Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Industri Rumah Tangga yang Tidak Mecantumkan Tanggal Kadaluarsa.

(1)

PRODUK INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG

TIDAK MENCANTUMKAN TANGGAL

KADALUARSA

GDE MANIK YOGIARTHA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

Tesis ini untuk memperoleh gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

GDE MANIK YOGIARTHA NIM. 1490561009

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

PADA TANGGAL 20 JUNI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum. NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19580321 198602 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LL.M. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001


(4)

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 2245/UN14.4/HK/2016, Tanggal 27 Mei 2016

Ketua : Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. Sekretaris : Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum. Anggota : Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH.

Dr. I Made Sarjana, SH., MH. Dr. I Made Udiana, SH., MH.


(5)

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Gde Manik Yogiartha

NIM : 1490561009

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Industri Rumah Tangga Yang Tidak Mencantumkan Tanggal Kadaluarsa.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti melakukan Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Gianyar, 20 Juni 2016 Yang menyatakan,


(6)

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Gde Manik Yogiartha

NIM : 1490561009

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Industri Rumah Tangga Yang Tidak Mencantumkan Tanggal Kadaluarsa.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti melakukan Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Gianyar, 20 Juni 2016 Yang menyatakan,


(7)

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan karuniaNya, sehingga penulisan Tesis yang berjudul “TANGGUNGJAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG TIDAK MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUARSA”.

Penulisan tesis ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dan dorongan dari berbagai pihak. Dengan segala ketulusan, kerendahan hati, dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada, dengan segala rasa hormat, respek dan penghargaan yang sebesar-besarnya, dari lubuk hati penulis menyampaikan Terima Kasih, kepada:

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., Rektor Universitas Udayana

yang telah berkenan menerima penulis untuk mengikuti program pendidikan pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi., Sp.S(K)., Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.LM.,Ketua Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, karena dengan arahan-arahan, bimbingan, dan bantuan yang telah beliau berikan maka penulis dapat


(8)

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum., Sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan kelembutan, ketulusan hati, keiklasan, kesabaran, ketekunan, dan ketelitian Beliau, disela-sela kesibukannya sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) Kenoktariatan Universitas Udayana telah memberikan bimbingan kepada penulis, meluangkan waktu yang sangat berharga, memberi arahan-arahan, masukan dan koreksi yang tiada ternilai dalam penyelesaian tesis ini, dalam suasana kekeluargaan dan kelembutan bagaikan Ibu Kadung sendiri yang tidak akan pernah penulis lupakan.

Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum.,Sebagai Pembimbing II yang

telah memberi bimbingan secara tegas dan komitmen, ketulusan hati, keiklasan, kesabaran, ketekunan, dan ketelitian Beliau, disaat kesibukan Beliau yang luar biasa yang sebagai Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana telah berkenan memberikan waktu yang sangat berharga untuk memberikan cara berpikir yang baik, filosofi hidup, membimbing, mengarahkan, memberi semangat, masukan dan koreksi yang tiada ternilai dalam penyelesaian tesis ini, suatu pengalaman berharga yang tidak akan pernah penulis lupakan bagaikan Bapak Kandung yang selalu mengarahkan anaknya menjadi lebih baik dan Beliau akan selalu menjadi pedoman dalam melangkah kehidupan.


(9)

Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H., Sebagai Anggota Penguji II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta Ilmu kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

Dr. I Made Udiana, S.H., M.H., Sebagai Anggota Penguji III yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran serta Ilmu kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

Para Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah mengajarkan penulis tentang banyaknya Ilmu Hukum dan menambah wawasan dan pola berpikir keilmuan penulis yang amat berguna.

Staf Administrasi Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.

Rekan-rekan Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana Angkatan 2014 yang selalu memberi motivasi, memberi semangat dan selalu mengingatkan agar segera menyelesaikan tesis ini.


(10)

beserta dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

Keluarga Besar Guru Made Djinar (Almarhum) Rumah Manikan Titih Kota Denpasar, dan Keluarga Besar Anak Agung Rai Puri Sangeh Sukawati yang telah memberikan semangat, kekuatan, doa beserta dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

Dengan kerendahan hati penulis mempersembahkan Tesis ini kepada almamater tercinta Universitas Udayana, semoga dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan berharga dalam pengembangan Ilmu Hukum, khususnya pada Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Industri Rumah Tangga Yang Tidak Mencantumkan Tanggal Kadaluarsa.

Gianyar, 20 Juni 2016 Hormat penulis,


(11)

Penelitian ini didasarkan pengalaman di Indonesia dan beberapa pelaku usaha maupun konsumen di Indonesia dalam jual beli produk yang diproduksi oleh Industri Rumah Tangga. Secara keseluruhan tesis ini terdiri dari V Bab.

BAB I merupakan pendahuluan, membahas tentang latar belakang perlu

diadakan penelitian tentang tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Maka Kelayakan

produk merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar minimum tersebut kadang -kadang sudah ada yang menjadi “pengetahuan umum” namun sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk itu, informasi menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha semata- mata, melainkan dari berbagai sumber lain yang dapat dipercaya, serta dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan dengan membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan. Dalam penelitian ini ada 2 (dua) permasalahan yang dibahas yaitu bagaimanakah pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga dan bagaimanakah akibat hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan produk industri rumah tangga yang tidak


(12)

tentang pelaku usaha, industri dan kadaluarsa. Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya kurang mendapatkan akses informasi yang jelas dan/atau informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan dari suatu barang dan/atau jasa yang diproduksi dipasaran. Mengakitkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa.

BAB III dalam penelitian tesis ini membahas tentang pelaksanaan

ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industri rumah tangga, melalui pelaksanaan ketentuan pencantuman kadaluarsa sesuai Undang-Undang yang berlaku agar terjadinya pelaksanaan yang baik dan benar antara pelaku usaha dan konsumen. Agar terpenuhi perlindungan konsumen yang merugikan bagi konsumen terkait dengan pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa.

BAB IV dalam penelitian tesis ini membahas tentang akibat hukum

terhadap pelaku usaha terhadap produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa, pembebanan tanggung gugat/tanggungjawab


(13)

memberikan perlindungan kepada konsumen, karena adanya pertanggung gugat/pertanggungjawaban tersebut dapat membuat pelaku usaha lebih berhati-hati dalam mempresentasikan suatu produk yang akan diproduksi, sehingga konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar terhadap produk yang di produksi oleh pelaku usaha.

BAB V sebagai penutup, membahas tentang simpulan dan saran terkait

dengan tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Simpulan dalam penelitian tesis ini berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggungjawab yang diperbuatnya. Saran penulis dalam penelitian ini antara lain perlu dilakukan pengawasan secara berkala terhadap pelaku usaha agar produk yang diproduksi tetap memiliki kualitas yang baik dipasaran, dan pihak Dinas Kesehatan memberikan penyuluhan tentang sanksi hukum terhadap pelaku usaha apabila melakukan tindakan curang terhadap produk yang telah di produksi demi mendapatkan keuntungan.


(14)

mempunyai skala yang sama tetapi juga dengan pengusaha-pengusaha besar. Dari hal tersebut timbul permasalahan produk pangan baik mengenai informasi maupun keamanan pangan yang dapat disebabkan oleh penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam produk pangan, ditemukan cemaran kimia berbahaya pada berbagai produk pangan, pelabelan dan periklanan produk pangan yang tidak memenuhi syarat, masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, pemalsuan produk pangan, cara peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat dan mutu dan keamanan produk pangan. Terkait dengan masalah tersebut Bagaimanakah pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga? Bagaimanakah akibat hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa? Metode penulisan mengunakan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian ini terkait dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggungjawab yang diperbuatnya dan dilakukan pengawasan secara berkala terhadap pelaku usaha agar produk yang diproduksi tetap memiliki kualitas yang baik dipasaran.


(15)

various parties. Not just with fellow industry which has the same scale, but also with great entrepreneurs. From this arises the problem of food products and to clarify information and the security of food that can be caused by the use of food additives that are prohibited or exceeding the limit in food products, found contamination of harmful chemicals in food products, labeling and advertising of food products that do not qualify, they circulation of expired food products, adulteration of food products, how the circulation and distribution of food products that do not qualify and the quality and safety of food products. The problems associated with the inclusion of provisions pelaksaaan How expiration date on the industry household products? How the legal consequences to businesses related to industrial products household that does not include an expiration date? The writing method using empirical legal research is descriptive. The results of this study related to the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945, Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, Law No. 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, Act No. 36 of 2009 on Health, Director General of POM Decree No. 02 591 / B / SK / VIII / 1991 on Amendment Annex Regulation of the Minister of Health No. 180 / Men.Kes / Per / IV / 1985 on food expiration, and Government Regulation No. 69 Year 1999 on Food Label and Advertisement. application of the principle of law that every person who commits a consequence of the loss to others, must take responsibility and supervision is done periodically to businesses that manufactured products still have good quality in the market.


(16)

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR MAGISTER ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PERNYATAAN TELAH DIUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

RINGKASAN ... x

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

DAFTAR ISI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

a. Tujuan umum ... 10

b. Tujuan khusus ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

a. Manfaat teoritis ... 10

b. Manfaat praktis ... 10

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir... 10


(17)

b. Sifat penelitian ... 30

c. Lokasi penelitian ... 30

d. Data dan sumber data ... 30

e. Teknik pengumpulan data... 32

f. Teknik pengumpulan sampel penelitian ... 32

g. Teknik pengolahan dan analisis data ... 33

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKU USAHA, INDUSTRI DAN KADALUARSA ... 34

2.1 Pengertian pelaku usaha ... 35

2.1.1 Hak-hak pelaku usaha ... 40

2.1.2 Kewajiban pelaku usaha ... 41

2.1.3 Tanggungjawab pelaku usaha ... 41

2.2 Tanggungjawab produk ... 43

2.3 Pengertian Industri ... 48

2.3.1 Ciri-ciri industri kecil ... 52

2.3.2 Manfaat industri kecil ... 53

2.3.3 Kelebihan dan kelemahan usaha kecil ... 55

2.3.3.1 Keunggulan usaha kecil ... 55

2.3.3.2 Kelemahan dalam pengelolaan usaha kecil ... 57


(18)

RUMAH TANGGA ... 63

3.1 Pelaksanaan ketentuan pencantuman kadaluarsa ... 63

3.2 Perlindungan hukum terhadap konsumen ... 78

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG TIDAK MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUARSA ... 98

4.1 Akibat hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa ... 98

4.2 Tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa ... 108

BAB V PENUTUP ... 124

5.1 Simpulan ... 124

5.2 Saran ... 125 DAFTAR BACAAN


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa jenis produk pangan pada dasarnya bukanlah produk yang membahayakan, tetapi mudah tercemar atau mengandung racun, yang apabila lalai atau tidak berhati-hati pembuatannya, atau memang lalai untuk tetap mengedarkan, atau sengaja tidak menarik produk pangan yang sudah kadaluwarsa. Kelalaian tersebut erat kaitannya dengan kemajuan di bidang industri yang menggunakan proses produksi dan distribusi barang yang semakin kompleks. Dalam sistem mekanisme yang demikian, produk yang bukan tergolong produk berbahaya, dapat saja membahayakan keselamatan dan kesehatan konsumen, sehingga diperlukan instrumen yang membuat standar perlindungan hukum yang tinggi dalam proses dan distribusi produk.1

Persaingan dari berbagai pihak mengakibatkan kondisi industri rumah tangga di Indonesia menimbulkan beberapa masalah-masalah dalam produk pangan yang diproduksi pada pasaran. Banyak hal yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha untuk memberikan informasi yang sedemikian rupa untuk konsumen, untuk keamanan pagan yang akan di produksi pada pasaran. Berbagai produk harus memiliki standar yang sesuai telah dikeluarkan pihak terkait, seperti pelabelan produk

1

Yusuf Sofie, 2007, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumennya, dalam John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum Dan Perlindungan Konsumen, Pelangi Cendika, Jakarta, h. 69.


(20)

pangan, pemasaran atau periklanan produk. Masih banyaknya beredar produk pangan yang mengandung bahan berbahaya, pangan yang telah kadaluarsa, pemalsuan produk pangan, dan ada pun produk yang tidak memenuhi syarat dan mutu keamanan untuk konsumen .

Indonesia sangat potensial dengan industri rumah tangga makanan dan memiliki prospek yang berkembang dengan semakin banyaknya pertumbuhan penduduk. Sebagai bukti banyaknya industri rumah tangga yang berkembang di plosok-plosok wilayah Indonesia, dengan skala yang lebih banyak atau kecil usaha yang berkembang. Dalam perkembangannya industri rumah tangga di dukung oleh bahan baku yang hampir seluruhnya menggunakan bahan baku yang secara gampang dicari di dalam negeri lalu di kembangkan menjadi produk industri rumah tangga makanan. Hampir seluruh produk dapat di produksi pada pasaran industri dalam negeri, dan di konsumsi oleh masyarakat pada umumnya. Dalam berbagai kesempatan dari pihak Pemerintah dan Instansi terkait memberikan baerbagai pengawasan, pembinaan baik secara teknis maupun manajemen pemasaran yang baik sesuai peraturan yang ada agar tercipta keamanan pangan bagi pelaku usaha dan konsumen.

Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus

dipenuhi atau dimiliki suatu barang dan atau jasa tertentu sebelum barang dan atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar minimum tersebut kadang -kadang sudah ada yang menjadi “pengetahuan

umum” namun sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.


(21)

yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha semata- mata, melainkan dari berbagai sumber lain yang dapat dipercaya, serta dipertanggung jawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan dengan membeli barang dan atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan.2

Dalam ketentuan umum diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha pada Pasal 8 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi :

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan danketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

2

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 40.


(22)

Banyaknya produk industri rumah tangga yang beredar pada masyarakat yang masih tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku atau telah ditetapkan, seperti berbagai pencantuman label yang dapat meresahkan masyarakat konsumen. Sebagai hal yang banyak ditemukan perdagangan pangan industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa, pemakaian pewarna, yang tidak di peruntukkan bagi makanan dan minuman yang diperjual belikan di pasaran, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat, bahkan menimbulkan ancaman kesehatan dan keselamatan pada jiwa manusia yang mengkonsumsi makanan dan minuman yang di produksi.

Menurut Nurmadjito, larangan yang dimaksudkan untuk mengupayakan agar setiap barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.3

Adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya akan tetap memerhatikan hak dan kepentingan pelaku usaha kecil dan menengah.4

3

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 65.

4


(23)

Namun, kenyataannya yang terjadi di pasaran masih banyak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sering kali pelaku usaha mengabaikan berbagai hak dari konsumen serta larangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut diatas, undang-undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan/atau persyaratan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu masalah yang timbul dalam masyarakat yakni banyaknya beredar produk industri rumah yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan. Kebanyakan dari pelaku usaha industri rumah tangga menyadari hal tersebut tetapi karena usaha mereka sudah berjalan maka banyak pelaku usaha industri rumah tangga yang sembunyi dari aparat kepolisian dan badan pengawas obat dan makanan. Sehingga banyak ditemui produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan (bahan tambahan pangan, cemaran mikroba, tanggal kadaluarsa), masih banyak kasus keracunan, masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggungjawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan serta rendahnya kepedulian konsumen itu sendiri. Untuk itu


(24)

suatu produk industri rumah khususnya produk pangan harus sesuai dengan standar agar aman dikonsumsi.

Dalam produk yang akan diproduksi harus disertai dengan berbagai informasi yang benar, dan tidak mengenakan pengertian yang membuat konsumen bingung. Berbagai informasi dapat disampaikan secara lisan pada konsumen, baik melalui iklan pada media massa atau mencantumkan label dalam kemasan produk yang akan di produksi pada pasaran.

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting untuk konsumen agar mampu untuk memilih produk yang benar dan terjamin kualitas produk tersebut.5 Berbagai informasi dapat meliputi tersedianya barang dan/atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang keamanan produk, kualitas produk, harga, persyaratan dan/atau cara memperoleh produk tersebut, tentang garansi atau jaminan produk, suku cadang produk, tersedianya pelayanan jasa purna jual, dan lainya yang berkaitan dengan produksi.

Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu lebih banyak penjual, saat ini daya beli konsumen sangat meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak di ketahui oleh semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih

5


(25)

mudah sehingga diakses yang lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha atau penjual.6

Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga.7 Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusunan peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka derelugasi, dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu memuat sebagai suatu keharusan yang mengikat. Beberapa diantaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasanan sebagai yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industri lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan Pemerintah, standar Internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Kedua, informasi dari konsumen atau orgaisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi dari YKLI yaitu warta konsumen.

6

Erman Raja Guguk, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, h. 2.

7

Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13.


(26)

Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyediaan dana, produsen, importer, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan lai-lain sejenisnya. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.

Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.8

Produk industri rumah yang telah memiliki izin Dinas Kesehatan berarti produk tersebut telah sesuai standar atau persyaratan, keamanan, mutu, serta manfaat dari produk tersebut. Sebaliknya, produk industri rumah yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan baik itu berupa produk makanan maupun minuman tentu saja belum melewati tahap pemeriksaan oleh pihak yang berwenang memeriksanya.

Produk industri rumah yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan jika dikonsumsi oleh konsumen dapat menyebabkan kerugian, baik kerugian secara

8

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h. 71.


(27)

materi maupun psikis. Hal ini tentu saja merugikan konsumen sebagai pihak yang membutuhkan dan mengonsumsi produk industri rumah tangga.

Adapun dipasaran tradisional telah terdapat makanan yang diproduksi dengan tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa, tetapi telah mendapatkan ijin dari Dinas Kesehatan. Maka dari itu penulis tertarik mengulik tentang fenomena yang terdapat di masyarakat. Terdapat beberapa dari responden yang mengkonsumsi makanan tersebut tidak terjadi apa-apa setelah mengkomsumsi, tetapi jangka panjang dalam peredaran produk tersebut seharusanya lebih di awasi agar tidak terjadi kecelakaan terhadap produk yang diperjual-belikan dipasaran.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti, membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis / tesis yang berjudul

“TANGGUNGJAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PRODUK

INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG TIDAK MENCANTUMKAN

TANGGAL KADALUARSA”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga?

2. Bagaimanakah tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa?


(28)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Secara umum tujuan penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui tentang pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga.

2. Secara khusus tujuan penelitian tesis ini adalah untuk memahami dan menganalisis tentang tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memberikan pengetahuan dan gambaran tentang pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga. 2. Manfaat Praktis

Memberikan pengetahuan dan penjelasan tentang pelaksanaan tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa

1.5 Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir

a. Landasan Teoritis

Pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu


(29)

yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.9 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.10

Menurut Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang terintergrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah

“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and

propositions that present asystematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena”. (Teori adalah suatu rangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang dipresentasikan secara sistematis dengan menspesifikasikan hubungan antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena).11 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau landasan untuk menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian untuk memberikan kebenaran ilmu hukum yang telah ditelusuri (controleur bar). Oleh karena itu, dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep dan asas yang berhasil di identifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai.

Landasan teoritis merupakan pikiran untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian penelusuran terhadap teori hukum,

9

Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.

10

Soejono Soegianto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30.

11

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Madar Maju, Bandung, h. 140.


(30)

konsep hukum, dan lain-lain yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian. Pada umumnya teori bersumber dari undang-undang.12

Landasan teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlkan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Suatu penelitian harus dilandasi oleh pemikiran yang teoritis, agar adanya timbal balik antara teori yang relevan dengan berbagai kegiatan yang menyangkut pengumpulan dan pengolahan data, baik analisa dan konstruksi data. Dalam menganalisa penulisan ini digunakan, Teori Perlindungan Hukum, Teori Pertanggung Jawaban.

a. Teori Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.13

12

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 73.

13


(31)

A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.14

Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.15

Pengaturan kebijakan terhadap kejahatan korporasi faktanya masih sangat minim mengingat tidak ada aturannya dalam KUHP, karena KUHP hanya mengatur hukum antar individu saja dan korporasi sebagai subjek hukum hanya terdapat dalam beberapa undang-undang saja. Pembangunan ekonomi besar-besaran menyebabkan korporasi bersaing dengan ketat untuk menguasai pasar.16

Kebijakan atas pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan korporasi-korporasi raksasa yang menguasai dan memonopoli ekonomi Indonesia. Kekuasaan yang luar biasa pada korporasi tahap berikutnya sangat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan sangat merugikan kepentingan pelaku ekonomi lainnya.17

Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka

14

Abidin, Lit.A.Z., 2010, Pengantar Dalam Hukum pidana Indonesia, Jakarta, h. 56.

15

Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 31.

16

Ibid., h. 24.

17

Mulyadi, Mahmud & Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Softmedia, Jakarta, h. 3-4.


(32)

mengutip tulisan Steven Box, Ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut:

1. Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.

2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).

3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban.

Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan-Cohen,

yaitu: “A very complete description of the characteristics of an organization is provided by Dan-Cohen who finds that an organization possesses functional structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has decision-making structures.”18

Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi menurut Dan-Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi, memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan.

Eratnya keterkaitan antara hukum pidana, persaingan usaha dan korporasi menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.

18

Jennifer A. Quaid, 1998, Mcgill Law Journal: The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of Corporate Identity: An Analysis, page 79.


(33)

Untuk menjawab permasalahan yang pertama mengenai pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga.

Pemerintah sebagai badan hukum memberikan hak kepada pelaku usaha untuk memprodusi produk yang telah didaftarkan kepada pihak dinas kesehatan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah berlaku. Berlakunya ketentuan mencantumkan tanggal kadaluarsa telah ditetapkan, sehingga pelaku usaha wajib dalam produk mencantumkan tanggal kadaluarsa.

Apabila setelah pemberian sertifikat layak produksi, pelaku usaha melakukan pelanggaran maka dari pihak dinas kesehatan akan menarik kembali produk yang telah diproduksi di pasaran. Dan melakukan pembinaan kembali tekait produk yang telah melanggar ketentuan yang berlaku.

Pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan kegiatan usaha demi keuntungan, dan tidak melihat dampak dari produk usahanya dalam kejahatan korporasi disebut Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.

Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama sebagai upaya perlindungan konsumen karena berdasarkan pasal 4 (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi


(34)

barang dan/atau jasa dan Pasal 4 (c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa. Sedangkan pemerintah berperan dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai pasal 30 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Pemenuhan pangan yang aman dan bermutu merupakan hak asasi setiap manusia, tidak terkecuali pangan yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan (IRTP). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut diatas, undang-undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan/atau persyaratan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa yaitu pelaku usaha bertanggungjawab dalam hal memberikan ganti kerugian kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan. Ganti kerugian yang dimaksud merupakan


(35)

pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis dan setara nilainya, perawatan kesehatan, pemberian santunan sesuai dengan kerugian konsumen.

b. Teori Pertanggungjawaban

Dalam kamus hukum ada dua istilah tentang pertanggungjawaban, yakni liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.19

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

19

Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 335-337.


(36)

b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung.20

Secara umum prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:21

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.

b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggungjawab, yaitu

20

Ibid., h. 365.

21

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 73-79.


(37)

dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan

yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.22

Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.

c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggungjawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.

22

E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, h. 21.


(38)

d. Prinsip Tanggungjawab Mutlak

Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.

Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggungjawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggungjawab adalah mutlak.23

e. Prinsip Tanggungjawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

23


(39)

Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan tanggungjawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar Kantaatmaja, sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggungjawab profesional adalah tanggungjawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggungjawab profesional ini dapat timbul karena mereka (penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.24

Tanggungjawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggungjawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya.25 Tanggungjawab dalam arti hukum adalah tanggungjawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan

24

Shidarta, Op.cit., h. 82.

25

Masyhur Efendi, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 121.


(40)

dalam arti tanggungjawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Bertanggungjawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggungjawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.26

Untuk menjawab permasalahan yang kedua mengenai akibat hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa.

Pasal 4 (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, salah satu sumber informasi adalah label dimana konsumen dapat memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap dari segi kuantitas, isi, kualitas baik masa kadaluarsa ataupun komposisi bahan yang digunakan.

26

Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 60. (Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhamad II).


(41)

Pada Pasal 3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang perlindungan konsumen bertujuan sebagai berikut:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

Pada Pasal 6, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang hak pelaku usaha sebagai berikut:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Pada Pasal 7, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;


(42)

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pada Pasal 10, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai berikut:

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untukdiperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut diatas, undang-undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan/atau persyaratan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan


(43)

tersebut tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.27

Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyaknya hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana yang dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

27

Zumrotin K Susilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, cet. 1, Puspa Swara, Jakarta, h. 11-14.


(44)

b. Kerangka Berpikir Rumusan

Masalah

Latar Belakang Landasan

Teoritis Metode Penelitian Perdagangan pangan yang kadaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan Produk industri rumahyang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan jika dikonsumsi oleh konsumen dapat menyebabkan kerugian, baik kerugian secara materi maupun psikis.makanan mengandung bahan pengawet, atauperbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapatmengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia. 1. Bagaimanakah pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga?

2. Bagaimanakah tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa? Teori Korporasi Teori Pertanggung Jawaban

1. Jenis Penelitian: Yuridis Empiris. 2. Sifat Penelitian:

Deskriptif Analitis. 3. Data dan Sumber

Data:

a.Data Primer (Data Lapangan) b.Data Sekunder (Data

Kepustakaan) 4. Lokasi Penelitian,

Pengambilan Sampel dan Penetapan Informan: a.Lokasi Penelitian:

Kabupaten Gianyar. b.Pengambilan

Sampling: Teknik Purposive Sampling. c.Penetapan Informan:

Teknik Snowball Sampling.

5. Teknik Pengumpulan Data:

a.Data Lapangan: Teknik Wawancara. b.Data Kepustakaan:

Studi dokumen. 6. Teknik Pengelolaan

dan Analisis Data Setelah semua data terkumpul baik data dari, data

kepustakaan maupun lapangan, kemudian diklarifikasi sesuai dengan masalah. Data tersebut dianalisa sedemikian rupa dikaitkan dengan teori-teori yang relevan antara lain: teori perlindungan hukum dan teori tanggung jawab. Dikemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Akhirnya data tersebut disajikan secara deskriftif analitis. Hasil Pembahasan 1. Pelaksanaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk makanan ringan di Kabupaten Gianyar mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. 2. Adapun ketentuan

yang lebih mengikat bahwa produsen yang harus bertanggung jawab yaitu berdasarkan undang undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumenpasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa yaitu pelaku usaha bertanggung jawab dalam hal memberikan ganti kerugian kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan. Ganti kerugian yang dimaksud yaitu berupa pengembalian uang atau

penggantian barang dan atau jasa yang sejenis dan setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santun sesuaidengan kerugian yangdi derita oleh konsumen.

Simpulan

1. Prosedur pengurusan ijin produksi makan dan minuman yaitu pemohon mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada kepala Dinas Kesehatan dengan dilengkapi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dinkes akan mempelajari surat permohonan untuk disesuaikan dengan persyaratan yang telah ditentukan, dan akan dilakukan pemeriksaan berkas (satu hari), Persetujuan Kadinkes (satu hari), menunggu waktu pelaksanaan penyuluhan keamanan pangan yang dilaksanakan setiap 3 bulan sekali. Dilakukan uji ketahanan pangan dilaboratorium, agar dapat dicantumkan tanggal kadaluarsa pada produk pangan.

2. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada pasal 19 ayat (1) pelaku usaha bertanggungjawab ganti kerugian atas kerusakan, tanggungjawab ganti kerugian atas pencemaran, tanggungjawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Pencabutan ijin produksi bertujuan menghentikan proses produksi dari pelaku usaha/penyalur, secara tidak langsung untuk melindungi konsumen, dan mencegah terjadinya dampak negatif atau korban dari produksi tersebut.


(45)

Adapun dari bagan kerangka berpikir tersebut diatas dapat diskripsikan sebagai berikut:

Industri rumah tangga yang memproduksi makanan dan minuman ialah industri yang sangat memiliki potensial dan prospek terhadap tumbuh kembangnya penduduk di Indonesia. Terbukti adanya industri rumah tangga pada wilayah pelosok di Indonesia dengan berbagai jenis dan skala usaha yang berbeda-beda. Dan di dukung oleh berbagai bahan baku yang gampang ditemukan di Indonesia, yang sering di temukan pada wilayah terdekat. Memberikan suatu kontribusi terhadap pengembangan ekonomi masyarakat menengah kebawah, Pemerintah dan Instansi terkait dapat memberikan pengawasan dan pembinaan terhadap produk industri rumah tangga, baik secara teknis dan memberikan penyuluhan terkait dengan produk yang akan di produksi, bagaimana manajemen atau pemasaran yang baik pada masyarakat sesuai dengan peraturan yang telah berlaku atau telah ditetapkan. Sebagai standar minimum yang menjadikan produk tersebut layak untuk diproduksi pada pasaran, memberikan informasi yang jelas pada label dan pemasangan iklan agar konsumen mampu mengetahui produk apa yang akan di konsumsi. Informasi tidak boleh hanya untuk kepentingan produksi tetapi harus memenuhi standar yang telah ditentukan, agar tidak terjadi penyimpangan atau kerugian di kemudian hari terhadap produk yang telah di konsumsi. Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha semata- mata, melainkan dari berbagai sumber lain yang dapat dipercaya, serta dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan dengan membeli barang dan atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk


(46)

diperdagangkan dipasaran.28 Maka untuk menjawab permasalahan pertama tentang pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga maka digunakan Teori Korporasi. Pemerintah sebagai badan hukum memberikan hak kepada pelaku usaha untuk memprodusi produk yang telah didaftarkan kepada pihak dinas kesehatan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah berlaku. Berlakunya ketentuan mencantumkan tanggal kadaluarsa telah ditetapkan, sehingga pelaku usaha wajib dalam produk mencantumkan tanggal kadaluarsa. Apabila setelah pemberian sertifikat layak produksi, pelaku usaha melakukan pelanggaran maka dari pihak dinas kesehatan akan menarik kembali produk yang telah diproduksi di pasaran. Dan melakukan pembinaan kembali tekait produk yang telah melanggar ketentuan yang berlaku. Pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan kegiatan usaha demi keuntungan, dan tidak melihat dampak dari produk usahanya dalam kejahatan korporasi disebut Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan. Berbagai hukum dan secara pendekatan untuk memanajemen pendekatan sistem pengaturan industri rumah tangga mulai dari Pemerintah terhadap pelaku usaha, aparat penegak hukum dan sebagian dari infrastruktur yang berkaitan dengannya. Pengembangan industri rumah tangga tidak luput dari pelaku usaha yang menyalah gunakan peraturan yang ditetapkan dengan tidak mematuhi berbagai hak konsumen yang hanya mencari keuntungan dan tidak mengikuti peraturan yang berlaku. Dan dalam Ketentuan pelabelan

28


(47)

produk pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, maka produsen dan importir pangan berkewajiban untuk memberikan keterangan dan atau pernyataan yang benar dan tidak menyesatkan tentang pangan dalam label. Akan tetapi jika diperhatikan label pangan yang beredar saat ini terdapat beragam informasi di dalamnya, mulai dari nama produk, tanggal kadaluarsa hingga kata-kata atau kalimat untuk kepentingan promosi semata. Pada dasarnya label merupakan bagian yang tak terpisah dari kemasan.

Permasalahan kedua tindakan hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan tanggungjawab produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa berkaitan dengan terjadinya kerugian dengan produk pangan antara konsumen dan pelaku usaha dalam hal tidak dipenuhinya hak-hak konsumen maka digunakan Teori Pertanggungjawaban. Ada dua istilah yang menunjuk pada Teori Pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggungjawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggungjawab yang diperbuatnya. Setiap orang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi/ganti rugi pada pihak yang melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan


(48)

pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakan pertanggungjawaban.

1.6 Metode Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum empiris atau yuridis empiris, yaitu dalam mengkaji permasalahan, penulisan berpedoman pada ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul serta kemudian dikaitkan dengan fakta atau kejadian nyata yang terjadi di masyarakat melalui penelitian dilapangan.

b. Sifat penelitian

Sifat dari penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif yaitu berdasarkan pada analisis konsep hukum yang mengacu pada prinsip atau asas hukum dan doktrin dari para pakar hukum.

c. Lokasi penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, Jln. Ciung Wanara No. 6 Gianyar, Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Jln. Maruti No. 8 Denpasar dan Balai Besar POM Denpasar, Jln. Cut Nya Dien No. 5 Denpasar - Bali.


(49)

d. Data dan sumber data

Adapun data atau sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1) Data lapangan/primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data ini diperoleh dari penelitian di lapangan, hasil komunikasi dengan narasumber di lokasi tempat penelitian dilakukan.29

2) Data kepustakaan/sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang isinya mengikat.30 Dalam hal ini bahan hukum primer yang digunakan adalah:

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

b) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. c) Undang-undang Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan

Iklan Pangan.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah

29

Hilman Adikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 65.

30

Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 113.


(50)

buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum Perlindungan Konsumen.

3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.31

e. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dilakukan melalui 2 cara yaitu: 1) Untuk data pustaka, dilakukan melalui studi kepustakaan atau studi

dokumen, yaitu dengan pengumpulan data sekunder, membaca dan menelaah isinya.

2) Untuk data lapangan, diperoleh dengan melakukan wawancara (Interview) dengan para informan maupun responden di lokasi tempat penelitian. Wawancara yaitu situasi peran antara pribadi bertatap muka (facetoface), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden.32

31

Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 166.

32

Burhan Burgin, 2003, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 15.


(51)

f. Teknik pengumpulan sampel penelitian

Dalam Penelitian ini, teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah teknik non-probabilitas/non-random sampling. Maksud digunakannya teknik ini agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian, dan semua populasi mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan menjadi sampel.33

Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini diambil pada Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan BPOM Provinsi Bali. Pengambilan sampel di lokasi tersebut diharapkan dapat mewakili keadaan sebenarnya.

g. Teknik pengolahan dan analisis data

Setelah mengumpulkan data secara lengkap kemudian ditelaah dan dianalisis secara kualitatif data yang ada sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian. Data yang diperoleh dianalisis dengan teori-teori yang relevan dengan permasalahan materi yang dibahas. Selain itu juga menggunakan sumber-sumber data yang digunakan dalam penulisan ini. Setelah melalui proses analisa, kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif analisis.

33


(52)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKU USAHA DAN KADALUARSA

Segala bentuk kebutuhan manusia tentang barang dan/atau jasa sebagai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai kebutuhan manusia beraneka ragam dan dapat dibedakan dari macam kebutuhannya. Karena banyaknya kebutuhan manusia maka setiap manusia berusaha mencari atau memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya baik berupa barang maupun jasa dalam hidupnya.

Kebutuhan yang diberikan pleh pelaku usaha agar tercipta hubungan berbagai timbal balik baik konsumen maupun pelaku usaha yang saling membutuhkan. Berbagai barang dan/atau jasa yang diberikan secara tawaran oleh pelaku usaha terhadap konsumen sebagai kebutuhan yang bersifat timbal balik.

Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan tersebut tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.1

Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya

1


(53)

kurang mendapatkan akses informasi dan/atau informasi yang benar, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan dari suatu barang atau jasa.2

Informasi yang diberikan oleh pelaku usaha tidak secara optimal dapat diakses oleh konsumen terhadap produk yang dibutuhkan dalam penggunaannya, terhadap pemakaian dan pemanfaatan produk barang dan/atau jasa. Hal tersebut terjadi karena disebabkan oleh pelaku usaha yang sebagai pihak memproduksi dan menawarkan barang terhadap konsumen tidak memberikan penjelasan yang baik terhadap produk tentang bagaimana keadaan produk, cara penggunanaan produk, jaminan terhadap produk yang telah diproduksi. Terkadang pelaku usaha memberikan informasi yang tidak mudah dimengerti oleh konsumen, terkait dengan mengelabui konsumen atau pun tidak jujur terhadap produk yang ditawarkan demi mendapatkan keuntungan tanpa mempedulikan bagaimana akibat dari produk tersebut apabila di konsumsi oleh konsumen.

2.1 Pengertian Pelaku Usaha

Pada umumnya pelaku usaha dapat dikatakan sebagai Pengusaha. Pengusaha ialah sesorang atau memiliki badan usaha yang menjalankan berbagai usaha, memproduksi, mendistribusikan produk kepada masyarakat luas konsumen, melakukan penawaran pada konsumen. Berbagai pengertian secara luas tentang, tidak hanya membicarakan tentang pelaku usaha, tapi juga tentang pedagang perantara dan pelaku usaha.3 Sedangkan pengertian pelaku usaha

2

Ibid., h. 8-9. 3

Mariam Darus, 1980, Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Perjanjian Baku (Standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek -Apsek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Jakarta, hal. 57.


(54)

menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Pasal 1 butir 3 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 pelaku usaha adalah:

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Definisi pelaku usaha yang diberikan oleh Pasal 1 butir 3 Undang – Undang Perlindungan Konsumen tersebut, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, koorporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.4 Menurut defenisi tersebut, Undang-undang Perlindungan Konsumen berlaku baik bagi pelaku usaha ekonomi kuat, maupun bagi pelaku usaha ekonomi lemah. Pelaku usaha menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen juga tidak terbatas pada pelaku usaha perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia atau badan Hukum Indonesia, tetapi juga pelaku usaha perorangan yang bukan berwarganegara Indonesia atau pelaku usaha badan hukum asing, sepanjang mereka itu melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.5

4

A.Z. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Tawang Press, Yogyakarta, h. 17. (Selanjutnya disebut A.Z. Nasution II).

5

Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Prenada Media Group, Jakarta, h. 67.


(55)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen6, tidak memuat defenisi mengenai hukum perlindungan konsumen tetapi memuat

perumusan mengenai perlindungan konsumen yaitu sebagai ”segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

Istilah konsumen dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau Consument/Konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang.7 Mariam Darus mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh

kepustakaan Belanda, yaitu “Semua individu mempergunakan barang dan jasa

secara konkrit dan riil”.8 Sebelum munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor II/MPR/1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan namun sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang penjelasan pengertian konsumen itu sendiri. Salah satu ketentuan normatif

6

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 7

A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit Media, Jakarta, h. 3. Mengutip pendapat A.S.Hornby (Gen.Ed), Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1987), h. 183, “(opp. To producer) person who uses goods”. (Selanjutnya disebut A.Z. Nasution III).

8

Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional Dan Permasalahannya, Kumpulan Karangan, Alumni Bandung, h. 48.


(1)

b. Merupakan pemerataan konsentrasi dan kekuatan-kekuatan ekonomi dalam masyarakat.

2.3.3.2 Kelemahan dalam Pengelola Usaha Kecil

Berbagai kendala yang menyebabkan kelemahan serta hambatan bagi pengelola suatu usaha kecil diantaranya masih menyangkut faktor internal dari usaha kecil itu sendiri serta beberapa faktor eksternal, sebagai berikut:31

1. Umumnya pengelola small-business merasa tidak memerlukan ataupun tidak pernah melakukan studi kelayakan, penelitian pasar, analisa perputaran uang tunai/kas, serta berbagai penelitian ini yang diperlukan suatu aktivitas bisnis.

2. Tidak memiliki perencanaan sistem jangka panjang, sistem akuntasi yang memadai, anggaran kebutuhan, modal, struktur organisasi dan kewewenang. Serta alat-alat kegiatan manajerial lainnya (perencanaan, pelaksanaan serta pengendalian usaha) yang umumnya diperlukan oleh suatu perusahaan bisnis.

3. Kekurangan informasi bisnis, hanya mengacu pada intuisi dan ambisi pengelola, lemah dalam promosi.

4. Kurangnya petunjuk pelaksanaan teknis operasional kegiatan dan pengawasan mutu hasil kerja dan produk, serta sering tidak konsisten dengan ketentuan order/pesanan, yang mengakibatkan klaim atau produk yang ditolak.

31


(2)

5. Terlalu banyak biaya-biaya yang di luar pengendalian serta utang yang tidak bermanfaat, juga tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan pembukuan standar.

6. Pembagian kerja tidak proporsional, sering terjadi pengelola memiliki pekerjaan yang melimpah atau karyawan yang bekerja di luar batas jam kerja standar.

7. Kesulitan modal kerja atau tidak mengetahui secara tepat beberapa kebutuhan modal kerja, sebagai akibat tidak adanya perencanaan kas. 8. Persediaan yang terlalu banyak, khususnya jenis barang-barang yang

salah (kurang laku).

9. Perkembangan usaha tergantung pada pengusaha yang setiap waktu dapat berhalangan karena sakit atau meninggal.

Meskipun demikian, pemerintah tetap mendorong agar industri/usaha kecil mampu lebih berkembang dan mandiri dengan melaksanakan berbagai 30 program pengembangan usaha kecil yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihak-pihak atau lembaga swadaya masyarakat, di antaranya sebagai berikut:32

1. Program peningkatan kemampuan usaha.

2. Program pengembangan industri kecil untuk menunjang ekspor. 3. Program pengembangan keterkaitan sistem bapak angkat dengan

mitra usaha.

4. Program pengembangan wiraswasta dan tenaga profesi. 5. Program penelitian dan pengembangn industri kecil.

32


(3)

6. Program menciptakan /pengaturan iklim dan kerja sama.

7. Program pengembangan usaha kecil dari berbagai perguruan tinggi Negeri maupun swasta.

8. Seminar dan pameran produk-produk industri kecil tingkat Nasional maupun Internasional.

2.4 Pengertian Makanan dan Minuman Kadaluarsa

Perlindungan Konsumen mengisyaratkan jaminan mutu dan kualitas produk yang baik dan aman. Untuk senantiasa menjaga keamanan produk maka diperlukan pengaturan mengenai makanan kadaluwarsa yang seringkali menjadi masalah dalam mengkonsumsi suatu produk.

Menurut Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang

Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

180/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa33 menyatakan bahwa: a. Makanan adalah barang yang diwadahi dan diberikan label dan yang

digunakan sebagai makanan atau minuman manusia akan tetapi bukan obat.

b. Label adalah tanda berupa tulisan, gambar, atau bentuk pernyataan lain yang disertakan pada wadah atau pembungkus makanan sebagai keterangan atau penjelasan.

c. Makanan daluwarsa adalah makanan yang telah lewat tanggal daluwarsa. d. Tanggal daluwarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya

sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen.

Pada Pasal 2 ayat 1 Keputusan Dirjen. POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan Lampiran Permenkes No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang

33

Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa.


(4)

Makanan Daluwarsa menyatakan bahwa pada label dari makanan tertentu yang diproduksi, diimpor dan diedarkan harus dicantumkan tanggal daluarsa secara jelas. Sedangkan apabila dilihat pada Pasal 5 ayat 1 Keputusan Dirjen. POM No. 02591/B/SK/ VIII/1991 tentang Perubahan Lampiran Permenkes No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa menyatakan pelanggaran terhadap pasal 2 dikenakan dari sanksi yang bersifat administratif dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Makanan kadaluarsa merupakan salah satu pangan yang dapat merugikan konsumen apabila dikonsumsinya. Kadaluwarsa mempunyai arti sebagai sudah lewat ataupun habisnya jangka waktu sebagaimana yang telah ditetapkan dan apabila dikonsumsi, maka makanan tersebut dapat membahayakan bagi kesehatan yang mengkonsumsinya.

Kadaluarsa jika disimpulkan adalah penjualan barang ataupun peredaran produk kemasan dan makanan yang sudah tidak layak dijual kepada konsumen. Hal ini disebabkan karena produk tersebut telah kadaluarsa sehingga dapat mengganggu kesehatan dan apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menyebabkan kanker.

Makanan kadaluarsa selalu banyak kaitannya dengan daya simpan (shelf life) makanan tersebut. Daya simpan adalah kisaran waktu sejak makanan selesai diolah atau diproduksi oleh pabrik sampai konsumen menerima produk tersebut dalam kondisi dengan mutu yang baik, sesuai dengan harapan konsumen. Dalam hal ini persyaratan makanan yang masih memiliki mutu yang baik merupakan faktor yang penting. Daya simpan inilah yang nanti menentukan waktu kadaluarsa


(5)

suatu makanan. Oleh karena itu waktu kadaluarsa adalah batas akhir dari suatu daya simpan. Batas kadaluarsa merupakan batas dimana mutu makanan masih baik, lebih dari waktu tersebut makanan akan mengalami tingkat penerunan sedemikan rupa sehingga makanan tersebut dipandang tidak lagi pantas dikonsumsi oleh masyarakat atau konsumen.

Tanggal kadaluarsa merupakan batas jaminan produsen ataupun pelaku usaha terhadap keamanan produk yang diproduksinya. Sebelum mencapai tanggal yang telah ditetapkan tersebut kualitas atas produk tersebut dapat dijamin oleh produsen atau pelaku usaha sepanjang kemasannya belum terbuka ataupun penyimpanannya sesuai dengan seharusnya.

Apabila makanan telah memasuki batas tanggal penggunaannya maka makanan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena didalam makanan tersebut sudah tercemar oleh bakteri maupun kuman sehingga kualitas mutu dari produk tersebut tidak lagi dijamin oleh produsen.

2.4.1 Metode Penentuan Produk Pangan Kadaluarsa

Penentuan batas kadaluarsa dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Penentuan batas kadaluarsa dilakukan untuk menentukan umur simpan (shelf life) produk. Penentuan umur simpan didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan. Faktor-faktor-faktor tersebut misalnya adalah keadaan ilmiah (sifat makanan), mekanisme berlangsungnya perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen), serta terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal), kondisi atmosfer (terutama suhu dan


(6)

kelembaban), serta daya tahan kemasan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau.34

Umumnya produsen akan mencantumkan batas kadaluarsa sekitar dua hingga tiga bulan lebih cepat dari umur simpan produk yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan:35

1. Menghindarkan dampak-dampak yang merugikan konsumen, apabila batas kadaluarsa itu benar-benar terlampaui;

2. Memberi tenggang waktu kepada produsen untuk menarik produk-produknya yang telah melampaui batas kadaluarsa dari para pengecer atau tempat penjualan, agar konsumen tidak lagi membeli produk tersebut. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada konsumen, seperti keracunan makanan.

34

John Pieris Dan Wiwik Sriwidiarty, 2007, Negara Hukum Dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 129.

35


Dokumen yang terkait

Sikap Ibu Rumah Tangga Di Daerah Perkotaan Dan Perdesaan Terhadap Kenaikan Harga Beras (Kasus: Kelurahan Sudirejo I Kecamatan Medan Kota Kotamadya Medan dan Desa Sidodadi Ramunia Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang)

1 51 108

Tinjauan Terhadap Perjanjian Antara Pelaku Usaha Dengan Konsumen Jasa Layanan Kesehatan Dalam Kaitannya Dengan Hukum Perlindungan Konsumen

0 51 104

Implikasi Kegiatan Usaha Pedagang Wanita dalam Menunjang Konsumsi Rumah Tangga (Studi Kasus : Pasar Tavip di Kotamadya Binjai)

0 17 86

Analisis Perdata Terhadap Tanggungjawab Pelaku Usaha Atas Produk Makanan Berkemasan Plastik Yang Mengandung Cacat Tersembunyi (Studi Di Kota Pematang Siantar)

1 64 153

Upaya Hukum Pemilik Barang Terhadap Pelaku Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut Atas Kerugian Yang Dialami Akibat Tenggelamnya Kapal Pengirim Barang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 45 103

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ANTAR PELAKU USAHA DI BIDANG INDUSTRI MUSIK

0 8 19

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PRODUK PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG TIDAK BERLABEL DI KOTA SEMARANG

1 46 175

TANGGUNGJAWAB HUKUM PELAKU USAHA ROTI TERHADAP KONSUMEN ROTI KEMASAN HASIL INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG TIDAK MENCANTUMKAN TANGGAL KADALUARSA DALAM LABEL (Studi pada UD Serumpun Bambu di Gunung Pangilun, Padang).

0 0 7

KAJIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU INDUSTRI RUMAH TANGGA (HOME INDUSTRY) TERHADAP KONSUMEN DIHUBUNGKAN DENGAN KUALITAS PRODUK PANGAN.

0 0 2

Rumah Tangga Rumah tidak Doa

0 0 4