Keanekaragaman Hayati Hasil 1. Vegetasi di Lokasi Penelitian

salah satu daerah penting bagi burung Important Bird Area di Pulau Sumatera Holmes Rombang 2001. Sebelum adanya penetapan sebagai taman nasional, kawasan ini telah mengalami tekanan berupa perambahan hutan baik dalam bentuk perladangan atau pembalakan liar Gaveaua et al. 2007. Setelah tahun 1982 berangsur-angsur kegiatan perladangan dan perambahan berhasil ditekan dan di beberapa lokasi telah terjadi pemulihan kondisi hutan Gaveaua et al. 2007.

3.3. Keanekaragaman Hayati

Taman Nasional Bukit Barisan memiliki 425 spesies burung Gaveaua et al. 2007. Beberapa hewan mamalia yang terancam punah seperti harimau sumatera Panthera tigris sumatrae , badak sumatera Dicerorhinus sumatrensis, gajah asia Elephas maximus sumatrensis , beruang madu Ursus malayanus dan tapir Tapirus indicus juga masih hidup di lokasi ini OBrien Kinnaird 1996. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan langka seperti raflesia Rafflesia spp. dan bunga bangkai Amorphophallus titanum. Bagian hutan primer di kawasan ini juga didominasi oleh jenis pohon bernilai ekonomi tinggi seperti kruing Dipterocarpus sp. dan meranti Shorea sp. Di bagian tenggara yang merupakan dataran rendah ditumbuhi oleh jenis mangrove misalnya: pidada Sonneratia spp. dan nipah Nypa fruticans.

3.4. Iklim dan Topografi

Kawasan Taman Nasional bukit Barisan Selatan memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu antara 3000-4000 mm per tahun Gaveaua et al. 2007. Musim hujan berlangsung antara November hingga Mei dan musim kemarau antara Juni hingga September. Sebagian besar kawasan Taman Nasional bukit Barisan Selatan merupakan daerah berbukit bukit terutama di bagian utara dengan ketinggian antara 0-1964 mdpl. Pada bagian selatan merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-100 mdpl.

IV. METODE PENELITIAN

4.1.Lokasi dan Waktu Pengumpulan data di lakukan di dua resor kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu Resor Belimbing untuk plot hutan primer dan Resor Tampang untuk plot hutan sekunder Gambar 3. Waktu pengumpulan data antara tanggal 31 Maret – 18 Juni 2009 yang bertepatan dengan akhir musim penghujan tahun 2009. Gambar 3 Lokasi plot-plot pengamatan a,b,c = plot hutan primer; d,e,f = plot hutan sekunder.

4.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah jaring kabut panjang 12m, lebar 2,7m, 4 shelves, ø mesh 30,0mm sebanyak 8 helai, perlengkapan pencincinan tang, timbangan digital, dan kaliper dan cincin bernomor unik yang dikeluarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI. Burung yang tertangkap diidentifikasi menggunakan buku panduan lapang burung-burung di kawasan Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali MacKinnon et al. 1997. Koordinat dan ketinggian setiap plot ditentukan dengan Global Positioning System GPS Oregon 300. Kegiatan penelitian didokumentasikan menggunakan kamera Canon a b c d e f Powershoot A400. Canopy scope digunakan untuk mengukur kepadatan tajuk dan sweep net digunakan untuk mengumpulkan data jumlah serangga. 4.3.Metode Pengumpulan Data 4.3.1.Batasan Penelitian Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai spesies burung di bawah tajuk adalah seluruh burung yang beraktivitas pada ketinggian antara 0-300cm dari permukaan tanah. Beberapa kelompok burung tidak dimasukkan ke dalam analisis, yaitu kelompok burung nokturnal misal: burung hantu, cabak dan paruh kodok, burung pemangsa misal: elang dan alap-alap, burung yang tidak menghuni tajuk bawah misal: walet dan layang-layang. Burung-burung yang tertangkap dimasukkan ke dalam guild merujuk pada Novarino et al. 2006, Lambert Collar 2002, MacKinnon et al. 1997 dan Wong 1986 yang terdiri dari TFGI Tree Foliage Gleaning Insectivore: pemakan serangga di bagian tajuk, BGI Bark Gleaning Insectivore: pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon, FCI Fly-catching Insectivore: pemakan serangga sambil melayang, LGI Litter Gleaning Insectivore: pemakan serangga di serasah atau lantai hutan, SFGI Shrub Foliage Gleaning Insectivore: pemakan serangga di daerah semak, CI Carnivore Insectivore: pemakan vertebrata lain dan serangga, IF Insectivore Frugivore: pemakan serangga dan buah-buahan, IN Insectivore Nectarivore: pemakan serangga dan nektar, TF Terestrial Frugivore: pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan, AF Arboreal Frugivore: pemakan buah di bagian tajuk. Pengelompokan spesies ke dalam kategori guild dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara spesies dan sumberdaya pakan yang mendukungnya. 4.3.2.Peletakan Plot Plot pengamatan diletakkan pada tipe hutan primer dan sekunder yang berbatasan dengan habitat non hutan yaitu: hutan dan jalan. Pada setiap tipe hutan diletakkan sebanyak 3 plot yang berfungsi sebagai ulangan. Di dalam satu plot terdapat 3 anak plot yang masing-masing diletakkan berjarak 0m, 200m dan400 m dari daerah tepi Gambar 4. Plot hutan sekunder dengan hutan primer terpisah kurang lebih 6km. Pemilihan lokasi plot dilakukan secara purposif dengan pertimbangan struktur hutan, aksesibilitas, keamanan dan kemudahan pengaturan logistik. a b Gambar 4 Peletakan plot pada bagian a hutan primer dan b hutan sekunder. Keterangan: = plot = anak plotjalur jaring kabut = jalan tanah = batas kebun dan hutan Pada hutan primer plot dipilih pada lokasi hutan yang dipisahkan oleh jalan tanah yang memiliki lebar 2-3m. Meskipun terpotong oleh jalan, seluruh tajuk pohon masih terhubung satu sama lain. Jalan tersebut dibuka pada pertengahan tahun 2008 dan tidak pernah digunakan untuk lalu lalang kendaraan bermotor. Kehadiran jalan mengakibatkan terbentuknya daerah tepi yang bertipe drastis abrupt. Plot hutan primer terletak kurang lebih 12km dari permukiman dan perkebunan penduduk. Plot di hutan sekunder diletakkan pada hutan yang berbatasan langsung dengan kebun campuran yaitu kebun kopi, lada dan coklat yang membentuk daerah tepi dengan tipe halus soft. Umur tanaman berkisar antara 5-7 tahun dan dipelihara secara tradisional dengan input pestisida yang minim. Jarak dari permukiman penduduk kurang lebih 2km. Hutan sekunder yang dipilih sebagai lokasi penelitian merupakan hutan bekas perambahan yang dipulihkan kembali sejak tahun 1982 setelah penetapan status taman nasional. 4.3.3.Keanekaragaman Burung Data keanekaragaman burung dikumpulkan menggunakan jaring kabut Bibby et al. 1998 dengan metode catch per unit effort Gibbons Gregory 2006; Gregory et al. 2004. Pemasangan jaring kabut dilakukan pada setiap anak kebun hutan hutan hutan plot pengamatan yang telah ditentukan. Panjang setiap jalur jaring kabut ialah 96m yang terdiri dari 8 jaring kabut dengan panjang 12m yang dipasang bersambungan. Setiap jalur jaring kabut dioperasikan selama 2-3 hari pada setiap anak plot untuk memperoleh total waktu pengoperasian sebanyak 24 jam. Pengoperasian jaring kabut dilakukan antara pukul 06.00-18.00 WIB, sehingga total pengamatan per jalur adalah 24 jam x 96m = 2304 meter jam jaring kabut. Setelah pukul 18.00 WIB jaring kabut digulung dan dibuka kembali pada pukul 06.00 WIB untuk mencegah tertangkapnya kelelawar yang dapat merusak jaring. Apabila pada saat pengoperasian jaring kabut, terjadi cuaca buruk hujan maka jaring ditutup dan dioperasikan lagi setelah cuaca normal hingga mencapai waktu pengoperasian 24 jam untuk setiap anak plot. Waktu awal pengoperasian jaring kabut berbeda-beda antara satu titik dengan titik yang lain tergantung dengan kondisi cuaca. Setelah dioperasikan selama 24 jam pada satu anak plot, maka jaring kabut dipindahkan ke anak plot lainnya. Jaring kabut diperiksa setiap 2 jam pada daerah dengan vegetasi rapat dan setiap 1 jam pada dengan vegetasi jarang untuk mengurangi resiko terjadinya kematian pada burung yang tertangkap. Setiap individu yang tertangkap, dilepas dari jaring dan dimasukkan ke dalam kantung kain untuk diidentifikasi spesies, jenis kelamin, kondisi perkembangbiakan, dan kondisi bulu di stasiun pencincinan. Burung diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan lapang burung- burung di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali MacKinnon et al. 1997, sedangkan tata nama famili dan spesies serta nomor urut burung merujuk pada Sukmantoro et al. 2007. Burung yang teridentifikasi dipasangi cincin dari alumunium alloy bernomor unik pada bagian tarsus. Pemasangan cincin bertujuan untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda terhadap burung-burung yang tertangkap. Burung yang tertangkap segera dilepaskan setelah proses identifikasi, dan pencincinan selesai, kecuali burung yang tertangkap menjelang malam hari. Burung tersebut diinapkan di dalam kantung kain di stasiun pencincinan dan dilepaskan keesokan hari di sekitar lokasi tertangkap. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekacauan orientasi apabila burung dilepaskan ketika malam hari. 4.3.4.Komponen Habitat 4.3.4.1.Komposisi Vegetasi Data vegetasi dikumpulkan dengan menggunakan metode point-quarter Krebs 1999. Panjang transek pengamatan vegetasi adalah 100m yang disesuaikan dengan panjang jaring kabut. Rumus yang digunakan untuk mengukur kepadatan pohon ialah: N = ∑ Keterangan: N = nilai dugaan kepadatan pohon n = jumlah plot contoh x i = jarak terdekat pohon dari titik pusat plot π = 3,14159 Tingkat pertumbuhan vegetasi di kelompokkan menjadi 4 yaitu : 1. Tumbuhan tingkat semai seedling dan tumbuhan bawah, yaitu tumbuhan mulai berkecambah hingga tinggi 1,5m. 2. Tumbuhan tingkat pancang sapling, yaitu tumbuhan dengan tinggi melebihi 1,5 m atau memiliki diameter kurang dari 10cm. 3. Tumbuhan tingkat tiang pole, yaitu tumbuhan yang memiliki diameter 10- 20cm. 4. Tumbuhan tingkat pohon yaitu tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih besar dari 20cm. Data vegetasi yang dikumpulkan meliputi jumlah individu vegetasi pada setiap fase pertumbuhan, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total. 4.3.4.2.Bukaan Tajuk Bukaan tajuk canopy openness merupakan proporsi kubah langit yang tertutup atau terhalangi oleh vegetasi ketika dilihat dari sebuah titik Jennings et al. 1999. Data bukaan tajuk dikumpulkan menggunakan canopy scope Brown et al . 2000. Menurut Newton 2007 canopy scope merupakan alat yang cukup baik dalam mengukur bukaan tajuk pada hutan dengan vegetasi yang rapat, selain itu canopy scope juga mudah dan murah dalam pengoperasiannya. Jumlah titik pengamatan bukaan tajuk di setiap jalur jaring kabut adalah 8 untuk setiap luas area 0,25 ha Brown et al. 2000. Selanjutnya nilai yang diperoleh dari pengamatan titik tersebut dirata-rata untuk memperoleh persentase bukaan tajuk di setiap jalur. 4.3.4.3.Tutupan Tajuk Tutupan tajuk canopy cover merupakan proporsi lantai hutan yang tertutup oleh proyeksi tegak lurus tajuk pohon Jennings et al. 1999. Tutupan tajuk dihitung dengan metode line intercept Newton 2007; Jennings et al. 1999. Nilai tutupan tajuk adalah persentase panjang tajuk yang menyentuh garis transek terhadap panjang transek. Pengukuran tutupan tajuk dilakukan terhadap vegetasi dari setiap fase pertumbuhan kecuali tingkat semai di setiap jalur jaring kabut, sehingga nilai penutupan tajuk pada sebuah jalur jaring kabut akan bernilai lebih dari 100. 4.3.5.Jumlah Individu Artropoda Data individu artropoda dikumpulkan dengan sweep net menggunakan metode catch per unit effort. Agar memudahkan standardisasi perhitungan maka pengambilan data serangga dilakukan sebanyak 2 kali ayunan setiap 1 meter dengan panjang transek 100m Ozanne 2005 sepanjang jalur jaring kabut. Pengambilan contoh dilakukan setelah embun hilang dari permukaan daun pada pukul 08.00-10.00 WIB. Selanjutnya seluruh individu serangga yang tertangkap dihitung jumlahnya dan diidentifikasi secara sekilas hingga tingkat ordo. 4.4.Analisis Data 4.4.1.Keanekaragaman dan Kekayaan Spesies Data keanekaragaman dan kemerataan spesies burung dihitung menggunakan indeks Shannon, kekayaan spesies dihitung dengan indeks Menhinick Krebs 1999 yang rumusnya adalah sebagai berikut: Indeks Shannon H ’ = – pi pi ln . ∑ = – ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ∑ N n N n i i ln . Kemerataan J = max H H = ln S H = ln ln 1 N N Indeks Menhinick D Mn = S √ N Keterangan: H ’ = indeks Shannon Pi = proporsi individu suatu spesies terhadap keseluruhan individu yang dijumpai N = jumlah individu total J = Kemerataan S = jumlah seluruh jenis. 4.4.2.Kelimpahan Berdasarkan jumlah individu, spesies burung yang tertangkap dikelompokkan ke dalam empat kelas kelimpahan Fowler Cohen 1986 yaitu: Sering tertangkap : lebih dari 100 individu Umum : 21-99 individu Tidak umum : 5-20 individu Jarang : 1-4 individu 4.4.3.Kesamaan Komunitas Burung Indeks kesamaan spesies dihitung dengan menggunakan indeks Jaccard Krebs 1999. Hal ini untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan komposisi spesies burung berdasarkan tipe hutan. Analisis juga dilakukan berdasarkan guild makanan. IS J = Keterangan: a : jumlah spesies yang dijumpai pada kedua lokasi b : jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 1 c : jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 2 4.4.4.Lebar Relung Analisis lebar relung dilakukan untuk mengelompokkan anggota komunitas burung ke dalam kategori generalis dan spesialis berdasarkan habitat. Rumus yang digunakan adalah indeks Levin Krebs 1978. Indeks Levin Keterangan: B : Indeks lebar relung Levin P i : Proporsi individu yang memanfaatkan suatu sumberdaya n : Jumlah sumberdaya yang mungkin tersedia 4.4.5.Keanekaragaman Spesies dan Jarak dari Tepi Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara keanekaragaman spesies dan jumlah individu yang tertangkap di setiap jalur jaring kabut terhadap jarak dari daerah tepi. Uji Khi kuadrat dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan antara jumlah individu burung yang tertangkap berdasarkan guild dan spesies di setiap jalur jaring kabut terhadap jarak dari daerah tepi. 4.4.6.Keanekaragaman Spesies dan Vegetasi Uji korelasi Pearson Fowler Cohen 1986 dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara persentase bukaan tajuk, tutupan tajuk dan kepadatan vegetasi terhadap keanekaragaman spesies dan tingkat tangkapan. 4.4.7.Keanekaragaman Spesies dan Jumlah Artropoda Uji korelasi Pearson Fowler Cohen 1986 dilakukan untuk mengetahui tingkat keterkaitan jumlah artropoda terhadap keanekaragaman spesies dan guild. 2 1 j B p = ∑

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil 5.1.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian Komposisi vegetasi pada hutan primer di dominasi oleh jenis meranti Shorea spp. dan kruing Dipterocarpus spp. yang seringkali menjadi pohon emergent dengan tinggi mencapai 35m. Pohon-pohon di hutan primer umumnya memiliki ketinggian antara 20-25m. Secara umum kondisi tajuk di hutan primer memiliki penutupan yang tinggi Tabel 1. Hal ini terjadi karena vegetasi yang tumbuh membentuk strata tajuk yang lengkap. Padatnya penutupan tajuk dan rendahnya intensitas cahaya yang mampu menembus hingga lantai hutan, mengakibatkan sedikitnya jumlah tumbuhan bawah. Rendahnya intensitas cahaya matahari juga mengakibatkan proses dekomposisi serasah menjadi lamban, sehingga lantai hutan tertutupi oleh serasah yang tebal. Jenis jahe hutan Zingiber spp. seringkali tumbuh pada daerah-daerah yang sedikit terbuka dan terkena sinar matahari. Pembukaan jalan setapak mengakibatkan terbentuknya daerah tepi dengan tipe yang tajam abrupt. Pada bagian tepi ini biasanya ditumbuhi oleh pisang hutan Musa spp. dan jahe hutan Zingiber spp. Vegetasi pada hutan sekunder didominasi oleh spesies yang berasal dari famili Euphorbiaceae Macaranga spp. dan Mallotus spp. dan famili Myrtaceae Eugenia spp. dan Syzigium spp.. Berbeda dengan hutan primer, di hutan sekunder tidak memiliki pohon emergent. Ketinggian pohon umumnya antara 10- 20m. Di beberapa bagian terdapat banyak pohon tumbang atau tertutupi tumbuhan merambat. Hutan sekunder juga memiliki penutupan tajuk yang rendah. Rendahnya penutupan tajuk mengakibatkan cahaya matahari mampu menembus lantai hutan yang memungkinkan pertumbuhan yang pesat dari tumbuhan bawah dan semak belukar. Pada bagian lantai hutan juga masih banyak dijumpai sisa batang-batang pohon bekas perambahan yang melapuk. Kehadiran daerah perkebunan di sekitar hutan sekunder mengakibatkan terbentuknya daerah tepi dengan tipe halus soft. Nilai rata-rata kepadatan vegetasi tingkat pohon di hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata χ 2 =0,29; df=1; P=0,58. Kepadatan vegetasi tingkat tiang di hutan primer lebih tinggi daripada hutan sekunder namun tidak berbeda nyata χ 2 =1,65; df=1; P=0,19, sedangkan kepadatan vegetasi tingkat pancang berbeda nyata χ 2 =6,91; df=1; P=0,00. Tabel 1 Parameter kondisi vegetasi di hutan sekunder dan primer Hutan primer memiliki strata tajuk yang lebih lengkap dan ditumbuhi oleh pepohonan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Oleh karena itu hutan primer memiliki nilai bukaan tajuk canopy openness yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan sekunder dan berbeda secara nyata χ 2 =9,52; df=1; P=0,00 Tabel 1. Nilai tutupan tajuk canopy cover di hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata χ 2 = 0,69; df=1; P=0,41. Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder menurun pada jarak 200m dan kembali naik pada jarak 400m Gambar 5. Namun, kondisi berbeda terjadi pada nilai tutupan tajuk canopy cover di hutan sekunder yang meningkat pada jarak 200m dan menurun kembali pada titik 400m Gambar 6, sedangkan nilai bukaan tajuk di hutan sekunder memiliki pola yang sama dengan hutan primer. Gambar 5 Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan pengukuran dengan menggunakan canopy scope. No Parameter Tipe hutan Primer Sekunder 1 Kepadatan pohon batangha 213,9 179,6 2 Kepadatan tiang batangha 358,8 257,8 3 Kepadatan pancang batangha 930,2 604,5 5 Bukaan tajuk 6,2 13,2 4 Tutupan tajuk 145,0 97,0 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 0 m 200 m 400 m Pe rse n ta se Jarak tepi Hutan Primer Hutan Sekunder Gambar 6 Nilai tutupan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan jarak dari tepi.

5.1.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian

Selama 2304 meter jam jaring kabut, ditangkap sebanyak 324 individu burung yang berasal dari 51 spesies dan 18 famili Lampiran 1. Seluruh burung yang tertangkap adalah burung penetap yang 13 spesies di antaranya merupakan burung yang mendekati terancam punah BirdLife-International 2009. Sembilan spesies burung yang tertangkap merupakan spesies yang dilindungi oleh peraturan dan perundangan Republik Indonesia. Selain itu terdapat satu spesies yang telah terdaftar pada Appendiks II CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora yaitu paok pancawarna Pitta guajana . Terdapat pula satu spesies nokturnal yaitu paruhkodok bintang Batrachostomus stellatus Famili Podargidae yang berstatus mendekati terancam punah. Spesies tersebut tidak dimasukkan ke dalam analisis karena penelitian ini hanya membahas burung diurnal. Terdapat pula 43 spesies burung dari 24 famili yang tidak berhasil ditangkap namun teridentifikasi melalui visual dan suara Lampiran 2. Spesies-spesies tersebut sebagian besar tidak tertangkap karena memiliki bobot dan ukuran yang besar, beraktivitas pada bagian atas tajuk hutan dan secara alami memiliki kelimpahan yang rendah. Seluruh burung yang tidak tertangkap menggunakan jaring kabut tidak dimasukkan ke dalam analisis. Berdasarkan kategori kelimpahan, sebanyak 62 spesies yang tertangkap termasuk ke dalam kategori jarang, 32 dengan kategori tidak umum dan 6 termasuk ke dalam kategori umum χ 2 =23,56, df=2, P=0,00. Sebanyak 8 spesies dengan kelimpahan jarang termasuk dalam kategori mendekati terancam punah. Di dalam kelas kelimpahan tidak umum sebanyak 4 spesies termasuk kategori mendekati terancam punah dan satu spesies telah terdaftar di dalam Appendik II CITES. Spesies dengan kategori umum terdiri dari pijantung kecil Arachnothera longirostra 78 individu, burung udang punggung merah Ceyx rufidorsa 26 individu dan cinenen merah Orthotomus sericeus 22 individu. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman spesies H’, dapat disimpulkan bahwa lokasi penelitian memiliki nilai keanekaragaman spesies yang sedang Tabel 2. Selain itu lokasi penelitian juga memiliki komposisi spesies burung yang cukup merata. Tabel 2 Nilai indeks kekayaan Mn, keanekaragaman H’ dan kemerataan J’ spesies burung di bawah tajuk di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Indeks Nilai Menhinick Mn 2,78 Shannon H 3,18 Evennes J’ 0,81 Komunitas burung di lokasi penelitian didominasi oleh famili Nectariniidae χ 2 =648,11; df=16; P=0 dengan jumlah individu sebanyak 95 individu Gambar 7. Famili ini hanya tersusun dari 3 spesies yaitu pijantung kecil Arachnothera longirostra , burung madu rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu sepahraja Aetophyga siparaja Lampiran 3. Ketiga spesies ini umumnya beraktivitas pada strata tajuk tengah dan bawah. Berdasarkan jumlah spesies, Timaliidae merupakan famili dengan jumlah spesies yang paling sering tertangkap χ 2 =54,72; df=16; P=0,00 yaitu sebanyak 13 spesies dengan jumlah total 80 individu. Berdasarkan spesies, pijantung kecil Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap χ 2 = 1022,05; df=49; P=0 yaitu sebanyak 78 individu. Gambar 7 Famili burung di lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu dan spesies.

5.1.3. Jumlah Individu Burung dan Struktur Vegetasi

Jumlah individu burung yang tertangkap semakin menurun dengan meningkatnya nilai kepadatan vegetasi pada tingkat pohon korelasi Pearson, r=0,36, begitu pula halnya dengan kepadatan vegetasi pada tingkat tiang r=0,71, tingkat pancang r=0,25 dan tutupan tajuk r=0,18. Pada sisi lain jumlah individu burung yang tertangkap semakin meningkat dengan bertambahnya nilai bukaan tajuk r=0,63.

5.1.4. Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian

Secara garis besar, komunitas burung di lokasi penelitian terbagi ke dalam 3 kategori guild yaitu terdiri dari dua guild murni dan satu guild campuran Gambar 8. Guild murni terdiri dari burung-burung pemakan seranggga dan burung-burung pemakan buah. Kategori guild terbanyak adalah pemakan serangga, yaitu sebanyak 5 sub kategori. Kategori guild dengan jumlah paling sedikit ialah pemakan buah murni, yang terdiri dari dua sub kategori Lampiran 4. 20 40 60 80 100 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinididae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah F amili Spesies Individu Gambar 8 Hirarki kategori guild komunitas burung di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Keterangan: TFGI: pemakan serangga di bagian tajuk, BGI: pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon, SFGI: pemakan serangga di daerah semak, LGI: pemakan serangga di serasah atau lantai hutan, FCI: pemakan serangga sambil melayang, IN: pemakan serangga dan nektar, CI: pemakan vertebrata lain dan serangga, IF: pemakan serangga dan buah-buahan, AF: pemakan buah di bagian tajuk, TF: pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan. Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar IN merupakan kelompok yang paling banyak tertangkap χ 2 =225,56; df=9; P=0,00 dengan jumlah total 95 individu Tabel 3. Meskipun demikian kelompok ini hanya terdiri dari 3 spesies saja yaitu pijantung kecil Arachnothera longirostra, burung madu rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu sepahraja Aetophyga siparaja Lampiran 4. Berdasarkan jumlah spesies, kelompok pemakan serangga di bagian tajuk TFGI merupakan guild yang paling dominan χ 2 =21,2; df=9; P=0,01. Tabel 3 Jumlah individu dan spesies pada setiap guild No Guild Kode guild Jumlah individu Jumlah spesies A Pemakan Serangga 1 Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 62 11 2 Pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon BGI 10 3 3 Pemakan serangga di daerah semak SFGI 35 7 4 Pemakan serangga di serasah atau lantai hutan LGI 26 4 5 Pemakan serangga sambil melayang FCI 18 5 B Pemakan buah 1 Pemakan buah di tajuk AF 4 1 2 Pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan TF 4 1 C Campuran 1 Pemakan serangga dan nektar IN 95 3 2 Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 42 5 3 Pemakan serangga dan buah-buahan IF 27 10

5.1.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda

Jumlah rata-rata artropoda yang tertangkap pada lokasi penelitian adalah 266 individu100 ayunan. Sebagian besar artropoda yang tertangkap adalah ordo Diptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hymenoptera Formicidae dan Arachnidae. Jumlah individu artropoda yang tertangkap di hutan sekunder secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer χ 2 =5,76; df=1; P=0,01 Gambar 9. Jumlah artropoda yang tertangkap pada setiap jarak tepi tidak berbeda nyata baik di hutan primer uji H=0,36; df=2; P=0,84 maupun hutan sekunder uji H=2,49; df=2; P=0,29. Jumlah individu burung yang tertangkap mengalami peningkatan dengan bertambahnya jumlah artropoda r=0,44. Gambar 9 Jumlah individu artropoda pada setiap jarak dari tepi.

5.1.6. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi

Nilai kekayaan spesies tertinggi terdapat pada jarak 0m dari tepi, dengan jumlah spesies yang tertangkap sebanyak 34 spesies. Jumlah tersebut berkurang menjadi 31 spesies dan kembali naik pada jarak 400m menjadi 34 spesies. Namun demikian nilai keanekaragaman spesies burung menurun seiring bertambahnya jarak dari tepi Gambar 10. Gambar 10 Indeks kekayaan Mn, keanekaragaman H’ dan kemerataan J’ spesies burung berdasarkan jarak dari tepi. Dari 17 famili yang tertangkap, Timaliidae mengalami penurunan jumlah individu seiring bertambahnya jarak dari tepi sedangkan Nectariniidae mengalami peningkatan Gambar 11. Berdasarkan jumlah spesies, meskipun lebih banyak burung yang tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi namun secara statistik 20 40 60 80 100 120 140 0m 200m 400m Ju mlah in d iv id u Jarak tepi Hutan primer Hutan sekunder 3.02 2.94 2.98 2.94 2.92 2.83 0.83 0.85 0.80 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0m 200m 400m Jarak tepi Menhinick Mn Shannon H Kemerataan J tidak berbeda nyata χ 2 =0,32; df=2; P=0,85. Berdasarkan jumlah individu, lebih banyak burung yang tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi meski tidak berbeda nyata χ 2 =1,70; df=2; P=0,43. Gambar 11 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi. Secara umum tidak terdapat penurunan atau peningkatan jumlah individu burung yang tertangkap dengan bertambahnya jarak dari daerah tepi. Meskipun demikian tercatat beberapa spesises mengalami penurunan jumlah yang tidak nyata seiring dengan bertambahnya jarak dari tepi seperti tepus merbah sampah Stachyris erythroptera χ 2 =2,24; df=2; P=0,32 Gambar 12. 20 40 60 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinidae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah F amili 400 m 200 m 0 m Gambar 12 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi. 20 40 60 Rollulus rouloul Chalcophaps indica Cacomantis sonneratii Cacomantis sepulcralis Surniculus lugubris Harpactes diardii Harpactes duvaucelii Alcedo meninting Ceyx rufidorsa Lacedo pulchella Actenoides concretus Sasia abnormis Picus mentalis Picus puniceus Meiglyptes tukki Cymbirhynchus macrorhynchos Pitta guajana Pycnonotus melanicterus Pycnonotus eutilotus Pycnonotus plumosus Pycnonotus simplex Pycnonotus brunneus Pycnonotus erythrophtalmus Criniger phaeocephalus Tricholestes criniger Enicurus leschenaulti Pellorneum capistratum Trichastoma rostratum Trichastoma bicolor Malacocincla malacense Malacopteron affine Malacopteron cinereum Malacopteron magnum Stachyris poliocephala Stachyris maculata Stachyris nigricollis Stachyris erythroptera Macronous gularis Macronous ptilosus Orthotomus atrogularis Orthotomus sericeus Orthotomus ruficeps Philentoma pyrhopterum Hypothymis azurea Dicaeum triginostigma Dicaeum cruentatum Hypogramma hypogrammicum Aethopyga siparaja Arachnothera longirostra Dicrurus paradiseus 400 m 200 m 0 m

5.1.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi

Sebanyak 9 kategori guild tertangkap pada jarak 0m dan 200m, sedangkan pada jarak 400m tertangkap sebanyak 10 kategori guild meskipun secara statistik tidak berbeda nyata χ 2 =0,07; df=2; P=0,96. Nilai keanekaragaman dan kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 200m memiliki dari tepi Gambar 13. Gambar 13 Indeks kekayaan Mn, keanekaragaman H’ dan kemerataan J’ guild pada berbagai jarak dari tepi. Pemakan serangga dan nektar IN dan pemakan buah di atas tajuk TF, mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari daerah tepi Gambar 14. Kondisi sebaliknya terjadi pada kategori BGI dan TFGI yang mengalami penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi, namun secara statistik tidak berbeda nyata Lampiran 5. Dari seluruh kategori guild, pemakan serangga dan nekatar IN lebih menyukai daerah yang jauh dari tepi, sedangkan pemakan serangga sambil melayang FCI lebih sering tertangkap pada daerah pertengahan 200m dari tepi. Sebagian besar guild yang tertangkap tidak memiliki kecenderungan penurunan atau peningkatan jumlah dengan bertambahnya jarak dari tepi. 0.80 0.98 0.98 2.07 2.10 2.09 0.94 0.95 0.91 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 0m 200m 400m Jarak tepi Menhinick Mn Shannon H Kemerataan J Gambar 14 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi.

5.1.8. Lebar Relung

Dari seluruh spesies yang tertangkap hanya terdapat 3 spesies dengan relung yang sangat lebar yaitu burung udang punggung-merah Ceyx rufidorsa, tepus merbah-sampah Stachyris erythroptera dan pijantung kecil Arachnothera longirostra , masing-masing bernilai 0,94; 0,89 dan 0,88 Lampiran 6. Sebanyak 19 spesies merupakan spesies dengan lebar relung yang sempit 0,00. Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan lebar relung yang nyata di antara spesies χ 2 =37,17; df=49; P=0,89. Berdasarkan kategori guild, kelompok pemakan vertebrata lain dan serangga CI merupakan guild dengan relung paling lebar Tabel 4. Kategori guild ini tersusun dari spesies yang berasal dari famili Alcedinidae dan Picidae. Kelompok lain dengan relung yang lebar ialah burung pemakan serangga dan nektar IN dan burung pemakan serangga dan buah-buahan IF. Sedangkan kelompok pemakan buah di bagian tajuk AF merupakan guild dengan relung paling sempit. Kelompok ini hanya terdiri dari satu spesies saja yaitu sempur hujan sungai Cymbirhynchus macrorhynchos. Meskipun demikian tidak terdapat perbedaan lebar relung yang nyata di antara kategori guild χ 2 =1,13; df=9; P=0,99. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF In di v idu Guild 0 m 200 m 400 m Tabel 4 Lebar relung berdasarkan kategori guild No Kategori guild Kode guild Lebar relung B Ba 1. Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 4,83 0,77 2. Pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon BGI 3,90 0,58 3. Pemakan serangga di daerah semak SFGI 4,13 0,63 4. Pemakan serangga di serasah atau lantai hutan LGI 4,95 0,79 5. Pemakan serangga sambil melayang FCI 3,65 0,53 6. Pemakan buah di tajuk AF 1,60 0,12 7. Pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan TF 2,78 0,36 8. Pemakan serangga dan nektar IN 5,31 0,86 9. Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 5,39 0,88 10. Pemakan serangga dan buah-buahan IF 5,24 0,85

5.1.9. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Primer

Secara umum keanekaragaman spesies burung-burung di bawah tajuk di hutan primer tidak terlalu tinggi. Namun dalam hal kemerataan spesies, komunitas burung di hutan primer memiliki kemerataan spesies yang cukup tinggi Tabel 5. Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 32 spesies yang berasal dari 12 Famili dengan jumlah total individu sebanyak 138 individu. Spesies yang paling sering tertangkap adalah pijantung kecil Arachnothera longirostra yaitu sebanyak 30 individu χ 2 =210,29; df=31; P=0,00 dan terdapat 8 spesies yang hanya tertangkap sekali saja Lampiran 3. Tabel 5 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan primer Indeks Nilai Shannon H 3,00 Kemerataan J 0,87 Berdasarkan kategori kelimpahan sebanyak 17 spesies 53,13 termasuk ke dalam kategori jarang, 13 spesies 40,62 ke dalam kategori tidak umum, dan hanya 2 spesies 6,25 yang masuk ke dalam kategori umum χ 2 =11,31; df=2, P=0,00. Jenis yang termasuk ke dalam kategori umum yaitu pijantung kecil Arachnothera longirostra 30 individu dan udang punggung-merah Ceyx rufidorsa 12 individu Lampiran 3. Sebanyak 12 spesies yang tertangkap di hutan primer termasuk ke dalam kriteria spesies yang mendekati terancam punah. Pada kategori famili, Timaliidae merupakan famili yang dominan χ 2 =384,32; df=16; P=0,00. Jumlah anggota famili ini yang tertangkap sebanyak 49 individu yang berasal dari 12 spesies Gambar 15. Di sisi lain terdapat famili dengan jumlah individu paling sedikit yaitu Phasianidae dan Dicruridae dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 individu. Gambar 15 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan famili di hutan primer.

5.1.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer

Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 8 guild yang merupakan pemakan serangga murni maupun campuran. Namun, secara spesifik komunitas burung di hutan primer di dominasi oleh kelompok pemakan serangga di bagian tajuk TFGI Gambar 16 baik dalam jumlah spesies χ 2 =18, df=9, P=0,04 maupun individu χ 2 =122,43; df=9; P=0,00. Dari seluruh kategori guild yang terdapat di lokasi penelitian, sebanyak dua kategori guild tidak berhasil ditangkap di hutan primer yaitu kategori burung pemakan buah di tajuk AF dan pemakan buah yang berserakan di lantai hutan TF. 20 40 60 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinididae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah F amili Individu Spesies Gambar 16 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan primer.

5.1.11. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer

Nilai kekayaan spesies yang tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi, begitu pula halnya dengan tingkat kemerataan spesies Gambar 17. Jumlah spesies yang tertangkap tidak mengalami kecenderungan penurunan jumlah yang nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi χ 2 =0,95; df=2; P=0,62 Gambar 18. Begitu pula halnya dengan jumlah individu yang tertangkap tidak terdapat perbedaan jumlah yang nyata berdasarkan jarak dari tepi χ 2 =1,63; df=2; P=0,44 meskipun terdapat fakta penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak tepi. Gambar 17 Nilai indeks kekayaan Mn, keanekaragaman H’ dan kemerataan J’ spesies burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. 10 20 30 40 50 TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF Ju mlah Guild Individu Spesies 2.89 2.36 2.74 1.86 2.21 1.46 0.60 0.80 0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0m 200m 400m Jarak tepi Menhinick Mn Shannon H Kemerataan J Gambar 18 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. Berdasarkan famili, tidak terdapat kecenderungan peningkatan atau penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak dari tepi Gambar 19. Begitu pula halnya pada spesies, tidak terdapat spesies yang mengalami peningkatan atau penurunan jumlah individu secara linear dengan bertambahnya jarak tepi Gambar 20. Gambar 19 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. 22 15 18 58 46 48 10 20 30 40 50 60 70 80 0 m 200 m 400 m Ju mlah Jarak tepi Spesies Individu 5 10 15 20 25 Phasianidae Cuculidae Trogonidae Alcedinidae Picidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Platysteiridae Nectariniidae Dicruridae Individu 400 m 200 m 0 m Gambar 20 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. 5.1.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer Kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 400m dari tepi dan terendah pada jarak 0m dari tepi Gambar 21. Jumlah guild yang tertangkap pada jarak 0m dan 200m masing-masing 7 guild dan pada jarak 400m sebanyak 8 guild. Kategori guild yang tidak terdapat pada jarak 0m adalah pemakan serangga sambil melayang FCI sedangkan pada jarak 200m adalah pemakan serangga di daerah semak. 5 10 15 20 25 Rollulus rouloul Cacomantis sepulcralis Surniculus lugubris Harpactes duvaucelii Ceyx rufidorsa Actenoides concretus Sasia abnormis Picus mentalis Picus puniceus Meiglyptes tukki Pitta guajana Pycnonotus eutilotus Pycnonotus brunneus Tricholestes criniger Criniger phaeocephalus Enicurus leschenaulti Pellorneum capistratum Trichastoma rostratum Trichastoma bicolor Malacocincla malacense Malacopteron affine Malacopteron cinereum Malacopteron magnum Stachyris poliocephala Stachyris maculata Stachyris nigricollis Stachyris erythroptera Macronous ptilosus Philentoma pyrhopterum Hypogramma hypogrammicum Arachnothera longirostra Dicrurus paradiseus Jumlah Sp esi es 400 m 200 m 0 m Gambar 21 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. Berdasarkan jumlah individu, kategori guild yang paling sering tertangkap pada jarak 0m adalah pemakan serangga di bagian tajuk TFGI yaitu sebanyak 18 individu, sedangkan pada jarak 200m didominasi oleh pemakan serangga dan nektar 19 individu, pada jarak 400m didominasi oleh IN dan TFGI masing- masing 13 individu Gambar 22. Dari 8 kategori guild yang tertangkap hanya pemakan serangga di semak SFGI yang mengalami penurunan jumlah secara nyata seiring bertambahnya jarak dari tepi Lampiran 7. Gambar 22 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer. Berdasarkan kategori guild, terdapat asosiasi antara guild dengan jarak dari tepi χ 2 =24,71; df=14; P=0,03. Pemakan serangga di serasah dan lantai hutan 0.92 1.07 1.15 1.75 1.58 1.81 0.90 0.81 0.93 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 0m 200m 400m Jarak tepi Menhinick Mn Shannon H Kemerataan J 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF in di v idu Guild 0 m 200 m 400 m LGI lebih sering tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi Gambar 23. Kondisi sebaliknya terjadi pada pemakan serangga di bagian semak SFGI dan pemakan serangga di bagian ranting dan dahan BGI yang lebih sering menggunakan daerah pada jarak 0m sebagai tempat beraktivitas. Gambar 23 Proporsi guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

5.1.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder

Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 185 individu burung yang berasal dari 31 spesies dan 15 famili. Berbeda dengan hutan primer keanekaragaman spesies burung di hutan sekunder termasuk rendah, namun memiliki kemerataan yang tinggi Tabel 6. Pada tipe hutan ini pijantung kecil Arachnothera longirostra mendominasi dengan jumlah individu sebanyak 78 individu χ 2 =412,04; df=30; P=0,00. Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan sekunder Indeks Nilai Shannon H 2,79 Kemerataan J 0,81 Berdasarkan kriteria kelimpahan, sebanyak 18 spesies 58,06 masuk ke dalam kategori jarang, 10 spesies 32,26 tidak umum dan 3 spesies 9,68 dengan kategori umum. Sebanyak tiga spesies yang tertangkap di hutan sekunder termasuk ke dalam kategori mendekati terancam punah yaitu Actenoides concretus , Trichastoma rostratum dan Harpactes diardii. 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF Pe rse n ta se Guild 400m 200m 0m Nectariniidae merupakan famili dengan jumlah individu yang paling melimpah di hutan sekunder 58 individu, Gambar 24. Berdasarkan jumlah spesies, famili Pycnonotidae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak 5 spesies. Famili lain yang memiliki jumlah individu dan spesies cukup banyak adalah Timaliidae yang terdiri dari 4 spesies dan 31 individu. Keempat anggota famili Timaliidae yang tertangkap di hutan sekunder Stachyris erythroptera, Macronous gularis, Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum merupakan spesies-spesies yang mampu beradaptasi terhadap pembukaan hutan. Terdapat pula 3 famili yang hanya tertangkap dengan jumlah satu individu yaitu Cuculidae, Platysteiridae dan Monarchidae Lampiran 3. Gambar 24 Jumlah spesies dan individu berdasarkan famili di hutan sekunder.

5.1.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder

Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 10 kategori guild Gambar 25. Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar IN merupakan kategori guild yang paling sering tertangkap 58 individu; 31,35 χ 2 =31,05; df=9; P=0,00. Namun berdasarkan jumlah spesies maka kategori pemakan serangga dan buah IF merupakan jumlah tertinggi 8 spesies; 22,58 namun tidak berbeda nyata χ 2 =11,26; df=9; P=0,26. 10 20 30 40 50 60 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinididae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah individu Jumlah spesies Gambar 25 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan sekunder.

5.1.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

Jumlah individu tidak mengalami peningkatan yang nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi χ 2 =2,19; df=2; P=0,33 Gambar 26. Begitu pula halnya pada jumlah spesies yang tertangkap, tidak mengalami peningkatan yang nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi. Nilai keanekaragaman spesies tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi Gambar 27. Gambar 26 Jumlah individu dan spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. 10 20 30 40 50 60 70 TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF Ju mlah Guild Individu Spesies 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0m 200m 400m Ju m lah Jarak tepi Individu Spesies Gambar 27 Nilai indeks kekayaan Mn, keanekaragaman H’ dan kemerataan J’ spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. Sebagian besar spesies yang tertangkap tidak mengalami peningkatan atau penurunan jumlah individu yang linear dengan bertambahnya jarak dari tepi. Pijantung kecil Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap di seluruh jarak dari tepi. Selain itu terdapat pula spesies yang mengalami peningkatan secara tidak nyata jumlah individu seiring bertambahnya jarak dari tepi misal: Lacedo pulchella, Hypogramma hypogrammicum. Kondisi sebaliknya terjadi pada Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum yang mengalami penurunan jumlah yang tidak nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi Gambar 28. 2.41 2.60 2.32 2.56 2.73 2.43 0.85 0.90 0.80 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0 m 200 m 400 m Jarak tepi Menhinick Mn Shannon H Kemerataan J Gambar 28 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. Berdasarkan kategori famili, Nectariniidae merupakan famili yang paling sering tertangkap pada seluruh jarak dari tepi Gambar 29. Dari seluruh famili yang tertangkap hanya Timaliidae yang mengalami penurunan jumlah individu yang nyata dengan bertambahnya jarak tepi χ 2 =6,41; df=2; P=0,04. 5 10 15 20 25 30 Chalcophaps indica Cacomantis sonneratii Harpactes diardii Alcedo meninting Ceyx rufidorsa Lacedo pulchella Actenoides concretus Sasia abnormis Picus mentalis Cymbirhynchus macrorhynchos Pitta guajana Pycnonotus melanicterus Pycnonotus plumosus Pycnonotus simplex Pycnonotus erythrophtalmus Criniger phaeocephalus Enicurus leschenaulti Pellorneum capistratum Trichastoma rostratum Stachyris erythroptera Macronous gularis Orthotomus atrogularis Orthotomus sericeus Orthotomus ruficeps Hypothymis azurea Dicaeum triginostigma Dicaeum cruentatum Hypogramma hypogrammicum Aethopyga siparaja Arachnothera longirostra Dicrurus paradiseus 400 m 200 m 0 m Gambar 29 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

5.1.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

Nilai kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 200m dari daerah tepi Gambar 30. Meskipun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jumlah guild yang tertangkap pada seluruh jarak dari tepi yaitu masing-masing 9 guild. Gambar 30 Nilai indeks kekayaan Mn, keanekaragaman H’ dan kemerataan J’ guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. 1.08 1.12 0.99 1.52 1.56 1.56 0.69 0.71 0.71 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 0 m 200 m 400 m Jarak tepi Menhinick Mn Shannon H Kemerataan J 10 20 30 40 Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinidae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliide Sylviidae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Individu F amili 400 m 200 m 0 m Kategori guild pemakan serangga di bagian tajuk TFGI mengalami penurunan seiring bertambahnya jarak dari tepi dan secara statistik berbeda nyata Gambar 31, Lampiran 8. Namun kondisi sebaliknya terjadi pada kategori pemakan serangga dan vertebrata CI yang mengalami peningkatan dengan bertambahnya jarak dari tepi. Gambar 31 Kelimpahan individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. Terdapat asosiasi antara kategori guild dengan jarak dari tepi di hutan sekunder χ 2 =53,00; df=18; P=0,00. Kategori pemakan serangga di batang dan dahan BGI lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi. Sedangkan kategori pemakan serangga di serasah dan lantai hutan LGI dan pemakan serangga di bagian tajuk lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi Gambar 32. Gambar 32 Proporsi kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. 5 10 15 20 25 30 35 40 TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF In di v idu Guild 0 m 200 m 400 m 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF Pe rse n ta se Guild 400m 200m 0m 5.2. Pembahasan 5.2.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian