BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Negara Republik Indonesia, agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk sebagian besar orang, Agama
merupakan sebuah landasan jati diri dan bagaimana cara mereka bertindak dalam membuat dan mengambil suatu keputusan
1
Besarnya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari peran Negara di dalamnya. Negara memberikan jaminan
meski sejauh mana pengimplementasiannya masih menjadi bahan perdebatan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pemeluk
agama untuk berkembang di Indonesia. Hal ini tertuang dalam ideology bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu Ideologi Pancasila. Dalam Sila pertama,
yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” . hal ini juga diperjelas dalam Undang- . Hal ini dikarenakan Agama
dapat dipergunakan untuk memperoleh pembenaran atas praktik kehidupan dalam masyarakat sekaligus peneguh nilai-nilai yang dipegang masyarakat.
Oleh karena itu, agama mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi sikap dan
perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya.
1
John T. Ishiyama Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 1361
undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2
2
Agama Kristen sebagai salah satu agama yang di akui di Negara Indonesia berpendapat bahwa Negara dan Gereja merupakan dua entitas yang
berbeda dan tidak dapat disatukan.
. Pasal 1 “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pasal 2 “ Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menuruti agamanya dan kepercayaannya itu”.
Secara Etimologis, Gereja berasal dari bahasa Yunani, Gereja disebut ekklesia ek=keluar, kaleo=memanggil. Secara harafiah berarti memanggil
keluar. Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah dan yang terpanggil adalah umat manusia. Sehingga pengertian
dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib. Pengertian Gereja juga
dijelaskan dalam 1 Petrus 2:9-10
3
“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat
yang rajani, bangsa yang kudus
, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan
perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya
yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya,
yang dahulu tidak
dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan”. yang bunyinya:
2
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 . Pasal 29 ayat 1 dan 2
3
Alkitab Perjanjian Baru
Martin Luther mengatakan bahwa Gereja adalah sebuah kongregasi, sebuah assembly, sebuah komunitas. Artinya Gereja adalah sebuah
persekutuan. Persekutuan di dalam Kristus. Persekutuan dengan Kristus
4
Pemisahan gereja dan negara bermula terjadi dalam sejarah gereja di Eropa, karena pengaruh gerakan kebudayaan Renaissance dan Pencerahan
Jerman: Aufklärung. Sementara untuk di negara Indonesia sendiri, pemisahan antara Gereja dengan Negara, karena masyarakat umat Kristen
beranggapan bahwa politik itu tabu dan perlu dihindari. Hal ini karena politik
itu sifatnya duniawi. Selain itu, Pemisahan Gereja dan Negara bertolak dari
pemikiran bahwa negara atau pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam urusan agama, yakni dalam relasi pribadi seseorang dengan yang Ilahi,
pemerintah tidak boleh mencampuri keputusan hati nurani seseorang. Urusan agama bukan urusan negara, atau masyarakat, melainkan urusan pribadi yang
menjadi tanggung jawab dari lembaga agiama yang bersangkutan.
.
Sejajar dengan itu perspektif tersebut, Martin Luther mengemukakan ajaran mengenai dua kerajaan, yaitu duniawi dan rohani, dengan menekankan
bahwa kuasa duniawi tidak punya kewenangan untuk campur tangan dalam urusan kerajaan rohani
5
4
Martin L. Sinaga. 2013. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputra, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 409.
. Dengan kata lain, pemerintah tidak berkuasa apa-apa dalam urusan ajaran, ibadah dan Gerejawi. Negara hanya berperan melindungi
5
Zakaria J. Ngelow. 2014. Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam Politik Di Indonesia. Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2. Hal. 219
hak-hak natural manusia dan menjamin kebebasan setiap individu untuk
memeluk dan beribadah sesuai dengan agama yang ia miliki.
Martin Luther tidak percaya bahwa Kristen perlu Negara tetapi cukup patuh pada Negara sekuler demi mengayomi orang-orang kafir dalam
masyarakat
6
. Menurut beliau, Orang beriman taat kepada kuasa pemerintahan dan pengaturannya sejauh tidak mengikat hati nurani melainkan hanya urusan
lahiriah. Kuasa dan pemerintahan duniawi terbatas hanya pada masalah- masalah eksternal dan jasmaniah
7
. Pemikiran beliau didasari oleh ayat Alkitab. Dalam Roma 13: 1-6
8
“Setiap jiwa mesti tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi. Sebab tidak ada kekuasaan selain Tuhan: kekuasaan yang ditasbihkan dari Tuhan.
Barang siapa menentang kekuasaan itu, menentang perintah Tuhan; dan mereka yang menentang akan mendapat hukuman. Karena pemimpin bukan
ancaman atas karya kebaikan, tetapi ancaman bagi kejahatan. Akankah engkau tidak takut pada kekuasaan? Lakukan perbuatan baik, maka kalian akan
mendapat pujian yang sama: sebab dialah wakil Tuhan untuk kalian demi kebaikan kalian. Tetapi jika kalian melakukan kejahatan, takutlah; sebab ia
tidak menghunuskan pedangnya dengan sia-sia: sebab dia adalah wakil Tuhan, yang menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang berbuat jahat. Karena
mengatakan bahwa:
6
Thompson. “The Political Thought of Martin Luther”. Dalam John T. Ishiyama Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 932
7
Zakaria J. Ngelow. Loc. Cit.
8
Alkitab Perjanjian Baru
itu kalian harus patuh, bukan hanya demi menghindari kemarahan, tetapi demi keselamatan. Sebab ini juga membuat mu terhormat; sebab mereka adalah
wakil Tuhan, yang selalu memerhatikan segala sesuatu”.
Negara dan Gereja memiliki nilai tersendiri bagi umat Kristiani. Gereja mengurus hal-hal yang bersifat keagamaan dan Negara mengurus hal-
hal kenegaraan, tetapi keduanya hendaklah bekerja bersama-sama selaras dalam berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun, Gereja
bukan hanya sekedar lembaga ritual keagamaan, melainkan alat yang dihadirkan Tuhan di dalam dunia untuk kesaksian Injil Kerajaan Allah
mengenai kasih, keadilan dan damai sejahtera Allah dalam Kristus. Karena itu Gereja terpanggil untuk melakukan transformasi kehidupan manusia bai
secara pribadi maupun masyarakat. Dalam surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia PGI
menyambut pemilu legislatif yang lalu, petunjuk pertama yang dicantumkan adalah “jangan memilih berdasarkan agama”. Dalam penjelasannya, petunjuk
ini menolak pendekatan agama yang sekatarian, supaya kita tidak terkotak- kotak berdasarkan agama
9
9
Pesan Pastoral MPH PGI kepada Segenap Umat Kristiani untuk Berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif 2014”, diakses 10 Agustus 2014., http:pgi.or.idarchives799.
. Dalam pelayanan politik gereja, bukan terutama supaya orang-orang Kristen berkuasa, duduk di berbagai posisi penting untuk
memuluskan kepentingan orang Kristen atau kepentingan gereja, melainkan supaya orang-orang yang baik, profesional dan berintegritas, dari berbagai
latar belakang agama, Kristen atau bukan Kristen, bersama-sama melayani kepentingan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan. Politik Kristen
bukan politik kekuasaan dan kepentingan, melainkan politik pelayanan dan keadilan bagi seluruh warga masyarakat bangsa kita.
Untuk itu Gereja memiliki kewajiban dalam melakukan pendidikan politik untuk memperlengkapi warga atau Jemaatnya agar berperan dalam
masyarakat. Pendidikan politik sangatlah penting bagi jemaat karena dianggap sabagai salah satu penentu perilaku politik dari jemaat itu sendiri. Pendidikan
politik yang dilakukan oleh Gereja sebagai kelompok sekunder bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik pada jemaat agar jemaat
dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik. Dalam perspektif ini, pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja digunakan sebagai cara
untuk melibatkan jemaat gereja dalam sistem politik melalui partisipasinya dalam memilih calon pemimpin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Dengan demikian jemaat telah ikut serta dalam proses
politik, yaitu dengan memilih calon pemimpinnya untuk lima tahun kedepan. Terkait pelayanan politik Kristen itu, ada dua hal yang harus kita
perhatikan, yakni keterlibatan institusipimpinan gereja dalam politik, dan keterlibatan para pendeta secara pribadi. Pertama, gereja melayani di bidang
politik, tetapi tidak boleh terlibat dalam “politik praktis” politik kekuasaan, karena Gereja bukan organisasi politik dan tidak boleh menjadi onderbouw
organisasi bawahan suatu partai politik. Pemimpin Gereja tidak boleh menjadi bagian dalam kampanye politik untuk mendongkrak suara calon
legislatif. Pemimpin Gereja dapat mengemukakan pendapat pribadinya tentang calon tertentu tetapi tidak dari atas Mimbar. Pendeta tidak boleh
mempersuasif jemaatnya untuk memilih partai politik atau calon tertentu
dalam pemilihan umum.
Pemimpin Gereja, Pendeta memiliki peran yang sangat penting di dalam sebuah Gereja, karena merekalah yang dipilih Tuhan sebagai hamba-
Nya untuk melayani umat manusia. Pendeta dipakai Tuhan untuk mengayomi jemaatnya agar berpegang teguh akan Firman Tuhan. Oleh karena itu, setiap
pesan atau wejangan-wejangan atau nasehat-nasehat yang diberikan oleh Pendeta tersebut akan berdampak terhadap kehidupan para jemaat. Hal ini
menyebabkan mereka mengubah dan memperbaiki perilakunya yang
menyimpang dari ajaran-ajaran Kristus.
Arti penting fundamental agama bagi setiap individu dapat menimbulkan banyak menifestasi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan
sejumlah elit politik tertarik untuk melancarkan misinya melalui agama. Salah satunya adalah melalui Gereja, dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri.
Para elit politik melihat institusi agama Gereja mempunyai basis massa dan ikatan emosional yang kuat. Selain itu, Gereja memiliki struktur formal untuk
pertemuan regular dan pertukaran ide-ide. Faktor-faktor ini berkombinasi dan
menempatkan agama dalam posisi unik untuk mempengaruhi publik
10
Untuk melancarkan misinya tersebut, elit politik ini melakukan pendekatan langsung pada para pengurus Gereja bahkan langsung pada
pemimpin Gereja itu sendiri. Pendekatan yang dilakukan oleh calon aparatur Negara ini pun tidak jarang membuahkan hasil. Hal ini terjadi karena
rendahnya tingkat dan kualitas pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki oleh pengurus gereja tersebut dan juga faktor personalitas pengurus gereja itu
sendiri. Hal ini mengakibatkan para pengurus maupun pemimpin Gereja tersebut diperalat oleh yang katanya calon wakil rakyat tertentu untuk
memobilisasai para Jemaat untuk mendongkrak suaranya dalam pemilihan umum. Rentannya politisasi ini juga dipicu oleh minimnya realisasi dari pada
tindak lanjut terhadap manajemen kepemimpinan dan spritualitas yang semakin merosot
. Sedangkan para elit politik selalu membutuhkan dukungan politik riil untuk
memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Maka, agama sering menjadi ajang strategis untuk diperebutkan oleh calon aparatur Negara dalam
bursa pemilihan umum.
11
Tugas pelayanan yang seyogianya diutamakan oleh para hamba Tuhan, kini sudah mulai terkikis oleh faktor kepentingan tertentu, baik
pada pemimpin agama tersebut.
10
John T. Ishiyama Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 1361.
11
J. Soedjati Djiwandono,1999. Gereja dan Politik. Yogyakarta: Kanusius. Hlm.48.
kepentingan pribadi maupun kelompok
12
Pengurus gereja tidak boleh menjadi bagian dari tim sukses suatu partai atau kelompok politik dan mengambil hak pilih warganya untuk
memilih partai politik atau calon tertentu yang seharusnya masing-masing pilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Namun pada kenyataannya,
terdapat sejumlah pemimpin dan pengurus Gereja di daerah-daerah, baik di daerah Perkotaan maupun Pedesaan yang menjadi bagian dari pendongkrak
suara calon tertentu dengan memobilisasi jemaatnya untuk memilih calon wakil rakyat tersebut. Hal ini bisa terjadi karena adanya ikatan ke sukuan
marga atau juga karna persamaan keyakinan. Tetapi tidak dapat dipungkiri ada juga karena demi sejumlah uang atau materi untuk pembangunan Gereja
tersebut. walaupun tidak ada satupun dari antara mereka yang mengaku bahwa
mereka merupakan bagian dari tim pemenangan calon elit poltik tertentu.
. Seharusnya mereka Pimpinan Gereja dan Pengurus Gereja berfungsi sebagai pemeran utama dalam
memberikan pendidikan politik terhadap warga gereja atau masyarakat. Tetapi realitanya, Elit politik mampu menjadikan Gereja sebagai agen mobilisasi
untuk mendongkrak suaranya dalam pemilihan umum.
Hal ini juga terjadi di sejumlah Gereja di kecamatan Sibabangun. Terdapat beberapa pengurus Gereja yang mengambil bagian dalam
pemenangan calon wakil rakyat tertentu. Meskipun kini kontribusinya dalam memobilisasi suara jemaat bersifat pasif.
12
J. Soedjati Djiwandono. Ibid. Hal. 49
Para pengurus baik itu pemimpin maupun Sintua Penatua Gereja seharusnya memberikan pendidikan politik bagi para Jemaatnya agar para
Jemaatnya tersebut tidak terlibat dalam praktik money politik. Tetapi pada realitanya, ada beberapa pengurus Gereja yang bertindak sebagai salah satu
penyebab money politic tersebut terjadi. Dan hal yang paling memilukan, para pemimpin Gereja tersebut menjadikan Mimbar Pemberitaan Firman Allah
sebagai mimbar kampanye. Dari atas Mimbar yang suci, ia mempromosikan si calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam upaya menarik simpati
jemaatnya agar memilihnya calon DPRD dalam pemilihan umum. Pemimpin Gereja tersebut mengungkapkan pendapatnya mengenai si calon politik
tersebut, meskipun tidak ada pemaksaan yang dilakukan, tetapi sifatnya mempersuasif. Para pengurus Gereja baik itu Pendeta maupun Sintua
mempersuasif jemaat agar memilih calon politik tertentu yang dianggapnya
dapat mewakili kepentingan masyarakat.
Kompleksitas permasalahan inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk meneliti tentang hubungan antara Agama Kristen dengan Negara.
Dalam kasus Kontribusi Gereja sebagai agen sosialisai dan mobilisasi suara dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2014 di kabupaten
Tapanuli Tengah, kecamatan Sibabangun.
B. Rumusan Masalah.