mikro dibandingkan dengan habitat yang lebih sederhana. Kondisi ini akan mampu menyediakan relung kehidupan bagi banyak spesies Pianka 1983.
Faktor Temporal
Keanekaragaman spesies ditentukan oleh kestabilan iklim Pianka 1983. Iklim yang stabil mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi tidak cepat berubah
secara drastis. Menurut Begon et al. 2006 kestabilan iklim akan memberikan kesempatan bagi spesies yang spesialis dalam memanfaatkan sumberdaya yang
ada secara optimal, selain itu iklim yang stabil memungkinkan spesies-spesies yang hidup di suatu habitat dalam titik jenuh. Kondisi iklim yang stabil juga
memungkinkan terjadinya overlap relung ekologi yang lebih banyak.
2.4. Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies
Kompleksitas vegetasi merupakan salah satu faktor penentu keanekaragaman spesies burung di suatu lokasi. Pada penelitiannya di hutan
Amazon, Barlow et al. 2007 menemukan fakta bahwa keanekaragaman spesies burung sangat berkorelasi dengan luas bidang dasar hutan dan tingkat pembukaan
kanopi. Pada daerah dengan luas bidang dasar yang besar dan kanopi yang rapat memiliki tingkat keanekaragaman spesies burung yang lebih tinggi. Fakta yang
sama juga diperoleh oleh Raman 2006 pada penelitiannya terhadap komunitas burung di India.
Keanekaragaman spesies tumbuhan juga merupakan faktor penting penentu keanekaragaman spesies burung Wong 1986, Anderson et al. 1983. Kondisi
habitat dengan tumbuhan yang beragam akan menyediakan sumberdaya berupa tempat pakan yang berlimpah terutama bagi jenis burung pemakan buah, biji dan
bunga Wong 1986. Kelimpahan sumberdaya pakan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi waktu berbiak burung di alam Sodhi 2002.
2.5. Fragmentasi dan Efek Tepi
Fragmentasi habitat yang disebabkan oleh aktivitas manusia diyakini merupakan ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di muka bumi Primack
et al. 1998; Meffe Carrol 1994. Proses fragmentasi hutan memiliki kemiripan
dengan pembentukan sebuah pulau, namun sebagian besar fragmentasi lebih disebabkan oleh perbuatan manusia Opdam Wiens 2002. Fragmentasi
memberi efek negatif bagi keanekaragaman hayati dalam bentuk pembentukan pulau-pulau ekologi yang terpisah satu sama lain dengan luas yang semakin kecil
dari kondisi semula. Kondisi ini selanjutnya akan menimbulkan dampak berupa hadirnya efek tepi Primack et al. 1998, Watson et al. 2004.
Kehadiran efek tepi di dalam sebuah eksosistem hutan biasanya terjadi dalam bentuk perubahan kondisi iklim mikro dan perubahan komposisi spesies
Meffe Carrol 1994, penurunan keanekaragaman tumbuhan, kelimpahan spesies Robinson 2001 dan kepadatan spesies Sitompul et al. 2004,
meningkatnya pembukan habitat yang disukai oleh spesies dari luar hutan Thiollay 1999, meningkatnya predasi Pangau-Adam et al. 2006, dan
menurunnya daya survival Winter et al. 2000. Pada akhirnya fragmentasi akan menyebabkan kepunahan lokal bagi spesies spesialis yang tidak adaptif terhadap
kondisi habitat yang baru Meffe Carrol 1994. Namun demikian akibat kehadiran efek tepi tidak sepenuhnya merugikan,
kehadiran habitat tepi seringkali menciptakan habitat bagi spesies yang toleran terhadap daerah terbuka Lidicker-Jr Koenig 1996. Oleh karena itu beberapa
ahli menyimpulkan bahwa efek tepi seringkali memberi dampak positif berupa peningkatan jumlah spesies Lidicker-Jr Koenig 1996 Gambar 1.
Gambar 1 Respons organisme terhadap efek tepi Ries et al. 2004. Lebar daerah tepi bersifat lokal dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi
lainnya Watson et al. 2004; Canaday 1997 tergantung oleh tipe habitat yang berdekatan dengan hutan Goosem 2007; Keyser 2002 dan taksa Sobrinho
Schoereder 2007; Schlaepfer Gavin 2001. Pada penelitiannya di hutan tropis Amazon, Canaday 1997 melaporkan bahwa lebar daerah tepi berkisar antara
200m hingga 2km tergantung tipe habitat yang berada di sekitar hutan, sementara
Watson et al. 2004 memperkirakan hanya 300m. Pada penelitian yang lain Keyser 2002 melaporkan bahwa efek tepi dapat dirasakan pada jarak 1m hingga
45 m ke bagian dalam hutan. Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh Dale et al. 2000 terhadap komunitas burung di Uganda menunjukkan bahwa
tidak terdapat perubahan komposisi burung pada berbagai jarak dari daerah tepi. Fragmentasi memberi dampak negatif pada proses penyerbukan tumbuhan
hutan. Kehadiran spesies pemangsa atau spesies invasif dan perubahan suhu mikro dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kelimpahan satwa penyerbuk
Murcia 1996. Selanjutnya, menurunnya jumlah satwa penyerbuk akan menurunkan jumlah polen yang dikirimkan ke kepala putik.
Menurut Murcia 1996 fragmentasi juga akan mengakibatkan perubahan jumlah dan kepadatan bunga. Pada tingkat tertentu jumlah dan kepadatan bunga
yang tersedia tidak mampu untuk mendukung kehidupan satwa yang berperan sebagai polinator. Selanjutnya satwa polinator akan menurun jumlahnya atau
bahkan punah. Terjadinya fragmentasi juga akan mempengaruhi struktur reproduksi
tumbuhan hutan Murcia 1996. Tumbuhan hutan umumnya memiliki sistem reproduksi yang beragam dan kompleks. Sistem reproduksi setiap tumbuhan
memiliki sensitivitas berbeda terhadap fragmentasi. Pada tumbuhan berumah dua yang karakter individunya memiliki salah satu jenis kelamin, fragmentasi dapat
mengakibatkan terpisahnya individu jantan dan individu betina ke dalam fragmen yang berbeda. Akibatnya penyerbukan sulit terjadi kecuali terdapat kemungkinan
polen jantan dapat diterbangkan atau berpindah menuju kepala putik yang terdapat pada individu betina.
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Letak
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan luas 356.800 ha merupakan taman nasional terluas ke-3 di pulau Sumatera. Secara geografis taman nasional
ini terletak pada 44º 29’ - 5º 57’ lintang selatan dan 103 º 24’ - 104 º 44’ bujur timur. Kawasan konservasi ini terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Bengkulu
dan Provinsi Lampung yang membentang sejauh 185km dari utara ke selatan dan sejauh 175km dari barat ke timur Gaveaua et al. 2007. Di bagian tenggara
kawasan ini merupakan semenanjung sempit dengan lebar hanya 20km yang membentang dari Tanjung Belimbing hingga ke Tanjung Cina.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian Gaveaua et al. 2007.
3.2. Sejarah Kawasan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ditetapkan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.736MentanX1982, sebagai respon pemerintah RI terhadap
keputusan kongres taman nasional dunia di Bali pada tahun 1982 Gaveaua et al. 2007. Meskipun demikian sejak masa kolonial Belanda, kawasan tersebut telah
ditetapkan sebagai areal konservasi yang meliputi kawasan Suaka Margasatwa Sumatera Selatan 1 dengan luas 324,494 ha, Suaka Margasatwa Gunung Raya
dengan luas 47,782 ha dan hutan lindung dengan luas 256,620 ha Gaveaua et al. 2007. Pada tahun 2004 UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai situs warisan
dunia Gaveaua et al. 2007. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan
salah satu daerah penting bagi burung Important Bird Area di Pulau Sumatera Holmes Rombang 2001.
Sebelum adanya penetapan sebagai taman nasional, kawasan ini telah mengalami tekanan berupa perambahan hutan baik dalam bentuk perladangan atau
pembalakan liar Gaveaua et al. 2007. Setelah tahun 1982 berangsur-angsur kegiatan perladangan dan perambahan berhasil ditekan dan di beberapa lokasi
telah terjadi pemulihan kondisi hutan Gaveaua et al. 2007.
3.3. Keanekaragaman Hayati