BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA APABILA TERJADI RISIKO INVESTASI
ASING LANGSUNG YANG DIJAMIN OLEH MIGA A.
Bentuk Penyelesaian Sengketa Investasi Asing melalui International Convention on the Settlement of Investment Dispute ICSID
Satu hal yang sering menjadi pertimbangan calon investor jika ia ingin menanamkan modalnya di luar negeri adalah eksistensi lembaga penyelesaian
sengketa antara investor dan negara tuan rumah. Sebenarnya secara konvensional, di negara manapun di dunia ini telah tersedia lembaga penyelesaian sengketa
yakni lembaga peradilan, yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal sebagai lembaga yudikatif. Hanya saja, jika penyelesaian sengketa antara investor dengan
host country diselesaikan lewat lembaga peradilan ada keraguan di kalangan calon
investor asing. Dengan kata lain, tingkat objektivitas lembaga penyelesaian sengketa tersebut diragukan. Secara teoritis, memang keberadaan lembaga
yudikatif lembaga peradilan adalah independen. Artinya, lembaga ini tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga lainnya eksekutif dan legislatif. Namun, secara
psikologis, dalam penyelesaian sengketa antara investor asing dengan host country
tentu faktor subjektivitas lembaga peradilan atau tepatnya hakim akan sulit untuk dihindari, mengingat hakim adalah warga negara dari negara tuan
rumah.
143
Dengan demikian, Pasal 32 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengatur cara penyelesaian sengketa
yang timbul dalam penanaman modal antara pemerintah dan investor asing.
143
Sentosa Sembiring, Op.cit., hlm. 177.
Universitas Sumatera Utara
Dalam ketentuan itu, ditentukan dua cara dalam penyelesaian sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing. Kedua cara itu adalah musyawarah
dan mufakat, dan arbitrase internasional.
144
Cara tersebut dipandang sebagai cara yang paling efektif karena lemahnya lembaga peradilan litigasi.
Gary Goodpaster mengemukakan bahwa :
145
Ada berbagai alasan dalam memilih lembaga arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa, yakni dalam dunia perdagangan
internasional, kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi peraturan atau undang-undang arbitrase untuk lebih mendorong
penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan umum.
Pada umumnya, undang-undang ini dirancang untuk memberikan otonomi,
kebebasan, dan fleksibilitas secara maksimal dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada para pihak untuk
menunjuk hukum atau prinsip-prinsip yang adil yang dapat diterapkan dalam sengketa yang terjadi di antara mereka dan juga memberikan kewenangan kepada
mereka untuk memilih arbiter, sekaligus peraturan-peraturan prosedural yang dapat diterapkan dalam arbitrase. Hal ini berarti para pihak tidak perlu
menerapkan hukum setempatdomestik terhadap sengketa yang sedang mereka hadapi.
146
Untuk memperkuat keberadaan lembaga arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa khususnya di dalam bidang penanaman modal, Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States
dengan Undang-Undang Nomor 5
144
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op.cit., hlm. 358.
145
Sentosa Sembiring, Op.cit., hlm. 178.
146
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1968. Sebagai tindak lanjut dari Konvensi ini, maka dibentuk lembaga penyelesaian sengketa antara penanam modal investor dengan host country yang
lebih dikenal dengan International Centre for the Settlement of Investment Dispute
s ICSID.
147
International Centre for the Settlement of Investment Disputes ICSID
yang merupakan badan yang sengaja didirikan oleh Bank Dunia ini ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 1966 di Amerika Serikat dan berkantor pusat di
Washington D.C. Tujuan dan wewenang ICSID adalah menyelesaikan persengketaan yang timbul di bidang investasi suatu negara dengan negara asing
di antara sesama peserta negara konvensi.
148
Ada dua pola penyelesaian sengketa yang diatur dalam ICSID, yaitu penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dan arbitrase.
1. Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi diatur dalam Artikel 28 sampai dengan 35 ICSID. Hal-hal yang diatur meliputi :
149
a. Komisi konsiliasi
Komisi konsiliasi diatur dalam artikel 29 ICSID. Komisi Konsiliasi berada di bawah pengawasan Dewan Administrartif yang diketuai oleh Bank
Dunia. Badan Komisi Konsiliasi Pendamai, yang merupakan salah satu lembaga yang berada di bawah ICSID, di samping badan arbitrase. Komisi
Konsiliasi ini mempunyai kewenangan khusus untuk menyelesaikan persengketaan melalui jalan damai.
147
Ibid ., hlm. 180.
148
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op.cit., hlm. 359.
149
Ibid., hlm. 360-367.
Universitas Sumatera Utara
b. Anggota komisi
Anggota Komisi Konsiliasi ditentukan dalam Artikel 29 ayat 1 ICSID. Anggota yang duduk dalam komisi konsiliasi disebut dengan konsiliator.
Jumlah anggota konsiliator boleh terdiri dari satu orang, yang disebut konsiliator tunggal sole conciliator, tetapi boleh juga terdiri dari beberapa
orang asalkan jumlahnya ganjil any uneven number. c.
Pengajuan konsiliasi Pengajuan konsiliasi ditentukan dalam artikel 28 ayat 2 ICSID. Agar
permohonan dapat diminta kepada ICSID untuk diselesaikan oleh Comission
atau Komisi Pendamai, harus berdasarkan kesepakatan para pihak. Tanpa adanya kesepakatan dalam perjanjian yang menyatakan
perselisihan yang terjadi di antara mereka akan diselesaikan melalui perdamaian menurut tata cara yang diatur dalam ICSID, permohonan yang
dmeikian akan ditolak atas alasan tidak termasuk yurisdiksinya. Kesepakatan tentang konsiliasi dapat dicantumkan bersamaan dengan
perjanjian pokok dalam bentuk pactum de compromitendo. d.
Jenis perselisihan Pada dasarnya tidak semua jenis perselisihan dapat diselesaikan melalui
Komisi ICSID. Jenis perselisihan yang dapat diajukan kepada Komisi ICSID hanya persengketaan yang timbul dari perjanjian penanaman modal
atau joint venture antara warga negara dengan warga negara asing. Jenis perselisihan joint venture tersebut bisa menyangkut bidang keuangan,
Universitas Sumatera Utara
perdagangan, atau alih teknologi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Artikel 25 tentang yurisdiksi dari ICSID.
e. Permohonan konsiliasi
Permohonan untuk mengajukan konsiliasi telah ditentukan dalam Artikel 28 ICSID. Dalam ketentuan itu ditentukan bahwa permohonan konsiliasi
diajukan oleh satu pihak kepada Sekretaris Jenderal ICSID, dengan ketentuan permohonan dalam bentuk tertulis, mencantumkan identitas para
pihak, dan melampirkan kesepakatan tentang penyelesaian melalui komisi konsiliasi menurut ketentuan ICSID.
f. Pembentukan, jumlah, dan penunjukan jumlah konsiliator
Dalam Pasal 29 ICSID telah ditentukan tentang pembentukan jumlah dan penunjukan konsiliator. Setelah permohonan didaftar. ICSID segera
membentuk komisi konsiliasi atau The Conciliation Comission. Agar komisi bisa berdiri, dibarengi dengan penunjukan anggota konsiliastor yang akan
bertindak dan berfungsi menyelesaikan perdamaian yang diminta. Berdasarkan Pasal 29 ayat 2 huruf a ICSID, jumlah konsiliator adalah :
1 boleh terdiri dari seorang saja, yang akan bertindak sebagai konsiliator
tunggal a sole consiliator; 2
Namun, juga terdiri dari beberapa orang asal jumlahnya tetap “ganjil” any uneven number.
Penunjukan anggota konsiliator dilaksanakan ICSID. Akan tetapi, boleh juga penunjukan menurut tata cara yang disepakati para pihak. Namun
Universitas Sumatera Utara
demikian, apabila para pihak tidak setuju mengenai jumlah dan tata cara penunjukan anggota konsiliator, komisi konsiliator harus :
1 terdiri dari tiga orang;
2 masing-masing pihak menunjuk seorang konsiliator; dan
3 sedang anggota konsiliator ketiga yang akan bertindak sebagai ketua,
ditunjuk berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Seandainya Komisi Konsiliasi belum juga terbentuk dalam jangka waktu 90
hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran permohonan, dalam permohonan, salah satu pihak dapat mengajukan permintaan kepada The
Chairmant of Administrative Council agar menunjuk anggota konsiliator.
Penunjukan dilakukan oleh Chairman, setelah lebih dahulu mengadakan konsultasi dengan kedua belah pihak.
g. Proses penyelesaian konsiliasi
Proses penyelesaian konsiliasi telah ditentukan dalam Pasal 32 ayat 1 ICSID. Dalam ketentuan itu, ditentukan bahwa komisi konsiliasi hanya akan
mengadili perselisihan sepanjang hal itu yang meliputi kompetensinya sehingga salah satu pihak diberikan hak untuk mengajukan eksepsi atau
bantahan tentang yurisdiksi. Substansi eksepsinya adalah berkaitan dengan ketidakwenangan dari ICSID. Apabila ada eksepsi yang demikian, komisi
harus mempertimbangkan, apakah hal itu akan diputus mellaui putusan sela atau akan diselsaikan bersama dengan pokok sengketa. Tata cara proses
penyelesaian konsiliasi dilakukan menurut ketentuan aturan konsiliasi yang diatur dalam ICSID. Namun, apabila ada permasalahan yang menyangkut
Universitas Sumatera Utara
sengketa, tetapi tidak diatur di dalamnya, cara penyelesaian dapat dilakukan dengan tata cara yang disetujui oleh para pihak.
h. Penyelesaian konsiliasi
Dalam Pasal 34 ICSID telah ditentukan empat tahap dalam proses penyelesaian konsiliasi yang dilakukan oleh komisi. Keempat tahap itu
disajikan berikut ini. 1
Tahap Penjernihan Perselisihan Cara yang pertama dilakukan oleh komisi adalah menjernihkan pokok
sengketa di antara kedua belah pihak. Ada dua cara yang dilakukan, yaitu melalui konsultasi secara terpisah di antara para pihak dan melalui
konsultasi terbuka berhadapan dengan kedua belah pihak dalam suatu pertemuan yang ditentukan.
2 Menemukan Kesepakatan
Tahap kedua yang dilakukan oleh komisi konsiliasi adalah mencoba menemukan dan membawa para pihak ke arah perumusan penyelesaian
perdamaian yang dapat diterima dan disetujui kedua belah pihak. Di sini tentu diperlukan kejelian dan kesaksamaan menampung keinginan para
pihak agar dapat menyusun rumusan yang memenuhi keinginan mereka sehingga kesimpulan rumusan yang disusun dapat disetujui para pihak
secara timbal balik. Usaha mencoba menemukan persetujuan konsiliasi ini dapat juga dilakukan oleh komisi konsiliasi dengan cara
menyampaikan rekomendasi atau berupa anjuran untuk menerima rumusan perdamaian yang disusun komisi. Untuk itu, dalam
Universitas Sumatera Utara
rekomendasi, komisi memberi dasar-dasar yang cukup dan masuk akal dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam kasus perselisihan yang
bersangkutan. 3
Membuat Nota Laporan Persetujuan Tahap ini baru dilakukan apabila para pihak menyetujui perumusan
penyelesaian konsiliasi yang ditawarkan oleh komisi. Nota laporan berisi tentang pokok perselisihan dan mencatat atau merekam dalam laporan
tentang isi persetjuan yang dicapai kedua belah pihak. Nota laporan ini sekaligus menjadi hasil konsiliasi. Nota laporan dapat disamakan dengan
putusan atau ketetapan The Conciliation Commission. Hal yang dimuat dalam nota laporan mengikat dan harus ditaati kedua belah pihak sebab
apa yang tercantum dalam nota laporan merupakan persetujuan atau agreement
kedua belah pihak. 4
Nota Laporan Kegagalan Mencapai Perdamaian Pada prinsipnya, proses konsiliasi merupakan proses untuk mencapai
perdamaian dari kedua belah pihak. Namun, apabila upaya perdamaian tidak tercapai atau gagal, komisi konsiliasi harus menutup proses
penyelesaian. Agar tindakan penutupan atau pengakhiran proses konsiliasi memenuhi syarat formal, komisi konsiliasi membuat nota
laporan. Isi nota laporan adalah penegasan bahwa para pihak gagal mencapai persetujuan konsiliasi. Penutupan dan pembuatan nota laporan
kegagalan harus dikeluarkan komisi apabila salah satu pihak tidak mau
Universitas Sumatera Utara
datang atau tidak mau ikut berpartisipasi dalam proses penyelesaian konsiliasi.
2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai dengan Artikel 55 ICSID. Dalam Artikel 36 ICSID telah ditentukan tata
cara pengajuan permohonan penyelesaian sengketa melalui forum Arbitrase Arbitral Tribunals. Dalam ketentuan itu, ditentukan tata cara sebagai berikut.
150
a. Pengajuan permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Dewan
Administratif ICSID; b.
Permohonan diajukan secara tertulis; c.
Permohonan membuat penjelasan tentang pokok-pokok perselisihan, identitas para pihak, dan mengenai adanya persetujuan mereka untuk
mengajukan perselisihan yang timbul menurut ketentuan ICSID. Setelah menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar
permohonan, kecuali dia menemukan dalam penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbul secara nyata berada di luar yurisdiksi ICSID. Dalam hal
perselisihan yang diajukan berada di luar yurisdiksi ICSID, Sekretaris Jenderal menolak untuk mendaftar dengan membuat dan menyampaikan penolakan dalam
bentuk pemberitahuan kepada para pihak. Apabila Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar permohonan perselisihan yang diajukan salah satu pihak,
maka harus sesegera mungkin membentuk Mahkamah Arbitrase Tribunal
150
Ibid., hlm. 367.
Universitas Sumatera Utara
Arbitral sesuai dengan ketentuan Artikel 37 ayat 2 ICSID. Selanjutnya menurut
Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran permohonan tribunal arbitrase belum dibentuk, Ketua Dewan
Administratif ICSID berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan yang demikian ada pada diri Ketua Dewan Administratif apabila
telah ada permohonan dari salah satu pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukan arbiter yang seperti itu tidak boleh diambil dari negara peserta
konvensi yang sedang berselisih kecuali apabila para pihak menyetujui bahwa arbiter tunggal ditunjuk dari salah satu negara para pihak.
151
Perlu diketahui bahwa sekalipun Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi ICSID, tidak berarti secara otomatis setiap sengketa antara
investor asing dengan Pemerintah Republik Indonesia harus diselesaikan oleh Dewan Arbitrase ICSID. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1968 yaitu :
152
Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara
Republik Indonesia dan Warga Negara Asing diputuskan menurut konvensi dan untuk mewakili Republik Indonesia dalam
perselisihan tersebut dengan hak substitusi. Berdasarkan ketentuan di atas, Pemerintah Indonesia tidak berkewajiban
membawa setiap sengketa penanaman modal dengan investor asing ke dewan arbitrase ICSID, kecuali kalau disetujui oleh kedua belah pihak. Jadi, dapat
diketahui bahwa yurisdiksi dewan arbitrase ICSID ditentukan oleh unsur utama yakni Pertama, sengketa harus merupakan sengketa yang muncul secara langsung
151
Ibid., hlm. 367-369.
152
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
arising directly dari penanaman modal; Kedua, pihak yang bersengketa haruslah negara yang telah menjadi anggota ICSID dan warga negara; Ketiga, harus ada
pernyataan tertulis, kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersengketa mengenai penyerahan penyelesaian sengketa kepada ICSID. Dengan kata lain,
perselisihan yang dapat dibawa ke dewan arbitrase ICSID hanyalah sengketa yang menyangkut perselisihan hukum legal dispute yang menyangkut penanaman
modal.
153
Berkaitan dengan pelaksanaan putusan Mahkamah Arbitrase tersebut, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 menyatakan bahwa:
154
1 Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Konvensi tersebut mengenai perselisihan antara Republik Indonesia dan Warga Negara
Asing di wilayah Indonesia, diperlukan surat pernyataan Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan;
2 Mahkamah Agung mengirimkan surat pernyataan termaksud
dalam ayat 1 Pasal ini kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum mana putusan itu harus dijalankan dan
memerintahkan untuk melaksanakannya.
3 Surat pernyataan dan perintah yang dimaksud dalam ayat 2
Pasal ini disampaikan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Pengadilan Tinggi yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka yang berwenang menangani masalah
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan
153
Sentosa Sembiring, Op.cit., hlm. 180.
154
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, Pasal 3.
Universitas Sumatera Utara
Negeri Jakarta Pusat.
155
Putusan arbitrase dapat diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia dengan syarat sebagai berikut :
156
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional; b.
Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang;
c. Putusan arbitrase internasioanl tersebut tidak bertentangan dengan
ketertiban umum; d.
Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
e. Apabila putusan arbitrase internasional yang menyangkut negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
157
Terhadap putusan Ketua
155
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 65.
156
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 66.
157
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 67 ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Sedangkan,
terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat
diajukan kasasi dan Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi tersebut dalam jangka waktu paling lama 90 hari setelah
permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Terhadap putusan Mahkamah Agung yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah
satu pihak dalam sengketa tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
158
Pada intinya, Pasal VI Konvensi New York 1958 menyatakan bahwa penolakan atas pelaksanaan putusan arbitrase disampaikan kepada pejabat yang
berwenang competent authority di negara mana permohonan pelaksanaan diajukan. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak dapat
mengajukan pembatalan apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur- unsur antara lain :
159
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu danatau dinyatakan palsu; b.
Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang b ersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau;
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
158
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 68.
159
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa : Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional
Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hlm. 85.
Universitas Sumatera Utara
Permohonan pembatalan arbitrase tersebut harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada panitera Pengadilan Negeri, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir.
160
B. Penyelesaian Sengketa berdasarkan MIGA