Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN PARADIGMA PROFETIK DALAM ILMU HUKUM: Kritik Terhadap Asumsi-Asumsi Dasar Ilmu Hukum Non-Sistematik.

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah pemikiran adalah sejarah cendikiawan yang dengan kejeliannya mampu mengantarkan penghayatannya, mengkonstuktivisasi dan mengkritisi realitas yang ia hadapi. Berbagai istilah tentang filosof, pemikir, intelektual dan intelegensia serta lain sebagainya menandai serbaragam pendekatan dan gerak dialektik ilmu pengetahuan yang diwariskan berdasarkan sejarahnya. Filosof merupakan istilah klasik, tidak sama halnya dengan scholar sarjana atau intelektual cendikiawan yang dikenal pada kurun waktu tertentu dan berbeda, dengan berbagai retakan-retakan dan jejak-jejak sejarah pemikiran. 1 Pandangan ini mengafirmasi transformasi manusia dalam proses pematangan keilmuan, yang selanjutnya akan mengakibatkan revolusi pengetahuan. Dalam konteks ilmu hukum pun demikian adanya, positivisme sebagai anak kandung dari rasionalisme modern tidak luput dari perubahan, yang tidak hanya mengubah terminologi bagi para pendirinya melainkan juga paham- paham yang dihasilkannya. Positivisme hukum yang telah menancapkan pengaruhnya selama era modern mulai dipertanyakan sejak Jeremy Bentham dan J.S. Mill yang menubuhkan Mazhab Utilitarianisme Individual dan Sosial, 2 Fredrich Karl Von Savigny, Puchta dan Henry Summer Maine yang dikenal sebagai eksponen Mazhab Historisme Hukum, Paton, Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound, B. N. Cardozo, Kantorwics dan Gurvict Sociological 1 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka, 2007, Hal. 13. 2 Iqrak Sulhin, Filsafat Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 7, No. 1, Mei, 2010, Fakultas Hukum Universitas Indonesia FHUII, hal. 144-145. 2 Jurisprudence hingga Roberto Mangabeira Unger, David Kairys, Duncan Kennedy, dan Derrida dengan pandangan kritisnya Demikian juga, Charles Sampford dengan ketidakteraturan hukum Theories of Legal Disorder mulai meragukan teori sistematis dalam hukum sebagai turunan dari mekanika Newtonian sebagai justifikasi saintifik terhadapnya. 3 Paradigma chaos dalam hukum tersebut, dijadikan ancangan oleh Anthon F. Sutanto dalam menyusun disertasinya yang berjudul Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Mendasarkan kajian teoretiknya pada teori Chaos atau hukum asimetris Charles Sampford untuk menyelidiki iregularitas dalam konstruksi sosial, dan untuk membidik relasi teks yang penuh dengan intertekstualitas dan differance , Susanto menggunakan Hermeneutika Dekonstruksi Jacques Derrida. Sementara sebagai penunjang atau jangkar untuk mengaitkan satu perbedaan dengan perbedaan lainnya akan digunakan teori gerak transubstansial dari Mulla Shadra, Integrasi Barbour, Consilience Edward Wilson dan Relasi Gradasi Huston Smith. Baginya, sekalipun teori Chaos dalam realitas yang diketengahkan Sampford dan Chaos Teks dalam dekonstruksi Derrida memiliki karakter berbeda dan beragam, namun memiliki titik singgung, yang disebut dengan relasi keragaman yang antara lain; Pertama , Teori Sampford dan Derrida memiliki daya untuk senantiasa keluar dari dominasi dan hegemoni paradigma lama. Keduannya menggunakan prinsip-prinsip dekonstruksi dengan tujuan masing-masing. 3 Ricardo Samarmata, Penggunaan Socio-Legal dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Jurnal Digest Law, Society and Development, Volume. 1 Desember 2006- Maret 2007, hal. 1-6. 3 Kedua , Sampford menggunakan dekonstruksi untuk membalikan pemahaman yang bersifat mekanistik-deterministik menjadi realitas yang asimetris dan cair. Adanya relasi kekuasaan di masyarakat telah menimbulkan kondisi asimetris itu. Adapun Derrida menggunakan dekonstruksi untuk menghancurkan konsep keteraturan dalam teks yang dikemukakan kaum strukturalisme. Ketiga , Akibatnya terjadi perubahan pemahaman terhadap realitas dari yang semula dianggap penuh kepastian, keteraturan, regular dan simplisitas, menjadi realitas yang diliputi ketidakpastian, irregular, acak, chaos, dan kompleks, sedangkan bagi pemahaman Dekonstruksi Derrida, dalam teks selalu ada retakanmarkah, yang membuat teks itu memiliki makna yang tidak pasti atau chaos dalam teks. Dan Keempat , dalam teori Chaos, realitas menjadi terbuka sehingga masyarakat akan dipahami sebagai masyaraakt yang dinamis dan pluralistis, sedangkan dalam teks ada intertektualitas, di mana teks menjadi terbuka, teks selalu terkait dengan teks lainnya. 4 Menurut Susanto perubahan fundamental dalam pemikiran hukum pada dasarnya telah dimulai atau beriringan dengan aspek perkembangan sains, yang semakin lama semakin menggoyahkan prinsip dasar sains modern karena memunculkan implikasi-implikasi filosofis yang berbeda dengan prinsip Cartesian dan Newtonian, diantaranya: 5 1. Teori relativitas umum dengan gagasan pokoknya berupa kontinum ruang dan waktu, telah menyuguhkan kenyataan bahwa alam semesta 4 Anthon F. Sutanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Bandung: Gentha Publishing,, 2010, hal. 194-195. 5 Ibid, hal. 184. 4 tidak statis sebagaimana diasumsikan oleh Cartesian-Newtonian. Alam semesta bersifat dinamis, primasi relasi terhadap entitas; 2. Teori Kuantum yang dicetuskan oleh Neils Bohr dan Werner Heseinberg menyajikan gagasan bahwa realitas fundamental pada hakikaktnya tidak mampu dipastikan, indeterminis, kesatuan subjek dan objek, sehingga kita harus berpandangan secara holistik dalam menilai sesuatu; 3. Teori Biostrap dengan gagasan utamanya mengenai pola dan tatanan, telah memberikan implikasi bahwa alam sebagai jaringan dekonstruksi entitas, substansi tetap; 4. Dissipative Structure dengan gagasan pokok self-organization kompleksitas, berimplikasi filosofis pada cara berpikir non-linier dan sistemik, jembatan sistem hidup dan tak hidup; 5. Biologi Molekuler dan genetika telah menjembatani fisika dan biologi, memahami interaksi jiwa dan tubuh sebagai dua aspek dalam satu proses; 6. Teori evolusi dengan gagasannya tentang inner becoming, kreatif evoluting design dan dialektika acak, memberi implikasi filosofis bahwa alam selalu berproses, organisme memiliki jiwa, daya hidup pada dasarnya perubahan atas tatanan yang terimplikasi dan alam bersifat kompleks. Demikian juga dalam konteks hukum telah terjadi perubahan fundamental dalam filsafat hukum yang tidak kalah cepat dengan sains. Hukum berkembang dari tatanan hukum yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern, yaitu pergeseran hukum kebiasaaan menuju hukum yang dibentuk 5 oleh penguasa dan negara. Hal ini dapat diamati dengan membandingkan positivisme hukum dengan pandangan normatif sebagaimana paradigma semiotik - eksistensial yang , digunakan oleh Ogilvy dan Bruggink, untuk menampilkan suatu pergeseran positivisme ke arah pandangan normatif. Perubahan paradigma dari positivistik menuju normatif, meniscayakan pergerakan lainnya, yaitu dari normatif ke arah non-sistematik karena itu menurut Susanto prinsip-prinsip yang berlandaskan pada keabadian, kepastian, kemantapan tanda dan makna harus ditinggalkan karena sudah tidak mampu menyerap segala bentuk perubahan tanda, kode, makna. Perubahan paradigma positivistik ke arah pandangan normatif yang demikian, menurut Susanto dapat dilihat dari relasi inti penafsir, jenis pengetahuan, sikap ilmuwan, perspektif, teori kebenaran, proposisi, metode, moral, hubungan hukum-moral dan ilmu. Relasi inti yang semula dikotomistik antara subjek- objek, telah bergeser menjadi subjek-subjek. Jenis pengetahuan yang semula berkaitan dengan objektivisme dengan syarat-syaratnya, telah menerima bagi pengetahuan yang bersifat intersubjektif. Sikap ilmuwan yang lebih memposisikan dirinya hanya sebagai pengamat, telah mengalami perubahan yang mensyaratkannya sebagai peserta dalam proses pemahaman. Sebagai pergeseran dari pandangan normatif yang demikian, hukum saat ini akan mengakomodasi pendekatan yang chaotik-disorder ; ketidakpastian, ketidakberaturan, ketidakstabilan, diskontinuitas dan keterputusan. Penafsiran hukum bagi Susanto tidak dapat lagi terpaku kepada makna-makna yang telah mapan, transenden yang melampaui bentuk ungkapan. Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru, begitu selanjutnya sehingga yang ditemukan adalah 6 makna yang berbeda-beda dan tak terhingga. Sebuah pembacaan tidak bisa lepas dari penyerupaan, baik komentar, tafsir maupun takwil, adalah “pembacaan atas pembacaan”, yang berarti seorang pembaca, ketika ia membaca sesungguhnya sedang memproduksi bacaannya dengan satu atau lain makna dan atas satu bentuk atau yang lainnya, suatu proses kreatif tanda dan kode-kode tanpa batas dan tidak terbatas. 6 Perspektif eksternal yang digunakan oleh positivisme telah diganti dengan perspektif internal. Demikian juga, proposisi, teori kebenaran, metode, dan moral serta hubungan antara hukum dan moral telah mengalami perubahan dari yang semula mengandalkan pada data yang bersifat informatif atau empiris, korespondensi, hanya mengandalkan pada pengamatan inderawi yang bersifat non-kognitif serta memisahkan antara hukum dan moral, menjadi lebih pragmatik, dengan basis data yang normatif dan evaluatif, meta-metode, hukum dan moral tidak terpisah dan setiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu. Paradigma non-sistematik berangkat dari adanya asumsi bahwa positivisme yang telah berinteraksi dengan berbagai aliran dalam filsafat hukum, telah gagal meresepsi dan memperbaiki kelemahan-kelemahannya, ia malah sibuk mempertahankan diri dengan berbagai formalisme, netralisme hukum dan segala hal yang menjadi ciri khasnya. Lahirnya paradigma non- sistematik jika dihubungkan dengan pandangan yang telah ada sebelumnya misalnya studi hukum kritis ataupun posmodernisme hukum merupakan suatu transformasi dan kecenderungan. Namun bilamana dihubungkan dengan 6 Ibid. 218. 7 positivisme hukum merupakan sebuah lompatan bersama dalam filsafat. Karena itu di beberapa bagian penulis merasa perlu untuk mengeksplorasi aliran-aliran hukum yang telah ada untuk menemukan beberapa pandangan yang berbeda berikut kesamaan-kesamaan diantara aliran-aliran filsafat hukum tersebut. Paradigma non-sistematik yang mencoba melakukan kajian secara kritis teoritis terhadap keberadaan madzhab filsafat hukum positivistik di Indonesia, mendasarkan kritiknya terhadap madzhab filsafat hukum positivistik berdasarkan teori Chaos dari Charles Sampford dan metode hermeneutika- dekonstruksi dari Derrida, serta mencoba menawarkan alternatif, yaitu ilmu hukum non-sistematis dengan mendasarkan pada konsep consilience dari Edward O. Wilson, model relasi gradasi dari terowongan postmodernisme dan gerak trasn-substansial dari Mulla Shâdrâ. Teori hukum non-sistematik ini pada akhirnya ditujukan melawan hegemoni dan dominasi paradigma Cartesian-Newtonian positivisme ilmu-positivisme hukum, mengusulkan dipergunakan ilmu hukum non-sistematik, sebagai fondasi filsafat dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia. Ilmu hukum non-sistematik menawarkan sudut pandang yang berbeda dengan positivisme hukum, sebagai berikut: Pertama , dari aspek ontologis, mereposisi subjek dan objek dalam pandangan dualisme Cartesian-Newtonian karena pada akhirnya mengukuhkan sentralitas manusia sebagai subjek pencipta makna dan struktur dominan, sebagaimana kecenderungan kaum positivisme hukum yang memaksakan penafsirannya terhadap teks dan realitas. Kedua , dari aspek epistemologis, berkebalikan dari pandangan 8 positivisme yang memisahkan jarak subjek dan objek memberi jalan untuk mereduksi hukum pada kekuasaan yang diformulasikan melalui undang- undang, dengan monopoli penafsirannya dan maknanya. Pendekatan tersebut menurut Susanto pada akhirnya hanya mendorong pada analisis hukum yang parsial dan terkotak-kotak. Berkebalikan dengan hal tersebut, ilmu hukum non-sistematik hendak memberikan desain analisis hukum yang lebih terbuka, dinamis dan mengakomodasi keragaman, sehingga dapat dikembangkan pendekatan yang lebih utuh; Ketiga , dari aspek aksiologis, positivisme hukum memfokuskan dirinya pada kepastian hukum, namun dalam ilmu hukum non-sistematik kepastian hukum akan dikesampingkan dan lebih membuka diri pada keadilan yang cair karena dihasilkan dari ketidakpastian makna teks dan realitas sosial. Disini perlu ditambahkan Asumsi terakhir atau keempat , yaitu Asumsi tentang manusia dalam paradigma non-sistematik yang disusun berdasarkan IESQ Ginandjar Ary Agustian, Danah Zohar dan Ian Marshal. Konsepsi terakhir ini sebenarnya adalah petunjuk dari Satjipto Rahardjo untuk mengintegrasikan konsepsi sains dan ilmu hukum dalam paradigma non-sistematik. Pembahasan tentang ketidakteraturan hukum ini menjadi menarik dilihat dari kemunculannya yang erat kaitannya dengan posmodernisme hukum. Karena itu, kondisi ini pada akhirnya membuka ruang untuk suatu transisi, labil dan kemelut antara teori hukum yang dikukuhi pada era modern dengan gagasan-gagasan posmodernisme tentang hukum. Akibat dari modernisme yang tidak lagi mampu diandalkan tersebut, maka ia mengalami serbuan kritik, Fredriech Nietzsche pertama kali melemparkan kritik pada abad 19, 9 disusul dengan tokoh-tokoh lainnya pada tahun 1970-an bahkan Lyotard mencanangkan bahwa etos posmodernisme dengan dekonstruksinya sebagai antimodernisme atau musuh baru bagi modernisme. 7 Posmodernisme merupakan kritik terhadap modernitas dengan menawarkan pluralitas identitas, relativitas kebenaran dengan cara mendekonstruksi kebenaran status quo . Posmodernisme memiliki berbagai makna dan definisi yang mengacu pada banyak aspek dari kehidupan seperti bentuk dan gaya musik, sastra, seni dan filsafat, sejarah, media massa dan kebudayaan konsumen. Pradish Raj Singh membedakan modern dan posmodern sebagai berikut: Pertama , pada aspek metafisik, modernisme menganut realisme dan naturalisme. Sementara itu posmodernisme menganut anti realisme. Kedua , pada aspek epistemologi, modernisme menganut obyektivisme pengalaman dan pemikiran, sedang posmodernisme menganut subyektivisme sosial. Ketiga, pada aspek hakekat manusia, modernisme berpegang pada tabularasa dan otonomi, posmodernisme mempercayai konstruksi sosial dan konflik. 8 Dalam kondisi demikian, pengetahuan profetik yang telah diletakkan oleh modernisme di kasta terendah dalam ilmu pengetahuan mulai kembali direvaluasi. Dalam filsafat, persoalan pengetahuan merupakan bagian penting menyangkut epistemologi atau teori pengetahuan yang mengkaji secara menyeluruh teori tentang asal-usul, penafsiran terhadap sumber-sumber ilmu, 7 Agus Raharjo, Hukum dan Dilema Pencitraannya: Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktek, Jurnal Hukum Pro Justitia, Januari 2006, Volume. 24. No. 1, Hal. 19. 8 Muh. Hanif, Studi Media Dan Budaya Populer Dalam Perspektif Modernisme Dan Postmodernisme , Jurnal Komunika, Vol.5 No.2 Juli - Desember 2011, hal. 238-239. 10 upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencapainya dan batas-batas pengetahuan. Lebih dari itu pengetahuan merupakan suatu keniscayaan lahirnya perbuatan baik pengetahuan dipandang sebagai causa maupun kondisi. 9 Tetapi di barat teori pengetahuan telah mengalami proses sekularisasi sejak bergulirnya renaisance dan Aufklarung , Naquib Al-Attas menyatakan bahwa sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah filsafat yang asumsi awalnya dibangun dari pandangan bahwa segala sesuatu terwujud dari sesuatu lainnya. Segala yang ada adalah kemajuan, perkembangan, atau evolusi dari potensi laten di dalam materi yang bersifat kekal. Alam yang dibangun dari perspektif ini adalah yang tidak bergantung pada apapun tidak diciptakan; suatu sistem yang berdiri sendiri, dan berkembang menurut hukumnya sendiri. Penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan sudah tersirat dalam paradigma ini. Sumber-sumber keilmuan dipilah secara polikotomis dan membentuk keberpihakannya sendiri, seperti rasionalisme filosofis yang bersandar pada nalar an sich, tanpa bantuan pada pengalaman atau persepsi inderawi; rasionalisme sekular yang menerima nalar dan pengalaman namun menyingkirkan wahyu dan agama sebagai sumber yang benar; dan empirisme logis atau filosofis yang mempertaruhkan seluruh keyakinannya pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa. 10 9 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: Rajawali Press, 1988, hal. 95. 10 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Bandung: Mizan, 1995, hal. 28 11 Demikian juga halnya pada era postmodernisme agama relatif masih dianggap sebagai sesuatu yang tanpa makna sehingga tidak memiliki tempat sebagai subjek dalam proses mengkonstruksi kebenaran bahkan menjadi objek untuk di-dekonstruksi untuk dihasilkan gagasan-gagasan baru yang sesuai dengan keinginan manusia. dalam ungkapan lain, agama sebagai fakta sosial atau realitas merupakan hasil perbenturan-perbenturan yang terjadi dengan predikat-predikat pengetahuan non-agama, jika tidak menyebutnya agama suatu rekayasa kemanusiaan atau kebudayaan yang sejajar dengan filsafat. Posmodernisme pada awal kemunculannya bertujuan untuk memuluskan peralihan politik dari pola pemikirna nasional menuju interaksi global menafikan struktur universal dalam setiap ‘paradoks’ yang ditemuinya, sebagaimana diungkapkan oleh Lyotard bahwa kebenaran tergantung pada tempatnya dalam permainan bahasa lokal tertentu dan tidak mungkin bersifat universal. Sebaliknya ia mengusir kisah-kisah sejarah yang agung yang mengakui memiliki validitas universal sebagai suatu titik pandang lebih tinggi metanarasi, yang harus ditundukan agar memunculkan saling pengertian dalam rezim pengetahuan terkecuali agama. 11 Hal ini terlihat melalui pemaparan Fahmi Zarkasyi dalam Membangun Pondasi Peradaban Islam dapat dipetakan menjadi dua periode penting yaitu pandangan dunia modern dan pandangan dunia postmodern. Pandangan dunia modern modern mind dibangun atas nilai-nilai bangsa dengan perbedaan- perbedaan yang tidak mampu dipertemukan hubungannya dan kemudian 11 La Ode Baenawi, Postmodernisme dan Kritik Jean-Francois Lyotard Terhadap Metanarasi , Jurnal Selami IPS, Nomor 27, Volume 2, Tahun 2009, hal. 108-111. 12 disesuaikan dengan budaya barat. 12 Ketika kristen dominan, mereka menganggap diri mereka berada dalam Dark Ages zaman kegelapan, --- hal ini menurut Adian Husaini diakibatkan beberapa problem dalam ajaran kekristenan---melalui penerjemahan berbagai bidang sains dan filsafat, mereka akhirnya mendapatkan zaman pencerahan renaissance, revolusi Perancis France Revolution dan industrialisasi besar-besaran di Inggris. Melalui proses tersebut maka barat memasuki apa yang disebut dengan zaman modern. Alan Touraine dan JW. Schoorl menggambarkan modernitas sebagai pandangan hidup yang berbasis pada sains dan teknologi scientific worldview yang ditandai dengan rasionalisasi dan sekularisasi dalam penerapan pengetahuan ilmiah kepada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek kehidupan masyarakat, karena itu modernitas juga dopahami sebagai cara berpikir state of mind yang mendalilkan kehidupan sosial politik dikontrol oleh rasio hingga selanjutnya menciptakan masyarakat rasional rational society. Sementara pandangan dunia posmodern yang terjadi pada abad ke-19, pemikiran-pemikiran dan modernitas mulai dipertanyakan finalitasnya oleh suatu gerakan filsafat yang berpegang teguh pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat dipahami oleh manusia. 13 Ini adalah pengingkaran terhadap absolutisme dan metafisika objektif. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan produk akal posmodern postmodern mind. Inilah yang kemudian menggantikan sistem 12 Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Pondasi Peradaban Islam, Ed.Sarjuni, Semarang : UNISSULA Press, 2008, hal. 24-31. 13 Ibid, hal. 24-31. 13 metafisika. Silverman menyatakan bahwa berakhirnya era modernisme, mengakhiri pula era metafisika, suatu titik perubahan sistem dari metode berpikir metafisis kepada metode analitis yang dijumpai dalam pandangan- pandangan Karl Marx dan Nietzsche. Namun demikian, tak berhenti disana, kemunculan posmodernisme sebagai suatu sistem baru, juga berimplikasi pada pengesampingan doktrin keagamaan yang didasarkan pada metafisika. Salah satu karakter akal posmodernisme ini adalah apa yang disebut Nietzsche sebagai penghapusan otoritas atau program penghapusan Nilai dissolution of values yang disebut dengan doktrin Nihilisme, belakangan pandangan ini dikenal dalam skala yang lebih luas dengan nama European Nihilisme yang terdapat dalam the Philosophy of Difference yang dinisbatkan kepada Nietzsche dan Heidegger, yang menghubungkan nihilisme dan hermeneutika. 14 Meskipun proyek yang mengusung devaluasi nilai ini dipertanyakan, namun mereka tetap menganggap hal ini sebagai jalan baru yang menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan dalam agama. Dalam istilah Snyder “Nihilisme ini berhubungan dengan perubahan kebenaran dalam nilai, tapi nilai yang telah diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia”. Nilai menurut Nietzsche adalah kehendak berkuasa . Dengan demikian, filsafat nihilisme ini bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan nilai disingkirkan. Sebab, sebagaimana dinyatakan Nietzsche, ketika metafisika mencapai suatu 14 Ibid, hal. 24-31. 14 poin dimana kebenaran dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subjektif yang boleh jadi salah. Dalam ungkapan lain, nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya dan pada akhirnya tidak ada yang tersisa. Atmosfir pemikiran Posmodernisme dengan doktrin nihilisme, subjektivitas, anti-logosentrisme, relativisme, diskontinuitas, dan delusionisme nilai ini berkelindan bersama dengan paham pluralisme, termasuk pluralisme agama. 15 Dengan melihat pemikiran yang demikian, dapat diketahui bahwa gagasan modernisme dan postmodernisme pada hakikatnya mengembalikan paradigma keilmuan pada kehendak manusia, sebagai pencipta realitas dan makna, sehingga hal demikian tidak menyisakan nilai-nilai teosentris dalam diri manusia selain kemanusiaan itu sendiri. Modernisme yang bertumpu pada akal sebagai sumber kebenaran tunggal dan antroposentrisme serta posmodernisme dengan dekonstruksinya, pluralitas, subjektivitas sosial, relativitas kebenaran dan antagonisme terhadap universalisme termasuk agama, juga bias kepentingan akan upaya-upaya penghancuran sekat-sekat geografis, nasional dan intersubjektivisme dengan pluralisme sekular sebagai permukaan luarnya tetap saja tidak dapat lepas dari bayang-bayang masa lalu sebagai cara diam- diam untuk melakukan penundukan terhadap yang lain atau paling tidak penundukan diri terhadap pluralitas makna dan relativitas kebenaran. Maksudnya posmodernisme juga masih membawa kenangan dari modernisme sebagai sebuah pandangan dunia berupa penundukan terhadap alam dan sekularisme, disamping itu ketika suatu kesadaran yang didasarkan pada 15 Ibid, hal. 24-31. 15 prinsip-prinsip etis telah diruntuhkan maka ia akan menagih gantinya dan posmodernisme telah gagal menjawab apa yang menjadi pengganti prinsip- prinsip etis tersebut. 16 Berbeda dengan pandangan di atas, Kuntowijoyo melihat posmodernisme sebagai peluang untuk mendediferensiasikan agama dengan ilmu pengetahuan, lagi pula konflik agama dengan sistem pengetahuan rasional hanya terjadi dalam pemikiran agama yang bersifat Panteologis, pengalaman barat membuktikan hal itu. Sistem pemikiran kristen yang cenderung panteologis memang sulit sekali menerima perkembangan sistem pengetahuan rasional, sehingga terjadi perceraian antara agama dan ilmu pengetahuan, antara ilmu dan nilai. 17 Gagasan Kuntowijoyo dalam melakukan reintegrasi ilmu dan agama yang demikian juga ditemukan di kalangan pemikir barat, semisal Ian G. Barbour, yang mengusulkan empat tipologi interaksi sains dan agama sebagai sebuah alur: Dari Konflik yang dikukuhi oleh Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, dan Stephen Hawking,, ke Independensi yang dapat ditemukan dari tulisan-tulisan Karl Bath dan Landon Gilkey, Dialog sebagaimana diisyaratkan oleh Albert Einstein yang mengatakan: “Religion without sci ence is blind: science without religion is lame,” Holmes Rolston, John Calvin dan Thomas Torrance, dan Integrasi yang didukung oleh Oliver L. Leiser, John Haught, dan sebagainya. Sementara dari kalangan muslim, pandangan integralistik ini 16 Aryaning Arya Kresna, Janji-Janji Palsu Posmodernisme: Liberalisme Menurut Richard Rorty, Sebuah Tinjauan Filsafat Politik, Jurnal Filsafat No. 1, Jilid 36, April 2004, hal. 9. 17 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, AE. Priyono ed. Bandung: Mizan, 1991, hal. 168. 16 muncul dari tawaran: Islamisasi Ilmu Naquib Al-Attas, Ismail Raji Al-Faruqi, Mulla Shadra dan Amin Abdullah. Dengan demikian menurut Barbour ujung dari perbincangan agama dan ilmu adalah integrasi, meskipun melewati fase- fase konflik dan dialog pada tahap awalnya. 18 Untuk mendekati atau sebagai perangkat refleksi terhadap paradigma non- sistematik, pilihan alternatif itu jatuh pada gagasan Kuntowijoyo yang menawarkan konsep ilmu sosial profetik. Titik beranjak dalam pengilmuan islam seperti halnya Barbour adalah integralisasi yang berarti sebuah reposisi wahyu dalam ilmu pengetahuan. 19 Hal demikian memiliki perbedaan diametral dengan paradigma barat berikut derivasinya yang cenderung memusuhi dan mengasingkan agama ke wilayah privat dan personal, bahkan memandang agama sebagai mitos yang tidak berarti dalam dunia pengetahuan. Seringkali mereka menganggap agama sebagai manifestasi kesadaran mitologis masyarakat purbakala yang gagal memahami realitas atau merupakan evolusi dari kepercayaan pagan purbakala yang primitif dan irasional, pandangan ini dianggap memiliki pijakan hostoris yang kokoh manakala disandingkan dengan kenyataan bahwa terdapat kesamaan-kesamaan yang tanpa sengaja antara kisah-kisah pagan dengan agama konfesional Yudeo-Kristen. Dengan alasan itu, para ahli sejarah ateis barat melakukan proses generalisasi terhadap agama-agama. 18 Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002, hal. 47, 54, 55, 19 Menurut Kuntowijoyo, Islamisasi ilmu sebenarnya tidak berarti bertujuan pada konstruksi keilmuan barat yang objektif, melainkan pada asumsi-asumsi dasar yang tersembunyi di dalamnya atau niat seorang peneliti ketika hendak menyampaikan gagasannya alasannya sederhana saja karena islam juga mengakui objektifitas. Islamisasi ilmu selama ini dipahami sebagai tindakan reaktif dan pasif, maka dari itu ia mengusulkan pengilmuan. 17 Integralisasi agama dan ilmu ini kemudian dilanjutkan dengan proses objektifikasi, Supaya Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil bagi semesta Qs. XXI 107; Qs. V: 8, tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya, maka diperlukan objektifikasi Islam. 20 Objektifikasi bertujuan untuk memperluas reseptabilitas publik terhadap ajaran-ajaran Islam yang telah terejawantahkan dalam kategori-kategori objektif, yang sasarannya tidak lagi umat Islam melainkan seluruh lapisan anggota masyarakat baik yang beragama Islam maupun beragama lain. Alasan masyarakat menerima ajaran Islam, barangkali tidak didasarkan pada nilai-nilai teologis-normatif, akan tetapi karena ia telah mengubah dirinya menjadi ilmu pengetahuan dan terutama kegunaannya dalam menghadapi kenyataan, sehingga terdapat keharmonisan antara nafas Islam dan visi-visinya yang communitarian dengan masyarakat. Communitarianisme itu terlihat pada adanya intensi-intensi yang memperhatikan dengan serius terhadap nilai-nilai pada tujuannya dan pemihakan terhadap masyarakat yang berada dalam garis tepi yang mulai tersisihkan. Paradigma profetik memiliki empat nilai penting sebagai landasannya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi serta aktivisme historis. Keempat nilai ini disamping berfungsi sebagai kerangka kritik juga mendasari gagasan emansipasi; mulai dari transformasi individu melalui keimanan dan humanisasi, ke transformasi ilmu melalui liberasi pengetahuan atau pengilmuan islam, hingga transformasi sosial dengan adanya aktivisme 20 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Bandung: Mizan, 1997, hal. 68 dan 76. 18 historis. Melalui empat nilai tersebut, paradigma profetik hendak menegaskan posisinya sebagai gagasan yang bersifat communitarian seperti halnya teori kritis, memaksudkan untuk kepentingan praksis emansipatoris dan secara bersamaan menegaskan bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan dan teori tidak terpisah dari praksis. Kepentingan paradigma profetik adalah humanisasi, liberasi dan transendensi serta kebebasan dalam aktivisme historis bebas untuk berkontribusi dan tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, maka paradigma profetik, mendasarkan pada asumsi- asumsi tertentu. Secara ontologis, menyatakan bahwa wahyu, realitas empiris dan rasio sebagai hakikat ilmu pengetahuan yang harus digali secara benar, maksudnya sesuai dengan cara pandang atau objek formil profetik itu sendiri. Hal ini berbeda dengan pandangan hukum kodrat yang menitikberatkan pada dogma dan positivisme yang merupakan anak kandung rasionalisme, serta realisme hukum yang berpatokan pada objek-objek empiris. Dari perspektif epistemologis paradigma profetik mendasarkan pada wahyu, realitas empiris dan rasio. Ketiga sumber pengetahuan ini masing- masing berkaitan secara integral, karena itu wahyu dengan realitas dan rasio saling terhubung dan tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya karena wahyu yang terlepas dari rasio hanya akan menjadi ide-ide yang mentah dan tidak pernah terpaparkan dan terpahami sehingga menjadi kumpulan-kumpulan kepercayaan yang berdebu. Demikian juga rasio yang terlepas dari wahyu, hanya menjadi segerombolan kuda-kuda liar yang tidak memiliki kais, perdebatan-perdebatan yang dilakukan hanya untuk menunjukkan egoisme- intelektual dan akan mengantarkan pada relaitivisme kebenaran karena 19 berangkat dari subjektivisme rasio dalam mendeduksi pengertian-pengertian tentang sesuatu. Manusia dalam kerangka ini seperti robot yang memiliki kecerdasan logis. Sementara wahyu yang terlepas dari realitas hanya akan menjadi domain yang stagnan dan tidak bermanfaat untuk masyarakat. Sementara dari perspektif aksiologis, paradigma profetik men-canangkan transformasi etika sebagai asumsi dasarnya, yang dimaksudkan agar setiap orang memiliki kekuatan untuk menyikapi persoalan-persoalan kehidupan berdasarkan etika moral yang diatur wahyu, rasionalitas dan pengalaman manusia. Dengan nilai etis profetis yang demikian akan menghasilkan ilmu-ilmu Islam yang lebih proaktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan konkret yang terjadi di masyarakat, sehingga Islam benar-benar dirasakan manfaatnya dan secara langsung dapat bertegur sapa dengan realitas. Bilamana di masa lalu, wahyu dan sunnah digunakan para ulama untuk menilai kerangka sosial dalam koridor dan tujuan praktis, maka ilmu sosial profetik menyarankan agar wahyu dan atau sunnah dijadikan akar epistemologis dalam membangun teori- teori sosial, sehingga jika kesalahan atau jika pada suatu hari teori-teori tersebut sudah kehilangan signifikansinya dengan realitas, maka umat tetap berada dalam batas-batas rasionalitas dan berada dalam proporsinya, dengan tidak langsung menyalahkan wahyu.

1.2. Pembatasan Masalah