PENDAHULUAN PARADIGMA PROFETIK DALAM ILMU HUKUM: Kritik Terhadap Asumsi-Asumsi Dasar Ilmu Hukum Non-Sistematik.

(1)

1

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah pemikiran adalah sejarah cendikiawan yang dengan kejeliannya mampu mengantarkan penghayatannya, mengkonstuktivisasi dan mengkritisi realitas yang ia hadapi. Berbagai istilah tentang filosof, pemikir, intelektual dan intelegensia serta lain sebagainya menandai serbaragam pendekatan dan gerak dialektik ilmu pengetahuan yang diwariskan berdasarkan sejarahnya. Filosof merupakan istilah klasik, tidak sama halnya dengan scholar (sarjana) atau intelektual (cendikiawan) yang dikenal pada kurun waktu tertentu dan berbeda, dengan berbagai retakan-retakan dan jejak-jejak sejarah pemikiran.1 Pandangan ini mengafirmasi transformasi manusia dalam proses pematangan keilmuan, yang selanjutnya akan mengakibatkan revolusi pengetahuan.

Dalam konteks ilmu hukum pun demikian adanya, positivisme sebagai anak kandung dari rasionalisme modern tidak luput dari perubahan, yang tidak hanya mengubah terminologi bagi para pendirinya melainkan juga paham-paham yang dihasilkannya. Positivisme hukum yang telah menancapkan pengaruhnya selama era modern mulai dipertanyakan sejak Jeremy Bentham dan J.S. Mill yang menubuhkan Mazhab Utilitarianisme Individual dan Sosial,2 Fredrich Karl Von Savigny, Puchta dan Henry Summer Maine yang dikenal sebagai eksponen Mazhab Historisme Hukum, Paton, Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound, B. N. Cardozo, Kantorwics dan Gurvict (Sociological

1 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka), 2007, Hal. 13. 2 Iqrak Sulhin, Filsafat (Sistem) Pemasyarakatan, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 7, No. 1,


(2)

Jurisprudence) hingga Roberto Mangabeira Unger, David Kairys, Duncan Kennedy, dan Derrida dengan pandangan kritisnya Demikian juga, Charles Sampford dengan ketidakteraturan hukum (Theories of Legal Disorder) mulai meragukan teori sistematis dalam hukum sebagai turunan dari mekanika Newtonian sebagai justifikasi saintifik terhadapnya.3

Paradigma chaos dalam hukum tersebut, dijadikan ancangan oleh Anthon F. Sutanto dalam menyusun disertasinya yang berjudul Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Mendasarkan kajian teoretiknya pada teori Chaos atau hukum asimetris Charles Sampford untuk menyelidiki iregularitas dalam konstruksi sosial, dan untuk membidik relasi teks yang penuh dengan intertekstualitas dan differance, Susanto menggunakan Hermeneutika Dekonstruksi Jacques Derrida. Sementara sebagai penunjang atau jangkar untuk mengaitkan satu perbedaan dengan perbedaan lainnya akan digunakan teori gerak transubstansial dari Mulla Shadra, Integrasi Barbour, Consilience Edward Wilson dan Relasi Gradasi Huston Smith. Baginya, sekalipun teori Chaos dalam realitas yang diketengahkan Sampford dan Chaos Teks dalam dekonstruksi Derrida memiliki karakter berbeda dan beragam, namun memiliki titik singgung, yang disebut dengan relasi keragaman yang antara lain; Pertama, Teori Sampford dan Derrida memiliki daya untuk senantiasa keluar dari dominasi dan hegemoni paradigma lama. Keduannya menggunakan prinsip-prinsip dekonstruksi dengan tujuan masing-masing.

3 Ricardo Samarmata, Penggunaan Socio-Legal dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Jurnal Digest Law, Society and Development, Volume. 1 (Desember 2006- Maret 2007), hal. 1-6.


(3)

Kedua, Sampford menggunakan dekonstruksi untuk membalikan pemahaman yang bersifat mekanistik-deterministik menjadi realitas yang asimetris dan cair. Adanya relasi kekuasaan di masyarakat telah menimbulkan kondisi

asimetris itu. Adapun Derrida menggunakan dekonstruksi untuk

menghancurkan konsep keteraturan dalam teks yang dikemukakan kaum strukturalisme. Ketiga, Akibatnya terjadi perubahan pemahaman terhadap realitas dari yang semula dianggap penuh kepastian, keteraturan, regular dan simplisitas, menjadi realitas yang diliputi ketidakpastian, irregular, acak, chaos, dan kompleks, sedangkan bagi pemahaman Dekonstruksi Derrida, dalam teks selalu ada retakan/markah, yang membuat teks itu memiliki makna yang tidak pasti atau chaos dalam teks. Dan Keempat, dalam teori Chaos, realitas menjadi terbuka sehingga masyarakat akan dipahami sebagai masyaraakt yang dinamis dan pluralistis, sedangkan dalam teks ada intertektualitas, di mana teks menjadi terbuka, teks selalu terkait dengan teks lainnya.4

Menurut Susanto perubahan fundamental dalam pemikiran hukum pada dasarnya telah dimulai atau beriringan dengan aspek perkembangan sains, yang semakin lama semakin menggoyahkan prinsip dasar sains modern karena memunculkan implikasi-implikasi filosofis yang berbeda dengan prinsip Cartesian dan Newtonian, diantaranya: 5

1. Teori relativitas umum dengan gagasan pokoknya berupa kontinum ruang dan waktu, telah menyuguhkan kenyataan bahwa alam semesta

4Anthon F. Sutanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik: Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, (Bandung: Gentha Publishing,), 2010, hal. 194-195.


(4)

tidak statis sebagaimana diasumsikan oleh Cartesian-Newtonian. Alam semesta bersifat dinamis, primasi relasi terhadap entitas;

2. Teori Kuantum yang dicetuskan oleh Neils Bohr dan Werner Heseinberg menyajikan gagasan bahwa realitas fundamental pada hakikaktnya tidak mampu dipastikan, indeterminis, kesatuan subjek dan objek, sehingga kita harus berpandangan secara holistik dalam menilai sesuatu;

3. Teori Biostrap dengan gagasan utamanya mengenai pola dan tatanan, telah memberikan implikasi bahwa alam sebagai jaringan dekonstruksi entitas, substansi tetap;

4. Dissipative Structure dengan gagasan pokok self-organization kompleksitas, berimplikasi filosofis pada cara berpikir non-linier dan sistemik, jembatan sistem hidup dan tak hidup;

5. Biologi Molekuler dan genetika telah menjembatani fisika dan biologi, memahami interaksi jiwa dan tubuh sebagai dua aspek dalam satu proses;

6. Teori evolusi dengan gagasannya tentang inner becoming, kreatif evoluting design dan dialektika acak, memberi implikasi filosofis bahwa alam selalu berproses, organisme memiliki jiwa, daya hidup pada dasarnya perubahan atas tatanan yang terimplikasi dan alam bersifat kompleks.

Demikian juga dalam konteks hukum telah terjadi perubahan fundamental dalam filsafat hukum yang tidak kalah cepat dengan sains. Hukum berkembang dari tatanan hukum yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern, yaitu pergeseran hukum kebiasaaan menuju hukum yang dibentuk


(5)

oleh penguasa dan negara. Hal ini dapat diamati dengan membandingkan positivisme hukum dengan pandangan normatif sebagaimana paradigma semiotik-eksistensial yang,digunakan oleh Ogilvy dan Bruggink, untuk menampilkan suatu pergeseran positivisme ke arah pandangan normatif. Perubahan paradigma dari positivistik menuju normatif, meniscayakan pergerakan lainnya, yaitu dari normatif ke arah non-sistematik karena itu menurut Susanto prinsip-prinsip yang berlandaskan pada keabadian, kepastian, kemantapan tanda dan makna harus ditinggalkan karena sudah tidak mampu menyerap segala bentuk perubahan (tanda, kode, makna). Perubahan paradigma positivistik ke arah pandangan normatif yang demikian, menurut Susanto dapat dilihat dari relasi inti (penafsir), jenis pengetahuan, sikap ilmuwan, perspektif, teori kebenaran, proposisi, metode, moral, hubungan hukum-moral dan ilmu. Relasi inti yang semula dikotomistik antara subjek-objek, telah bergeser menjadi subjek-subjek. Jenis pengetahuan yang semula berkaitan dengan objektivisme dengan syarat-syaratnya, telah menerima bagi pengetahuan yang bersifat intersubjektif. Sikap ilmuwan yang lebih memposisikan dirinya hanya sebagai pengamat, telah mengalami perubahan yang mensyaratkannya sebagai peserta dalam proses pemahaman. Sebagai pergeseran dari pandangan normatif yang demikian, hukum saat ini akan mengakomodasi pendekatan yang chaotik-disorder; ketidakpastian, ketidakberaturan, ketidakstabilan, diskontinuitas dan keterputusan. Penafsiran hukum bagi Susanto tidak dapat lagi terpaku kepada makna-makna yang telah mapan, transenden yang melampaui bentuk ungkapan. Setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru, begitu selanjutnya sehingga yang ditemukan adalah


(6)

makna yang berbeda-beda dan tak terhingga. Sebuah pembacaan tidak bisa lepas dari penyerupaan, baik komentar, tafsir maupun takwil, adalah

“pembacaan atas pembacaan”, yang berarti seorang pembaca, ketika ia

membaca sesungguhnya sedang memproduksi bacaannya dengan satu atau lain makna dan atas satu bentuk atau yang lainnya, suatu proses kreatif tanda dan kode-kode tanpa batas dan tidak terbatas. 6

Perspektif eksternal yang digunakan oleh positivisme telah diganti dengan perspektif internal. Demikian juga, proposisi, teori kebenaran, metode, dan moral serta hubungan antara hukum dan moral telah mengalami perubahan dari yang semula mengandalkan pada data yang bersifat informatif atau empiris, korespondensi, hanya mengandalkan pada pengamatan inderawi yang bersifat non-kognitif serta memisahkan antara hukum dan moral, menjadi lebih pragmatik, dengan basis data yang normatif dan evaluatif, meta-metode, hukum dan moral tidak terpisah dan setiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu.

Paradigma non-sistematik berangkat dari adanya asumsi bahwa positivisme yang telah berinteraksi dengan berbagai aliran dalam filsafat hukum, telah gagal meresepsi dan memperbaiki kelemahan-kelemahannya, ia malah sibuk mempertahankan diri dengan berbagai formalisme, netralisme hukum dan segala hal yang menjadi ciri khasnya. Lahirnya paradigma non-sistematik jika dihubungkan dengan pandangan yang telah ada sebelumnya misalnya studi hukum kritis ataupun posmodernisme hukum merupakan suatu transformasi dan kecenderungan. Namun bilamana dihubungkan dengan


(7)

positivisme hukum merupakan sebuah lompatan bersama dalam filsafat. Karena itu di beberapa bagian penulis merasa perlu untuk mengeksplorasi aliran-aliran hukum yang telah ada untuk menemukan beberapa pandangan yang berbeda berikut kesamaan-kesamaan diantara aliran-aliran filsafat hukum tersebut.

Paradigma non-sistematik yang mencoba melakukan kajian secara kritis teoritis terhadap keberadaan madzhab filsafat hukum positivistik di Indonesia, mendasarkan kritiknya terhadap madzhab filsafat hukum positivistik berdasarkan teori Chaos dari Charles Sampford dan metode hermeneutika-dekonstruksi dari Derrida, serta mencoba menawarkan alternatif, yaitu ilmu hukum non-sistematis dengan mendasarkan pada konsep consilience dari Edward O. Wilson, model relasi gradasi dari terowongan postmodernisme dan gerak trasn-substansial dari Mulla Shâdrâ. Teori hukum non-sistematik ini pada akhirnya ditujukan melawan hegemoni dan dominasi paradigma Cartesian-Newtonian (positivisme ilmu-positivisme hukum), mengusulkan dipergunakan ilmu hukum non-sistematik, sebagai fondasi filsafat dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Ilmu hukum non-sistematik menawarkan sudut pandang yang berbeda dengan positivisme hukum, sebagai berikut: Pertama, dari aspek ontologis, mereposisi subjek dan objek dalam pandangan dualisme Cartesian-Newtonian karena pada akhirnya mengukuhkan sentralitas manusia sebagai subjek pencipta makna dan struktur dominan, sebagaimana kecenderungan kaum positivisme hukum yang memaksakan penafsirannya terhadap teks dan realitas. Kedua, dari aspek epistemologis, berkebalikan dari pandangan


(8)

positivisme yang memisahkan jarak subjek dan objek memberi jalan untuk mereduksi hukum pada kekuasaan yang diformulasikan melalui undang-undang, dengan monopoli penafsirannya dan maknanya. Pendekatan tersebut menurut Susanto pada akhirnya hanya mendorong pada analisis hukum yang parsial dan terkotak-kotak. Berkebalikan dengan hal tersebut, ilmu hukum non-sistematik hendak memberikan desain analisis hukum yang lebih terbuka, dinamis dan mengakomodasi keragaman, sehingga dapat dikembangkan pendekatan yang lebih utuh;

Ketiga, dari aspek aksiologis, positivisme hukum memfokuskan dirinya pada kepastian hukum, namun dalam ilmu hukum non-sistematik kepastian hukum akan dikesampingkan dan lebih membuka diri pada keadilan yang cair karena dihasilkan dari ketidakpastian makna teks dan realitas sosial. Disini perlu ditambahkan Asumsi terakhir atau keempat, yaitu Asumsi tentang manusia dalam paradigma non-sistematik yang disusun berdasarkan IESQ Ginandjar Ary Agustian, Danah Zohar dan Ian Marshal. Konsepsi terakhir ini sebenarnya adalah petunjuk dari Satjipto Rahardjo untuk mengintegrasikan konsepsi sains dan ilmu hukum dalam paradigma non-sistematik.

Pembahasan tentang ketidakteraturan hukum ini menjadi menarik dilihat dari kemunculannya yang erat kaitannya dengan posmodernisme hukum. Karena itu, kondisi ini pada akhirnya membuka ruang untuk suatu transisi, labil dan kemelut antara teori hukum yang dikukuhi pada era modern dengan gagasan-gagasan posmodernisme tentang hukum. Akibat dari modernisme yang tidak lagi mampu diandalkan tersebut, maka ia mengalami serbuan kritik, Fredriech Nietzsche pertama kali melemparkan kritik pada abad 19,


(9)

disusul dengan tokoh-tokoh lainnya pada tahun 1970-an bahkan Lyotard mencanangkan bahwa etos posmodernisme dengan dekonstruksinya sebagai antimodernisme atau musuh baru bagi modernisme.7

Posmodernisme merupakan kritik terhadap modernitas dengan

menawarkan pluralitas identitas, relativitas kebenaran dengan cara mendekonstruksi kebenaran status quo. Posmodernisme memiliki berbagai makna dan definisi yang mengacu pada banyak aspek dari kehidupan seperti bentuk dan gaya musik, sastra, seni dan filsafat, sejarah, media massa dan kebudayaan konsumen. Pradish Raj Singh membedakan modern dan posmodern sebagai berikut: Pertama, pada aspek metafisik, modernisme menganut realisme dan naturalisme. Sementara itu posmodernisme menganut anti realisme. Kedua, pada aspek epistemologi, modernisme menganut obyektivisme pengalaman dan pemikiran, sedang posmodernisme menganut subyektivisme sosial. Ketiga, pada aspek hakekat manusia, modernisme berpegang pada tabularasa dan otonomi, posmodernisme mempercayai konstruksi sosial dan konflik.8

Dalam kondisi demikian, pengetahuan profetik yang telah diletakkan oleh modernisme di kasta terendah dalam ilmu pengetahuan mulai kembali direvaluasi. Dalam filsafat, persoalan pengetahuan merupakan bagian penting menyangkut epistemologi atau teori pengetahuan yang mengkaji secara menyeluruh teori tentang asal-usul, penafsiran terhadap sumber-sumber ilmu,

7Agus Raharjo, Hukum dan Dilema Pencitraannya: Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktek, Jurnal Hukum Pro Justitia, (Januari 2006), Volume. 24. No. 1, Hal. 19. 8 Muh. Hanif, Studi Media Dan Budaya Populer Dalam Perspektif Modernisme Dan


(10)

upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencapainya dan batas-batas pengetahuan. Lebih dari itu pengetahuan merupakan suatu keniscayaan lahirnya perbuatan baik pengetahuan dipandang sebagai causa maupun kondisi.9

Tetapi di barat teori pengetahuan telah mengalami proses sekularisasi sejak bergulirnya renaisance dan Aufklarung, Naquib Al-Attas menyatakan bahwa sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah filsafat yang asumsi awalnya dibangun dari pandangan bahwa segala sesuatu terwujud dari sesuatu lainnya. Segala yang ada adalah kemajuan, perkembangan, atau evolusi dari potensi laten di dalam materi yang bersifat kekal. Alam yang dibangun dari perspektif ini adalah yang tidak bergantung pada apapun (tidak diciptakan); suatu sistem yang berdiri sendiri, dan berkembang menurut hukumnya sendiri. Penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan sudah tersirat dalam paradigma ini. Sumber-sumber keilmuan dipilah secara polikotomis dan membentuk keberpihakannya sendiri, seperti rasionalisme filosofis yang bersandar pada nalar an sich, tanpa bantuan pada pengalaman atau persepsi inderawi; rasionalisme sekular yang menerima nalar dan pengalaman namun menyingkirkan wahyu dan agama sebagai sumber yang benar; dan empirisme logis atau filosofis yang mempertaruhkan seluruh keyakinannya pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa.10

9 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Rajawali Press), 1988, hal. 95.

10Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan), 1995, hal. 28


(11)

Demikian juga halnya pada era postmodernisme agama relatif masih dianggap sebagai sesuatu yang tanpa makna sehingga tidak memiliki tempat sebagai subjek dalam proses mengkonstruksi kebenaran bahkan menjadi objek untuk di-dekonstruksi untuk dihasilkan gagasan-gagasan baru yang sesuai dengan keinginan manusia. dalam ungkapan lain, agama sebagai fakta sosial atau realitas merupakan hasil perbenturan-perbenturan yang terjadi dengan predikat-predikat pengetahuan non-agama, jika tidak menyebutnya agama suatu rekayasa kemanusiaan atau kebudayaan yang sejajar dengan filsafat. Posmodernisme pada awal kemunculannya bertujuan untuk memuluskan peralihan politik dari pola pemikirna nasional menuju interaksi global menafikan struktur universal dalam setiap ‘paradoks’ yang ditemuinya, sebagaimana diungkapkan oleh Lyotard bahwa kebenaran tergantung pada tempatnya dalam permainan bahasa lokal tertentu dan tidak mungkin bersifat universal. Sebaliknya ia mengusir kisah-kisah sejarah yang agung yang mengakui memiliki validitas universal sebagai suatu titik pandang lebih tinggi (metanarasi), yang harus ditundukan agar memunculkan saling pengertian dalam rezim pengetahuan terkecuali agama.11

Hal ini terlihat melalui pemaparan Fahmi Zarkasyi dalam Membangun Pondasi Peradaban Islam dapat dipetakan menjadi dua periode penting yaitu pandangan dunia modern dan pandangan dunia postmodern. Pandangan dunia modern (modern mind) dibangun atas nilai-nilai bangsa dengan perbedaan-perbedaan yang tidak mampu dipertemukan hubungannya dan kemudian

11La Ode Baenawi, Postmodernisme dan Kritik Jean-Francois Lyotard Terhadap Metanarasi, Jurnal Selami IPS, Nomor 27, Volume 2, Tahun 2009, hal. 108-111.


(12)

disesuaikan dengan budaya barat.12 Ketika kristen dominan, mereka menganggap diri mereka berada dalam Dark Ages (zaman kegelapan), --- hal ini menurut Adian Husaini diakibatkan beberapa problem dalam ajaran kekristenan---melalui penerjemahan berbagai bidang sains dan filsafat, mereka akhirnya mendapatkan zaman pencerahan (renaissance), revolusi Perancis (France Revolution) dan industrialisasi besar-besaran di Inggris. Melalui proses tersebut maka barat memasuki apa yang disebut dengan zaman modern. Alan Touraine dan JW. Schoorl menggambarkan modernitas sebagai pandangan hidup yang berbasis pada sains dan teknologi (scientific worldview) yang ditandai dengan rasionalisasi dan sekularisasi dalam penerapan pengetahuan ilmiah kepada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek kehidupan masyarakat, karena itu modernitas juga dopahami sebagai cara berpikir (state of mind) yang mendalilkan kehidupan sosial politik dikontrol oleh rasio hingga selanjutnya menciptakan masyarakat rasional (rational society). Sementara pandangan dunia posmodern yang terjadi pada abad ke-19, pemikiran-pemikiran dan modernitas mulai dipertanyakan finalitasnya oleh suatu gerakan filsafat yang berpegang teguh pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat dipahami oleh manusia.13

Ini adalah pengingkaran terhadap absolutisme dan metafisika objektif. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik, yang merupakan produk akal posmodern (postmodern mind). Inilah yang kemudian menggantikan sistem

12 Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Pondasi Peradaban Islam, Ed.Sarjuni, (Semarang : UNISSULA Press), 2008, hal. 24-31.


(13)

metafisika. Silverman menyatakan bahwa berakhirnya era modernisme, mengakhiri pula era metafisika, suatu titik perubahan sistem dari metode berpikir metafisis kepada metode analitis yang dijumpai dalam pandangan-pandangan Karl Marx dan Nietzsche. Namun demikian, tak berhenti disana, kemunculan posmodernisme sebagai suatu sistem baru, juga berimplikasi pada pengesampingan doktrin keagamaan yang didasarkan pada metafisika. Salah satu karakter akal posmodernisme ini adalah apa yang disebut Nietzsche sebagai penghapusan otoritas atau program penghapusan Nilai (dissolution of values) yang disebut dengan doktrin Nihilisme, belakangan pandangan ini dikenal dalam skala yang lebih luas dengan nama European Nihilisme yang terdapat dalam the Philosophy of Difference yang dinisbatkan kepada

Nietzsche dan Heidegger, yang menghubungkan nihilisme dan

hermeneutika.14

Meskipun proyek yang mengusung devaluasi nilai ini dipertanyakan, namun mereka tetap menganggap hal ini sebagai jalan baru yang menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan dalam agama. Dalam istilah

Snyder “Nihilisme ini berhubungan dengan perubahan kebenaran dalam nilai, tapi nilai yang telah diwarnai oleh kepercayaan dan opini manusia”. Nilai

menurut Nietzsche adalah kehendak berkuasa. Dengan demikian, filsafat nihilisme ini bertujuan untuk mengkaji dan kemudian menghapuskan segala klaim yang dilontarkan oleh pemikiran metafisika tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan merupakan fondasi pemikiran dan nilai disingkirkan. Sebab, sebagaimana dinyatakan Nietzsche, ketika metafisika mencapai suatu


(14)

poin dimana kebenaran dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak lebih dari nilai-nilai yang subjektif yang boleh jadi salah. Dalam ungkapan lain, nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya dan pada akhirnya tidak ada yang tersisa. Atmosfir pemikiran Posmodernisme dengan doktrin nihilisme, subjektivitas, anti-logosentrisme, relativisme, diskontinuitas, dan delusionisme nilai ini berkelindan bersama dengan paham pluralisme, termasuk pluralisme agama. 15

Dengan melihat pemikiran yang demikian, dapat diketahui bahwa gagasan modernisme dan postmodernisme pada hakikatnya mengembalikan paradigma keilmuan pada kehendak manusia, sebagai pencipta realitas dan makna, sehingga hal demikian tidak menyisakan nilai-nilai teosentris dalam diri manusia selain kemanusiaan itu sendiri. Modernisme yang bertumpu pada akal sebagai sumber kebenaran tunggal dan antroposentrisme serta posmodernisme dengan dekonstruksinya, pluralitas, subjektivitas sosial, relativitas kebenaran dan antagonisme terhadap universalisme termasuk agama, juga bias kepentingan akan upaya-upaya penghancuran sekat-sekat geografis, nasional dan intersubjektivisme dengan pluralisme sekular sebagai permukaan luarnya tetap saja tidak dapat lepas dari bayang-bayang masa lalu sebagai cara diam-diam untuk melakukan penundukan terhadap yang lain atau paling tidak penundukan diri terhadap pluralitas makna dan relativitas kebenaran. Maksudnya posmodernisme juga masih membawa kenangan dari modernisme sebagai sebuah pandangan dunia berupa penundukan terhadap alam dan sekularisme, disamping itu ketika suatu kesadaran yang didasarkan pada


(15)

prinsip-prinsip etis telah diruntuhkan maka ia akan menagih gantinya dan posmodernisme telah gagal menjawab apa yang menjadi pengganti prinsip-prinsip etis tersebut.16

Berbeda dengan pandangan di atas, Kuntowijoyo melihat posmodernisme sebagai peluang untuk mendediferensiasikan agama dengan ilmu pengetahuan, lagi pula konflik agama dengan sistem pengetahuan rasional hanya terjadi dalam pemikiran agama yang bersifat Panteologis, pengalaman barat membuktikan hal itu. Sistem pemikiran kristen yang cenderung panteologis memang sulit sekali menerima perkembangan sistem pengetahuan rasional, sehingga terjadi perceraian antara agama dan ilmu pengetahuan, antara ilmu dan nilai.17

Gagasan Kuntowijoyo dalam melakukan reintegrasi ilmu dan agama yang demikian juga ditemukan di kalangan pemikir barat, semisal Ian G. Barbour, yang mengusulkan empat tipologi interaksi sains dan agama sebagai sebuah alur: Dari Konflik yang dikukuhi oleh Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, dan Stephen Hawking,, ke Independensi yang dapat ditemukan dari tulisan-tulisan Karl Bath dan Landon Gilkey, Dialog sebagaimana diisyaratkan oleh Albert Einstein yang mengatakan:“Religion without science is blind:

science without religion is lame,” Holmes Rolston, John Calvin dan Thomas

Torrance, dan Integrasi yang didukung oleh Oliver L. Leiser, John Haught, dan sebagainya.Sementara dari kalangan muslim, pandangan integralistik ini

16Aryaning Arya Kresna, Janji-Janji Palsu Posmodernisme: Liberalisme Menurut Richard Rorty, (Sebuah Tinjauan Filsafat Politik, Jurnal Filsafat No. 1, Jilid 36, (April 2004), hal. 9. 17Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, AE. Priyono (ed). Bandung:


(16)

muncul dari tawaran: Islamisasi Ilmu Naquib Al-Attas, Ismail Raji Al-Faruqi, Mulla Shadra dan Amin Abdullah. Dengan demikian menurut Barbour ujung dari perbincangan agama dan ilmu adalah integrasi, meskipun melewati fase-fase konflik dan dialog pada tahap awalnya.18

Untuk mendekati atau sebagai perangkat refleksi terhadap paradigma non-sistematik, pilihan alternatif itu jatuh pada gagasan Kuntowijoyo yang menawarkan konsep ilmu sosial profetik. Titik beranjak dalam pengilmuan islam seperti halnya Barbour adalah integralisasi yang berarti sebuah reposisi wahyu dalam ilmu pengetahuan.19

Hal demikian memiliki perbedaan diametral dengan paradigma barat berikut derivasinya yang cenderung memusuhi dan mengasingkan agama ke wilayah privat dan personal, bahkan memandang agama sebagai mitos yang tidak berarti dalam dunia pengetahuan. Seringkali mereka menganggap agama sebagai manifestasi kesadaran mitologis masyarakat purbakala yang gagal memahami realitas atau merupakan evolusi dari kepercayaan pagan purbakala yang primitif dan irasional, pandangan ini dianggap memiliki pijakan hostoris yang kokoh manakala disandingkan dengan kenyataan bahwa terdapat kesamaan-kesamaan yang tanpa sengaja antara kisah-kisah pagan dengan agama konfesional Yudeo-Kristen. Dengan alasan itu, para ahli sejarah ateis barat melakukan proses generalisasi terhadap agama-agama.

18 Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan), 2002, hal. 47, 54, 55,

19 Menurut Kuntowijoyo, Islamisasi ilmu sebenarnya tidak berarti bertujuan pada konstruksi keilmuan barat yang objektif, melainkan pada asumsi-asumsi dasar yang tersembunyi di dalamnya atau niat seorang peneliti ketika hendak menyampaikan gagasannya alasannya sederhana saja karena islam juga mengakui objektifitas. Islamisasi ilmu selama ini dipahami sebagai tindakan reaktif dan pasif, maka dari itu ia mengusulkan pengilmuan.


(17)

Integralisasi agama dan ilmu ini kemudian dilanjutkan dengan proses objektifikasi, Supaya Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil bagi semesta (Qs. XXI 107; Qs. V: 8), tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya, maka diperlukan objektifikasi Islam.20 Objektifikasi bertujuan untuk memperluas reseptabilitas publik terhadap ajaran-ajaran Islam yang telah terejawantahkan dalam kategori-kategori objektif, yang sasarannya tidak lagi umat Islam melainkan seluruh lapisan anggota masyarakat baik yang beragama Islam maupun beragama lain. Alasan masyarakat menerima ajaran Islam, barangkali tidak didasarkan pada nilai-nilai teologis-normatif, akan tetapi karena ia telah mengubah dirinya menjadi ilmu pengetahuan dan terutama kegunaannya dalam menghadapi kenyataan, sehingga terdapat keharmonisan antara nafas Islam dan visi-visinya yang communitarian dengan masyarakat. Communitarianisme itu terlihat pada adanya intensi-intensi yang memperhatikan dengan serius terhadap nilai-nilai pada tujuannya dan pemihakan terhadap masyarakat yang berada dalam garis tepi yang mulai tersisihkan.

Paradigma profetik memiliki empat nilai penting sebagai landasannya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi serta aktivisme historis. Keempat nilai ini disamping berfungsi sebagai kerangka kritik juga mendasari gagasan emansipasi; mulai dari transformasi individu melalui keimanan dan humanisasi, ke transformasi ilmu melalui liberasi pengetahuan atau pengilmuan islam, hingga transformasi sosial dengan adanya aktivisme

20 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,: Epistemologi, Metodologi dan Etika, (Bandung: Mizan), 1997, hal. 68 dan 76.


(18)

historis. Melalui empat nilai tersebut, paradigma profetik hendak menegaskan posisinya sebagai gagasan yang bersifat communitarian seperti halnya teori kritis, memaksudkan untuk kepentingan praksis emansipatoris dan secara bersamaan menegaskan bahwa pengetahuan tidak terpisah dari kepentingan dan teori tidak terpisah dari praksis. Kepentingan paradigma profetik adalah humanisasi, liberasi dan transendensi serta kebebasan dalam aktivisme historis bebas untuk berkontribusi dan tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu.

Dalam konteks ini, maka paradigma profetik, mendasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Secara ontologis, menyatakan bahwa wahyu, realitas empiris dan rasio sebagai hakikat ilmu pengetahuan yang harus digali secara benar, maksudnya sesuai dengan cara pandang atau objek formil profetik itu sendiri. Hal ini berbeda dengan pandangan hukum kodrat yang menitikberatkan pada dogma dan positivisme yang merupakan anak kandung rasionalisme, serta realisme hukum yang berpatokan pada objek-objek empiris.

Dari perspektif epistemologis paradigma profetik mendasarkan pada wahyu, realitas empiris dan rasio. Ketiga sumber pengetahuan ini masing-masing berkaitan secara integral, karena itu wahyu dengan realitas dan rasio saling terhubung dan tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya karena wahyu yang terlepas dari rasio hanya akan menjadi ide-ide yang mentah dan tidak pernah terpaparkan dan terpahami sehingga menjadi kumpulan-kumpulan kepercayaan yang berdebu. Demikian juga rasio yang terlepas dari wahyu, hanya menjadi segerombolan kuda-kuda liar yang tidak memiliki kais, perdebatan-perdebatan yang dilakukan hanya untuk menunjukkan egoisme-intelektual dan akan mengantarkan pada relaitivisme kebenaran karena


(19)

berangkat dari subjektivisme rasio dalam mendeduksi pengertian-pengertian tentang sesuatu. Manusia dalam kerangka ini seperti robot yang memiliki kecerdasan logis. Sementara wahyu yang terlepas dari realitas hanya akan menjadi domain yang stagnan dan tidak bermanfaat untuk masyarakat.

Sementara dari perspektif aksiologis, paradigma profetik men-canangkan transformasi etika sebagai asumsi dasarnya, yang dimaksudkan agar setiap orang memiliki kekuatan untuk menyikapi persoalan-persoalan kehidupan berdasarkan etika moral yang diatur wahyu, rasionalitas dan pengalaman manusia.

Dengan nilai etis profetis yang demikian akan menghasilkan ilmu-ilmu Islam yang lebih proaktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan konkret yang terjadi di masyarakat, sehingga Islam benar-benar dirasakan manfaatnya dan secara langsung dapat bertegur sapa dengan realitas. Bilamana di masa lalu, wahyu dan sunnah digunakan para ulama untuk menilai kerangka sosial dalam koridor dan tujuan praktis, maka ilmu sosial profetik menyarankan agar wahyu dan atau sunnah dijadikan akar epistemologis dalam membangun teori-teori sosial, sehingga jika kesalahan atau jika pada suatu hari teori-teori-teori-teori tersebut sudah kehilangan signifikansinya dengan realitas, maka umat tetap berada dalam batas-batas rasionalitas dan berada dalam proporsinya, dengan tidak langsung menyalahkan wahyu.

1.2. Pembatasan Masalah

Skripsi ini untuk mencoba mengurai dan menjelaskan paradigma profetik tersebut untuk dijadikan ancangan dalam melakukan kritik terhadap ilmu


(20)

hukum non-sistematik, mulai dari pandangan-pandangan yang digunakan oleh Anthon F. Susanto, hingga pada taraf tertentu mencoba menyingkap asumsi-asumsi dasar yang tersembunyi di balik ilmu hukum non-sistematik.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian sebagai terdeskripsi pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah asumsi-asumsi dasar dari basis epistemologis Ilmu Hukum Non-Sistematik yang dikemukanan oleh Anthon F. Susanto? 2. Bagaimanakah asumsi-asumsi dasar Paradigma profetik dalam Ilmu

hukum?

3. Kritik terhadap ilmu hukum non-sistematik yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto, bila dilihat dari asumsi-asumsi dasar basis epistemologis yang digunakan?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum dan Tujuan Khusus:

1. Untuk mendeskripsikan asumsi-asumsi dasar dari basi epistemologis Ilmu Hukum Non-Sistematik yang dikemukanan oleh Anton F. Susanto. 2. Untuk mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan ilmu hukum non-sistematik yang dikemukanan oleh Anton F. Susanto, bila dilihat dari asumsi-asumsi dasar basis epistemologis yang digunakan.


(21)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat teoretis dan Manfaat praktis

1. Dengan tereksplorasinya unsur-unsur asumsi-asumsi dasar dari paradigma ilmu hukum non-sistematik, maka diharapkan dapat ditemukan kerangka berpikir yang utuh, yang dapat digunakan untuk mempelajari serta mengkritisi berbagai paradigma lainnya. 2. Asumsi-asumsi epistemologis yang terejawantahkan melalui pen-elitian ini, diharapkan dapat menjadi sebuah acuan bagi institusi pendidikan hukum di Indonesia untuk melihat hukum dari sudut pandang yang berbeda dengan sebelumnya.

1.6. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini diawali dari upaya untuk mengkontruksi paradigma profetik dalam ilmu hukum, dengan mendasarkan berbagai bahan kajian yang berhubungan dengan paradigma hukum posmodernis. Untuk menjelaskan dan menginterpretasi paradigma dirasa perlu untuk menggunakan perspektif basis epistemologi yang dikembangkan oleh Heddy Shri Ahimsa Putera. Disamping karena beliau juga menginkubasi paradigma profetik juga karena tidak ditemukan unsur-unsur paradigma pada ilmuwan lain dan paradigmanya tentang profetik melengkapi pandangan Kuntowijoyo yang telah lebih dahulu memunculkannya.

Berdasarkan identifikasi awal, diketahui bahwa paradigma profetik berhubungan erat dengan diskusi teoritik perkembangan filsafat ilmu yang kemudian mulai melirik kembali spiritualisme atau domain transendental


(22)

sebagai salah satu kajiannya. Dalam bidang filsafat hukum, belum banyak ilmuwan yang membuat penelitian tentang posmodernisme hukum meskipun dalam bentuk jurnal dapat ditemukan, sementara dalam bentuk karya ilmiah disertasi atau buku di Indonesia Anthon F. Susanto melalui Ilmu Hukum Nonsistematik telah mencoba mengawali. Penelitan ini akan memfokuskan pada paradigma nonsistematik tersebut sebagai obyek kajiannya.

Secara skematis kerangka pemikiran dalam skripsi ini terlihat pada gambar di bawah ini:

Ragaan 1

Kerangka Pemikiran Skripsi

Sebagai penelitian yang benar-benar baru dalam filsafat

posmodernisme hukum, Ilmu Hukum Nonsistematik mengadopsi


(23)

Dekonstruksi Jacques Derrida, Consilience Edward. O Wilson, Huston Smith, Ian G. Barbour, Paul Feyerabend dan Mulla Shadra. Secara umum klaim nonsistematik adalah pembalikan dari paradigma positivisme hukum yang dinilai memiliki persoalan teoritis dan tidak mampu lagi menjawab persoalan. Untuk itulah paradigma nonsistematik mengajukan tawaran yang berbeda dari positivisme hukum baik dilihat dari asumsi ontologis, asumsi epistemologis dan asumsi aksiologis.

Berdasarkan temuan yang demikian, maka penelitian ini hendak memfokuskan kajiannya untuk melakukan refleksi kritis terhadap paradigma nonsistematik yang didukung mazhab posmodernisme hukum,

guna memahami pelbagai kelebihan-kelebihan dan

kelemahan-kelemahannya yang terdapat dalam teori-teori dan asumsi-asumsi dasar yang digunakan. Dan pada saat yang sama juga berusaha menemukan paradigma profetik dalam ilmu hukum.

Berdasarkan fokus studi yang demikian, maka yang menjadi pokok masalah dalam disertasi ini adalah: (1) Bagaimanakah asumsi-asumsi dasar dari basis epistemologis Ilmu Hukum Non-Sistematik yang dikemukanan oleh Anthon F. Susanto? (2) Bagaimanakah asumsi-asumsi dasar Paradigma Profetik dalam Ilmu hukum? (3) Kritik terhadap ilmu hukum non-sistematik yang dikemukakan oleh Anthon F. Susanto, bila dilihat dari asumsi-asumsi dasar basis epistemologis yang digunakan? Keseluruhan rumusan masalah ini akan difokuskan pada kajian tentang


(24)

elemen-elemen paradigma yang menjadi basis epistemologinya, yaitu: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai / etos, dan; (3) model.21

Dengan mendasarkan kajian pada paradigma baru dalam ilmu hukum tersebut, peneliti menentukan fokus penelitannya yaitu: asumsi ontologi, asumsi tentang manusia, asumsi dasar epistemologi dan asumsi dasar aksiologi dari ilmu hukum nonsistematik. Peneliti juga menentukan teori dan metode yang akan dipergunakan untuk mengkritisi asumsi-asumsi dasar yang akan ditemukan.

Langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah mengeksplorasi teori-teori yang akan digunakan. Teori-teori tersebut direkat dengan menggunakan konsep paradigma dan basis epistemologi profetik Heddy Shri Ahimsa Putera, dan berbagai diskusi teoritik mazhab-mazhab filsafat Hukum mulai dari Mazhab hukum Kodrat, Mazhab Hukum Positivisme, Mazhab Hukum Utilitarianisme, Mazhab Hukum Historis, Mazhab Hukum Pragmatis dan Mazhab Posmodernisme Hukum.

Setelah terhimpun dalam satu bangunan teoritis dan diketahui ikhtisar alur sejarah bangunan filsafatnya, maka tahapan berikutnya adalah dilakukan pencarian data sesuai dengan rumusan-rumusan masalah yang telah ditetapkan. Pencarian dan pengolahan data ini dilakukan melalui empat tahapan yaitu: Tahap Pertama, akan dilakukan pencarian, pengolahan dan analisis

21 Heddy Shri Ahimsa Putra, 2011, Paradigma, Epistemologi dan Etnografi dalam Antropologi, Op. Cit, Hal. 19.


(25)

Pencarian, pengolahan dan analisis data ini dilakukan melalui empat tahapan, yaitu: tahap pertama, akan dilakukan pencarian, pengolahan dan analisis data untuk menjawab rumusan masalah yang pertama, yaitu tentang asumsi dasar dari basis epistemologi ilmu hukum nonsistematik. Untuk menjawab rumusan masalah ini akan dikumpulkan dan diolah data yang bersumber dari konsep-konsep dan pendapat-pendapat filosof yang menjadi pendukung ilmu hukum nonsistematik seperti Consilience Edward O. Wilson, Dekonstruksi Jacques Derrida, teori Legal Disorder Charles Sampford, Gerak Transsubstansial Mulla Shadra dan Terowongan Posmodernis Huston Smith.

Keseluruhan data yang kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam ilmu hukum nonsistematik tersebut untuk selanjutkan akan dikonstruksi dengan konsep basis epistemologi dari Heddy Shri Ahimsa Putra, sehingga pada tahap akhirnya akan ditemukan asumsi-asumsi dasar dari basis epistemologi paradigma nonsistematik yang didukung oleh madzhab posmodernisme hukum, termasuk perkembangan-perkembangan yang terjadi didalamnya.

Tahap kedua, akan dilakukan pencarian, pengolahan dan analisis data tentang asumsi-asumsi dasar dari basis epistemologi paradigma profetik yang didasarkan pada pandangan Heddy Shri Ahimsa Putera. Untuk menjawab persoalan ini, juga akan dikumpulkan dan diolah data yang bersumber dari (a) Al-Qur’an dan Hadits, dan penafsiran-penafsiran yang relevan untuk menjawab persoalan seperti tafsir Sayyid Quthb dan Quraish Shihab; (b) Paradigma profetik Kuntowijoyo yang juga dilengkapi oleh


(26)

Heddy Shri Ahimsa Putera, dibantu dengan pandangan Muhammad Iqbal, Armahedi Mahzar dan Toshihiko Izutsu yang juga dirujuk oleh Kuntowijoyo dalam paradigma ilmu sosial profetik, juga konsep-konsep yang memungkinkan penjelasan lebih mendalam seperti konsepsi integrasi filsafat dan sains Syed Naquib Al-Attas, Mehdi Golshani, Muhammad Taqi Hairi Yazdi dan Quraish Shihab.

Dengan menganalisis berbagai data yang diperoleh tersebut, maka pada tahap akhirnya akan ditemukan basis epistemologi paradigma profetik yang orisinil, sebagai hasil konstruksi dari konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya.

Tahap ketiga, akan dilakukan refleski kritis terhadap basis epistemologi paradigma nonsistematik (hasil analisis tahap pertama), dengan mendasarkan pada basis epistemologi paradigma profetik (hasil analisis tahap kedua. Melalui proses ini diharapkan selain akan diketahui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara basis epistemologi dari paradigma nonsistematik dengan paradigma profetik, juga akan dapat diketahui kelemahan-kelamahan dan keunggulan-keunggulan basis epistemologi dari paradigma nonsistematik yang didukung oleh madzhab filsafat hukum posmodern.

Berdasarkan keseluruhan tahapan diatas, maka pada tahap akhirnya akan ditemukan kelemahan dan keunggulan dalam asumsi dasar basis epistemologi hukum nonsistematik, dan pada saat yang bersamaan juga ditemukan paradigma profetik dalam ilmu hukum sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penelitian ini.


(27)

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Metode Pendekatan

Skripsi ini mendasarkan pada pendekatan filosofis, karena dimaksudkan untuk mengeksplorasi asumsi dasar dari basis epistemilogis ilmu hukum, dengan menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu biologi serta agama, sebagai kritik terhadap fondasi filsafat pengembangan ilmu hukum, yang didukung oleh teori hukum asimetris, teori chaos dan consilience. Dengan demikian terdapat dua kegiatan utama yang akan dilakukan dalam penelitian ini. pertama, melakukan eksplorasi dan deskripsi terhadap asumsi-asumsi dasar dari basis epistemologis ilmu hukum non-sistematis yang telah ditemukan. kedua,, Melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi dasar dari basis epistemologis ilmu hukum non-sistematis, dengan mendasarkan pada asumsi dasar basis epistemologis ilmu hukum profetik yang ditemukan ada point dua, sehingga diketahui kelebihan dan kelemahan dari asumsi-asumsi dasar dari basis epistemologis ilmu hukum non-sistematis.

1.7.2. Sumber dan Jenis Data

Sumber utama dalam penelitian ini adalah informasi yang berasal dari bahan-bahan pustaka, berupa: buku-buku, artikel dan disertasi ilmu hukum dan berbagai tulisan ilmiah yang berhubungan secara langsung dengan objek penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu, bahan pustaka utama dan bahan pustaka pendukung.


(28)

Pustaka utama adalah bahan-bahan yang dijadikan acuan pokok penelitian, terutama yang terkait dengan fokus kajian dalam skripsi ini, yang meliputi:

1) Karya-karya yang ditulis oleh Anton F Sutanto, khususnya yang berhubungan dengan Ilmu Hukum Non-Sistematik:

a) Anthon F. Sutanto, 2010. Ilmu Hukum Non-Sistematik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

b) Anthon F. Susanto, 2007. Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Bandung, PT. Refika Aditama.

c) Anthon F. Sutanto dan Otje Salman, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Bandung, PT. Refika Aditama.

d) Anthon F. Sutanto, 2010. Dekonstruksi Hukum Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan, Yogyakarta, Genta Publishing.

2) Karya-karya yang ditulis Heddy Shri Ahimsa Putra, khususnya yang membahas paradigma pada umumnya dan yang secara khusus membahas komponen-komponen paradigma dan asumsi-asumsi dasar, yaitu:

a) Heddy Shri Ahimsa Putra, 2009, Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan, Makalah disampaikan pada Kuliah Umum

“Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora“ diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009,


(29)

b) Heddy Shri Ahimsa Putra, 2008, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya : Sketsa Beberapa Episode, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakata. Tanpa Penerbit

c) Heddy Shri Ahimsa Putra, 2011, Paradigma Profetik:

Mungkinkah? Perlukah?, Makalah disampaikan dalam “Sarasehan

Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011.

d) Heddy Shri Ahimsa Putra, 2011, Paradigma, Epistemologi dan Etnografi dalam Antropologi, Makalah disampaikan dalam ceramah

“Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, diselenggarakan oleh

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, di Surabaya, 6-7 Mei 2011.

3) Karya-karya yang ditulis Kuntowijoyo, khususnya yang membahas paradigma Ilmu dan sosial Profetik, yaitu:

a) Kuntowijoyo, 2004, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi Metodologi dan Etika, Jakarta, Teraju.

b) Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Mizan.

c) Kuntowijoyo, 2002, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas: Esai-Esai Budaya dan Politik.

d) Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung, Mizan.


(30)

e) Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan. b. Bahan pustaka pendukung

Bahan-bahan pustaka pendukung meliputi :

1) Mulla Shadra, 2011, Manifestasi-Manifestasi Ilahi, Yogyakarta, Pustaka Hidayah.

2) Husein Hariyanto, 2003, Paradigma Holistik : Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Mulla Shadra dan Whitehead, Yogyakarta, Teraju.

3) Muthahari, 2002, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, Bandung, Mizan.

4) Edward O. Wilson, 1998. Consilience: The Unity of Knowledge. First Edition. New York: Alfred A. Knopf.

5) Leah Ceccareli, 2001, Uniting Biology and the Social Sciences: A Rhetorical Comparison of E. O. Wilson’s Consilience and Theodosius

Dobzhansky’s Mankind Evolving, Poroi, Special Issue On Rhetorics

Of Biology In The Age Of Biomechanical Reproduction, Volume 1, Issue 1 Article 4.

6) Curtis D. Carbonell, 2011, Wilson and Gould: The Engagement of the Sciences and the Humanities, Mediterranean Journal of Social Sciences Vol.2, No.2, May. New York, New York Institutive of Technology.

7) Morris B. Hoffman, 2008,, Law and Biology, The Journal of Philosophy, Science & Law Volume 8, May 2, Miami.


(31)

1.7.3. Metode Pengumpulan Data

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan, yang dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

Pada tahap awal, dilakukan studi kepustakaan, dengan cara

mengiventarisir berbagai bahan pustaka utama dan pendukung yang berkaitan penelitian yang dilakukan, dengan maksud untuk mendeskripsikan asumsi-asumsi dasar, kerangka-kerangka, perubahan-perubahan dan pengaruh-pengaruh yang terbawa dari suatu filsafat hukum terhadap aliran atau mazhab hukum lainnya.

Pada tahap kedua, dilakukan kajian secara mendalam terhadap bahan pustaka utama, dengan membandingkan dengan pustaka pendukung, untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai pemikiran-pemikiran dan kerangka teoritik yang digunakan fokus penelitian. Dengan melalui tahapan ini, peneliti mendapatkan pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan elemen yang ada dalam masing-masing bagian dari fokus permasalahan tertentu.

1.7.4. Analisis data

Berdasarkan data yang telah diolah, maka data-data tersebut kemudian akan dianalisis dengan cara sebagai berikut:22

a. Analisis Deskriptif, metode ini digunakan karena penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran secara sistematis dan objektif

22 Kelik Wardiono, Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum, Sebagai Pembaharuan Basis Epistemologi Dari Ilmu Hukum di Indonesia, Proposal Disertasi disampaikan pada Seminar Proposal Diserta Program Doktor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pada 13 September 2011, hal. 58.


(32)

tentang fakta-fakta, ciri-ciri, serta hubungan diantara unsur-unsur yang membentuk basis epsitemologi dari sebuah paradigma. Untuk mencapai maksud di atas, maka pada tahap ini model analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan basis epsitemologi dari paradigma profetik dan paradigma non-sistematik dalam ilmu hukum. Upaya untuk melakukan pendeskripsian tersebut akan dipandu oleh konsep basis epistemologi sebagai bagian dari unsur-unsur paradigma dari Heddy Shri Ahimsa Putra;

b. Interpretasi dan hermeneutik, dua metode analisis ini dipergunakan secara simultan, karena setelah dilakukan penafsiran terhadap hasil pendeskripsian basis epistemologi paradigma profetik, dan paradigma rasional dalam ilmu hukum, maka proses analisis dilanjutkan dengan upaya menemukan makna yang terdapat dibalik hasil pendeskripsian tersebut. Proses interpretasi dan hermenuitik ini, akan dikontrol oleh metode analisis dalam perspekstif Islamic Worldview, yakni Tashwir dan Ta’sil.

i. Penggunaan metode Tashwir ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa dalam menafsirkan dan menemukan makna pada tahapan di atas, tidak hanya akan mempergunakan metode yang berasal dari Islam, akan tetapi juga akan memanfaatkan berbagi metode yang berasal dari filsafat barat. Untuk itu penggunaan metode-metode dari barat ini akan dipergunakan secara kritis-selektif, dengan menjadikan Islam sebagai basic of knowledge and science.


(33)

ii. Penggunaan metode Ta’sil, didasarkan pada pertimbangan, bahwa segala hasil analisis yang sudah dilakukan, pada tahap akhirnya akan dikembalikan dan didasarkan pada sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan pemahaman yang benar, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi

tabi’in, serta tabi’ut tabi’indan al-sabiqun al-awwalun (al-salaf

al-Salih). Sehingga Islam dalam konteks ini merupakan basic of knowledge and science.

c. Heureustik, metode ini dipergunakan dengan maksud untuk menyusun (kembali) dasar-dasar argumentasi basis epistemologi dari paradigma profetik dalam ilmu hukum, agar dapat menjadi sebuah bangunan paradigma yang kokoh. Hal ini dilakukan dengan memeriksa kembali berbagai data-data yang telah diperoleh, ambiguitas dan ketidakkonsistenan yang terlihat, serta berbagai alternatif yang telah ditawarkan. Dengan mendasarkan pada metode yang demikian, maka pada tahap akhirnya diharapkan akan dapat ditemukan basis epistemologi paradigma prfetik dalam ilmu hukum, sabagai sebuah konsep orisinal yang dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan ilmu hukum.

1.8. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,


(34)

tinjauan pustaka, landasan teoretis, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan bagian yang akan mendeskripsikan konsep-konsep

teoretis yang akan dijadikan sebagai dasar untuk mengekplorasi ilmu hukum Nonsistematik, yang meliputi pendeskripsian tentang paradigma pada umumnya dan basis epsitemologi pada khususnya, dengan mendasarkan pada konsep paradigma. Pada bagian ini juga dipaparkan tentang mazhab-mazhab filsafat hukum yang telah ada untuk melihat perkembangan dalam ilmu hukum.

Bab III, merupakan bagian yang akan melakukan refleksi kritis terhadap

asumsi-asumsi epistemologis dari paradigma ilmu hukum non-sistematik yang ditujukan untuk memahami kelemahan dan kelebihan dari paradigma non-sistematik.

BAB IV, merupakan bagian yang akan melakukan eksplorasi, deskripsi

dan interpretasi untuk menemukan kontruksi paradigma profetik dalam ilmu hukum.

BAB V, merupakan bagian yang akan melakukan refleksi kritis terhadap

Ilmu Hukum Nonsistematik yang dilakukan dengan cara menjelaskan berbagai konsep yang digunakan dalam perspektif Paradigma Profetik.

Bab VI, merupakan bagian penutup yang akan memberikan simpulan dan


(1)

b) Heddy Shri Ahimsa Putra, 2008, Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya : Sketsa Beberapa Episode, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakata. Tanpa Penerbit

c) Heddy Shri Ahimsa Putra, 2011, Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?, Makalah disampaikan dalam “Sarasehan

Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011.

d) Heddy Shri Ahimsa Putra, 2011, Paradigma, Epistemologi dan Etnografi dalam Antropologi, Makalah disampaikan dalam ceramah

“Perkembangan Teori dan Metode Antropologi”, diselenggarakan oleh

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, di Surabaya, 6-7 Mei 2011.

3) Karya-karya yang ditulis Kuntowijoyo, khususnya yang membahas paradigma Ilmu dan sosial Profetik, yaitu:

a) Kuntowijoyo, 2004, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi Metodologi dan Etika, Jakarta, Teraju.

b) Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Mizan.

c) Kuntowijoyo, 2002, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas: Esai-Esai Budaya dan Politik.

d) Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung, Mizan.


(2)

e) Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan. b. Bahan pustaka pendukung

Bahan-bahan pustaka pendukung meliputi :

1) Mulla Shadra, 2011, Manifestasi-Manifestasi Ilahi, Yogyakarta, Pustaka Hidayah.

2) Husein Hariyanto, 2003, Paradigma Holistik : Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Mulla Shadra dan Whitehead, Yogyakarta, Teraju.

3) Muthahari, 2002, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, Bandung, Mizan.

4) Edward O. Wilson, 1998. Consilience: The Unity of Knowledge. First Edition. New York: Alfred A. Knopf.

5) Leah Ceccareli, 2001, Uniting Biology and the Social Sciences: A Rhetorical Comparison of E. O. Wilson’s Consilience and Theodosius Dobzhansky’s Mankind Evolving, Poroi, Special Issue On Rhetorics Of Biology In The Age Of Biomechanical Reproduction, Volume 1, Issue 1 Article 4.

6) Curtis D. Carbonell, 2011, Wilson and Gould: The Engagement of the Sciences and the Humanities, Mediterranean Journal of Social Sciences Vol.2, No.2, May. New York, New York Institutive of Technology.

7) Morris B. Hoffman, 2008,, Law and Biology, The Journal of Philosophy, Science & Law Volume 8, May 2, Miami.


(3)

1.7.3. Metode Pengumpulan Data

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan, yang dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

Pada tahap awal, dilakukan studi kepustakaan, dengan cara mengiventarisir berbagai bahan pustaka utama dan pendukung yang berkaitan penelitian yang dilakukan, dengan maksud untuk mendeskripsikan asumsi-asumsi dasar, kerangka-kerangka, perubahan-perubahan dan pengaruh-pengaruh yang terbawa dari suatu filsafat hukum terhadap aliran atau mazhab hukum lainnya.

Pada tahap kedua, dilakukan kajian secara mendalam terhadap bahan pustaka utama, dengan membandingkan dengan pustaka pendukung, untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai pemikiran-pemikiran dan kerangka teoritik yang digunakan fokus penelitian. Dengan melalui tahapan ini, peneliti mendapatkan pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan elemen yang ada dalam masing-masing bagian dari fokus permasalahan tertentu.

1.7.4. Analisis data

Berdasarkan data yang telah diolah, maka data-data tersebut kemudian akan dianalisis dengan cara sebagai berikut:22

a. Analisis Deskriptif, metode ini digunakan karena penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran secara sistematis dan objektif

22 Kelik Wardiono, Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum, Sebagai Pembaharuan Basis

Epistemologi Dari Ilmu Hukum di Indonesia, Proposal Disertasi disampaikan pada Seminar Proposal Diserta Program Doktor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pada 13 September 2011, hal. 58.


(4)

tentang fakta-fakta, ciri-ciri, serta hubungan diantara unsur-unsur yang membentuk basis epsitemologi dari sebuah paradigma. Untuk mencapai maksud di atas, maka pada tahap ini model analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan basis epsitemologi dari paradigma profetik dan paradigma non-sistematik dalam ilmu hukum. Upaya untuk melakukan pendeskripsian tersebut akan dipandu oleh konsep basis epistemologi sebagai bagian dari unsur-unsur paradigma dari Heddy Shri Ahimsa Putra;

b. Interpretasi dan hermeneutik, dua metode analisis ini dipergunakan secara simultan, karena setelah dilakukan penafsiran terhadap hasil pendeskripsian basis epistemologi paradigma profetik, dan paradigma rasional dalam ilmu hukum, maka proses analisis dilanjutkan dengan upaya menemukan makna yang terdapat dibalik hasil pendeskripsian tersebut. Proses interpretasi dan hermenuitik ini, akan dikontrol oleh metode analisis dalam perspekstif Islamic Worldview, yakni Tashwir dan Ta’sil.

i. Penggunaan metode Tashwir ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa dalam menafsirkan dan menemukan makna pada tahapan di atas, tidak hanya akan mempergunakan metode yang berasal dari Islam, akan tetapi juga akan memanfaatkan berbagi metode yang berasal dari filsafat barat. Untuk itu penggunaan metode-metode dari barat ini akan dipergunakan secara kritis-selektif, dengan menjadikan Islam sebagai basic of knowledge and science.


(5)

ii. Penggunaan metode Ta’sil, didasarkan pada pertimbangan, bahwa segala hasil analisis yang sudah dilakukan, pada tahap akhirnya akan dikembalikan dan didasarkan pada sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan pemahaman yang benar, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi tabi’in, serta tabi’ut tabi’indan al-sabiqun al-awwalun (al-salaf al-Salih). Sehingga Islam dalam konteks ini merupakan basic of knowledge and science.

c. Heureustik, metode ini dipergunakan dengan maksud untuk menyusun (kembali) dasar-dasar argumentasi basis epistemologi dari paradigma profetik dalam ilmu hukum, agar dapat menjadi sebuah bangunan paradigma yang kokoh. Hal ini dilakukan dengan memeriksa kembali berbagai data-data yang telah diperoleh, ambiguitas dan ketidakkonsistenan yang terlihat, serta berbagai alternatif yang telah ditawarkan. Dengan mendasarkan pada metode yang demikian, maka pada tahap akhirnya diharapkan akan dapat ditemukan basis epistemologi paradigma prfetik dalam ilmu hukum, sabagai sebuah konsep orisinal yang dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan ilmu hukum.

1.8. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,


(6)

tinjauan pustaka, landasan teoretis, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan bagian yang akan mendeskripsikan konsep-konsep teoretis yang akan dijadikan sebagai dasar untuk mengekplorasi ilmu hukum Nonsistematik, yang meliputi pendeskripsian tentang paradigma pada umumnya dan basis epsitemologi pada khususnya, dengan mendasarkan pada konsep paradigma. Pada bagian ini juga dipaparkan tentang mazhab-mazhab filsafat hukum yang telah ada untuk melihat perkembangan dalam ilmu hukum.

Bab III, merupakan bagian yang akan melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi epistemologis dari paradigma ilmu hukum non-sistematik yang ditujukan untuk memahami kelemahan dan kelebihan dari paradigma non-sistematik.

BAB IV, merupakan bagian yang akan melakukan eksplorasi, deskripsi dan interpretasi untuk menemukan kontruksi paradigma profetik dalam ilmu hukum.

BAB V, merupakan bagian yang akan melakukan refleksi kritis terhadap Ilmu Hukum Nonsistematik yang dilakukan dengan cara menjelaskan berbagai konsep yang digunakan dalam perspektif Paradigma Profetik.

Bab VI, merupakan bagian penutup yang akan memberikan simpulan dan saran atas masalah yang telah ditetapkan dalam penelitian ini.