materi maupun psikis. Hal ini tentu saja merugikan konsumen sebagai pihak yang membutuhkan dan mengonsumsi produk industri rumah tangga.
Adapun dipasaran tradisional telah terdapat makanan yang diproduksi dengan tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa, tetapi telah mendapatkan ijin dari Dinas
Kesehatan. Maka dari itu penulis tertarik mengulik tentang fenomena yang terdapat di masyarakat. Terdapat beberapa dari responden yang mengkonsumsi
makanan tersebut tidak terjadi apa-apa setelah mengkomsumsi, tetapi jangka panjang dalam peredaran produk tersebut seharusanya lebih di awasi agar tidak
terjadi kecelakaan terhadap produk yang diperjual-belikan dipasaran. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti, membahas
serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis tesis yang berjudul
“TANGGUNGJAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG TIDAK MENCANTUMKAN
TANGGAL KADALUARSA ”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa
pada produk industi rumah tangga? 2.
Bagaimanakah tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Secara umum tujuan penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui tentang
pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk
industi rumah tangga.
2. Secara khusus tujuan penelitian tesis ini adalah untuk memahami dan
menganalisis tentang tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk industri rumah tangga yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan pengetahuan dan gambaran tentang pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga.
2. Manfaat Praktis
Memberikan pengetahuan dan penjelasan tentang pelaksanaan tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk
industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa
1.5 Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir
a. Landasan Teoritis
Pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu
yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.
9
Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara
dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.
10
Menurut Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang terintergrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan
menjelaskan fenomena yang diamati. Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah “A theory is a set of interrelated constructs concepts, definitions, and
propositions that present asystematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of
explaining and predicting the phenomena”. Teori adalah suatu rangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang dipresentasikan
secara sistematis dengan menspesifikasikan hubungan antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena.
11
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau
landasan untuk menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian untuk memberikan kebenaran ilmu hukum yang telah ditelusuri controleur bar. Oleh
karena itu, dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep dan asas yang berhasil di identifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang
sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai. Landasan teoritis merupakan pikiran untuk mewujudkan kebenaran ilmu
hukum yang diperoleh dari rangkaian penelusuran terhadap teori hukum, konsep-
9
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.
10
Soejono Soegianto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30.
11
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Madar Maju, Bandung, h. 140.
konsep hukum, dan lain-lain yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian. Pada umumnya teori bersumber dari undang-undang.
12
Landasan teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlkan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai
permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Suatu
penelitian harus dilandasi oleh pemikiran yang teoritis, agar adanya timbal balik antara teori yang relevan dengan berbagai kegiatan yang menyangkut
pengumpulan dan pengolahan data, baik analisa dan konstruksi data. Dalam menganalisa penulisan ini digunakan, Teori Perlindungan Hukum, Teori
Pertanggung Jawaban. a.
Teori Korporasi Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum
pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa
belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia
dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua
inilah yang dinamakan badan hukum.
13
12
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 73.
13
H.Setiyono, 2003, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Malang, h. 2.
A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan
pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.
14
Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan
unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya,
kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.
15
Pengaturan kebijakan terhadap kejahatan korporasi faktanya masih sangat minim mengingat tidak ada aturannya dalam KUHP, karena KUHP hanya
mengatur hukum antar individu saja dan korporasi sebagai subjek hukum hanya terdapat dalam beberapa undang-undang saja. Pembangunan ekonomi besar-
besaran menyebabkan korporasi bersaing dengan ketat untuk menguasai pasar.
16
Kebijakan atas pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan korporasi-korporasi raksasa yang menguasai dan memonopoli
ekonomi Indonesia. Kekuasaan yang luar biasa pada korporasi tahap berikutnya sangat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan sangat
merugikan kepentingan pelaku ekonomi lainnya.
17
Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka
14
Abidin, Lit.A.Z., 2010, Pengantar Dalam Hukum pidana Indonesia, Jakarta, h. 56.
15
Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 31.
16
Ibid., h. 24.
17
Mulyadi, Mahmud Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Softmedia, Jakarta, h. 3-4.
mengutip tulisan Steven Box, Ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut:
1. Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu
guna memperoleh keuntungan. 2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata
untuk melakukan kejahatan. dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan.
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal
ini korporasi sebagai korban. Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan-Cohen,
yaitu: “A very complete description of the characteristics of an organization is provided by Dan-Cohen who finds that an organization possesses functional
structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has decision-making structures
.”
18
Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi menurut Dan-Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi,
memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan. Eratnya keterkaitan antara hukum pidana, persaingan usaha dan korporasi
menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.
18
Jennifer A. Quaid, 1998, Mcgill Law Journal: The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of Corporate Identity: An Analysis, page 79.
Untuk menjawab permasalahan yang pertama mengenai pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga.
Pemerintah sebagai badan hukum memberikan hak kepada pelaku usaha untuk memprodusi produk yang telah didaftarkan kepada pihak dinas kesehatan
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah berlaku. Berlakunya ketentuan mencantumkan tanggal kadaluarsa telah ditetapkan, sehingga pelaku usaha wajib
dalam produk mencantumkan tanggal kadaluarsa. Apabila setelah pemberian sertifikat layak produksi, pelaku usaha
melakukan pelanggaran maka dari pihak dinas kesehatan akan menarik kembali produk yang telah diproduksi di pasaran. Dan melakukan pembinaan kembali
tekait produk yang telah melanggar ketentuan yang berlaku. Pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan kegiatan usaha demi
keuntungan, dan tidak melihat dampak dari produk usahanya dalam kejahatan korporasi disebut Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu
industri pangan merupakan tanggung jawab bersama sebagai upaya perlindungan konsumen karena berdasarkan pasal 4 a Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang danatau jasa dan Pasal 4 c hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdanatau jasa. Sedangkan pemerintah
berperan dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai pasal 30 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Pemenuhan pangan yang aman dan bermutu merupakan hak asasi setiap manusia, tidak terkecuali pangan yang dihasilkan oleh industri rumah tangga
pangan IRTP. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal 111 ayat 1 menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan
masyarakat harus didasarkan pada standar danatau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut diatas, undang-undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan
minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar danatau persyaratan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan
bahwa yaitu
pelaku usaha
bertanggungjawab dalam hal memberikan ganti kerugian kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang
dihasilkan atau di perdagangkan. Ganti kerugian yang dimaksud merupakan
pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis dan setara nilainya, perawatan kesehatan, pemberian santunan sesuai dengan kerugian
konsumen. b.
Teori Pertanggungjawaban Dalam kamus hukum ada dua istilah tentang pertanggungjawaban, yakni
liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang
bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi
yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk
putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan
penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum,
sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.
19
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada
manusia selaku pribadi.
19
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 335-337.
b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana
berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung.
20
Secara umum prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
21
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability atau liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum
pidana dan perdata. b.
Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab
presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggungjawab, yaitu
20
Ibid., h. 365.
21
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 73-79.
dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.
22
Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik omkering van bewijslast. Hal ini tentu
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah presumption of innocence. Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas
demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat
harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen
sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.
c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen
yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan,
yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang konsumen adalah tanggungjawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut pelaku usaha tidak
dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.
22
E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan Kumpulan Karangan, Cet. II, Alumni,
Bandung, h. 21.
d. Prinsip Tanggungjawab Mutlak
Prinsip tanggungjawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut absolute liability. Kendati demikian ada pula
para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip
tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan
dari tanggungjawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya. Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability,
dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggungjawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak
yang dirugikan sendiri. Tanggungjawab adalah mutlak.
23
e. Prinsip Tanggungjawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan limitation of liability principle ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai
klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu
hilang atau rusak termasuk akibat kesalahan petugas, maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.
23
Ibid., h. 23.
Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
ditentukan bahwa
Pelaku usaha
bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang
dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan tanggungjawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut
Komar Kantaatmaja,
sebagaimana dikutip
oleh Shidarta
menyatakan tanggungjawab profesional adalah tanggungjawab hukum legal liability dalam
hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggungjawab profesional ini dapat timbul karena mereka penyedia jasa profesional tidak
memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan
hukum.
24
Tanggungjawab responsibility merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya,
merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian
dari tanggungjawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh
kesadaran intelektualnya.
25
Tanggungjawab dalam arti hukum adalah tanggungjawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan
24
Shidarta, Op.cit., h. 82.
25
Masyhur Efendi, 1994, DimensiDinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 121.
dalam arti tanggungjawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.
Bertanggungjawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan
pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata
bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggungjawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul
akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan
berdosa kepada Tuhan.
26
Untuk menjawab permasalahan yang kedua mengenai akibat hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan produk industri rumah tangga yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa. Pasal 4 c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen telah diatur hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa, salah satu sumber informasi adalah
label dimana konsumen dapat memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap dari segi kuantitas, isi, kualitas baik masa kadaluarsa ataupun komposisi
bahan yang digunakan.
26
Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 60. Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhamad II.
Pada Pasal 3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang perlindungan konsumen bertujuan
sebagai berikut: a.
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang danatau jasa; c.
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
Pada Pasal 6, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen telah diatur tentang hak pelaku usaha sebagai berikut: a.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang
diperdagangkan; b.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen; d.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau
jasa yang diperdagangkan;
Pada Pasal 7, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif; d.
menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba
barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang
danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pada Pasal 10, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha sebagai berikut: Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan
untukdiperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang danatau jasa;
b. kegunaan suatu barang danatau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
danatau jasa; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal
111 ayat 1 menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar danatau persyaratan kesehatan. Terkait
hal tersebut diatas, undang-undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar danatau persyaratan kesehatan
dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan
pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan
tersebut tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.
27
Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyaknya hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana yang dirumuskan didalam pasal 4 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang danatau jasa; b.
hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan; c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang danatau jasa
yang digunakan; e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian, apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
27
Zumrotin K Susilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, cet. 1, Puspa Swara, Jakarta, h. 11-14.
b. Kerangka Berpikir