Pengaruh Parameter Time Repetition (TR) pada Kualitas Citra Lumbal dengan Menggunakan MRI

(1)

PENGARUH PARAMETER TIME REPETITION (TR) PADA KUALITAS CITRA LUMBAL DENGAN MENGGUNAKAN MRI

SKIRIPSI

MISKAH NUR 120821020

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PENGARUH PARAMETER TIME REPETITION (TR) PADA KUALITAS CITRA LUMBAL DENGAN MENGGUNAKAN MRI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

MISKAH NUR NIM : 120821020

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

LEMBARAN PENGESAHAN

JUDUL : PENGARUH PARAMETER TIME REPETITION (TR) PADA KUALITAS CITRA MRI LUMBAL NAMA : MISKAH NUR

PROGRAM STUDI : SARJANA (S1) FISIKA MEDIK DAPERTEMEN : FISIKA

FAKULTAS : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui Oleh :

Pembimbing II Pembimbing I

Drs. AditiaWarman, M.Si Drs.Syahrul Humaidi,M.Sc

NIP. 195705031983031003 NIP.196505171993031009

Diketahui Oleh : Ketua Departemen Fisika

Dr. Marhaposan Situmorang NIP. 195510301980031003


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH PARAMETER TIME REPETITION (TR) PADA KUALITAS CITRA LUMBAL DENGAN MENGGUNAKAN MRI

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing- masing disebutkan sumbernya.

Medan,29 Agustus 2014

MISKAH NUR


(5)

PENGHARGAAN

Alhamdulillah, Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT ,karna atas berkat dan rahmat-nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini.penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Jurusan Fisika Medis pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skiripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Marhaposan Situmorang, selaku ketua depertemen Fisika FMIPA universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Drs.Syahrul Humaidi.M.Sc selaku sekretaris jurusan Depertemen Fisika FMIPA Universitas Sumatera Utara; sekaligus dosen pembimbing yang telah bersedia dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. AditiaWarman, M.Si, sebagai pembimbing yang telah bersedia dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Herli ginting,MS, Selaku koordinator program Ektensi Depertemen Fisika FMIPA Universitas sumatera Utara.

6. Seluruh Dosen serta seluruh pegawai program studi Fisika Fakultas Matemetika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

7. Ibu Josepa ND Simanjuntak, M.Si, dan Bapak Martua Damanik, M.Si, yang membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teristimewa Ayahanda H.alm. Syaahlul Efendi rangkuti dan Ibunda Hj. Fatmatus Suaidah Batubara,yang telah banyak memberikan dukungan doa, moril, materil, serta kasih sayang dan kepercayaan yang telah diberikan selama ini


(6)

9. Kakak saya Syarifah aini rangkuti.yang tidak pernah lelah memberikan motivasi dan doanya.

10. Kakak Sukarsi Tamba, yang bersedia membantu saya dalam pengambilan data.

11. Rekan – rekan seperjuangan Fisika Ekstensi 12, khususnya Rudi, Gunawan, Tri, Syahnaro, Juwita, Betric dll. yang sama-sama merasakan pahit manisnya selama kuliah dan kerja sama selama masa perkuliahan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih terdapat kekurangan maupun kesalahan. Untuk penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk penyempurnaan laporan ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca, khususnya rekan-rekan mahasiswa lainnya yang mengikuti perkuliahan di Universitas Sumatera Utara.

Medan, 29 Agustus 2014

Penulis


(7)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh parameter time repetition (TR) pada citra lumbal dengan menggunakan MRI yang bertujuan Untuk melihat pengaruh perubahan nilai TR terhadap kualitas citra lumbal atau tulang belakang, sehingga diperoleh citra yang lebih berkualitas dengan menentukan nilai SNR.Nilai SNR diperoleh dari citra pasien tiga orang dengan perubahan Time repetition dengan cara penentuan ROI pada jaringan corpus,CSF, fat. Hasil citra diperoleh dengan Pemberian TR yang lama yaitu TR = 500 ms,tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise yang lebih baik. TR yang cepat dengan TR =300 ms,dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi kecil dan kualitas citra menjadi berkurang. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan pemberian TR yang lama dan tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak yaitu TR 500ms dan memberikan harga sinyal noise yang lebih baik. TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi jelek.


(8)

ABSTRAC

Have been by research about influence of parameter of time repetition ( TR) of image of lumbal by using MRI which aim to To see influence of change assess TR to quality of image of lumbal or backbone, [is] so that obtained by] a more image with quality by determining assess SNR.NILAI SNR obtained from image of patient three people with change of Time repetition by determination of ROI [of] [at] network corpus,CSF, fat. Result of image obtained with Gift of TR old ones that is TR = 500 ms,tepat evaluate network in slice which is more amount and also give better price sinyal noise. TR which quickly by TR = 300 ms,dapat take a short cut time of intake of data but sum up slice of network which is [in] evaluation become a few/little and signal to noise ratio ( SNR) become to minimize and quality of image become to decrease. From result obtained inferential [of] gift of TR old ones and precisely evaluate network in slice which is more amount that is TR 500ms and give better price sinyal noise. TR which quickly can take a short cut time of intake of data but sum up slice of network which is [in] evaluation become a few/little and signal to noise ratio ( SNR) become bad.


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... ... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ... iv

PENGHARGAAN ... ... v

ABSTRAK ... ... vi

ABSTRAC ... ... .vii

DAFTAR ISI ... ... x

DAFTAR GAMBAR ... ... xi

DAFTAR TABEL ... ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Batasan Masalah ... 2

D. Tujuan Penelitian ... 2

E. Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUANPUSTAKA ... 3

2.1 Sejarah Magnetik Resonansi Imaging ... 3

2.2 Perinsip Dasar Resonansi Imaging ( MRI ) ... 3

2.3 Parameter MRI ... 5

2.4 Pulsa RF (Radio Frequency) ... 6

2.5 Interaksi Spin Dengan Medan magnet luar ... 8

2.6 Rrelaksasi Spin T1dan T2 ... 12

2.7 Pengukuran sinyal MRI ... 14

2.8 Pembobotan Pada magnetic resonance imaging ... 18

2.9 Metode pencitraan ... 20

2.1 Optimilisasi hasil pencitraan ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 68

3.1 Bahan atau penelitian ... 68


(10)

3.2.1 Instrumentasi MRI ... 68 3.2.2 Tatacara penelitian ... …….. 69 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7 1 4.1 Hasil Citra yang diperoleh ... 71 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 82

5.1 Kesimpulan ... ... 82 5.2 Saran ... ... 82 DAFTAR PUSTAKA ... ... 83


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2 Spinning proton atom hidrogen ... 4

Gambar 2.3 Dasar fisika MRI ... 5

Gambar 2.3 Time repetition atau waktu pengulangan pada fast spin echo ... 6

Gambar 2.2Posisi magnet superkonduktif dalam pesawat MRI ... 8

Gambar 2.3 Spin dengan magnet luar ... 10

Gambar 2.4 Spin pada pararel dan anti pararel ... 11

Gambar 2.5 Presisi arah pararel dan anti pararel ... 11

Gambar 2.3 Magnetisasi longitudinal ... 13

Gambar 2.4 Komposisi dasar pada pesawat MRI ... 25

Gambar 6. Urutan secuence pada pulsa secuensi pada spin echo ... 34

Gambar 7. Time repetition (TR) ... 36

Gambar 8. Time echo ... 37

Gambar 2.12 Ilustrasi dari timerepetition/TR ... 44

Gambar 2.212 Ilustrasi dari time echo/TE ... 46

Gambar 1. Ilustrasi tubuh pasien didalam mobilitas MRI ... 48

Gambar 2.Ilustrasi perolehan data citra ... 52

Gambar 3. Partikel bermuatan yang berputar(Spin) ... 54

Gambar 5. Repetition time (Woodward dan Freimark ... 56

Gambar 6,Time Echo ... 57

Gambar 3.1 Pesawat MRI 1,5 T ... 68

Gambar 3.2 Operator counsule ... 69

Gambar 4.2 Diagram hubungan TR Dengan kualitas citra SNR ... 80


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Inti yang bersifat magnetic ... 4

Tabel 2.2 Waktu relaksasi TI dan T2 pada jaringan tubuh ... 14

Tabel 2.3 Densitas hydrogen pada beberapa jaringan ... 16

Tabel 2.4 Spin echo sequence untuk parameter TR dan TE ... 17

Tabel 2.5 Hubungan karestristik jaringan dengan pembobotan T1 Dan T2 .. 19

Tabel 2.1 Hubungan T1 dan T2 untuk berbagai jaringan dengan kuat medan magnet 1T ... 43

Tabel 4.1 Citra pasien dengan perubahan TR ... 79


(13)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh parameter time repetition (TR) pada citra lumbal dengan menggunakan MRI yang bertujuan Untuk melihat pengaruh perubahan nilai TR terhadap kualitas citra lumbal atau tulang belakang, sehingga diperoleh citra yang lebih berkualitas dengan menentukan nilai SNR.Nilai SNR diperoleh dari citra pasien tiga orang dengan perubahan Time repetition dengan cara penentuan ROI pada jaringan corpus,CSF, fat. Hasil citra diperoleh dengan Pemberian TR yang lama yaitu TR = 500 ms,tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise yang lebih baik. TR yang cepat dengan TR =300 ms,dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi kecil dan kualitas citra menjadi berkurang. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan pemberian TR yang lama dan tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak yaitu TR 500ms dan memberikan harga sinyal noise yang lebih baik. TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi jelek.


(14)

ABSTRAC

Have been by research about influence of parameter of time repetition ( TR) of image of lumbal by using MRI which aim to To see influence of change assess TR to quality of image of lumbal or backbone, [is] so that obtained by] a more image with quality by determining assess SNR.NILAI SNR obtained from image of patient three people with change of Time repetition by determination of ROI [of] [at] network corpus,CSF, fat. Result of image obtained with Gift of TR old ones that is TR = 500 ms,tepat evaluate network in slice which is more amount and also give better price sinyal noise. TR which quickly by TR = 300 ms,dapat take a short cut time of intake of data but sum up slice of network which is [in] evaluation become a few/little and signal to noise ratio ( SNR) become to minimize and quality of image become to decrease. From result obtained inferential [of] gift of TR old ones and precisely evaluate network in slice which is more amount that is TR 500ms and give better price sinyal noise. TR which quickly can take a short cut time of intake of data but sum up slice of network which is [in] evaluation become a few/little and signal to noise ratio ( SNR) become bad.


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Teknologi dalam kedokteran berkembang dengan cepat menurut Forshult, 2007 adanya alat scanning yang tidak menimbulkan efek radiasi, yang mampu mencitrakan organ yang diperiksa berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen dengan menggunakan sinyal radio frequency (RF) dan medan magnet pada skala tertentu, yang dikenal dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). (Bushberg, 2002).

Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan oleh dr. Raymond Damadian pada hewan, pada tahun 1971 yaitu untuk membedakan jaringan abnormal dengan jaringan sehat. Pada tahun 1977 bersama temanya Minkoff dan Goldsmith menggunakan MRI scanner Indomitable, untuk pertamakali pada tubuh manusia (Raul, 2002).

MRI mempunyai peningkatan dalam teknik imaging paling serbaguna hingga saat ini, dimana mampu menganalisa sebagian besar anatomis dan fungsional fisiologis system organ tubuh (Bryan, 2010). Magnetic Resonance Imaging adalah suatu alat kedokteran di bidang pemeriksaan radiologi diagnostik, yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh dengan menggunakan medan magnet dan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. Beberapa kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan alat scan lainya, khususnya mampu membuat potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak, terutama otak, sumsum tulang belakang dan susunan saraf pusat dan memberikan gambaran detail tubuh manusia, dibandingkan dengan pemeriksaan dengan X-ray lainnya sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dideteksi sedetail mungkin (Bushberg, 2002).

Repetition time(TR) adalah interval waktu antara pengulangan dua pulsa yang sama. Pemberian TR yang lama dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise yang lebih baik, namun menyebabkan waktu yang di butuhkan untuk memperoleh data yang lebih lama.


(16)

TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi jelek, missalnya kalau TR panjang atau lama maka citra akan semakin baik (Pierce,1999).

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh variasi TR terhadap kualitas citra.

2. Bagaiman mengetahui kualitas citra dalam hal signal to noise ratio (SNR) 1.2 BatasanMasalah

1. MRI yang digunakan dalam penelitian ini dengan kekuatan medan magnet 1.5 Tesla

2. Meneliti pengaruh parameter TR dengan menggunakan TR 300ms, 400ms,dan 500ms terhadap kualitas citra lumbal

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk melihat pengaruh perubahan nilai TR terhadap kualitas citra lumbal atau tulang belakang.

b. Untuk mengetahui citra yang lebih berkualitas dengan menentukan nilai SNR

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

a. Mendapatkan

citra yang lebih baik dengan perubahan time repetition (TR)

b. Mendapatkan

pengaruh time repetition (TR) terhadap citra brain yang lebih baik dalam menegakkan diagnosa suatu penyakit


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Magnetik Resonansi Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan sejak tahun 1971 oleh dr. Raymond Damadian pada hewan untuk membedakan jaringan abnormal dengan jaringan sehat. Beberapa tahun kemudian tepat tanggal 2 juli 1977 bersama mitranya Minkoff dan Goldsmith menggunakan MRI pertama kali pada tubuh manusia dengan MRI scanner Indomitable, dengan waktu pemeriksaan 295 menit (Raul, 2002). MRI merupakan alat imaging yang dapat menganalisa sebagian besar anatomis dan suatu fungsional fisiologis system organ tubuh (Bryan, 2010).

Magnetic Resonance Imaging adalah suatu alat kedokteran di bidang pemeriksaan radiologi diagnostik, yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh dengan menggunakan medan magnet dan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. Beberapa faktor kelebihan yang dimilikinya, terutama kemampuannya membuat potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak, terutama otak, sumsum tulang belakang dan susunan saraf pusat dan memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, dibandingkan dengan pemeriksaan CT- scan dan X-ray lainnya sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara detail (Bushberg, 2002).s

2.2 Prinsip Dasar Sistem Magnetic Resonansi Imaging (MRI)

Dalam tubuh manusia terdapat air (H2O) yang terdiri dari 2 atom hidrogen

dan memiliki no atom ganjil (1) yang dominan pada tubuh manusia dan mempunyai inti atom bebas yang akan menghasilkan jaringan magnetisasi, merupakan kandungan inti terbanyak dalam jaringan tubuh manusia dan memiliki gaya magnetik terkuat dari elemen lain. Hidrogen memiliki momen magnetik, pelimpahan atau abundance terbesar. Dimana abundance adalah perbandingan


(18)

jumlah atom suatu isotop unsur tertentu terhadap jumlah atom seluruh isotop yang ada dinyatakan dalam persen dapat dilihat pada Tabel 2.1. Oleh karena itu, hidrogen adalah elemen utama yang digunakan untuk MRI. Pada atom dengan nomor atom genap, inti atom akan berpasang pasangan sehingga saling meniadakan efek magnetik dengan demikian tidak terdapat inti bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi sehingga sulit untuk dirangsang agar terjadi pelepasan signal.

Tabel 2.1 Inti yang bersifat magnetic (Busberg, 2002)

Proton memiliki prilaku yang hampir sama dengan prilaku sebuah magnet, melakukan gerakan secara kontinyu mengintari sumbunya atau spinning, seperti Gambar 2.2, yang akan menghasilkan moment dipole magnetic yang kuat dan akan menimbulkan fenomena resonansi.

Gambar 2.2 Spinning proton atom hidrogen (Bushberg,2002) Prinsip dasar pencitraan MRI dapat disimpulkan secara ringkas yaitu dalam keadaan normal proton proton hydrogen dalam tubuh tersusun secara acak sehingga tidak ada jaringan magnetisasi. Ketika pasien dimasukan kedalam medan magnet yang kuat dalam pesawat MRI, proton-proton dalam tubuh pasien akan searah (parallel) dan tidak searah (antiparallel) dengan kutub medan magnet


(19)

pesawat serta melakukan gerakan presesi. Selisih proton proton yang searah dan berlawanan arah amat sedikit dan tergantung kekuatan medan magnet pesawat dan selisih inilah yang akan merupakan inti bebas (tidak berpasangan) yang akan membentuk jaringan magnetisasi. Pemberian gelombang radio frequency (RF) proton menyerap sinyal elektromagnetik atau sinyal MRI. Sinyal - sinyal diterima oleh sebuah koil antena penerima, selanjutnya sinyal- sinyal tersebut diubah menjadi pulsa listrik dan dikirim ke sistem komputer untuk diubah menjadi gambar.

Gambar 2.3 Dasar fisika MRI (Bitar, dkk., 2006

Gambar 2.3 menunjukkan dasar fisika MRI, dimana (a) inti hidrogen mengitari sumbunya atau spinning memiliki medan magnet, panah kuning merupakan arah sumbu magnetis. Pada awalnya inti hidrogen (1–6), berpresesi dengan berbagai sudut akan tetapi saat masuk kedalam medan magnet eksternal (B0) akan berbaris, jumlah momen magnetis disebut vektor magnetisasi (NMV). (b) RF diberikan NMV membentuk sudutyang menghasilkan dua komponen magnetisasi yaitu magnetisasi longituginal (Mz) dan magnetisasi transversal (Mxy). Presesi Magnetisasi transversal disekitar koil penerima, dipengaruhi tegangan (i). Ketika RF dimatikan terjadi T1 pembangkitan atau T1 recovery, T2 peluruhan atau T2 decay dan T2* .

2.3 Parameter MRI

Parameter kekontrasan citra yang dapat diatur untuk membuat pencitraan dalam MRI terdiri dari:


(20)

Waktu pengulangan atau repetition time adalah interval waktu antara pengulangan dua pulsa yang sama. Pemberian TR yang lama tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise yang lebih baik, namun menyebabkan waktu yang di butuhkan untuk memperoleh data yang lebih lama. TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi jelek (Pierce,1999). TR yang pendek nilainya kurang dari 500 ms akan memberikan kontribusi T1 lebih banyak dapat mempersingkat waktu pengambilan data, namun akan menurunkan jumlah irisan dan nilai SNR menurun dan TR panjang bila nilainya lebih dari 1500 ms akan memberikan kontribusi pada pembobotan T2, dari pulsa waktu TR akan memberikan kekontrasan citra berbeda.

Gambar 2.3 Time Repetition atau waktu pengulangan pada Fast spin echo b. Waktu gaung time echo (TE)

Time Echo (TE) atau waktu gema adalah pemberian pulsa interval waktu dari saat terakhir eksitasi pulsa RF diberikan sampai terdeteksinya puncak sinyal gema gradien. TE disebut pendek bila waktunya kurang dari 30 ms, sedangkan TE panjang adalah tiga kali dari TE pendek (90 ms). Pemilihan panjang dan pendeknya TE akan mempengaruhi intensitas sinyal yang didapat. Time echo digambarkan sebagai interval antara akhir dan permulaan dari pulsa eksitasi RF window acquisition (Rahmer, dkk., 2006). Pencitraan dengan waktu relaksasi T2 hanya beberapa ratus mikrodetik untuk deteksi sinyal disebut ultrashort echo time (UTE) pada T2 pendek sering dilakukan seperti pencitraan jaringan seperti tendon, liga dan periosteum, hati, paru-paru, dan pencitraan molekular (Rahmer, et.al, 2006).


(21)

2.4 Pulsa RF (Radio Frequency)

Pemberian frekuensi radio dengan waktu yang singkat disebut dengan pulsa frekuensi radio yang merupakan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi antara 2,31 MHz sampai 85 MHz. Pemberian pulsa RF mengubah energi proton sehingga dapat menyebabkan transisi, yang terjadi jika dan hanya jika pulsa RF yang diberikan sama dengan frekuensi Larmor yang dimiliki proton. Pada keadaan tersebut proton yang sedang berpresisi akan mendapat tambahan energi. Dalam pemberian frekuensi radio proton pada tingkat energi rendah akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi, peristiwa ini disebut resonansi magnetik.

Pada saat terjadi magnetisasi transversal maka terjadi pula keadaan in phase pada bidang transversal sehingga akan terjadi induksi dari medan magnet terhadap koil penerima yang akan tercatat sebagai sinyal. Kuat dan lemahnya magnetisasi pada bidang transversal ini akan berpengaruh pada kekuatan signal MRI dan berpengaruh pada intensitas gelap dan terang pada citra MRI. Bila signal MRI kuat maka akan memberikan gambaran citra yang terang atau hiperintens, sedangkan apabila signal MRI lemah akan memberikan citra MRI gelap atau hipointens.

Bila pulsa RF dihentikan, magnetik moment pada bidang transversal yang dalam keadaan in phase akan mengalami dephase kembali sehingga magnetisasi pada bidang transversal akan menurun, akibatnya induksi pada koil penerima juga akan semakin melemah yang dikenal dengan sinyal Free Induction Decay (FID).

Pulsa RF yang menggerakkan magnetisasi (M) dari posisi setimbang ke bidang transversal disebut pulsa 900. Pulsa RF yang menggerakkan M dengan arah yang berlawanan dengan arah asalnya dinamakan pulsa 1800. Kedua pulsa tersebut merupakan pulsa yang mempunyai persamaan yang sangat besar dan penting dalam metoda MRI (Blink, 2004).

Beberapa komponen utama dalam pesawat sistem MRI, yaitu magnet utama, koil gradien, koil pemancar, koil penerima dan komputer. Magnet utama


(22)

berguna untuk memproduksi medan magnet yang besar antara 0.1-3.0 Tesla, yang mampu menginduksi jaringan sehingga mampu menimbulkan magnetisasi dalam obyek. Beberapa jenis magnet utama yaitu Magnet permanen, resistive Magnet, magnet superkonduktif, bahan ini akan menjadi superconductive pada temperatur 4K (Kelvin) dengan memberikan arus listrik melalui kumparan-kumparan. Untuk menjaga kemagnetan kumparan harus dalam temperatur yang sangat dingin, biasanya digunakan helium cair yang disebut juga dengan cryogen bath.

Gambar 2.2 Posisi magnet superkonduktif dalam pesawat MRI

Koil yang umum digunakan yaitu koil penerima dan koil pemancar karena Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi. Sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal output dari sistem setelah eksitasi terjadi. Sistem Komputer berfungsi untuk mengontrol semua komponen alat MRI dan berfungsi juga untuk menyimpan data. Gradien koil untuk membangkitkan suatu medan, terdapat tiga

fungsinya berbeda-beda sesuai dengan irisan yang dipilih, gradien koil X untuk membuat citra potongan sagital, gardien koil Y untuk potongan koronal dan medan yang saling tegak lurus antara ketiganya, yaitu bidang X, Y dan Z yang gradien koil Z untuk potongan aksial. Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja secara bersamaan maka akan terbentuk potongan oblik.


(23)

2.5 Interaksi Spin Proton dengan Medan Magnet Luar

Apabila tubuh manusia berada pada medan magnet luar yang sangat kuat (di dalam gantri MRI), maka yang terjadi adalah momen magnetik masing-masing spin akan bergerak searah dan berlawanan arah terhadap arah medan magnet luar. Bila materi itu berada pada tingkat energi rendah (suhu kamar) maka total kuat magnetisasi (Net Magnetisation Vector = NMV) adalah paralel dengan sumbu Z (sumbu arah medan magnet luar).

Energi termal dan arah spin random dalam jaringan, tidak mempunyai magnetisasi jaringan, menghasilkan momen magnetik keseluruhan nol. Di bawah pengaruh medan magnet eksternal (Bo) yang kuat spin didistribusikan menjadi dua

keadaan energi yaitu sejajar atau pararel dengan medan listrik pada tingkat energi rendah, dan antiparalel pada daerah tingkat energi yang sedikit lebih tinggi. Mayoritas spin pada energi rendah. Untuk kekuatan medan magnet yang lebih tinggi, pemisahan energi dari tingkat energi yang rendah ke energi lebih tinggi, seperti jumlah kelebihan proton di daerah energi rendah.

Suatu materi yang terdiri atas inti yang memiliki spin intristik, jika diletakkan di dalam medan magnet luar, dengan arah sumbu z maka spin tadi akan berinteraksi dengan medan magnet yang menimbulkan torka

 

 .

τ = µ x B0 ... (2.1)

Selain pemisahan daerah energi spin, proton juga mengalami torka yang merupakan suatu orientasi momen magnetic (

) terhadap B0, Torka

 

 tersebut

menyebabkan spin proton bergerak secara unik berotasi mengelilingi medan magnet luar yang diberikan seperti gerakan gasing yang disebut dengan presisi. Proton presisi dengan arah pararel dan anti pararel. Selisih antara arah pararel dengan anti pararel disebut dengan net moment magnetic.

Menurut persamaan Larmor, presesi single proton pada porosnya dengan frekuensi sudut, sebanding dengan kekuatan medan magnet eksternal. Kelompok proton dalam keadaan energi paralel dan anti paralel menghasilkan sebuah


(24)

magnetisasi equilibrium. M0 dalam arah medan magnet B0 (Busberg, 2002).

Frekuensi Larmor merupakan frekuensi gerakan presisi proton dengan persamaan dengan B0 adalah medan magnet luar, dan

adalah rasio giromagnetik. Karena

jumlah energi spin pada keadaan pararel lebih besar daripada keadaan anti pararel, maka menghasilkan resultan vektor magnetisasi searah keadaan paralel atau searah medan sumbu longitudinal.

ω = γB0 ... (2.2)

dengan : ω adalah frekuensi Larmor (MHz tesla), γ adalah rasio giromagnetik (MHz tesla-1) dan B0 adalah medan magnet luar (tesla).

Jika medan magnet luar ditempatkan pada tubuh yang mempunyai banyak inti atom hidrogen, maka akan mengakibatkan gerakan proton didalam tubuh tidak acak lagi.

Gambar 2.3 Spin dengan medan magnet luar

Penempatan proton pada medan magnet luar menyebabkan berpresisi dengan arah pararel dan anti pararel dan untuk perbandingannya yaitu anti pararel lebih banyak dibandingkan dengan arah anti-pararel. Selisih antara arah pararel dengan anti pararel disebut dengan net moment magnetic.


(25)

Gambar 2.4 Spin pada pararel dan anti pararel

Menurut hokum distribusi Maxwell-Boltzman pada suhu kamar partikel-partikel lebih banyak berada pada tingkat energi rendah karena lebih stabil. Dengan demikian lebih banyak proton berpresisi pada rah partikel daripada arah anti-pararel.

Jika proton yang berpresisi sejajar dengan medan magnet luar dijumlahkan, maka akan memberikan suatu nilai magnetisasi total sebesar M0.

Magnetisasi M0 tersebut merupakan besaran vektor yang terdiri atas penjumlahan dua vektor magnetisasi yaitu: vektor magnetisasi longitudinal (Mz) dan vektor magnetisasi transversal (Mxy) yang merupakan komponen total vektor magnetisasi pada arah horizontal.


(26)

2.6 Relaksasi Spin T1 dan T2 2.6.1 Relaksasi T1

Pulsa RF dalam aplikasi pemeriksaan medis mempunyai waktu tertentu, sehingga setelah pulsa RF dihilangkan menyebabkan magnetisasi longituginal Mz

tidak berada pada kesetimbangan termal yang menyebabkan terjadinya mekanisme pergerakan spin berelaksasi menuju bidang longitunginal. Pada saat mencapai nilai magnetisasi dalam kondisi setimbang (Mz = M0 ) terdapat interaksi

yaitu interaksi spin dengan lingkungannya atau lattice yang menyebabkan terjadinya pertambahan energi sehingga terdapat pertumbuhan magnetisasi dengan bertambahnya waktu t yang merupakan solusi persamaan Bloch, yang dinyatakan dengan T1 adalah waktu relaksasi longituginal yang diukur 63% dari waktu

pertumbuhan magnetisasi disebut spin-kisi atau spin lattice relaxation (Bushberg, 2002). Waktu relaksasi T1 ini terjadi dimana energi yang dibebaskan ke lingkungan sekitar akan menyebabkan magnetisasi bidang longitudinal akan semakin lama semakin menguat (recovery) dengan waktu recovery yang konstan dan berupa proses eksponensial.

Menurut Hendee, (2002) bahwa relaksasi sinyal magnetik resonansi (MR) merupakan karakteristik yang bersifat ekponensial sama dengan peluruhan radioaktif, penyerapan energi dan pertumbuhan sel dalam jaringan. Untuk waktu relaksasi longitunginal dimana sinyal magnetik resonansi (S) berkurang secara ekponensial. Waktu dari sinyal S0 mengikuti pulsa RF, Nilai S0 dipengaruhi oleh

faktor banyaknya proton dalam sampel, panjangnya waktu gelombang radio yang diberlakukan bagi sampel, kepekaan coil penerima, dan keseluruhan kepekaan elektronik.

Pada saat pulsa RF dihentikan (off), akan terjadi proses dimana Net Magnetisasi Vektor kehilangan energi yang dikenal dengan relaksasi. Ada dua fenomena yang terjadi pada saat terjadinya relaksasi yaitu jumlah magnetisasi pada bidang longitudinal secara perlahan semakin meningkat yang dikenal dengan peristiwa recovery dan pada saat yang sama jumlah magnetisasi pada bidang transversal akan meluruh yang dikenal dengan decay.


(27)

Gambar 2.3 Magnetisasi longitudinal (Bryan, 2010)

Sebagai contoh adalah lemak dan cairan cerebro spinal. Lemak memiliki waktu relaksasi T1 yang pendek sekitar 180 ms sedangkan untuk cairan cerebro spinal memiliki waktu relaksasi T1 yang panjang berkisar 2000 ms. Sehingga untuk mencapai waktu relaksasi T1 (63%), lemak akan lebih cepat dibanding dengan cairan cerebrospinal. Dengan demikian untuk pembobotan T1, jaringan dengan waktu relaksasi T1 pendek (lemak) akan tampak terang dan jaringan dengan waktu relaksasi T1 panjang (cairan cerebrospinal) akan tampak gelap.

2.6.2 Relaksasi T2

Penerapan pada pulsa RF 900 pada spin sampel menyebabkan terdapat perubahan arah magnetisasi longitugunal menjadi sumbu transversal yang menjadikan nilai magnetisasi longituginal Mz = 0 dan magnetisasi transversal Mxy dalam kondisi maksimum. Setelah berada pada bidang transversal spin akan

dirotasikan dibidang tersebut sehingga terdapat laju perubahan magnetisasi terhadap waktu yang sesuai dengan persamaan gyroskopik.

Pada saat spin berpresisi pada bidang transversal terdapat interaksi yaitu interaksi antar spin yang menyebabkan perubahan magnetisasi tanpa mengubah nilai energi interaksi awal, sehingga besar magnetisasi transversal mengecil secara eksponensial dengan bertambahnya waktu t, yang merupakan solusi persamaan gerak tersebut (persamaan Bloch) didiskripsikan dengan T2 adalah waktu


(28)

maksimumnya disebut juga spin – spin (Gambar 2.6). T2 decay dihasilkan oleh Spin Relaxation yaitu pertukaran energi antar nuklei yang satu dengan nuklei yang lain disekitarnya.

Waktu relaksasi T2 akan lebih pendek dari pada waktu relaksasi T1. Secara umum pada pembobotan T2, jaringan dengan waktu relaksasi T2 panjang (seperti cairan cerebro spinal sekitar 300 ms akan tampak terang dan jaringan dengan waktu relaksasi T2 pendek (seperti lemak sekitar 90 ms) akan tampak gelap. Kecepatan meluruhnya komponen magnetisasi tranversal tergantung dari konstanta waktu relaksasi transversal atau waktu relaksasi spin-spin, yang merupakan interaksi antara proton dengan proton. Berdasarkan mekanisme relaksasi baik transversal maupun longitudinal di atas, untuk berbagai jaringan dalam tubuh mempunyai prilaku dan waktu relaksasi yang berbeda – beda, yang diterangkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Waktu relaksasi T1 dan T2 pada jaringan tubuh (Wikibooks, 2007)

Tissue T1 (msec) T2

(msec)

Muscle 870 47

Liver 490 43

Kidney 650 58

Grey Matter 920 100

White Matter 790 92

Lung 830 80

CSF 2,400 160

2.7 Pengukuran Sinyal MRI

Proses terjadinya sinyal MRI yang berasal dari pasien tersebut melalui 3 fase fisika yaitu: fase presesi atau magnetisasi, fase resonansi dan fase relaksasi. Fase presesi atau magnetisasi terjadi ketika pasien dimasukan kedalam medan magnet yang kuat dalam pesawat MRI, dimana magnetik dipole atau proton proton dalam tubuh pasien akan parallel dan tidak parallel dengan kutub medan magnet pesawat, tergantung kekuatan medan magnet pesawat dan selisih proton


(29)

proton yang searah dan berlawanan arah merupakan inti bebas tidak berpasangan yang akan membentuk jaringan magnetisasi.

Proton proton selain terus melakukan spin juga melakukan gerakan relatif yang sama dengan gerakan permukan gasing yang disebut gerakan presesi. Frekuensi gerakan presesi tergantung pada jenis atom dan kekuatan medan magnet luar yang mempengaruhinya atau kekuatan medan magnet pesawat MRI.

Fase resonansi terjadi pada saat fase presesi gelombang radio (RF) dipancarkan, proton proton hydrogen akan menyerapnya dan mulai bergerak meninggalkan arah longitudinal yang sejajar dengan arah kutub magnet pesawat menuju kearah transversal dan menghasilkan magnetisasi transversal. Fase proton proton bergerak meninggalkan sumbu longitudinal menuju arah transversal disebut sebagai fase resonansi.

Fase relaksasi terjadi, ketika proton proton hydrogen berada pada bidang transversal atau decay menuju kembali kearah longitudinal atau recovery sambil melepaskan energi yang diserapnya dari gelombang radio dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang dikenal sebagai sinyal MRI, yang akan diterima oleh sebuah kumparan atau antena penerima disisi pesawat MRI, fase ini disebut fase relaksasi. Fase relaksasi dibagi menjadi T1 dan T2. Jika T1 makin lama maka diperoleh sinyal yang makin besar.

Awalnya presesi proton proton berada dalam laju dan arah atau fase yang sama namun secara perlahan satu sama lain keluar dari fase tersebut yang disebabkan terjadinya interaksi proton dengan proton proton disekitarnya atau spin-spin interaction. Magnetisasi proton proton lokal yang tidak homogen meningkatkan interaksi spin spin dan mempercepat dephasing sehingga mempercepat penurunan besarnya sinyal (signal decay) ke nilai nol. Hal ini berarti terdapat adanya sinyal yang hilang (loss of signal). Waktu yang diperlukan proton proton dari keadaan magnetisasi transversal berkurang hingga sekitar 37% merupakan nilai T2 yang sebenarnya (Bushberg, 2002).


(30)

Sinyal MRI adalah sinyal yang dideteksi pada saat spin berelaksasi dibidang transversal yang susunannya berupa sinyal sinusoidal yang meluruh secara eksponensial dengan pertambahan waktu yang disebut dengan Free induction decay (FID). Proses FID dimana setelah pancaran frekuensi radio di matikan maka spin partikel akan menyerap energi, kemudian energi tersebut akan melemah sedikit demi sedikit dan akan menuju pada satu fase (dephase). Kehilangan sinyal yang diakibatkan oleh medan magnetik lokal yang tidak homogen tersebut, menutupi nilai T2 yang sebenarnya. Nilai T2 yang diakibatkan oleh adanya medan magnetik yang tidak homogen diberi symbol T2*. Proses dephasing diakibatkan oleh hasil interaksi spin spin yang sebenarnya dan interaksi spin spin akibat medan magnet yang tidak homogen.

Kekuatan sinyal tergantung pada kerapatan proton atau density proton, waktu relaksasi spin-lattice (T1) dan relaksasi spin-spin (T2) serta sifat magnetik tubuh pasien. Pada pemeriksaan MRI, kandungan proton tergantung pada kandungan (kadar) air yang merupakan salah satu material dari komposisi kimia penyusun jaringan yang diperiksa.

Tabel 2.3 Densitas hidrogen pada beberapa jaringan (Forshult, 2007)

Jaringan Densitas Jaringan

Blood 93 Bone 12 Cerebrospinal fluid 96

Fat 88

Gray matter 84

Liver 81 Lung 5 Muscle 82

White matter 70

2.7.1 Paramter kekontrasan pencitraan MRI

Parameter pada magnetic resonance imaging adalah variabel yang dapat mengakibatkan terjadinya pembedaan kontras. Dan khususnya dalam bidang kesehatan untuk mendiagnosa suatu kelainan pada jaringan tubuh manusia.


(31)

a. waktu pengulangan atau time repetition (TR) b. waktu gaung atau time encho (TE)

2.7.2. waktu pengulangan atau repetition

Waktu pengulangan atau time repetition adalah suatu interval waktu antara pengulangan dua pulsa yang sama. Pemberian TR yang lama dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise yang lebih baik, namun menyebabkan waktu yang dibutuhkan lebih lama untuk memperoleh data. TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang dievaluasi menjadi sedikit, dan Signal to Noise Ratio (SNR) menjadi jelek. Harga TR dan TE untuk pembobotan T1 dan T2 pada pulsa spin echo dapat dilihat dalam Tabel dibawah ini.

Tabel 2.4 Spin echo sequence untuk parameter TR dan TE

Parameter Waktu (milidetik) Pembobotan

TR cepat <1000 T1

TR cepat <30 T1

TR lama >1000 Kecepatan proton

TR cepat <30 Kecepatan proton

TR lama >1000 T2

TR lama >60 T2

Harga TR dianggap cepat jika kurang dari 1000 milidetik, sedangkan TR dianggap lama jika lebih dari 1000 milidetik. TR berkaitan dengan waktu relaksasi longitudinal. Dari perbedaan nilai dari TR akan memberikan kekontrasan citra yang berbeda. Pemilihan TR yang lama memberikan kekontrasan citra yang kurang baik, karena relaksasi longitudinal kedua jaringan sudah mencapai keadaan seimbang sempurna. Pemberian TR yang cepat memberikan kekontrasan citra lebih baik, karena relaksasi longitudinal yang lebih lama belum sempurna kembali keadaan seimbang sehingga pembedaan intensitas sinyal yang yang diberikan dari kedua jaringan lebih besar (pierce, 1995).


(32)

2.7.3. Waktu gaung atau time encho

Waktu gaung atau time encho adalah interval waktu pemberian pulsa RF awal dengan pulsa RF terakhir sampai deteksinya sinyal magnetik resonance MR) maksimum. Sinyal MR maksimum tersebut merupakan sinyal spin encho. Pemilihan lama dan cepatnya TE akan mempengaruhi intensitas sinyal yang didapat. TE tersebut cepat jika waktu gaungnya kurang dari 30 milidetik (Bushberg, 2001).

Intensitas sinyal encho ditentukan oleh kurva T2, Intensitas sinyal besar jika memakai TE pendek. Dengan TE yang cepat meminimalkan peluruhan transversal atau transverse decay dan sinyal yang dihasilkan dapat dipelihara. Pemilihan TE panjang dapat mengakibatkan peluruhan transversal atau transverse decay menjadi maksimal dan sinyal yang didapat kecil.

2.8. Pembobotan Pada Magnetic Resonance Imaging

Pembobotan pada magnetic resonance imaging adalah suatu pencitraan dengan menggunakan beberapa parameter yang berhubungan dengan jaringan tubuh yang akan didiagnosa. Dalam penelitian ini ada dua jenis pembobotan yang akan dilakukan yaitu pembobotan T1 dan Pembobotan T2.

Pembobotan pada MRI merupakan suatu pencitraan degan menggunakan beberapa parameter yang berhubungan dengan jaringan tubuh yang akan di diagnosa, dipengaruhi oleh nilai TR dan TE. Dalam penelitian ini dikaji tentang pembobotan T2, yang memanfaatkan echo train length (ETL) namun akan dijelaskan secara ringkas tentang pembobotan T1.

2.8.1. Pembobotan T1 atau Spin Latice Relaxation

Pembobotan T1 merupakan pembobotan dengan parameter TR dan TE yang pendek. Pada pembobotan T1 dengan nilai TR pendek jaringan (lemak) akan mengalami recovery penuh pada arah longitudinal dan akan tampak gelap atau hyperintense. Sedangkan pada jaringan yang memiliki nilai TR panjang (CSF) akan mengalami recovery sebagian atau partial, sehingga akan tampak


(33)

hypointense, tetapi untuk jaringan yang mempunyai T1 yang cepat maka pada pembobotan T1 akan kelihatan terang atau hypointens. Tabel dibawah ini menunjukkan karateristik jaringan dari struktur anatomi (Pierce, 1995).

Tabel 2.5 Hubungan karateristik jaringan dengan pembobotan T1 dan T2

Jaringan Pembobotan T1 Pembobotan T2

CSF Gelap Terang

Gray matter Abu - abu Abu-abu

White matter Terang Terang

Lemak atau fat Terang Abu-abu

Corticoal bone Gelap Gelap

Air Gelap Gelap

Darah atau blood Gelap Gelap

Edema Abu – abu gelap Terang

Protein Terang Terang

Dengan parameter TE yang pendek maka waktu untuk meluruh atau relaksasi spin-spin sangat singkat sehingga peluruhan sinyal menjadi minimal. Parameter TE yang pendek untuk meminimalkan tranversal decay, T2 selama akuisisi sinyal. Biasanya pembobotan T1 diinterpretasikan untuk menunjukkan struktur anatomi (Busberg, 2002).

2.8.2. Pembobotan T2 atau Spin-spin Relaxation

Pembobotan T2 adalah pembobotan dengan mengunakan parameter TR yang lama dan TE yang lama. Pembobotan T2 baik dalam menciptakan sinyal yang terang pada pemeriksaan kelainan patologi. Air akan tampak lebih cerah dari lemak (Robbie, 2006). Nilai TR lebih dari 1000 msec dan TE lebih dari 30 msec. Dengan TR yang panjang mengakibatkan terjadinya proses magnetisasi ke equilibrium untuk semua jenis jaringan (fat, CSF) sudah mencapai magnetisasi maksimum, saat itu juga perbedaan intensitas sinyal relative untuk semua jaringan.


(34)

Dengan nilai TE yang panjang maka jaringan yang mempunyai nilai TR pendek yaitu lemak pada pembobotan T2 akan tampak gelap atau hyperintens, karena waktu untuk meluruh atau relaksasi spin-spin pendek sehingga peluruhan sinyal menjadi lebih banyak. Peluruhan sinyal yang banyak mengakibatkan intensitas sinyal relatif yang dihasilkan menjadi sedikit, menjadi hyperintens. Artinya peluruhan sinyal yang sedikit akan meminimalkan proses.

Pembobotan T2 penting dalam memperlihatkan citra dari vertebra lumbal terutama irisan sagital dibandingkan teknik SE konvensional (Maksymowych, 2007). Pembobotan T2 FSE menggunakan echo train yang panjang atau ETL. Semakin banyak ETL, pembobotan T2 akan semakin tinggi. Hal ini akan menyebabkan kekaburan citra atau blurring, memungkinkan pengurangan nilai signal to noise ratio (SNR) atau perbandingan antara besarnya amplitudo sinyal dengan amplitude noise, yang berpengaruh terhadap kontras citra atau contras to noise ratio (CNR) merupakan salah satu kelemahan FSE (Woodward dan Freimarck, 2001).

Penelitian sebelumnya tentang pengaruh ETL menyatakan pada peluruhan T2 dengan echo train yang panjang atau ETL akan menyebabkan bluring yang berhubungan dengan pelebaran puncak pada fungsi titik sebaran point spread function (PSF), menggambarkan luasnya puncak setengah maksimum atau full width at half maximum (FWHM), yang menghasilkan nilai SNR yang akan mempengaruhi kontras citra MRI (Qin, 2012). Pada pencitraan MRI selain T2 yang tinggi juga dengan T2 yang pendek menyebabkan kekaburan dan kerugian sinyal amplitudo (Rahmer, et. al, 2006).

2.9. Metode Pencitraan

Metode pencitraan adalah metode pembentukan citra yang dipergunakan dalam pemeriksaan MRI atau magnetic resonance imaging. Ada 2 metode yang dipergunakan dalam penelititian ini, yaitu:

a. metode spin encho.


(35)

2.9.1. Metode spin encho

Metode spin echo adalah metode yang paling sederhana dan waktu pencitraan yang relatif cepat dan menghasilkan bentuk citra yang baik sehingga metode ini sering dipergunakan.

Rangkaian atau sequence pulsa RF diawali dengan pemberian pulsa 900, lalu dalam interval waktu TE/2 diikuti dengan pemberian pulsa 1800, dalam pemberian pulsa RF ini akan mempengaruhi posisi proton terhadap komponen magnetisasi transversal.

Pulsa ini menyebabkan berputarnya semua proton pada bidang transversal menjadi 1800, dan proses ini menyebabkan semua proton berputar bidang transversal negatif.

Akibatnya letak posisi proton lambat menjadi depan presisi proton cepat. Kemudian pada selang waktu TE/2 berikutnya seluruh proton sudah berpresisi pada kecepatan yang sama, sehingga fasenya sama untuk semua proton. Kembalinya semua proton kepada satu fase mengakibatkan magnetisasi transversal diperoleh kembali dan menghasilkan sinyal magnetic resonance yang maksimal, sinyal inilah yang disebut spin echo atau sinyal echo. Sejalan dengan proses perubahan fase, proton-proton mulai kembali yang diikuti dengan peluruhan induksi bebas (bushberg, 2001).

2.9.2. Meetode pembalikan kembali atau inversion recovery

Metode ini diawali dengan pemberian pulsa 1800 , yang menimbulkan vekor magnetisasi kearah sumbu Z negatip. Dengan pertambahan waktu maka proton akan kembali keadaan kesetimbangan, maka pada momen tertentu magnetisasi total atau net magnetitation akan berharga nol, karena besarnya magnetisasi pada arah sumbu Z negatip. Pada keadaan tersebut tidak akan ada sinyal yang akan terdeteksi atau intensitas sinyal yang akan dihasilkan adalah nol. Interval waktu tertentu setelah pulsa 1800 diberikan waktu pembalikan, dilanjutkan dengan pemberian pulsa 900 yang menyebabkan magnetisasi longitudinal kebidang transversal maka sinyal akan teramati dan terjadilah peluruhan induksi bebas. Kemudian diikuti dengan pemberian pulsa 1800 untuk


(36)

mendapatkan sinyal echo. Inversion recovery sama metode spin echo dengan penambahan pulsa 1800 diawal rangkaian pulsa RF.

Besarnya sinyal echo yang dihasilkan tergantung pada lamanya waktu pembalikan atau time inversion dan waktu tunda atau delay time, yaitu waktu dimana deretan pulsa pemulihan kembali diatas diulang kembali.

Disamping metode yang dipergunakan diatas ada beberapa metode yang mengandung teknik pemberian pulsa RF yaitu:

a. Variable-echo. b. Fast screen echo. c. Gradien echo.

2.9.3. Parameter Resolusi Citra Parameter resolusi citra terdiri dari: a. Jenis jaringan

b. Resolusi spasial

2.9.4. jenis jaringan

Jenis jaringan dibagi menjadi dua keadaan yaitu cairan atau liquid dan padat atau solid. Jaringan padat memiliki molekul-molekul relatif tetap hal ini berarti medan magnetnya tetap dan variasi lokal medan magnetik disekitar proton cukup berarti, dan jaringan cair medan magnet lokal dari molekul-molekul terdekatnya berubah dengan cepat, sebagai akibat dari gerakan molekulnya.

Didalam jaringan padat tumbukan tidak sering terjadi karena molekul-molekul relatif tetap, lain halnya dengan jaringan cair tumbukan sering terjadi karena molekul-molekulnya bebas bergerak dan mengakibatkan transfer energy lebih banyak sehingga proton lebih cepat mensejajarkan diri kembali kemedan magnet (bushberg, 2001).


(37)

Proton mensejajarkan diri secara pararel dan anti-aararel terhadap medan yang diberikan. Proses pensejajaran tersebut terjadi karena interaksi thermal molekul-molekul, dimana molekul-molekul dalam jaringan bertumbukan dan berinteraksi satu sama lain sehingga terjadi transfer energi.

Waktu relaksasi transversal untuk jaringan padat lebih cepat dibanding dengan jaringan cair. Karena struktur molekul relatif tetap sehingga medan-medan magnetiknya tetap. Ketidakhomogenan lokal tersebut cukup berarti sehingga menyebabkan efek antar medan magnetic cukup berpengaruh, terutama jika arahnya saling berlawanan sehingga interaksi antar spin-spin cukup memberikan pengaruh pada medan magnet total yang memberikan harga T2 cepat.

Pada jaringan cair molekulnya bebas dan bergerak cepat, sehingga magnetisasi lokal totalnya sangat cepat menjadi nol, hal ini menyebabkan interaksi spin-spin tidak cukup berarti. Akiibatnya uuntuk jaringan cair medan magnet internalnya lemah sehingga T2 kuranng berpengaruh pada perbahan fase.

Hal ini mengakibatkan kostanta waktu T2 jaringan cair panjang.

2.9.4. Resolusi spasial atau spatial resolution

Resolusi spasial adalah faktor yang sangat berhubungan dengan kualitas citra. Resolusi spasial dapat diperoleh dengan menentukan jumlah pixel (picture elemen) atau satuan pembentuk gambar yang ditampilkan dalam FOV (Field Of View) dan resolusi spasial berhubungan sekali dengan SNR (Signal to Noise Ratio) (bushberg, 2001).

Penggunaan pixel-pixel yang mewakili besarnya frekuensi encoding mengontrol waktu scan dimana arah frekuensi encoding terdapat pada window (band width) yang membaca data dari jaringan yang dipilih. Dimana banyaknya data yang diambil menentukan resolusi vertikal. Pada dasarnya resolusi sebanding dengan pemilihan ukuran jaringan dalam arah frekuensi encoding. Dengan menggunakan pixel-pixel kecil Maka akan mempertinggi resolusi spasial tetapi dalam hal ini harga SNR (signal to Noise Ratio) berkurang., sebab besarnya sinyal yang sama harus didistribusikan keseluruh pixel yang jumlahnya banyak.


(38)

2.9.5. Rekonstruksi Pencitraan MRI

Melalui antena frekuensi radio khususnya pada saat proton berada diantara selang relaksasi, bisa didapatkan sinyal RF yang dipancarkan dari tubuh pasien yang disebut peluruhan induksi bebas. FID merupakan intensitas sinyal MRI digambarkan sebagai fungsi waktu. Dan dengan melakukan transformasi Fourier terhadap FID menghasilkan spectrum MR. Spektrum MR tersebut merupakan gambar intensitas sinyal terhadap frekuensi dan puncak dari spectrum PR menyatakan suatu karateristik jaringan yang diamati.

Jika pada magnet utama tersebut diberikan media magnet gradien yang bedanya bisa diatur (bidang X, Y dan Z) yaitu pada potongan tubuh sagital, coronal dan axial, maka didapatkan spektrum MR yang sesuai (Bushberg, 2001).

Dengan medan magnet gradien yang kuat medan magnetnya jauh lebih kuat dari pada medan magnet utama, akan terjadi pembedaan kuat medan magnet diluar potongan tubuh yang dipilih, sehingga ada bagian yang lebih besar, maupun yang lebih kecil dari frekuensi larmor.

Dengan bantuan seperangkat komputer pesawat MRI yang dibuat atau yang deprogram sesuai dengan kekuatan dari medn magnet yang dihasilkan oleh superconductor didapatkan suatu pencitraan MRI. Pencitraan MRI dilakukan melalui suatu metode transformasi Fourier yang dapat mengkontruksi citra dari gambaran MRI.

Melalui berbagai proyeksi kemudian dapat direkontruksikan kedalam layar monitor, dan akan terbentuk gambar yang merupakan hasil dari pencitraan resonansi magnetic dan disamping dalam bentuk gambar di monitor juga dapat dimasukkan kedalam kaset (Bushberg, 2001).


(39)

Gambar 2.4 Komposisi dasar pada pesawat MRI

1. Dasar-dasar MRI

Pada dasar-dasar MRI ini akan dibahas mengenai pengertian MRI, Komponen utama MRI (magnet utama, gradien koil, pemancar (transmitter), koil penerima (receiver) dan komputer)

a. Pengertian MRI

Menurut www.cis. Rit. Edu/htbooks/nmr/chap-1. htm MRI merupakan sebuah teknik radiologi yang menggunakan magnetisasi, radiofrekuensi, dan computer untuk menghasilkan gambaran struktur tubuh.

Menurut jurnal Reshaping the way you look at MRI(2005) MRI adalah suatu alat diagnostik gambar berteknologi tinggi yang menggunakan medan magnet, frekuensi radio tertentu dan seperangkat komputer untuk menghasilkan gambar irisan-irisan penampang tubuh manusia.

b. Komponen Utama MRI

1. Magnet Utama (Hashemi,R.H, dan Bradley,W.G, 1997)

Magnet utama di gunakan untuk membangkitkan medan magnet yang mampu menginduksi jaringan tubuh sehingga menimbulkan magnetisasi. Beberapa jenis magnet utama, antara lain:


(40)

a. Mgnet permanen.

Magnet permanen terbuat dari beberapa lapis batang keramik ferromagnetik dan memiliki kuat medan magnet maksimal 0,3 Tesla. Magnet ini di rancang dalam bentuk tertutup maupun terbuka (C shape) dengan arah garis magnetnya adalah antero-posterior.

b. Magnet resistiv

Medan magnet dari jenis resistif dibangkitkan dengan memberikan arus listrik pada kumparan. Kuat medan magnet yang mampu dihasilkan mencapai 0,3 Tesla.

c. Magnet superkonduktor

Magnet ini mampu menghasilkan medan magnet hingga berkekuatan 0,5 Tesla-3.0 Tesla, dan sekarang banyak dipakai untuk kepentingan klinik. Helium cair digunakan untuk mempertahankan kondisi superkonduktor agar selalu berada pada temperatur yang diperlukan.

2. Koil gradien

Koil gradien dipakai untuk membangkitkan medan magnet gradient yang berfungsi untuk menentukan irisan, pengkodean frekuensi dan pengkodean fase. Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus yaitu bidang X, Y dan Z. Peranannya akan saling bergantian dengan potongan yang dipilih axial, sagital dan coronal. Ini digunakan untuk memvariasikan medan magnet pada pusat yang terdapat 3 medan yang saling tegak lurus antara ketiganya (X,Y dan Z). Secara koordinat ruang (X, Y dan Z). Kumparan gradien dibagi 3 yaitu:

1. Kumparan gradien pemilihan irisan (slice) 2. Kumparan gradien pemilihan fase


(41)

3. Koil Radio Frekuensi

Koil radiofrekuensi(RF), koil RF terdapat 2 tipe yaitu koil pemancar dan penerima. Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi, sedangkan koil penerima brefungsi untuk menerima sinyal output dari sistem setelah proses eksitasi terjadi (Peggy dan Freimark, 1995).

Koil RF dirancang untuk sedekat mungkin dengan obyek agar sinyal yang diterima memiliki amplitudo besar. Beberapa jenis koil RF diantaranya.

a. Koil Volume

Koil volume merupakan jenis koil RF yang sensitif terhadap volume tubuh jaringan dan sudut eksitasi yang sama, sehingga dapat menerima sinyal secara merata pada area yang tercakupinya. Koil berfungsi sebagai koil penerima sekaligus pemancar. Jenis koil volume diantaranya koil tubuh, koil genu dan koil leher.

b. Koil Permukaan

Koil permukaan didesain berbentuk kaku, lentur atau mirip pelana. Koil ini umumnya berfungsi sebagai koil penerima. Koil vertebra dan beberapa ekstrimitas termasuk jenis koil ini.

c. Koil Linier

Adalah koil yang sensitif terhadap perubahan medan magnet sepanjang garis axis tunggal. Koil permukaan sebagian besar termasuk koil linier.

d. Koil Kuadrat

Adalah koil yang sensitif terhadap perubahan axis ganda. Koil volume sebagian besar termasuk koil kuadrat.


(42)

e. Phase Array (PA) Koil

Phase Array kol dibuat untuk mengatasi kekurangan koil permukaan yang besar cakupan obyeknya sangat terbatas. PA koil umumnya digunakan pada servikal, thoraco-lumbal atau dapat dirangkaikan dengan beberapa tipe koil abdomen dan pelvis.

4. Sistem Komputer.

Sistem computer bertugas sebagai pengendali dari sebagian besar peralatan MRI. Dengan kemampuan piranti lunaknya yang besar computer mampu melakukan tugas-tugas multi, diantranya adalah operator input, pemilihan potongan, kontrol system gradient, kontrol sinyal RF. Disamping itu, computer juga berfungsi untuk mengolah sinyal hingga menjadi citra MRI yang biasa dilihat melalui layar monitor, disimpan ke dalam piringan magnetik atau bisa langsung dicetak.

2. Fisika MRI

a. Nukleus Aktif MR (Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999)

Nukleus aktif MR yaitu inti-inti atom dalam tubuh manusia yang memiliki nomor massa ganjil, baik jumlah proton maupun neutronnya yang ganjil. Beberapa nucleus aktif MR yaitu hidrogen (1 proton dan tanpa neutron), Carbon-13, Phosfor-31, sodium-23, oksigen-17, nitrogen-15. Hidrogen adalah nucleus aktif MR yang banyak digunakan dalam MRI karena hydrogen dalam tubuh sangat banyak dan protonnya mempunyai moment magnetik yang sangat besar. Dalam kondisi normal moment magnetic inti hidrogen arahnya random. Namun apabila ditempatkan dalam suatu medan magnet yang kuat, momen magnetic inti-inti atom akan menyesuaikan arah dengan medan magnet statis. Sebagian besar inti hidrogen akan parallel dengan medan magnet statis. Inti atom hidrogen yang mempunyai energi rendah akan parallel terhadap medan magnet statis dan inti–inti atom hidrogen yang tinggi


(43)

mempengaruhi penyesuain inti-inti atom hidrogen terhadap medan magnet statis adalah kuat lemahnya medan magnet statis dan energi thermal inti atom, yakni bila energi thermal lebih lemah tidak cukup kuat untuk berlawanan dengan medan magnet statis (Bo), dan bila energi thermal tinggi akan cukup untuk anti parallel.

b. Presesi

Tiap-tiap inti hidrogen membentuk NMV spin pada sumbu atau porosnya. Pengaruh dari Bo akan menghasilkan spin sekunder atau ”gerakan” NMV mengelilingi Bo. Spin sekunder ini disebut precession, dan menyebabkan magnetik moment bergerak secara circular mengelilingi Bo. Pergerakan itu disebut ”precessional path” dan kecepatan gerakan NMV mengelilingi Bo disebut ”frekuensi path” Satuan frekuensinya MHz, dimana 1 Hz= 1 putaran per detik.

Gambar 5. Presesi

c. Resonansi

Adalah fenomena yang terjadi apabila sebuah obyek diberikan pulsa yang mempunyai frekuensi sesuai dengan frekuensi Larmor. Apabila tubuh pasien diletakkan dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat, maka inti-inti atomnya akan berada pada arah yang searah atau berlawanan dengan medan magnet luar dan inti-inti itu akan mengalami perpindahan dari suatu energi ke tingkat energi yang lain. Proses perpindahan energi ini seringkali merubah arah dari NMV, akibatnya


(44)

vektor dapat berubah arah dari arah longitudinal atau parallel medan magnet luar, ke arah yang lain. Peristiwa ini terjadi apabila inti atom menyerap energi untuk berpindah energi yang lebih tinggi atau melepaskan energi untuk berpindah ke tingkat yang lebih rendah. Energi untuk terjadinya proses ini di dapat dari energi pulsa radiofrekuensi. Pulsa radiofrekuensi ini harus mempunyai frekuensi tertentu untuk dapat berperan dalam proses transisi, dan harus disesuaikan dengan kekuatan medan magbnet eksternal. Untuk magnet dengan kekuatan 1 Tesla (10.000 gauss), frekuensi RF yang diperlukan adalah 42,6 Mhz, sedangkan untuk 1,5 Tesla diperlukan 63,9 Mhz

d. MR Signal

Adalah sebagai akibat resonansi NMV mengalami inphase pada bidang transversal. Hukum Farady menyatakan jika receiver koil ditempatkan pada area medan magnet yang bergerak misalnya NMV yang mengalami presesi pada bidang transversal tadi akan dihasilkan voltage dalam receiver koil. Oleh karena itu NMV yang bergerak menghasilkan medan magnet yang berfluktuasi dalam koil. Saat NMV berpresesi sesuai frekuensi Larmor pada bidang transversal, maka akan terjadi voltage. Voltage ini merupakan MR signal. Frekuensi dari signal adalah sama dengan frekuensi Larmor, besarnya kecilnya sinyal tergantung pada banyaknya magnetisasi dalam bidang transversal. Bila masih NMV, akan menimbulkan sinyal yang kuat dan tampak terang pada gambar, bila NMV lemah akan sedikit menimbulkan sinyal dan akan tampak gelap pada gambar.

e. Sinyal FID (Free Induction Decay)

Pada saat mengalami relaksasi, NMV akan mengeluarkan energi dalam bentuk sinyal. Pemberian pulsa 90o menghasilkan sinyal yang dikenal dengan peluruhan Induksi Bebas (Free Induction Decay = FID), tetapi sinyal ini sulit dicatat. Untuk mendapatkan sinyal echo yang memiliki energi besar dibutuhkan lagi pulsa 180o. Sinyal echo yang akan ditangkap koil sebagai data awal proses pembentukan citra.


(45)

Pembentukan citra ini ketika energi RF diberikan pada pasien menyebabkan obyek akan tereksitasi dan sinyal terakusisi dalam daerah yang terlokalisasi menjadi tiga dimensi. Metode yang digunakan tersebut dikenal dengan metode Transformasi Fourier 2 dimensi. Masing-masing sinyal yang didapatkan oleh masing-masing elemen voxel akan terukur dalam peralatan MRI menjadi suatu nilai Signal to Noise Ratio (SNR) yaitu perbandingan yang diperoleh masing-masing elemen voxel terhadap noise. Dan SNR ini yang akan menentukan citra yang diperoleh. SNR ini yang akan menggambarkan besar intensitas signal yang didapat pada elemen voxel, maka SNR akan bergantung pada langkah pengkodean fase dan dapat dijumlahkan serta diratakan. Besarnya matrik menentukan jumlah pixel atau satuan pembentuk citra. Ukuran matrik bertambah besar maka jumlah pixel bertambah banyak pula, tetapi ukuran pixel bertambah kecil. Jika ukuran matrik betambah besar maka resolusi spatial meningkat bertambah baik), karena ukuran pixelnya menjadi lebih kecil. Namun hal tersebut akan mengurangi banyaknya sinyal yang diterima oleh setiap pixel sehingga memperoleh perbandingan SNR yang sangat baik (Friedman dan Barry, 1989)

f. Relaksasi

Selama relaksasi NMV membuang seluruh energinya yang diserap dan kembali pada Bo. Pada saat yang sama, tetapi tidak tergantung moment magnetik NMV kehilangan magnetisasi transversal yang dikarenakan dephasing. Relaksasi menghasilkan recoveri magnetisasi longitudinal dan decay dari magnetisasi transversal.

1) Recoveri dari magnetisasi longitudinal disebabkan oleh proses yang dinamakan T1 recoveri

2) Decay dari magnetisasi transverse disebabkan oleh proses yang dinamakan T2 decay

g. T1 Recoveri

Disebabkan oleh inti-inti atom yang memberikan energinya pada lingkungan sekitarnya atau lattice, dan disebut spin lattice relaksasi.


(46)

Energi yang dibebaskan pada sekeliling lattice menyebabkan inti-inti atom untuk recoveri ke magnetisasi longitudinal. Rate recoveri adalah proses eksponensial dengan waktu yang konstan yang disebut T1. T1 adalah waktu pada saat 63% magnetisasi longitudinal untuk recoveri.

h. T2 Decay

Disebabkan oleh pertukaran energi inti atom dengan atom yang lain. Pertukaran energi ini disebabkan oleh medan magnet dari tiap-tiap inti atom berinteraksi dengan inti atom lain. Seringkali di namakan spin-spin relaksasi dan menghasilkan decay atau hilangnya magnetisasi transverse. Rate decay juga merupakan proses eksponensial, sehingga waktu relaksasi T2 dari jaringan soft tissue konstan. T2 adalah waktu pada saat 63% magnetisasi transverse menghilang.

3. Pembentukan Citra

Citra MRI dibentuk melalui proses pengolahan sinyal yang keluar dari obyek. Sinyal baru bisa diukur apabila arah vektornya di putar dari sumbu z (Mz) menuju sumbu xy (Mxy). Pemutaran arah vector magnet jaringan dan pengambilan sinyalnya dijelaskan melalui serangkaian proses dibawah ini.

a. Pulsa RF (Radiofrekuensi)

Pulsa Rf merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki frekuensi antara 30-120 MHz. Apabila spin diberikan oleh sejumlah pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi Larmor, maka terjadilah resonansi. Spin akan menyerap energi pulsa dan mengakibatkan sudut presesi semakin besar. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama (Nuclear magnetik Resonance)

b. Pembobotan T1

Yaitu citra yang kontrasnya tergantung pada perbedaan T1 time. T1 time adalah waktu yang diperlukan NMV untuk kembalinya 63%


(47)

mengontrol seberapa jauh vector dapat recover sebelum diaplikasi RF berikutnya, maka untuk mendapatkan pembobotan T1, TR harus dibuat pendek sehingga baik lemak maupun air tidak cukup waktu untuk kembali ke Bo, sehingga kontras lemak dan air dapat tervisualisasi dengan baik. Jika TR panjang lemak dan air akan cukup waktu untuk kembali ke Bo dan recover magnetisasi longitudinal secara penuh sehingga tidak bisa mendemontrasikan keduanya dalam gambar. Pembobotan T1 dimana TR pendek 300-600 ms , TE pendek 10-20 ms dan waktu scanning 4-6 menit

c. Pembobotan T2.

Yaitu citra yang kontrasnya tergantung perbedaan T2 time. T2 time adalah waktu yang diperlukan untuk meluruh hingga 37 % dari nilai awalnya dan dikontrol oleh TE. Untuk mendapatkan T2 weighting, TE harus panjang untuk memberikan kesempatan lemak dan air untuk decay, sehingga kontras lemak dan air dapat tervisualisasi dengan baik. Jika TE terlalu pendek maka baik lamak dan air tidak punya waktu untuk decay sehingga keduanya tidak akan menghasilkan kontras gambar yang baik. Pembobotan PD/T2 dimana TR panjang 2000 ms, TE pendek 20 ms/ TE panjang >80 ms dan Waktu scnning 7-8 menit

4. Spin Echo

a. Pengertian Spin Echo

Menggunakan eksitasi pulsa 90o yang diikuti oleh satu atau lebih rephasing pulsa 180o, untuk menghasilkan spin echo. Jika hanya menggunakan satu echo gambaran T1 Weighted Image dapat diperoleh dengan menggunakn TR pendek dan TE pendek. Sedangkan untuk menghasilkan proton density dan T2 Weighted Image, diaplikasikan dua spin echo dengan dua pulsa RF 180o rephasing, echo pertama dengan short TE dan long TR, untuk menghasilkan proton density, echo kedua dengan long TR dan long TE menghasilkan T2. Pada spin echo raw image data, dari masing-masing echo di simpan


(48)

Spin Echo

FID spin

echo RF pulse

readout frequency encode

signal

gradient

RF pulse

pada K-space dan banyaknya pulsa 180o rephasing yang diaplikasikan sesuai dengan banyak yang dihasilkan per TR.

Gambar 6. Urutan sekuence pada pulse sekuence spin echo (Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999).

b. Waktu Scanning

Waktu scanning pada sekuens Spin Echo dapat dihitung dengan rumus :

Waktu scanning Spin Echo = TR x Jumlah phase enchode x NEX

Dimana:

TR  Time Repetition (ms)

Jumlah Phase Enchode  Jumlah fase digunakan

NEX  Jumlah eksitasi data

Misalnya pencitraan dengan 550, phase enchode 256 dan NEX 1 maka waktu scanningnya 2,35 menit

c. Keunggulan Spin Echo

Keunggulan dari penggunaan spin echo konvensional ini akan didapatkan citra yang berkualitas (SNR tinggi) dengan artefak yang tidak banyak. Untuk neuro imaging, sekuens spin echo ini banyak sekali dipergunakan. Selain memiliki kontras yang bagus, sekuens ini juga sangat sensitif untuk menilai abnormalitas. Menurut michell,


(49)

pada dekade terkhir ini, spin echo konvensional adalah yang paling sering digunakan untuk menghasilkan citra dengan pembobotan T1

d. Keterbatasan Spin Echo

Keterbatasan dari penggunaan spin echo konvensional adalah waktu scanning yang lama

5. Kualitas Citra MRI

a. Signal To Noise Ratio (SNR)

SNR adalah perbandingan antara besarnya signal amplitudo dengan besarnya noise dalam gambar MRI. Noise nilainya konstan untuk setiap pasien dan tergantung pada kondisi pasien, area pemeriksaan dan sistem komponen MRI. semakin besar signal maka akan semakin meningkatkan SNR dan sebaliknya menurunkan sinyal akan menurunkan SNR. SNR dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu densitas proton dari daerah yang diperiksa, voxel volume, TR, TE, flip angel, NEX, receive bandwidth dan koil. (Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999)

1. Densitas Proton.

Merupakan jumlah proton pada area pemeriksaan yang menentukan amplitude sinyal yang diterima. Daerah dengan densitas proton yang rendah menghasilkan signal yang rendah sehingga SNR yang dihasilkan juga rendah. Sebaliknya daerah dengan desitas proton yang tinggi akan menghasilkan proton yang tinggi sehingga SNR yang dihasilkan juga tinggi.

2. Voxel volume

Voxel volume menandakan volume dalam pasien dan ditentukan oleh pixel area dan ketebalan irisan (slice thickness). Pixel area ditentukan oleh ukuran Field of View (FOV) dan jumlah pixel dalam FOV atau matrik. Voxel yang besar mempunyai inti-inti atom yang lebih banyak daripada voxel yang kecil, sehingga voxel yang besar mempunyai SNR yang lebih tinggi. Melipatgandakan (2


(50)

kali) slice thickness akan menduakalikan SNR dan menduakalikan FOV akan mengempatkalikan SNR.

3. TR, TE, Flip angel a. Time Repetition (TR)

TR adalah waktu yang diperlukan untuk aplikasi satu pulsa radiofrekuensi ke pulsa radiofrekuensi berikutnya.

Dimana satuannya Millisecond (ms). TR menentukan jumlah relaksasi terjadinya antara satu radio frekuensi dan aplikasi radio frekuensi berikutnya, oleh karena itu TR menentukan jumlah dari relaksasi T1 terjadi. Keuntungan TR meningkat yaitu: meningkatnya SNR dan meningkatnya jumlah slice, sedangkan kerugiannya adalah meningkatnya waktu scanning dan menurunnya pembobotan T1 Keuntungan TR turun yaitu waktu scanning berkurang dan meningkatnya pembobotan T1, sedangkan kerugiannya adalah turunnya SNR dan jumlah slice berkurang.

Gbr 7. Time repetition (TR) (Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999). b. Time Echo (TE)

TE adalah waktu yang diperlukan dari aplikasi radio frekuensi sampai puncak induksi sinyal dalam koil, dimana satuannya millisecond (ms). TE menentukan berapa banyak magnetisasi transverse untuk decay yang terjadi sebelum dibaca. Oleh karena itu TE mengontrol jumlah T2 relaksasi yang terjadi.


(51)

Gambar 8. Time echo (TE) (Westbrook, 1999). c. Flip angle (FA)

menentukan jumlah magnetisasi transverse. Maksimum amplitudo dihasilkan dengan flip angle 90o. Flip angle yang lebih rendah akan menghasilkan SNR yang rendah pula.

4. NEX

NEX (Number of excitation) merupakan nilai yang menunjukkan pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan amplitudo dan phase encoding yang sama. NEX mengontrol jumlah data yang disimpan dalam tiap-tiap lajur K-space. Menduakalikan NEX maka menduakalikan jumlah data yang disimpan dalam lajur K-space.Data berisi signal dan noise. Noise adalah random dan dalam posisi yang berbeda tiap-tiap waktu data yang disimpan. Dan signal tidak random, selalu terjadi dalam tempat yang sama ketika data dikumpulkan. Menambah NEX sebesar 2 kali, hanya akan menambah SNR sebesar 2 (=1.4). Meningkatkan NEX, bukan cara terbaik untuk meningkatkan SNR. Keuntungan NEX meningkat yaitu: meningkatnya SNR dan rata-rata signal lebih banyak dan mengurangi motion artefak, sedangkan kerugiannya adalah meningkatnya waktu scanning Keuntungan NEX turun yaitu: berkurangnya waktu scanning dan kerugiannya adalah menurunnya SNR dan rata-rata signal kurang


(52)

5. Receive bandwidth

Adalah rentang frekuensi yang terjadi pada sampling data pada obyek yang di scan. Semakin kecil bandwidth maka noise akan semakin kecil tetapi akan berpengaruh pada TE minimal yang dipilih.

6. Koil

Pada prinsipnya semakin dekat koil dengan organ maka SNR yang dihasilkan semakin tinggi.

a. Type koil yang digunakan menentukan jumlah sinyal yang diterima juga SNR

b. Contoh : Surface koil yang ditempatkan dekat dengan area pemeriksaan akan menghasilkan SNR yang tinggi

c. Umumnya ukuran koil juga menentukan SNR. Koil yang besar memungkinkan untuk coverisasi area pemeriksaan yang lebih baik, tetapi akan menghasilkan SNR yang rendah dikarenakan artefact yang muncul akan lebih banyak.

d. Koil yang kecil akan menghasilkan SNR yang besar tetapi ukuran coverisasi area pemeriksaan sempit.

e. Contras To Noise Ratio (CNR)

Adalah perbedaan SNR antara 2 organ yang saling berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukan perbedaan daerah yang patologis dengan daerah yang sehat. Dalam hal ini, CNR dapat ditingkatkan dengan cara:

a. Menggunakan kontras media

b. Menggunakan pembobotan gambar T2 c. Memilih magnetization transverse

d. Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectra presaturation.

e. Spatial Resolution

Adalah kemampuan untuk membedaan antara dua titik secara terpisah dan jelas. Spatial resolution menentukan resolusi gambar dan dikontrol oleh voxel. Semakin kecil ukuran voxel maka resolusi akan semakin baik, karena


(53)

struktur-struktur yang kecil dapat dibedakan. Sedangkan voxel yang besar akan menghasilkan resolusi yang rendah dan struktur yang kecil tidak dapat dibedakan. Hal ini dikarenakan intensitas sinyal dirata-rata bersama sehingga partial volume terjadi. Spatial resolution dapat ditingkatan dengan:

1. Irisan yang tipis

2. Matrik yang halus atau kecil. 3. FOV kecil

4. Menggunakan rectangular FOV bila memungkinkan 5. Scan Time.

Scan time adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan akuisisi data. Scan time berpengaruh terhadap kualitas gambar, karena dengan waktu scanning yang lama akan menyebabkan pasien bergerak dan kualitas gambaran akan turun. Beberapa hal yang berpengaruh terhadap scan time adalah TR, jumlah phase enchode dan jumlah akusisi (NEX). Rumusnya: Waktu scanning Spin Echo = TR x Jumlah phase enchode x NEX

Dimana, TR Adalah waktu dari masing-masing repetition (pengulangan) pulsa 90o-90o, Jumlah Phase Enchod adalah jumlah dari fase digunakan, yang menentukan jumlah dari lajur K-space yang terisi pada saat scanning. NEX adalah nilai yang menunjukkan pengulangan pencatatan data selama akuisisi.

Optimisasi mengurangi waktu scan yaitu: a. Menurunkan nilai TR, maka:

1. Pembobotan T1 meningkat 2. SNR turun

3. Jumlah slice berkurang

b. Menurunkan nilai phase enchode, menyebabkan spatial resolusi rendah, sedangkan nilai SNR meningkat

c. Menurunkan nilai NEX, berpengaruh pada SNR dan artefak semakin meningkat

d. Menurunkan jumlah slice, maka SNR turun. e.


(54)

2.1 Optimalisasi hasil pencitraan 2.1.1 Masalah teknis

Signal to Noise Ratio (SNR) pada regio lumbal tergantung pada kualitas coil yang digunakan. Coil spinal posterior menghasilkan sinyal yang kuat pada

daerah kanalis lumbal dan korpus vertebra, namun jaringan lemak pada pantat

kadang mempengaruhi hasil pencitraan. Surface Coil memungkinkan untuk

mendapatkan hasil pencitraan yang baik pada region thorakal dan lumbal hal

ini berhubungan dengan SNR dan resolusi yang dihasilkan tinggi.

Karena aliran LCS berkurang pada area ini, FSE lebih sering digunakan

secara rutin. Hal ini memungkinkan implementasi matriks yang sangat halus

sehingga resolusi spasial secara signifikan meningkat. Resolusi juga didapat

dengan penggunaan FOV rektanguler/asimetrik pada pencitraan sagital (dengan

sumbu empat persegi panjang dari superior ke inferior ) dan FOV kecil pada

pencitraan aksial / oblik.

Rumus

S

SNR persamaan 2.1

S = sinyal

 = noise atau derau

Contras to Noise Ratio (CNR) adalah perbedaan SNR antara organ yang saling berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukkan perbedaan daerah yang patologis

dan daerah sehat. Dalam hal ini, CNR dapat ditingkatkan dengan cara :

a. Menggunakan kontras media.


(55)

c. Memilih magnetization transfer.

d. Menghilangkan gambar jaringan normal dengan spectral

pre-saturation.

Rumus CNRSNRaSNRb persamaan 2.2 2.1.2 Parameter yang terdapat pada MRI.

Sekuens dalam pemeriksaan MRI tidak terlepas dari

parameter-parameter yang saling mempengaruhi, baik parameter-parameter intrinsik maupun

parameter ekstrinsik. Untuk itu sebelum membahas mengenai sekuens,

penulis akan menyajikan mengenai sebagian dari parameter-parameter

yang ada, antara lain :

2.1.2.1 Parameter Intrinsik

1. T1 (Waktu Relaksasi Longitudinal)

Waktu relaksasi longitudinal ( T1 ) adalah waktu berkurangan

energi proton sampai 63% dari energi pulsa Radio Frekwensi

(RF) yang diserap. Pada gambaran MRI dengan pembobotan T1, jaringan dengan T1 yang pendek pendek akan tampaknya putih,

sedangkan jaringan dengan T1 yang lama akan tampak gelap.

2. T2 (Waktu Relaksasi Transversal)

Waktu relaksasi Transversal (T2) adalah waktu berkurangnya kuat

magnetisasi yang menyebar di bidang XY sampai 63%. Gambar

MRI dengan pembobotan T2, jaringandenganT2yanglama akan


(56)

tampak putih, sedangkan jaringan dengan T2 yang pendek akan


(57)

Tabel 2.1

Hubungan T1 dan T2 untuk berbagai jaringan Dengan kuat medan magnet 1 tesla (Bushong, 1998)

No Jaringan / organ T1 (ms) T2 (ms)

1 Lemak 180 90

2 Lever 270 50

3 Renal 360 70

4 White matter (otak) 390 90

5 Limpa 480 80

6 Gray matter (otak) 520 100

7 Otot 600 40

8 Medula renalis 680 140

9 Darah 800 180

10 Cerebro Spinal Fluid

(CSF)

2000 300


(58)

2.1.2.2 Parameter Ekstrinsik

1. TR ( Time Repetition / Waktu pengulangan )

Waktu pengulangan adalah interval waktu antara

pengulangan dua pulsa yang sama. Pemberian TR yang

panjang dapat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih

banyak serta SNR (Signal to Noise Ratio) yang lebih baik,

namun menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk

memperoleh data menjadi lebih lama. TR yang pendek dapat

mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah

irisan jaringan yang dievaluasi menjadi sedikit dan SNR

menjadi rendah.

Gambar. 2.11 Ilustrasi dari Time Reptition/TR (Peter A Rinck, 1993)


(59)

TR dianggap pendek jika kurang dari 500 ms, sedangkan TR dianggap

panjang jika lebih dari 1500 ms. TR berkaitan dengan waktu relaksasi

longitudinal. Dari pulsa waktu TR akan memberikan kekontrasan citra yang

berbeda, TR pendek memberikan kontribusi T1 lebih banyak daripada kontribusi

T1 pada TR yang panjang. TR yang panjang memberikan kekontrasan citra yang

kurang baik, karena relaksasi longitudinal kedua jaringan sudah mencapai

keadaan setimbang sempurna. Pemberian TR yang pendek akan memberikan

kekontrasan citra lebih baik, karena relaksasi longitudinal jaringan CSF yang lebih

banyak belum sempurna kembali ke keadaan setimbang sehingga perbedaan

intensitas sinyal yang diberikan dari kedua jaringan lebih besar, kontras pada

diagnostik berkisar antar 0,0 – 0,6 (Sprawls, 1987)

2. TE (time Echo / Waktu Gaung )

Waktu gaung adalah interval waktu dari saat terakhir

pada RF diberikan sampai terdeteksinya sinyal MR

(Magnetic Resonance) maksimum. Sinyal MR maksimum

tersebut merupakan sinyal spin echo. TE disebut pendek, jika

waktunya kurang dari 30 ms. Pemberian TE dengan panjang

waktu sekitar tiga kali lipat TE pendek disebut TE panjang.

Pemilihan panjang dan pendeknya akan mempengaruhi


(60)

Gambar 2.12 Ilustrasi dari Time Echo/ TE

(Peter a. Rinck, 1993)

Intensitas sinyal besar jika memakai TE pendek, namun

akibatnya kekontrasan citra kurang baik karena tidak dapat

membedakan jaringan yang satu dengan jaringan yang

lainnya yang memiliki relaksasi transversal yang berbeda.

Pemilihan TE panjang dapat memberikan kekontrasan citra

yang kurang baik, namun intensitas sinyal yang di dapat


(61)

A. Prinsip-prinsip dasar

1. Instrumentasi dasar MRI (Ness Aiver,1997) a. Komponen Utama MRI

Komponen utama MRI yaitu : magnet utama, gradien koil, koil

pemancar (transmitter), koil penerima (receiver) dan komputer.

1) Magnet Utama

Magnet Utama dipakai untuk membangkitkan medan magnet

berkekuatan besar yang mampu menginduksi jaringan tubuh

sehingga menimbulkan magnetisasi.

2) Gradien Koil

Gradien koil dipakai untuk membangkitkan medan magnet gardien

yang berfungsi untuk menentukkan irisan, pengkodean frekuensi,

dan pengkodean fase. Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus,

yaitu bidang X,Y, dan Z. Peranannya akan saling bergantian

berkaitan dengan potongan yang dipilih, aksial,sagital, koronal.

Secara sumbu koordinat ruang (x,y,z) kumparan gradien dibagi

tiga, yaitu : kumparan gradien pemilihan irisan (slice)Gz,

kumparan gradien pemilihan faseGy, dan kumparan gradien

pemilihan frekuensi (pembacaan)Gx.

3) Koil Radiofrekuensi

Koil radiofrekuensi terdapat 2 tipe, yaitu koil pemancar dan


(62)

gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi

eksitasi, sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal

output dari sistem setelah proses eksitasi terjadi (Peggy dan

Freimarck, 1995).

Beberapa jenis koil RF, diantaranya adalah : koil volume (Volume Coil),

koil permukaan (surface koil), koil linier, koil kuadran, Phase array (PA)coil.

Keterangan gambar: 1. Magnet statis 2. Koil gradien 3. Koil radiofrekuensi

Gambar .1 Ilustrasi tubuh pasien didalam mobilitas MRI (Carlton dan Adler,2001)

4) Sistem Komputer

Sistem komputer sebagai pengendali dari sebagian besar peralatan

MRI. Dengan kemampuan piranti lunaknya yang besar komputer


(63)

adalah operator input, pemilihan potongan, kontrol sistem gradien,

kontrol sinyal RF dan lain-lain. Disamping itu, komputer juga

berfungsi untuk mengolah sinyal hingga menjadi citra MRI yang

bisa dilihat melalui layar monitor, disimpan ke dalam piringan

magnetik, atau bisa langsung dicetak

b. Pembentukkan Citra

Citra MRI dibentuk melalui proses pengolahan sinyal yang keluar dari

obyek. Sinyal baru bisa diukur apabila arah vektornya diputar dari

sumbu Z (Mz) menuju xy (Mxy). Pemutaran arah vektor magnet

jaringan dan pengambilan sinyalnya dijelaskan melalui serangkaian

proses berikut :

1) Pulsa RF (Radio Frequency)

Pulsa RF merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki

frekunsi antara 20 – 120 MHz. Apabila spin diberikan oleh

sejumlah pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi

larmor, maka terjadilah resonansi. Spin akan menyerap energi

pulsa dan mengakibatkan sudut presesi semakin besar. Peristiwa

tersebut dikenal dengan Nuclear Magnetic Resonance (NMR).

Ketika energi RF diterapkan pada pasien menyebabkan objek akan

tereksitasi dan sinyal terdeteksi dalam daerah terlokalisasi tiga

dimensi. Metode yang digunakan tersebut dikenal dengan metode

transformasi fourier dua dimensi. Disini bidang pencitraan atau

daerah yang terseleksi akan tereksitasi oleh pulse RF ketika


(1)

Pasien C TR=500, ST =4, TE= 103

Gambar 4.1 Beberapa Citra pasien dengan TR 300, TR 400, TR 500

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa hasil citra dipengaruhi oleh parameter TR. Untuk menentukan citra mana yang lebih berkwalitas maka pada citra dilakukan daerah yang diamati pada daerah tertentu sehingga diperoleh nilai intensitas jaringan dengan cara penentuan ROI pada jaringan corpus,CSF, fat


(2)

Tabel 4.1 Nilai Intensitas jaringan Data

pasien

TR Nilai ROI

corpus CSF Fat BG

Pasien A

300 84.0 248.8 52.4 42.8

400 64.3 190.8 432.0 10.2

500 84.0 248.8 52.4 42.8

Pasien B

300 38.0 44.9 23,6 13.2

400 62.0 115.8 371.1 12.6

500 46.0 263.7 437.4 10.9

Pasien C

300

68.4 135.6 313.8 9.9

400 101.6 87.8 474.6 9.9

500 125.2 253.1 602.4 13.1

Tabel 4.1 menunjukkan nilai intensitas jaringan yang diperoleh dengan cara ROI pada masing – masing citra A,B dan C,,seperti pada gambar 4.1 Dari nilai intensitas akan didapat nilai SNR dengan ketentuan Bryan (2010) yaitu

S SNR

N

Dimana :

SNR = Signal to Noise Rasio ( Intensitas Daerah Yang di Amati ) S = signal jaringan


(3)

Tabel 4.2 nilai SNR jaringan

Pasien TR Nilai SNR

Corpus CSF Fat

A 300 84 248.8 52.4

B 300 38 44.9 5.363636

C 300 68.4 135.6 313.8

A 400 64.3 190.8 432

B 400 62 115.8 371.1

C 400 101.6 87.8 474.6

A 500 84 248.8 52.4

B 500 46 263.7 437.4

C 500 125.2 253.1 602.4

Dari tabel 4.2 diatas diperoleh nilai SNR yang merupakan nilai intemsitas signal masing – masing daerah yang diamati pada setiap citra pasien A,B maupun C sehingga didapat citra mana yang lebih berkualitas yang ditunjukkan pada gambar diagram SNR sepertidibawah ini;


(4)

Diagram pada Gambar 4.2 diatas menunjukkan hasil nilai SNR dari masing – masing citra MRI Lumbal dari intensitas daerah yang diamati, dimana TR yang digunakan yaitu TR300, TR400 dan TR 500. Diperolehhasil bahwa semakin tingginilai TR atausemakin cepat waktu pengulangan maka SNR semakis tinggi yang artinya citra lenih berkualitas pada saat TR nya lebih maksimum

Pada penelitian ini protokol pencitraan parameter TR dari 300 – 500 ms. Protokol dengan TR = 300 ms merupakan protokol standar rutin.Hasil rerata perhitungan SNR pada setiap jaringan diperlihatkan pada tabel 4.1 di bawah. Penggambaran hubungan SNR dengan peningkatan nilai TR pada masing-masing jaringan dengan jelas diperlihatkan dalam grafik pada gambar 4.2.

Waktu pengulangan atau repetition time adalah interval waktu antara pengulangan dua pulsa yang sama. Pemberian TR yang lama tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal noise

yang lebih baik, namun menyebabkan waktu yang di butuhkan untuk memperoleh data yang lebih lama. TR yang cepat dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi jelek.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Penelitian yang telah dilaksanakan, dapat diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian TR yang lama dengan TR = 500 ms,tepat mengevaluasi jaringan dalam irisan yang lebih banyak serta memberikan harga sinyal

noise yang lebih baik, namun menyebabkan waktu yang di butuhkan untuk memperoleh data yang lebih lama. Dan kualitas citra yang diperoleh lebih terang.

2. TR yang cepat dengan TR =300 ms,dapat mempersingkat waktu pengambilan data namun jumlah irisan jaringan yang di evaluasi menjadi sedikit dan signal to noise ratio (SNR) menjadi kecil dan kualitas citra menjadi berkurang.

5.2 Saran

Sebagai masukan guna pengembangan lebih lanjut dari penelitian ini, maka penulis memberikan saran dimana waktu yang terbatas dan data yang sulit didapat, sebaiknya data diambil lebih banyak.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto. Heri, 2008, Pemrograman Mikrokontroler AVR ATMega16, Penerbit Informatika. Bandung.

Bejo, Agus, 2008, C dan AVR Rahasia Kemudahan Bahasa C dalam Mikrokontroler ATMega 8535. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta.

Setiawan, afri, 2011, 20 Aplikasi Mikrokontroler ATMega8535 dan ATMega 16 Menggunakan Bascom-AVR,Penerbit Andi. Yogyakarta.

Setiawan, sulhan, 2006, Mudah dan Menyenangkan Belajar Mikrokontroler,

Penerbit Andi . Yogyakarta.

http://www.atmel.com/pt/br/Images/doc2466.pdf

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/DataDokumen/Dokumen_Buku_Informasi _Perubahan_Iklim_dan_Kualitas_Udara.PDF

http://www.figarosensor.com/products/2201pdf.

https://www.sparkfun.com/datasheets/LCD/ADM1602K-NSA-FBS-3.3v.pdf www.es.co.th/schemetic/pdf/RWS-374-6.pdf

http://dlnmh9ip6v2uc.cloudfront.net/datasheets/Wireless/General/TWS-BS-3_433.92MHz_ASK_RF_Transmitter_Module_Data_Sheet.pdf


Dokumen yang terkait

Conclusion: Combination of strong fat saturation and TR 700 ms can produce the most optimal image information. Keywords: Fat saturation, Time Repetition, MRI Brain Tumor PENDAHULUAN - Optimalisasi Informasi Citra T1 W1 Post-Contrast Dengan Fat Saturation

0 0 8

Keywords : image quality, scan time, GRAPPA, MRI Parameters PENDAHULUAN - Perbedaan Kualitas Gambar MRI 0,3 Tesla Antara Metode Grappa dan Metode Perubahan Nilai Parameter dengan Metode Rutin (Studi Pada Pemeriksaan MRI Vertebra Lumbal Potongan Sagital T2

0 3 5

Optimisasi Field of View (FOV) Terhadap Kualitas Citra Pada T2WI FSE MRI Lumbal Sagital

0 1 5

ANALISIS VARIASI TIME REPETITION (TR) TERHADAP SIGNAL TO NOISE RATIO DAN CONTRAST TO NOISE RATIO PADA PEMERIKSAAN MRI CERVICAL T2 WEIGHTED FAST SPIN ECHO (FSE) POTONGAN SAGITAL ANALYSIS OF TIME REPETITION (TR) VARIATION TO SIGNAL TO NOISE RATIO AND CONTRA

1 2 5

ANALISIS VARIASI NILAI TIME REPETITION (TR) DAN TIME INVERSION (TI) TERHADAP INFORMASI ANATOMI SEKUENS TURBO INVERSION RECOVERY MAGNITUDE (TIRM) MRI WRIST JOINT DENGAN MENGGUNAKAN MRI 0,3 TESLA ANALYSIS OF VARIATION OF TIME REPETITION (TR) AND TIME INVERS

0 0 6

ANALISIS TIME REPETITION (TR) DAN FLIP ANGLE (FA) TERHADAP INFORMASI ANATOMI PADA PEMERIKSAAN 3D TOF MRA BRAIN DENGAN MRI 1.5 TESLA ANALYSIS TIME REPETITION (TR) AND FLIP ANGLE (FA) TO ANATOMICAL INFORMATION ON 3D TOF BRAIN MRA EXAMINATION WITH MRI 1.5 TE

0 0 5

UPAYA MEMPERSINGKAT SCAN TIME MENGGUNAKAN GRAPPA DAN PERUBAHAN NILAI PARAMETER MRI

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Magnetik Resonansi Imaging (MRI) - Pengaruh Parameter Time Repetition (TR) pada Kualitas Citra Lumbal dengan Menggunakan MRI

0 0 65

PENGARUH PARAMETER TIME REPETITION (TR) PADA KUALITAS CITRA LUMBAL DENGAN MENGGUNAKAN MRI SKIRIPSI MISKAH NUR 120821020

0 1 12

PENGARUH PERUBAHAN TIME ECHO (TE) TERHADAP NILAI CONTRAS TO NOISE RATIO (CNR) SEKUENS T2WI TSE SAGITAL PADA CITRA MRI LUMBAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 115