintahan di daerah Tapanuli Selatan akan menjadi bahan kajian dalam studi ini yang nantinya akan tertuang dalam skripsi yang berjudul “Perkembangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan 1950-1999”.

1.2.Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan suatu landasan yang digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan dibahas dan menjadi akar permasalahan dalam sebuah penelitian. Maka berdasarkan latar belakang di atas untuk mempermudah penelitian agar objektif dan menjaga sinkronisasi dalam uraian penelitian, perlu diberikan batasan masalah terhadap penelitian ini dengan mengkaji beberapa pokok permasalahan yang dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut:

1. Latar belakang dibentuknya Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1950.


(24)

2. Perkembangan pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode tahun 1950-1999.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pemerintahan Daerah Tingkat II Kab. Tapanuli Selatan selama periode tahun 1950-1999.

Penelitian tentang perkembangan maupun perubahan pemerintahan di sebuah daerah mengharuskan adanya sebuah eksplanasi tentang bagaimana sebuah perubahan di pemerintahan mempunyai pengaruh terhadap kondisi masyarakat di daerah tersebut. Hal inilah yang akan dicoba di uraikan pada studi ini. Tahun 1950 dijadikan periodisasi awal penelitian karena, pada tahun inilah awal dimulainya pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan yang mana sebelumnya disebut Afdeeling Padang Sidimpuan pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Setelah Republik Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh pada akhir tahun 1949, maka pembagian daerah administrasi pemerintahan mengalami perubahan. Dan pada awal tahun 1950 digantilah pemerintahan yang sebelumnya disebut sebagai Afdeeling Padang Sidimpuan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan, yang mana wilayahnya terdiri dari bekas daerah Afdeeling Padang Sidimpuan yang sebelumnya.

Pada batasan periodisasi penulis membatasi studi tentang pemerintahan daerah Kabupaten Tapanuli Selatan sampai pada tahun 1999, karena pada tahun ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menjelaskan tentang pemekaran terhadap daerah administrasi kabupaten Tapanuli Selatan, yang mana kabupaten Tapanuli Selatan yang sebelumnya masih mencakup seluruh wilayah dari bekas Afdeeling Padang Sidimpuan dimekarkan menjadi beberapa kabupaten baru.


(25)

Dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 23 November 1998 tentang pembentukan Kabupaten Mandailing Natal maka Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal (Ibukota Panyabungan) dan Kabupaten Tapanuli Selatan (Ibukotanya Padang Sidimpuan).

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini serta manfaat yang didapatkan dari hasil penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang dibentuknya Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1950.

2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode tahun 1950-1999.

3. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pemerintahan Dati II Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode tahun 1950-1999.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan pengetahuan dan informasi yang baru dalam penelitian pemerintahan terutama pemerintahan daerah melalui pendekatan ilmu sejarah. 2. Sebagai suatu bahan perbandingan dalam penelitian pemerintahan yang ada di

Indonesia khususnya di Sumatera Utara tentang sejauh mana suatu sistem pemerintahan memiliki pengaruh terhadap masyarakatnya.


(26)

3. Menambah literatur kepustakaan bagi ilmu sejarah untuk penelitian selanjutnya tentang pemerintahan.

4. Menambah wawasan pembaca mengenai sejarah pemerintahan daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.

5. Menjadi sebuah karya tulis (skripsi), sebagai persyaratan untuk menjadi Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah.

1.4.Tinjauan Pustaka

Penelitian merupakan masalah yang harus dipahami sehingga diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka. Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus direview terlebih dahulu. Di dalam proposal penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan referensi yang menimbulkan gagasan, konsep, teori, dan mengarah pada pembentukan hipotesa, dan sumber informasi atau pendukung yang berkaitan dengan pemerintahan daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Dalam buku terbitan Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang berjudul “Sumatera Utara dalam Lintasan Sejarah” Tim Peneliti menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan peraturan Pemerintah Daerah Sumatera Utara dari satu periode ke periode lainnya, hubungan kausalitas dari setiap perubahan yang terjadi dengan masyarakat daerah setempat, latar belakang historis, kondisi dan situasi sosio-kultural maupun keagamaan masyarakat setempat. Dalam buku tersebut juga dapat dilihat gambaran umum tentang bagaimana


(27)

suku-suku bangsa di kawasan Sumatera Utara pada masa lampau telah menerapkan demokrasi dan hak azasi manusia yang khas di Indonesia, jauh sebelum mereka berkenalan (diperkenalkan) dengan demokrasi ala Barat yang dipasok oleh kolonialisme Belanda. Dalam buku tersebut didapati data tentang gambaran umum kondisi sosial Tapanuli Selatan, juga tentang perjalanan singkat pemerintahan daerah Dati II Kab. Tapanuli Selatan pada masa tradisional dan masuknya Kolonial Belanda.

Penulisan tentang pemerintahan daerah di Indonesia belum banyak mendapat perhatian dalam penulisan sejarah. Seperti yang dikatakan oleh S. H. Sarundajang dalam bukunya yang berjudul “Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara”

menjelaskan tentang perkembangan, kondisi dan tantangan dalam pemerintahan daerah di berbagai negara di dunia terutama di Indonesia yang dibagi sejak zaman penjajahan hingga zaman orde baru serta prospek perkembangannya pada masa yang akan datang. Sebelum menuliskan tentang Pemerintahan Dati II Kab. Tapanuli Selatan perlu adanya referensi tentang bagaimana pemerintahan daerah di daerah lain sebagai bahan perbandingan. Dan bahwa pentingnya pemerintahan daerah adalah merupakan suatu konsekuensi yang logis dari adanya perbedaan etnis, bahasa, agama, dan institusi sosial berbagai kelompok masyarakat lokal dalam suatu negara. Maka untuk itu didistribusikan fungsi pelayanan dan pengaturan umum di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara lokal dan sentral, agar benar-benar menjadi aspiratif yang baik untuk kepentingan nasional maupun terhadap tuntutan heterogenitas lokal yang dimaksud.7

7

S. H. Sarundajang, op. cit., hal. 20.


(28)

Dengan adanya pemerintahan daerah akan lebih memperbesar akses setiap warga negara atau masyarakat untuk berhubungan langsung dengan pemimpinnya dan juga sebaliknya sebagai pemimpin daerah akan memperoleh kesempatan untuk mengetahui potensi sumber daya, masalah, kendala, dan kebutuhan daerahnya dan menghilangkan mekanisme pembuatan keputusan yang kurang efisien. Bagaimana seharusnya kepala daerah di Pemerintahan Dati II Kab. Tapanuli Selatan dalam berhubungan dengan masyarakatnya, dan apa saja pokok-pokok dalam Pemerintahan Dati II Kab. Tapanuli Selatan, untuk mengetahuinya dibutuhkan kerja sama yang baik dari kalangan masyarakat maupun kalangan pemerintah daerah demi terwujudnya pembangunan daerah dalam menciptakan stabilitas nasional dan pemerintahan yang terpusat, sebagaimana yang tercermin dalam UU No. 5 tahun 1974. Seperti yang tertanam dalam buku yang berjudul “Pokok-pokok Pemerintahan Daerah” (2005) yang ditulis oleh I. Widarta terbitan Pondok Edukasi.

Dalam disertasi Lence Castle yang berjudul “The Political Life of A Sumatran Residency 1940 (Kehidupan Politik suatu Keresidenan di Sumatera 1915-1940)” memaparkan tentang peta politik kolonial di Tapanuli, yang mencakup deskripsi dan analisis tekanan-tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat Batak, gerakan perlawanan sekte-sekte agama Batak, tanggapan umat Islam, tanggapan umat Kristen, hubungan antara puak Toba dan Angkola-Mandailing, politik harajaon (kekuasaan) di Tapanuli Utara dan politik pergerakan di Tapanuli Selatan selama periode tahun 1915 sampai 1940. Dari buku disertasi ini dapat dilihat bagaimana pemerintahan di Tapanuli Selatan sebelum tahun 1950-an.


(29)

Hukum Pemerintahan Daerah tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan di tanah air. Apalagi dengan adanya upaya mewujudkan otonomi daerah persoalan hukum pemerintahan daerah semakin luas, kompleks dan banyak hal yang perlu dikaji. Salah satu hal yang sangat mendasar untuk dikaji adalah masalah hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah. Bagaimana hukum pemerintahan daerah tersebut mengatur pemerintahan daerah Tapanuli Selatan dan bagaimana tentang pola hubungan kewenangan melalui hukum-hukum perundang-undangan yang pernah dikeluarkan serta pemberlakuannya di Tapanuli Selatan, semuanya coba disesuaikan dengan yang dideskripsikan oleh Juanda dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah”.

R. Joeniarto dalam bukunya “Perkembangan Pemerintah Lokal” menjelaskan tentang aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang terkandung dalam peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan yang bertalian dengan struktur organisasi pemerintah lokal, baik yang dulu pernah berlaku maupun yang sekarang masih berlaku. Yang dalam perkembangannya bisa memberikan penjelasan tentang perjalanan pemerintahan lokal (daerah) di Indonesia termasuk pemerintahan daerah Dati II Kab. Tapanuli Selatan sesuai dengan peraturan-peraturan yang diberlakukan. Perkembangan Pemerintahan Dati II Kab. Tapanuli Selatan akan coba dinarasikan sesuai dengan peraturan perundang-undangn tentang pemerintahan daerah di Indonesia sesuai dengan yang dinarasikan oleh R. Joeniarto dalam bukunya.


(30)

1.5.Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah terdapat metode penulisan yang penting dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau dari obyek yang sedang diteliti. Namun sebelum mengolah fakta analisa kritis terhadap sumber-sumber sejarah adalah hal yang paling penting untuk mengetahui kebenaran dari permasalahan yang akan diteliti.8 Untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam penulisan sejarah dilakukan langkah-langkah atau metode yang lebih dikenal dengan heuristik/pengumpulan sumber, kritik, interpretasi dan historiografi.9

Dalam pengumpulan sumber, penulis menggunakan metode kepustakaan/dokumen pemerintah, buku-buku dan bahan tulisan baik dari perpustakaan maupun dari instansi pemerintahan yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan maupun di Medan. Di samping itu, penulis juga menggunakan metode wawancara mendalam/bebas terhadap beberapa informan untuk mendapatkan sumber lisan terhadap obyek yang dibahas dan juga untuk mendapatkan kebenaran data.

Setelah mendapatkan sumber dan data tentang Tapanuli Selatan yang diperlukan selanjutnya penulis melakukan kritik eksternal dan internal terhadap sumber sejarah. Kritik eksternal digunakan untuk mengetahui asli atau tidaknya sumber dengan meneliti bagian luar dari sumber, seperti bentuk dokumen, bahasa, dan lain-lain. Sedangkan kritik internal dilakukan untuk mendapatkan fakta sejarah dari sebuah sumber dengan meneliti isi sumber tersebut. Setelah itu dilakukan

8

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1981, hal. 63.

9

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah , Penerjemah Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1975, hal. 18.


(31)

interpretasi, dalam tahap ini data-data yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya dianalisa oleh peneliti untuk menghasilkan sebuah sintesis atau kesimpulan tentang perkembangan Pemerintahan Dati II Kab. Tapanuli Selatan dan yang terakhir adalah penulisan sejarah historiografi dengan merangkum semua hasil penelitian menjadi sebuah skripsi.


(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM TAPANULI SELATAN

2.1Letak Geografis

Secara geografis, daerah Tapanuli Selatan berada di belahan Barat Indonesia dan sebelah Selatan Pulau Sumatera yang terletak pada 0,02’ s/d 2,3’ derajat Lintang Utara dan 98,49’ s/d 100,22’ derajat Bujur Timur.10

Selain memiliki gunung-gunung yang indah, Tapanuli Selatan juga memiliki panorama yang indah akan danaunya seperti Danau Tao di Kecamatan Sosopan, Danau Siais di Kecamatan Siais dan danau Marsabut di Kecamatan Sipirok. Wilayah Tapanuli Selatan juga dialiri banyak sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil. Bahkan aliran sungai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air, Industri maupun irigasi, di antaranya sungai Batang Pane, sungai Barumun dan lain-lain.

Dan secara topografi daerah Tapanuli Selatan terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit dan dataran tinggi bergunung dengan ketinggian antara 0 s/d 1500 meter di atas permukaan laut. Daerah ini dikelilingi oleh gunung Gongonan di Kecamatan Batang Angkola, gunung Sorik Marapi di Kecamatan Panyabungan, gunung Lubuk Raya di Kecamatan Padangsidimpuan dan gunung Sibual-buali di Kecamatan Sipirok.

Luas wilayah Tapanuli Selatan adalah 18.006 Km2 atau 1.800.600 H.A. dari luas Propinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah bagian terluas di Sumatera Utara

10

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1984, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. III.


(33)

dari daerah bagian lainnya. Secara administratif daerah Tapanuli sebelum kemerdekaan dikenal sebagai bagaikan dari wilayah kekuasaan Hindia-Belanda yang masuk dalam wilayah Keresidenan Tapanuli. Setelah masa kemerdekaan daerah Tapanuli masuk dalam wilayah propinsi Sumatera Utara dan menjadi daerah tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan yang berbatasan di sebelah Utara dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Tengah dan Dati II Kab. Tapanuli Utara, sebelah Timur dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat, dan di sebelah Barat dengan Samudra Indonesia.

Kondisi geografi Tapanuli Selatan dengan iklim yang selalu bergantian dan curah hujan yang merata setiap bulan membuat daerah ini sesuai sebagai daerah pertanian. Dengan adanya dukungan irigasi, pemakaian bibit unggul, pupuk, dan pengolahan tanah yang tepat dapat meningkatkan hasil pertanian. Selain itu, dengan komposisi penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, menunjukkan bahwa sebagian masyarakatnya sangat mengandalkan hidupnya pada pengelolaan tanah, antara lain sebagai petani sawah, berkebun di ladang dan beternak.

Awalnya Tapanuli Selatan meliputi daerah Sipirok/Angkola dan Mandailing. Kedua daerah ini meskipun berada sama-sama di daerah Tapanuli Selatan, tetapi ada perbedaan yang khas di antara keduanya. Daerah Sipirok merupakan sebuah kecamatan berjarak ± 385 km dari kota Medan, sedangkan dari Padang Sidimpuan ke Kecamatan Sipirok ± 38 km. Antara Kecamatan Sipirok dengan Kecamatan Pahae Jae dengan ibukotanya Pahae, daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara jaraknya ± 42 km. Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal pada masa sekarang. Berada ±


(34)

40 km dari Padang sidimpuan ke selatan dan ± 150 km dari Bukit Tinggi ke utara. Dan Tapanuli Selatan untuk sekarang adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara dengan luas wilayah 12.275,80 km², dengan Ibu kota de jure-nya ialah Sipirok, menyusul dibentuknya Padang Sidimpuan menjadi kota otonom dan pembentukan Kabupaten Mandailing Natal.11

2.2Kondisi Demografi

Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memiliki dua jenis suku sesuai dengan daerahnya yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat dan suku Batak Angkola yang mendiami daerah Sipirok. Kedua suku ini yaitu Batak Mandailing-Angkola mendiami sebagian besar dari keseluruhan daerah Tapanuli Selatan sejak masa tradisional, masuknya pemerintah kolonial Belanda sampai pada saat sekarang ini. Terjadi interaksi yang saling berkesinambungan antara kedua suku ini yang membuat pernyataan bahwa daerah Tapanuli Selatan itu identik dengan suku Batak Angkola-Mandailing pada masa itu, tetapi dalam kenyataannya keduanya memang berbeda.

Mandailing sendiri dibagi dua walaupun sebenarnya adatnya sama. Pembagian itu adalah Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Daerah Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di sebelah utara Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai Muara Soma dan Amara Parlampungan di sebelah barat. Daerah Mandailing

11

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1999, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan.


(35)

Julu, didominasi oleh marga Lubis. Wilayahnya, mulai dari Laru dan Tambangan di sebelah utara. Di sebelah selatan mulai dari Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, etnis Mandailing menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari marga-marga:

- Nasution - Daulay

- Lubis - Matondang

- Pulungan - Parinduri

- Rangkuti - Hasibuan

- Batubara - dan lain-lain12

Marga-marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing, ada beberapa marga yang datang dan kemudian mendiami wilayah tersebut dan dianggap sebagai warga Mandailing dan tidak mau disebut sebagai warga pendatang. Sebagai contoh, Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga Hasibuan telah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut anak boru bona bulu. Demikian juga marga lainnya. Etnis Mandailing hampir 100 % penganut agama Islam yang taat. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam adat seperti dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.

Kecamatan Sipirok umumnya didiami oleh etnis Sipirok/Batak Angkola. Pakar Antropologi menyatakan, kedua etnis ini sama. Terpisah dengan etnis

12

Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara, 2005, hal 6.


(36)

Mandailing dan etnis Batak Toba. Diperkirakan, etnis Sipirok/Angkola bermigrasi dari daerah Batak, yaitu berasal dari Toba tepatnya daerah Muara dan bermarga Siregar. Mereka datang dengan jumlah yang besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik dari dua puluh generasi. Hal ini disebabkan lahan di Tanah Batak sudah tak sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar yang berkembang dengan pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok dan yang lainnya menyebar ke daerah-daerah yang dapat menampung mereka.

Di Sipirok banyak ditemukan pohon pirdot. Tanaman ini banyak tumbuh di pinggiran sungai dan berbatang sangat keras. Pohon ini ditemukan marga Siregar, dan tempat itu lalu mereka namakan Sipirdot yang lama kelamaan menjadi Sipirok. Marga Siregar yang datang ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu yang datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid.13

1. Gelombang pertama mendarat di Pulau Nias, Mentawai, dan Siberut.

Mereka menyebar di tiga daerah, yaitu:

2. Gelombang kedua mendarat di Muara Sungai Simpang atau Singkil, yaitu sub etnis Batak Gayo atau Batak Alas.

3. Gelombang ketiga sampai di muara sungai Sorkam yaitu antara Barus dan Sibolga. Mereka masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Danau Toba.14

13

Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan, 1964, hal. 47-48.

14


(37)

Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar, penguasa ketika daerah Sipirok baru dibuka membagi kerajaan yang dipimpinnya menjadi tiga kerajaan, yaitu:

1. Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua. 2. Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan 3. Kerajaan Sipirok dipimpin oleh Ompu Sutan Hatunggal.

Untuk mempersatukan ketiga kerajaan ini, maka di suatu tempat yang bernama Dolok Pamelean dibuatlah tempat pertemuan (bukit persembahan/pengorbanan). Pada tempat itu, sebagai tempat pertemuan ditanamlah pohon Beringin. Tempat ini menjadi lokasi atau Camat Kecamatan Sipirok yang sekarang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, Etnis Sipirok/Angkols juga menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari marga-marga:

- Harahap - Ritonga

- Siregar - Pohan

- Hutasoit - dan lain-lain. - Rambe

Sama halnya dengan di Mandailing, marga-marga tersebut pun sebagian bukan merupakan masyarakat asli yang mendiami daerah tersebut, ada juga beberapa marga yang merupakan pendatang dan mendiami daerah tersebut.

Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan berkebun, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan pensiunan. Usaha perkebunan rakyat meliputi tanaman karet, kopi, kulit manis dan kelapa. Di


(38)

samping itu pertanian pangan meliputi padi, kentang, jahe, sayur-mayur dan lain-lain. Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari hasil usaha nelayan dan penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan umum, dan budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi peternakan sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman industri, rotan, dan kayu.

Di samping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang seperti emas. Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan yaitu daerah ini kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan masyarakatnya yang hidup dalam kerukunan dan ketenteraman dalam hidup berdampingan walaupun berbeda adat maupun kepercayaan.

Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk Tapanuli Selatan terus mengalami peningkatan terutama sejak zaman datangnya Belanda. Seperti kita ketahui pada zaman Belanda kawasan Tapanuli Selatan masuk dalam Keresidenan Tapanuli. Jumlah Penduduk Tapanuli sendiri telah meningkat sekitar 70 %, yakni dari 564.000 tahun 1914 menjadi 843.000 tahun 1930. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk Tapanuli Selatan adalah 161.000 tahun 1914 dan 279.000 tahun 1930. Jumlah tersebut merupakan jumlah kedua terbanyak setelah jumlah penduduk Tapanuli Utara sebanyak 385.000 tahun 1914 dan 523.000 tahun 1930 dan di atas jumlah penduduk Sibolga yang berjumlah 18.000 tahun 1914 dan 41.000 pada tahun 1930. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa setiap tahunnya baik di daerah Tapanuli secara keseluruhan maupun di daerah Tapanuli Selatan secara khusus


(39)

jumlah penduduk terus mengalami peningkatan.15 Peningkatan tersebut berjalan seiring dengan peningkatan pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang ada di Tapanuli Selatan.

2.3 Kondisi Sosial

Dalam kehidupan bermasyarakat di Tapanuli Selatan mulai dari zaman tradisional sampai pada zaman sekarang ini tidak lepas dari masyarakat desa yang merupakan masyarakat asli yang tetap hidup dan bertahan selama beratus-ratus tahun walaupun telah banyak mengalami bermacam-macam gejolak perubahan sosial, peperangan, masuknya kekuasaan politik dari Kerajaan tertentu dari luar maupun dari dalam daerah Tapanuli selatan dan juga kekuasaan asing. Masyarakat tersebut banyak dijumpai dalam suatu huta, luhat maupun kampung.

Masyarakat tersebut telah mendiami daerah Tapanuli sejak berabad-abad yang lalu. Mereka tinggal berkelompok dalam suatu kampung di dalam rumah tradisional sesuai dengan corak mereka, mempunyai rumah adat, mempunyai pemimpin kampung sesuai dengan adat istiadat setempat atau alat-alat perlengkapan pemerintahan kampung secara tradisional. Seseorang mempunyai tiga kategori keluarga: agnat atau dongan sabutuha-nya sendiri, hula-hula-nya, dan anak

boru-nya.16

15

Lance Castles, op. cit., hal. 31.

Begitulah pembagian kekerabatan dalam masyarakat Tapanuli pada umumnya dan juga pada masyarakat Tapanuli Selatan pada khususnya yang dikenal dengan

dalihan na tolu (tungku nan tiga). Dongan sabutuha (kahanggi dalam masyarakat

16


(40)

Tapanuli Selatan) merupakan kelompok masyarakat yang memiliki persamaan marga menurut garis keturunan yang patrilineal, hula-hula (mora dalam masyarakat Tapanuli Selatan) yaitu kelompok marga pemberi mempelai perempuan dan anak boru yaitu kelompok marga penerima mempelai perempuan. Secara fungsional hula-hula memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap boru, hal ini sangat tampak jelas dalam suatu pelaksanaan adat.

Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta (dusun) merupakan kesatuan paling kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati huta ataupun. Keberadaan suatu huta tidak lepas dari adanya faktor garis keturunan atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan antar huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap huta mempunyai raja huta sebagai pemimpin yang disebut Raja Pamusuk. Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah (genealogis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ (yang membuka huta) di dalam luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Panusunan Bulung maupun Raja Pamusuk mengacu pada


(41)

sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan ‘dalihan na tolu’.

Di samping huta, sebagai wadah tempat tinggal kelompok masyarakat adat di Tapanuli Selatan, juga dikenal kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yaitu:

a. Banjar, suatu pemukiman yang biasanya terdiri dari 4 sampai 6 kepala keluarga, terletak di tengah-tengah perladangan atau persawahan dan mempunyai ikatan adat dengan ibu kampungnya (induk).

b. Lumban, kelompok masyarakat yang terdiri dari 6 sampai 10 kepala keluarga. c. Pagaran, suatu perkampungan yang terdiri dari 10 sampai 20 kepala keluarga

yang diurus oleh kerapatan adat dari ibu kampungnya (induk).

Pada masa dahulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama (tertinggi) terdiri dari golongan bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di bawah golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa (bukan bangsawan) yang disebut sebagai “halak na bahat” (orang kebanyakan), dan status yang terendah terdiri dari golongan budak yang dinamakan “hatoban”. Orang-orang yang masuk pada golongan hatoban adalah:

a. Orang-orang yang ditawan atau dikalahkan dalam peperangan.

b. Orang-orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman sebagai budak.


(42)

c. Orang-orang yang karena tidak sanggup membayar hutang dijadikan budak, dan kalau hutangnya sudah lunas kembali menjadi orang bebas.17

Budak yang sudah memiliki rumah sendiri dan mengerjakan ladang atau sawah sendiri, tetapi masih terikat dengan majikannya, sehingga sewaktu-waktu dapat disuruh bekerja untuk kepentingan majikannya dinamakan “pankandangi”. Budak yang bertempat tinggal di rumah majikannya dan bertugas melayani segala keperluan majikannya dinamakan “hatoban”, atau “pangolo” (budak pelayan). Budak yang tinggal di rumah sendiri tetapi berkewajiban mengerjakan semua lahan pertanian milik majikannya dinamakan “hatoban marsaro”, budak yang sudah dibebaskan dan tidak tinggal di rumah majikannya dinamakan “ompung dalam” dan berstatus seperti kebanyakan penduduk biasa.

Sejak tahun 1876, pemerintah kolonial Belanda menghapuskan perbudakan di kawasan Tapanuli Selatan. Meskipun perbudakan telah dihapuskan oleh pemerintah Kolonial, tetapi dalam pandangan masyarakat asli Tapanuli Selatan kedudukan mereka masih tetap sama sebagaimana mereka sebelumnya, sedapat mungkin menghindari berhubungan dengan orang yang dianggap “hatoban”, seperti menghindari perkawinan dengan bekas “hatoban” dan keturunannya.

Baru pada zaman kemerdekaanlah pandangan masyarakat Tapanuli Selatan terhadap bekas “hatoban” mulai berubah. Seiring dengan perubahan zaman dan dengan datangnya kemerdekaan masyarakat tidak memandang rendah lagi terhadap

17

Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipiro Na Soli Biang Lala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, Medan: USU Press, hal. 160.


(43)

mereka, orang-orang bekas hatoban sudah dianggap sebagai masyarakat yang sama dengan masyarakat lainnya.

Munculnya kelompok “hatoban” di daerah Tapanuli Selatan membawa pengaruh yang sangat besar bagi keharmonisan kehidupan antar masyarakat. Hal ini disebabkan, golongan “hatoban” merupakan orang-orang yang kalah dalam satu pertempuran/perkelahian/perselisihan. Bagi masyarakat di Tapanuli Selatan kekalahan dalam pertempuran/perkelahian/perselisihan lebih buruk dari hal-hal yang lain, seperti tidak mempunyai harta, tidak ada pendidikan bahkan tidak punya agama. Yang kalah, harus menjadi budak dan selalu patuh pada pihak atau kelompok yang menang sampai dia dapat memenangkan pertempuran/perkelahian/perselisihan pada si pemenang. Tetapi dalam perkembangannya, hatoban tidak hanya diakui oleh kelompok yang menang dalam suatu pertempuran, tetapi juga diakui oleh seluruh masyarakat yang mendiami wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Mengenai sistem kepercayaan yang ada dalam masyarakat Tapanuli pada mulanya dijumpai adanya kepercayaan tradisional yang pada hakikatnya kepercayaan ini muncul sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang lemah dan memiliki kekuatan dan kemampuan yang terbatas, maka manusia atau masyarakat tersebut percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar kekuasaan dirinya. Setelah masuknya agama Islam maupun Kristen ke Tapanuli memberi suatu kepercayaan baru yang menjadikan masyarakat Tapanuli lebih modern, dengan cara berpikir yang lebih terbuka dan menjadikan masyarakat semakin sadar dan berpikir secara terbuka akan munculnya pembaharuan.


(44)

Pembaharuan yang terjadi semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan rumah-rumah ibadah yang pada dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat setempat, melalui gotong royong masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna terlaksananya pembangunan. Selain itu, pemerintah juga turut serta mengambil bagian dalam pembangunan tersebut. Dalam perkembangannya, pembangunan dan pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli Selatan berjalan normal sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menganut suatu kepercayaan itu. Agama Islam merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang ada dalam masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama sangat kental terjaga antara agama Islam yang mayoritas dengan agama Kristen yang minoritas. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan pedoman bagi masyarakat untuk terus menjaga toleransi antar umat beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga sikap dan perilaku masyarakat sehingga ketenteraman dan kerukunan akan tetap terjaga dengan baik.

2.4 Pemerintahan di Tapanuli Selatan sebelum tahun 1950

2.4.1 Pemerintahan Tradisional di Tapanuli Selatan

Secara etimologi, istilah “Tapanuli” berasal dari gabungan dua kata bahasa daerah, yaitu “tapian” dan “na-uli”. Istilah “tapian” mengandung arti suatu tempat yang airnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia, seperti pinggir sungai, telaga, pancuran atau pantai. Istilah “na” yang berada di depan istilah “uli” sama artinya dengan kata “yang” atau “nan” dalam bahasa Indonesia dan istilah “uli”


(45)

berarti “indah”. Maka kata tapian-na-uli yang kemudian menjadi “Tapanuli” mengandung arti “Teluk Nan Indah”. 18

Di Tanah Batak khususnya Tapanuli Bagian Selatan jauh sebelum masuknya pengaruh asing, sudah terdapat banyak komunitas kecil yang disebut sebagai huta. Kampung-kampung (huta) itu, yang dikelilingi tembok tanah dan pagar bambu sebagai perlindungan, umumnya kecil.19

Sekalipun sistem pemerintahan luhat yang terbentuk mirip sistem oligarki (dari turunan si pungka huta), namun sesungguhnya sistem demokrasi yang lebih berperan yang direpresentasikan dengan adanya lembaga hatobangon (lembaga ketua adat) yang fungsinya mendampingi RPB dalam memimpin luhat. Ini berarti setiap

Setiap huta tersebut dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Raja Pamusuk (RP). Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah (genealogis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (RPB). Dalam menjalankan pemerintahan huta dan luhat para RP dan RPB mengacu pada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan ‘dalihan na tolu’. RPB dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ (yang membuka huta) di dalam luhat

yang bersangkutan. RPB ini selain sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau raja adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya.

18

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Lintasan Sejarah, Medan: Pemda Tk. I Sumatera Utara, 1948, hal 127.

19


(46)

warga dari komunitas atau huta terwakili di dalam musyawarah luhat. Mendahulukan

sipungka huta yang juga menjadi RPB sudah sepantasnya untuk didudukkan sebagai pemimpin luhat, namun keputusannya terkendali oleh peran ‘lembaga hatobangon’.

Suatu komunitas kecil dikatakan sebagai huta jika komunitas tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri hingga dapat berdiri sendiri, dan huta ini diresmikan menjadi bona bulu. Komunitas kecil ini berawal dari tradisi membuka

huta di dalam kawasan luhat yang dalam perjalanannya komunitas kecil tersebut lalu berkembang menjadi Bona Bulu. Sebuah huta yang dapat diresmikan menjadi Bona Bulu, manakala telah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) terdapat penduduk sekurang-kurangnya tiga keluarga ‘dalihan na tolu’ yang terdiri dari kahanggi

(bersaudara), anakboru (besan dari pihak perempuan), dan mora (besan dari pihak laki-laki); (2) tersedia lahan yang cukup untuk pertanian (tanaman pangan, peternakan atau perikanan); (3) ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan tertib umum dan dapat meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap semua keluarga di dalam komunitasnya; (4) mendapat pengakuan atas keberadaan calon huta oleh seluruh huta yang sudah ada di sekitarnya di dalam luhat.20

Untuk meresmikan sebuah huta menjadi bona bulu, perlu dilangsungkan sebuah horja godang (pesta besar) yang dipimpin secara adat oleh RPB. Puncak acara peresmian ketika RPB luhat manabalkon (mengukuhkan) nama keluarga Si pungka Huta (Si pendiri Huta) menjadi Raja Pamusuk di huta yang baru berdiri dan menyebutkan gelarnya. Acara lalu dilanjutkan dengan pidato Si pungka Huta yang

20

Akhir Matua Harahap, Sejarah Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman

Huta (Luhat) Hingga Zaman Desa (Urban),


(47)

mengumumkan bahwa huta yang baru berdiri menjadi huta asal dari “Marga H” yang mendirikannya. Raja Pamusuk lalu menanam bambu duri yang diiringi istrinya menanam pandan, pihak anakboru menanam biji jagung ber- banjar-banjar, dan disusul oleh pihak mora menanam butiran padi.

Huta-huta yang belum diposisikan sebagai huta Bona Bulu, dan kebutuhan warganya masih tergantung dari bantuan huta lain, huta serupa ini dinamakan

pagaran (anak huta). Di dalam satu luhat, umumnya terdapat banyak huta yang berstatus pagaran dan bernaung ke dalam Huta Bona Bulu terdekat. Dengan demikian, huta selain berfungsi sebagai tempat bermukim para warganya, juga wilayah tempat usaha (pertanian) dan sumber ekonomi yang berasal dari hutan, waduk, sungai (laut). Hutan, lembah, sungai, danau dan gunung menjadi sumber penghidupan huta dan menjadi wilayah territorial huta (semacam hak ulayat pada masa sekarang). Kehidupan sosial, budaya dan ekonomi huta penggunaannya diatur oleh warga luhat bersama Raja Panusunan Bulung (RPB).

Huta yang banyak penduduknya karena subur tanahnya dan kaya lingkungan alamnya juga dipimpin Raja Pamusuk yang dibantu kepala ripe dalam menjalankan pemerintahan huta untuk menegakkan tertib umum dalam bermasyarakat demi meraih kesejahteraan hidup bersama. Sesungguhnya, seorang raja di Tanah Batak (RPB atau RP) bukanlah individu yang memiliki nama, tetapi seorang bijak yang dituakan di antara para tetua terbaik di luhat atau huta. Dengan kata lain RPB atau RP di dalam luhat yang berlandaskan ‘dalihan na tolu’ tidak identik dengan sistem feodal melainkan sebagai ‘primus interpares’ di dalam masyarakat luhat atau huta.


(48)

Luhat tradisional yang pernah ada di Tapanuli Bagian Selatan adalah sebagai berikut:21

1. Luhat Sipirok 5. Luhat Barumun

2. Luhat Angkola 6. Luhat Sipiongot

3. Luhat Marancar 7. Luhat Mandailing 4. Luhat Padang Bolak 9. Luhat Natal

5. Luhat Barumun 10. Luhat Pakantan

Pada tahun 1816-1838 terjadi Perang Padri di Kerajaan Pagaruyung Sumatera Utara, yang mana pada awalnya merupakan perang antara kaum adat dengan ulama atau yang dijuluki sebagai kaum Padri. Perang ini meluas sampai ke daerah Tapanuli Selatan tepatnya daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Sejak berkuasanya kaum Paderi di wilayah mandailing yang kemudian menyebar ke daerah Tapanuli Selatan lainnya, pemerintahan tradisional yang ada setelah kaum Paderi menguasai daerah ini, dan agama Islam yang telah dianut oleh masyarakat, telah merubah struktur dan sistem pemerintahan yang ada.

Bila sebelumnya Raja Panusunan Bulung yang membawahi beberapa huta, hanya mempunyai peranan tertentu saja, yaitu dalam masalah adat istiadat. Sedangkan Raja Pamusuk mempunyai peranan yang lebih dominan dalam setiap huta

yang dikuasainya. Akan tetapi setelah wilayah ini dikuasai oleh kaun Paderi, atau agama Islam lebih eksis dari pada adat istiadat, maka sistem dan struktur pemerintahan itu mengalami perubahan.

21

Rusli Harahap, Tanah Batak, http://rusliharahap.wordpress.com, diakses tanggal 10 Juli 2013.


(49)

Raja Panusunan Bulung yang secara formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa huta, atau wilayah kenegerian, dirubah sebutannya menjadi kepala kuria. Istilah kuria ini berasal dari Bahasa Arab ‘qoriah’, yang artinya adalah wilayah. Sedangkan penguasanya di sebut sebagai khadi, yang dapat juga berarti “hakim”. Dengan demikian seorang Raja Panusunan Bulung yang mengepalai sebuah

kuria, nama itu sudah berubah menjadi khadi, dan kekuasaannya juga bertambah luas. Para khadi setiap kuria, bukan saja berkuasa dibidang keagamaan, melainkan juga dibidang politik, ekonomi, dan sosial. Jelasnya kalau sebelumnya tokoh-tokoh tradisional memerintah berdasar adat, pada masa Paderi tokoh-tokoh tersebut memerintah berdasar pada syariat (norma-norma menurut ajaran agama Islam).22 Hal ini terus berlanjut sampai kolonial Belanda menguasai Tanah Mandailing dan Tapanuli Selatan secara keseluruhan.

2.4.2 Tapanuli Selatan Masa Kolonial Belanda.

Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan yaitu pada tahun 1833 dari arah Natal (Pantai Barat) yang ketika itu di Tapanuli sendiri masih dalam suasana Perang Padri (1816-1838). Pada masa itu kaum adat yang tidak dapat mengalahkan kaum ulama meminta bantuan kepada pihak Belanda sehingga yang awalnya perang hanya antara kaum adat dengan kaum Padri berubah menjadi perlawanan terhadap Belanda. Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan yang merupakan daerah paling dekat dengan Sumatera Barat untuk menyatakan

22

Departemen Dalam Negeri Prop. Dati I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan

Pemerintah Departemen Dalam Negeri di Provinsi Dati I Sumatera Utara, Sumatera Utara, 1990, hal. 37.


(50)

keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di Daerah Pasaman.

Setahun kemudian, pada tahun 1834 Belanda memulai pemerintahan sipil di Tanah Batak, diawali dari selatan dengan didirikannya Onder Afdeeling Mandailing yang dipimpin Controleur Eduard Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal dengan Multatuli, berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis (Pasaman, Sumatera Barat). Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat di mana setiap luhat mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada di bawah pengaruh siapa pun. Pemerintahan sipil ini kemudian dipindahkan ke Panyabungan, lalu ditingkatkan menjadi Afdeeling Mandailing/Angkola yang dipimpin Asistent Resident T.J. Willer yang berkoordinasi dengan Gouverneur van Sumatra Westkust (Gubernur Pantai Barat Sumatera) yang berkedudukan di Sibolga.

Selanjutnya pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi nama Afdeeling Padang Sidimpuan untuk daerah Tapanuli Selatan. Sementara yang lainnya dinamakan Afdeeling Batak Landen terhadap kawasan seputar danau Toba dan Tarutung sebagai ibukotanya, dan Afdeeling Sibolga untuk daerah Tapanuli Tangah. Kemudian pada tahun 1884 ketiga afdeeling ini digabung menjadi satu keresidenan yang dikenal sebagai Keresidenan Tapanuli di dalam lingkungan pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Sumatera yang berkedudukan di Padang Sidimpuan yang masih menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berpusat di Padang, Sumatera Barat.


(51)

Sejak tahun 1906, pemerintahan Belanda di Tanah Batak lantas dipisahkan dari Sumatera Barat dan sepenuhnya dibentuk keresidenan yang berdiri sendiri dengan Residen yang berkedudukan di Sibolga. Dengan keputusan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia langsung mengendalikan pemerintahannya dari pusat ke seluruh Tanah Batak yang belum pernah dilakukan sebelumnya, tidak lagi berpusat di Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa mulai membuat struktur pemerintahan baru versi Belanda di wilayah Tanah Batak yang kemudian berganti nama menjadi Tapanuli ke dalam tujuh tingkat pemerintahan:

1. Tingkat pertama, resident adalah pejabat tertinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memimpin Keresidenan Tapanuli.

2. Tingkat kedua, asisten resident. Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi dua

afdeeling, yaitu: Afdeeling Tapanuli Utara berkedudukan di Tarutung dan Afdeeling Tapanuli Selatan berkedudukan di Padang Sidimpuan. Setiap afdeeling dipimpin seorang asistent resident. Afdeeling adalah wilayah setingkat kabupaten di Jawa yang dipimpin seorang bupati.

3. Tingkat ketiga, controleur. Afdeeling dibagi menjadi beberapa onder-afdeeling yang dipimpin seorang controleur. Onder-afdeeling adalah wilayah setingkat kecamatan. Di seluruh Afdeeling Tapanuli Selatan terdapat tiga

onder-afdeeling, yaitu: Angkola-Sipirok, Padang Lawas dan Mandailing-Natal.


(52)

4. Tingkat keempat, demang. Pada tahun 1916 pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan wilayah district (setingkat kewedanaan) di bawah

onder-afdeeling yang dipimpin oleh seorang demang.

5. Tingkat kelima, asisten demang. Di bawah district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan onder-district yang dipimpin seorang asistent demang.

6. Tingkat keenam, kepala kuria. Di bawah onder-district pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah hakuriaan yang dipimpin seorang Kepala kuria. Hakuriaan menggantikan sebutan luhat untuk membawahi sejumlah huta yang berdekatan, mengacu pada masa kekuasaan kaum Paderi. 7. Tingkat ketujuh, kepala kampung, tingkat terendah di bawah hakuriaan.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘kampung’ untuk menggantikan sebutan huta. Kampung dipimpin seorang kepala kampong. Ini berarti sebutan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung

(RPB) yang memimpin sebuah huta atau bona bulu dihilangkan dengan menggantikannya dengan kepala kampung.23

Onder Afdeeling

Pada masa pendudukan Belanda, wilayah Tapanuli Bagian Selatan disebut Afdeeling Padang Sidimpuan dikepalai oleh seorang residen yang berkedudukan di Padang Sidimpuan. Afdeeling Padang Sidimpuan dibagi atas tiga onder-afdeeling.

23


(53)

Setiap onder-afdeeling dikepalai oleh seorang contreleur yang dibantu oleh seorang demang. Tiga onder-afdeeling tersebut, yaitu:

• Onder-Afdeeling Angkola-Sipirok ibukota di Padang Sidimpuan. • Onder-Afdeeling Padang Lawas ibukota di Sibuhuan.

• Onder-Afdeeling Mandailing-Natal ibukota di Kotanopan.24

Sebelumnya onder-afdeeling Mandailing terdiri dari onder-afdeeling yang meliputi Mandailing Godang, Mandailing Julu, Ulu dan Pakantan dan Natal terdiri dari onder-afdeeling yang meliputi Natal dan Batang Natal.

District (Distrik)

Setiap onder-afdeeling terdiri dari distrik. Distrik dikepalai oleh seorang asisten demang. Nama-nama distrik menurut onder-afdeeling adalah sebagai berikut:

Tabel I

Nama-nama Distrik menurut Onder Afdeeling di Tapanuli Selatan

Onder Afdeeling Angkola-Sipirok

Onder Afdeeling Padang Lawas

Onder Afdeeling Mandailing dan Natal • Distrik Angkola ibukota

di Padang Sidimpuan • Distrik Batangtoru

ibukota di Batangtoru • Distrik Sipirok ibukota

di Sipirok

• Distrik Padang Bolak ibukota di Gunung Tua

• Distrik Barumun dan Sosa ibukota di Sibuhuan

• Distrik Panyabungan ibukota di

Panyabungan • Distrik Kotanopan

ibukota di Kotanopan • Distrik Muara

24

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2007, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. ix.


(54)

• Distrik Dolok ibukota di Sipiongot

Sipongi ibukota di Muara Sipongi • Distrik Natal ibukota

di Natal

• Distrik Batang Natal ibukota di Muara Soma

Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan

Hakurian

Setiap distrik dibagi atas beberapa hakuriaan yang dikepalai oleh seorang Kepala Kuria. Sebelum munculnya istilah ‘hakuriaan’ versi pemerintah kolonial Hindia Belanda, penduduk di Tanah Batak telah lama menggunakan sebutan ‘luhat’ atau ‘banua’ untuk menyatakan sebuah wilayah yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (RPB) dalam adat Batak. Luhat versi Belanda yang dikenal sebagai hakuriaan menurut distrik adalah sebagai berikut:

Tabel II

Luhat di Tapanuli Selatan menurut Distrik

Distrik Padang Sidimpuan 1. Hutaimbaru 2. Pijor Koling

3. Batunadua/Pargarutan 4. Muaratais

Distrik Batang Toru 1. Marancar 2. Batangtoru

Distrik Panyabungan 1. Pidoli Bukit 2. Kota Siantar 3. Panyabungan Julu 4. Panyabungan Tonga 5. Gunung Baringin 6. Gunung Tua Distrik Kotanopan


(55)

Distrik Sipirok

1. Sipirok Godang 2. Baringin

3. Parau Sorat Distrik Padang Bolak Distrik Barumun dan Sosa

1. Ujung Batu 2. Simangambat Distrik Dolok

1. Sipiongot

1. Tamiang 2. Manambin 3. Kotanopan 4. Panombangan 5. Maga

Distrik Muara Sipongi

1. Pakantan Lombang 2. Pakantan Doeali 3. Oleoe

Distrik Natal

1. Natal Distrik Batang Natal

1. Muara Soma Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan

Kampung

Setiap luhat dibagi atas beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang kepala kampung (kampong hoofd). Jika sebuah kampung mempunyai penduduk yang jumlahnya banyak maka kepala kampung dibantu oleh seorang kepala ripe.

Demikianlah beberapa tingkatan pemerintahan yang pernah ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda di Tapanuli Selatan, namun dalam perkembangannya masyarakat setempat pun tidak hanya menerima kebijakan ini dengan begitu saja. Hal tersebut terbukti dengan mulai bermunculannya perlawanan-perlawanan masyarakat terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.


(56)

Pada September 1933 seorang anggota kelompok pemuda Muslim di Hutapungkut Djulu, Mandailing, dipanggil oleh demang untuk menjelaskan mengapa dia menulis “Lebih baik mati dan dikubur dari pada hidup di negeri yang diperbudak” di pintu kantor mereka. Penjelasan bahwa dia menuliskan kalimat tersebut di pintu hanyalah sebagai pengingat pribadi karena tidak mempunyai kertas, tidak bisa diterima. Di dinding dalam tertulis “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dan “Sekarang! Indonesia Merdeka Sekarang!”.25

Pergerakan ini sulit dirumuskan. Ada gerakan politik yang ingin bebas dari Belanda, ada gerakan keagamaan yang ingin membersihkan pelaksanaan Islam dari unsur-unsur tambahan dan berbagai penyimpangan, ada juga gerakan sosial kaum muda dan lain-lain lagi yang tidak senang pada status mereka yang rendah di bawah adat, dan menentang para pemimpin dan tetua berikut berbagai pengekangan yang mereka berlakukan.

Inilah suara pergerakan yang pada tahun 1930-an mulai bermunculan di Tapanuli Selatan sebagai bentuk perlawanan yang dilakukan terhadap kolonial Belanda.

Lance Castles mengelompokkan pergerakan politik di Tapanuli selatan menjadi tiga bagian berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. 1). Gerakan politik yang bebas dari penjajahan Belanda. 2). Gerakan keagamaan yang ingin membersihkan pelaksanaan Islam dari unsur-unsur tambahan sebagai penyimpangan dan 3). Gerakan sosial kaum muda yang tidak senang dengan status mereka yang rendah di bawah adat.

25


(57)

Pergerakan politik di Tapanuli Selatan selama Pemerintahan Kolonial Belanda menjadikan masyarakat terpragmentasi dalam sekat-sekat organisasi karena persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan anggota. Pemimpin adat dan ahli agama yang konservatif dihinggapi nafsu harajoan Batak tidak jauh berbeda dengan Batak di Tapanuli utara. Kalau masyarakat adat mengisolasi penduduk secara lokal berdasarkan status, organisasi sosial menyatukan mereka berdasarkan suka rela dan tempat berpijak yang sama. Pemimpin adat menganggap pergerakan politik mengancam statusnya dalam adat yang tinggi sekalipun sesungguhnya mereka sendiri terkadang merupakan penyimpangan.

2.4.3 Tapanuli Selatan masa Pendudukan Jepang

Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda yang kemudian digantikan oleh Jepang pada tanggal 24 Maret 1942 sampai 1945 tidak mengalami perubahan yang sangat nyata pada struktur pemerintahan Tapanuli Selatan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, kecuali pemberian nama-nama dan personalia baru yang diberikan oleh pemerintah Militer Jepang, yaitu:

a. Setiap residensi disebut shu di bawah pengawasan seorang militer gunseibu. Di sampingnya ada seorang residen merangkap kepala polisi yang mengatur pemerintahan sipil sehari-hari yang disebut dengan shu chokan, yang berwenang mengeluarkan peraturan di bidang peradilan. Peraturan ini disebut dengan shu rei, yang juga merupakan seorang militer Jepang. Hubungan antara satu Residensi dengan residensi yang lain sangatlah sulit dan harus dengan surat izin dari


(1)

BAB V KESIMPULAN

Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, yang paling sedikit kata “perintah” tersebut memiliki empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut memiliki saling keterhubungan, kemudian pihak yang memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan. Pemerintahan itu muncul apabila ada dua orang atau lebih dalam suatu kelompok, yang mana di dalamnya pasti akan ada orang yang memerintah yang memiliki wewenang dan yang lainnya sebagai orang yang diperintah yang harus menaati apa yang diperintahkan kepadanya. Contoh kecilnya saja sebuah keluarga yang mana memiliki seorang pemimpin yang disebut Kepala Keluarga yang memiliki wewenang dalam menjalankan pemerintah di keluarganya yang biasanya dipegang oleh si bapak, dan yang lainnya seperti ibu dan anak-anaknya berperan sebagai orang yang diperintah yang harus menaati si bapak yang merupakan Kepala Keluarga.

Apabila wilayah suatu negara menjadi luas, tidak mungkin lagi semua urusan negara dapat diselesaikan oleh alat-alat perlengkapan yang hanya berkedudukan di pusat pemerintahan negara. Di samping alat-alat perlengkapan yang berkedudukan di pusat pemerintahan negara, perlu adanya alat-alat perlengkapan setempat yang disebarkan ke seluruh wilayah negara untuk menyelesaikan urusan-urusan yang terdapat di daerah. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah yang luas sehingga harus dibagi-bagi ke dalam beberapa daerah-daerah dalam dalam mengatur dan mengurus masyarakatnya. Dan dibuatlah pemerintahan daerah yang


(2)

terdiri dari alat-alat perlengkapan setempat untuk menyelesaikan urusan-urusan yang ada di daerahnya.

Sebagaimana halnya dengan Pemerintahan Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan salah satu pemerintahan daerah yang ada dalam Negara Indonesia. Sejak adanya kelompok masyarakat di Tapanuli Selatan sebenarnya sudah bisa dipastikan bahwa pada saat itu sudah dimulai suatu pemerintahan yang mengurus dan mengatur kelompok masyarakatnya dalam menjalankan kehidupannya, agar tercipta ketertiban umum dan suatu masyarakat yang terkordinir. Manusia seyogianya merupakan makhluk yang harus diurus dan diatur, baik oleh kelompoknya maupun oleh dirinya sendiri. Dan hasil akhirnya tergantung bagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan bagaimana penerapannya.

Sejak pemerintahan tradisional di Tapanuli Selatan sebenarnya sudah tercipta suatu sistem pemerintahan yang berkembang sendiri menyesuaikan dengan perubahan zaman. Sampai masuknya pengaruh asing yaitu kolonial Belanda, baru di sinilah dimulainya suatu pemerintahan yang lebih terkordinir dan terorganisasi yang dibuat oleh pemerintah asing. Walaupun dalam pengeluaran kebijakan-kebijakannya dan penerapannya hanya demi kepentingan pemerintah asing tersebut, tanpa memikirkan aspek keadilan sosialnya.


(3)

meningkatkan perkembangan daerah baik dari segi masyarakatnya atau dari segi pemerintahnya. Dan hubungan yang serasi dan saling berkesinambungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat atau pun di atasnya harus tetap dijaga, begitu juga dengan penerapan peraturan-peraturan yang ada juga harus terus diawasi dan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Agar tercipta pemerintahan yang berjalan berdampingan dengan masyarakatnya.

Segala jenis perkembangan pembangunan di Tapanuli Selatan pun berjalan sesuai dengan perkembangan pemerintahannya, segala fasilitas dan sarana yang dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan dan keperluan masyarakatnya dibuat sesuai dengan perkembangan dan penerapan peraturan perundang-undangan yang ada. Yang dipengaruhi oleh meningkatnya faktor sosialnya dari segi pendidikan dan status sosial, kemudian juga dengan berkembangnya perekonomian di Tapanuli Selatan yang juga didukung oleh perkembangan pendidikannya.

Selama periode perkembangannya dari tahun 1950-1999, Pemerintahan Dati II Kabupaten Tapanuli Selatan telah banyak menghadapi tantangan-tantangan baik itu dari dalam pemerintahannya itu sendiri maupun dari luar. Berjalan secara berdampingan dengan perkembangan sosial, ekonomi agama dan kebuadayaannya dalam menghadapi setiap tantangan dan rintangan yang ada demi terciptanya pemerintahan yang sahata saholoan (seiya sekata).


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1984, BPS Dati II Kab. Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan, 1984.

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1999, BPS Dati II Kab. Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan, 1999.

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2007, BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan, 2007.

Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2012, BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan, 2012.

Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung: Eresco Bandung, 1992.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: PT. Alumni, 2004.

Joeniarto. R., Perkembangan Pemerintah Lokal, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Kartohadikoesoeno, Soetardjo., Desa, Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1963; Cetakan ke-2.

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1981. Kuntowijoyo, Metode Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Lubis, Z., Pangaduan, dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, Medan: USU Press, 1998.

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto; Jakarta: UI Press, 1975.

Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, (terj.) Maurits Simatupang, The Political Life of a Sumatran Rescidency: Tapanuli 1915-1950, Jakarta: Gramedia, 2001.

Pangerang. Andi, Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya dalam Sistem Pemerintahan di Daerah, Disertasi, Bandung: Pasca Sarjana Unpad, 1999.

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Lintasan Sejarah, Medan: Pemda Tk. I Sumatera Utara, 1948.


(5)

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan di Negara Republik Indonesia, Jilid III (Edisi diperlengkap), Yokyakarta: Lyberty, 1995.

Wajong. J., Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Djambatan, 1975. Widarta, I., Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bantul: Pondok Edukasi, 2005. Wolhoff, G. J., Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara Republik Indonesia, Jakarta:

Timun Mas, 1960.

Dokumen, UU, Internet, dan Wawancara.

Departemen Dalam Negeri Prop. Dati I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintah Departemen Dalam Negeri di Provinsi Dati I Sumatera Utara, Sumatera Utara, 1990.

Kantor Sekretariat Daerah Tapanuli Selatan, Pembagian Hubungan Kerja Dan Koordinasi Para Asisten Setdakab Dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah, Padang Sidimpuan: Kantor Sekda.

UU No. 22 Tahun 1999, Pemerintahan Daerah, 7 Mei 1999, Jakarta. Undang-undang Dasar 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1998.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/1966.

Akhir Matua Harahap, Sejarah Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman Huta (Luhat) Hingga Zaman Desa (Urban),

Rusli Harahap, Tanah Batak, http://rusliharahap.wordpress.com, diakses tanggal 10 Juli 2013.

Akhir Matua Harahap, Sejarah Tata Ruang Padang Sidimpuan: Suatu Esai Sosial-Ekonomi Kota di Masa ‘Doeloe’ Menuju Kota Masa Depan,

Wawancara dengan pensiunan PNS, Darul Nafis pada tanggal 26 April 2013, 13.00 WIB, Padang Sidimpuan.

Wawancara dengan Pedagang, Fauziah Nasution tanggal 27 April 2013, 12.00 WIB, Padang Sidimpuan.


(6)

DAFTAR INFORMAN 1. Nama : Darul Nafis, SH

Umur : 69 Tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat : Padang Sidimpuan

2. Nama : Azam Hasibuan Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Kepala KKB-LINMAS Alamat : Padang Sidimpuan

3. Nama : Fauziah Nasution Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Padang Sidimpuan

4. Nama : Abdul Rifai Umur : 54 Tahun Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Panyabungan

5. Nama : Hendri, SH Umur : 49 Tahun

Pekerjaan : Staf Sekda bagian Hukum Alamat : Padang Sidimpuan