terhadap sumber daya alam dan lahan menjadi tidak berarti dibandingkan dengan proyek-proyek yang didukung dengan kebijakan pemerintah. Pada kondisi ini, hak
masyarakat lokal cenderung semakin dikurangai, dibatasi dan diatur atas nama pembangunan.
127
Pengaturan hutan adat dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Menurut UUPA dan turunannya PP 24 1997 dan Permen Agraria Nomor 5 1999 wilayah adat merupakan tanah bukan Negara yang harus diakui keberadaannya.
Sedangkan menurut UUK merupakan hutan Negara. Disamping tidak adanya kepastian juga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi sebagaian masyarakat yang
tinggal diwilayah tersebut sehingga sering menimbulkan kasus penjarahan dan penebangan liar. Hak-hak masyarakat masih belum tuntas diatur dalam UUK,
akibatnya sering terjadi konflik antar masyarakat dengan para investor yang masuk kewilayah tersebut. Untuk menghindari konflik sekaligus sebagai salah satu upaya
pemeliharaan hutan, diperlukan pemetaan kembali kawasan hutan adat.
128
D. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Terhadap Hutan Adat
Pasal 2 Undang-Undang Pokok kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 mengelompokkan hutan menjadi dua kategori menurut status kepemilikan: a hutan
Negara, yaitu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani
127
Ibid.
128
Hendara Gunawan, Desentralisai Ancaman dan Harapan Bagi Masyarakat Adat, Jakarta, Penerbit: Centter For International Forestry Research, 2005, Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
hak milik; dan b hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik. Namun demikian, Pasal 5 pada Undang-Undang yang sama lebih lanjut
menyatakan semua hutan di dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, dan sumber daya alam yang ada di dalamnya, dikuasai oleh Negara. Sementara, hak masyarakat
untuk memperoleh manfaat dari hutan dibatasi Pasal 17, yang menyatakan bahwa: “Pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak
perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan,….dst, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
129
Hal ini menunjukkan bahwa hak masyarakat lokal bukanlah merupakan prioritas atau belum
memperoleh pengakuan pada masa sebelum desentralisasi.
130
Hutan tidak dapat dipisahkan dari tanah sebagai tempat bertumbuhnya berbagai jenis pohon. Oleh karena itu menurut hukum adat terdapat persamaan dan
perbedaan pola pemilikan penguasaan antara tanah dan hutan. Persamaannya yaitu keduanya dapat dimiliki dikuasai baik secara individu privaatrechtelijk dan
kolektif ulayat publiekrectelijk. Namun demikian Sjariffudin dkk. Lebih jauh menjelaskan bahwa, secara prinsipil perbedaan sebagai berikut:
Pertama. Tanah individu hak milik diperoleh dengan cara membuka tanah hutan, kemudian diolah secara terus menerus tidak terputus secara turun temurun
129
Lihat Pasal 17 UUPK Nomor 5 tahun 1967 yang berbunyi : “Pelaksanaan hak hak masyarakat, hukum adat dan anggota anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan
manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-
tujuan yang dimaksud dalam Undang-undang ini.”
130
Putu Oka Nakan dkk, Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan Di Sulawesi Selatan Sejarah, Realita Dan Tantangan Menuju Pemerintah Otonomi Yang Mandiri, Bogor,
Penerbit: Center For Internasional Forestry Research, 2005. Hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
sehingga menimbulkan hubungan batin yang bersifat magis religious. Sedangkan hutan milik, secara adat didefenisikan sebagaui hutan yang berada di atas tanah
pribadi yang dikontrol oleh perorangan maupun oleh kelompok masyarakat. Hutan tersebut mungkin berasal dari aktivitas penanaman tanaman atau pohon selama sekian
tahun sampai tanah berubah menjadi hutan. Kedua, tanah kolektif ulayat beschikkingsrech adalah tanah yang dikuasai
secara bersama oleh masyarakat hukum adat MHA, dimana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat kepala desa dan pemanfaatannya
diperuntukkan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun untuk orang luar.
131
Tetapi di Indonesia belum ada mempunyai Undang-Undang yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat. Meskipun,
pengakuan terhadap hak adat atas sumber daya alam terdapat pada beberapa Undang- Undang dan peraturan. Menurut Pasal 67 UUPK Nomor 41 Tahun 1999, hak
masyarakat terhadap hutan hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan tidak untuk kepentingan komersial profit oriented. Ketentuan ini
bertentanagan denga Pasal 37 pada Undang-Undang yang sama, yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk pemanfaatan hutan untuk
131
Dalam buku yang ditulis oleh: Ilyas Ismail berjudul, Konsep Hak Garap Atas Tanah, Hal. 91. Mengatakan bahwa: Tanah “ titisara” merupakan bagian dari tanah ulayat yang telah menjadi hak
milik desa yang penguasaannya dilakukan oleh warga dengan membayar uang sewa kepada desa yang pemenfaatannya untuk kas desa, pembangunan desa dan biaya rutin desa. Tanah “bengkok”
merupakan bagian tanah masyarakat hukum adat yang diperuntukkan bagi kepala desa untuk dipungut hasilnya sebagai imbalan atau penghasilannya selama masa jabatannya sedangkan tanah “kesikepan”
atau “kenamoran” atau “kecacahan” merupakan tanah-tanah yang digarap oleh warga baik secara tetap maupun secara bergiliran dengan melakukan kewajiban-kewajiban terhadap desa.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan komersil selama mereka mempunyai izin yang relevan. Dengan demikian ketentuan yang saling bertentangan ini, sulit untuk menentukan dan
mengtahui hak masyarakat hukum adat atas hutan.
132
Warga masyarakat hukum adat mempunyai hak dan kewajiban terhadap hutan. Hak tersebut berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari
hutan yang meliputi: Hak untuk menikmati hasil hutan yang berupa kayu, rotan, damar, madu dan sebagainya, termasuk juga untuk tempat berburu binatang. Adapun
kewajiban warga masyarakat hukum adat terhadap hutan adalah menjaga hutan agar lestari. Pelanggaran atas kewajiban tersbut dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
aturan adat yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
133
Penentuan tanah wilayah masyarakat hukum adat sebagai objek hak masyarakat hukum adat pada umumnya berdasarkan pada batas-batas wilayah sering
berupa batas alam dan para penguasa adat pada umumnya dapat menunjukkan batas wilayahnya tersebut apabila diminta. Warga persekutuan dapat dengan bebas
mengusahakan tanah dan sumber daya agraria lainnya yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan menggindahkan norma-norma
adat setempat. Orang luar persekutuan diperkenankan untuk mengarap tanah persekutuan setelah mendapat izin dari kepala pengakuan adat atas tanah masyarakat
hukum yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat mempunyai kewenangan untuk
132
Ibid.
133
Putu Oka Nakan, Loc, Cit, Hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, memberikan hak-hak tertentu kepada subyek tertentu dan penetapan hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.
134
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18D ayat 2 berisi ketentuan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam Undang-Undang.” Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah geokrafis tertentu yang memiliki perasaan kelompok in-
group feeling, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan benda adat, dan perangkat norma hukum adat.
Menurut Budi Harsono yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat,
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
135
Masyarakat hukum adat dapat timbul atas dasar kesamaan temapat tinggal teritorial, kesamaan keturunan genealogis dan gabungan kesamaan tempat tinggal
dan kesamaan keturunan teritorial-genealogis. Masyarakat Hukum Adat yang bersifat teritorial merupakan masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya
terikat pada suatu daerah kediaman tertentu. Menurut Rudolf van Dijk, masyarakat
135
Urip Santoso, Loc. Cit, Hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
hukum teritorial dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: 1 persekutuan desa, 2 persekutuan daerah, dan 3 perserikatan desa.
136
Masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis merupakan masyarakat hukum adat yang anggota-anggotannya
terkait pada satu garis keturunan sama pada satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian
adat. Masyarakat hukum genealogis dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: 1 yang bersifat patrilineal garis keturunan bapak; 2 yang bersifat matrilineal garis
keturunan ibu; dan 3 yang bersifat bilateral atau parental garis keturunan ibu- bapak.
137
Dari sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup
beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat sederajat. Masing-masing bentuk masyarakat
hukum adat tersebut dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tinggal, bertingkat dan berangkai.
Apabila masyarakat hukum adat dibatasi genealogis dan teritorial, maka menurut Soepomo ada lima jenis masyarakat hukum adat semacam itu, dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
138
136
Rudolf van Djik terjemahan Soehardi A, Pengantar Hukum Adat Indonesia, cetakan kedelapan, Bandung, Penerbit: Sumur Bandung, 1982, Hal. 55-77.
137
Ilyas Muis, Loc. Cit, Hal. 86.
138
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan kesembilan, Jakarta, Penerbit: Pradnya Pramita, 1997, Hal. 55-57.
Universitas Sumatera Utara
1 Suatu daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat kediaman hanya satu
bagian golongan clandeel. Tidak ada golongan lain yang tinggal di dalam daerah itu. Daerah atau kampung-kampung yang berdekatan juga dipakai
sebagai tempat tinggal hanya satu bagian clan;
2 Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: bagian-bagian clan
marga masing-masing mempunyai daerah sendiri. Akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga
itu ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula mendiami daerah itu yang
di dirikan huta-huta di daerah tersebut, disebut marga asal, marga raja, atau marga tanah, yaitu marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu,
sedang marga-marga kemudian masuk daerah itu disebut rakyat;
3 Jenis ketiga dari susunan rakyat yang bersifat genealogis teritorial. Di situ
terdapat sebuah clan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu berpindah kepada clan
lain yang merebut kekuasaan clan asli. Kedua clan itu berdamai dan bersama- sama merupakan satu kesatuan badan persekutuan daerah. Kukuasaan
pemerintahan dipegang oleh clan yang datang kemudian sedangkan clan yang asli tetap menguasai tanah-tanah daerah itu sebagai wali tanah, dan
4 Jenis keempat dari susunan rakyat yang bersifat genealogis teritorial. Di situ
tidak ada golongan yang menumpang atau golongan yang menguasai tanah. Suku di daerah ini bertempat tinggal di dalam nagari berkedudukan sama
setingkat dan bersama-sama merupakan suatu badan persekutuan territorial nagari sedang daerah nagari itu terbagi dalam daerah-daerah golongan
daerah suku di mana tiap-tiap golongan mempunyai daerah sendiri-sendiri.
5 Jenis yang kelima dari susunan rakyat yang bersifat genealogis teritorial
adalah di mana dalam satu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan, yang satu sama lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah-daerah nagari atau
dusun berdiam beberapa bagian clan. Satu sama lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah-daerah nagari atau dusun menjadi daerah bersama yang tidak
dibagi-bagi dari segala bagian clan pada persekutuan nagari dusun itu. Disamping itu masih ada sejumlah hak-hak atas tanah yang perlu penjelasan
tentang peranannya dalam UUPA. Seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional, terbitan BPN dan diedarkan oleh penerbit Binacipta, di Yogyakarta tanggal
15 s.d 17 Januari 1975 diartikan dengan hukum adat ialah hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam bentuk-bentuk Perundang-Undangan Republik Indonesia yang di
Universitas Sumatera Utara
sana-sini mengandung unsur agama. Mengenai kedudukan dan peranan hukum adat dikatakan antara lain. Pengembang bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan
hukum nasional pada dasarnya berarti:
139
a. Penggunaan konsep-konsep dan asas-asas hukum dari hukum adat untuk
dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang, dalam rangka membangun masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang di modernisasi dan
disesuaikan dengan kebutuhan zaman, tanpa menghilangkan ciri-ciri dan sifat- siafat keperibadian Indonesiannya, dan
c. Memasukkan konsep-konsep dan asas-asas hukum adat ke dalam lembaga-
lembaga hukum baru, dan lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan hukum nasional,
agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum adat memiliki setruktur yang sangat berbeda dengan hukum nasional
yang nota bene adalah tipe hukum modren. Hukum nasional ini memiliki sekalian kelegkapan untuk biasa dijalankan secara efektif, mulai dari teks tertulis, aparat
penegak hukum, dukungan finansial dan kelengkapan fisik lainnya. Hukum nasional memiliki legitimasi di seluruh negeri dan dipaksakan keberlakuannya. Rakyat harus
mematuhi hukum nasional tersebut. Bahkan politik hukum masih menempatkan hukum adat dibawah hukum nasional, oleh karena keberlkuannya didasarkan pada
legitimasi atau pengakuan keberadaannya oleh hukum nasional. Adat merupakan pencerminan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Adat
139
A.P.Parlindungan, Landreform di Indonesia suatu studi perbandingan, Bandung Penerbit: Mandar Maju, 1991, Hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.
140
Adat itu merupakan endapan renapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya
telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Hukum adat memiliki dua unsur yaitu :
141
a. Unsur kenyataan bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di indahkan
oleh masyarakat, dan b.
Unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum. Unsur inilah yang menimbulkan
adanya kewajiban hukum opinion yuris necessitatis.
Definisi hukum adat menurut pendapat para ahli adalah sebagai berikut: Menurut: Cornelis Van Vollen Hoven yaitu: “Berpendapat bahwa adat adalah
aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang timur asing yang di satu pihak mempunyai sanksi maka dikatakan sebagai hukum”.
Menurut Soepomo bahwa: a
Hukum adat adalah hukum non statutair, yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil saja adalah hukum Islam. Hukum
adat inipun melingkupi keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara, dan
b Hukum adat adalah hukum tidak tertulis.
Dalam tata hukum baru Indonesia agar dapat menghindarkan kebingungan kiranya pengertian hukum adat dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak
140
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit: Buku Kompas, 2010, Hal. 119.
141
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jakarta, Penerbit: Alumni, 1987, Hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
tertulis di dalam peraturan legislative unstatury law. Hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan didalam pergaulan hidup baik di kota-kota
maupun di desa-desa custommary law. Jadi yang dimaksud dengan hukum adat tidak tertulis menurut Soepomo meliputi :
a Peraturan legislatif yang tidak tertulis;
b Hukum yang hidup didalam hukum kenegaraan;
c Keputusan-keputusan hakim, dan
d Hukum kebiasaan, termasuk pula aturan-aturan pedesaan dan aturan
keagamaan.
142
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat
penghuninya. Hutan adat merupakan hak ulayat masyarakat adat. Hak ulayat meliputi air, tumbuh-tumbuhan pepohonan, binatang, bebatuan yang memiliki nilai
ekonomis di dalam tanah, bahan galian, dan juga sepanjang pesisir pantai, juga di atas permukaan air, di dalam air, maupun bagian tanah yang berada dialamnya.
Adapun wilayah adat ini mempunyai batas-batas yang jelas baik secara faktual batas alam atau tanda-tanda di lapangan maupun simbolis bunyi gong yang masih
terdengar, untuk melihat bagaimana hukum adat mengatur dan menentukan hubungan dapat terlihat dengan mudah apakah transaksi-transaksi mengenai tanah
dilakukan oleh aturan dan kelembagaan adat.
143
Ciri-ciri hak ulayat adalah hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang ada di wilayah
142
Soepomo, Op. Cit, Hal. 16.
143
Soepomo, Op. Cit, Hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
persekutuan. Orang luar hanya boleh menggunakan tanah hak ulayat itu dengan ijin penguasa persekutuan. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari
wilayah persekutuan dengan batasan hanya untuk keperluan keluarganya. Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya.
Hak ulayat tidak dapat dialihkan dengan cara apapun juga. Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan.
Mr.C.C.J Maassen dan A.P.G. Hens dalam bukunya: Agrarische Regelingen voor het Gouvernementsgebied van java en Madura peraturan-peraturan agraris di
daerah Gubernur Jawa dan Madura, jilid I halaman 5, menerangkan tentang hak ulayat sebegai berikut:
Yang dinamakan hak ulayat beschikkingsrecht adalah hak desa menurut adat dan kemaunnya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat
kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain orang asing dengan membayar kerugian kepada desa, dalam hal mana Desa itu
sedikit banyaknya turut campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggungjawab terhadap perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum
dapat diselesaikan.
144
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada menurut Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat jika:
145
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
144
Eddy Ruchiyati, Politik Pertanahan Sebelum Dan Sesudah Berlakunya UUPA, Bandung, Penerbit: Alumni Bandung,1992, Hal. 31.
145
Urip Santoso, Op. Cit, Hal. 82-83.
Universitas Sumatera Utara
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Masyarakat hukum adat yang memenuhi seluruh keriteria tersebut kemudian dapat diakui secara formal sebagai kelompok adat melalui Peraturan Daerah Perda.
Jika telah mendapat pengakuan, masyarakat hukum adat diberikan hak untuk:
146
1 Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kehidupan sehari-
hari masyarakat adat yang bersangkuatan; 2
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang; dan
3 Mendapatkan
pemberdayaan dalm
rangka meningkatkan
kesejahteraannya. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria berisi ketentuan bahwa: “Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 bahwa urusan agraria adalah urusan pemerintah pusat. Atas dasar asas tugas
perbantuan medebewind, wewenang pemerintah pusat ini dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat. Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa “Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
146
Putu Oka Nakan dkk, Op.Cit, Hal. 15 .
Universitas Sumatera Utara
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah”. Ketentuan Pasal 2 ayat 4 ini menjadi dasar dari pengaturan penguasaan
tanah oleh Negara yang dikenal dengan sebutan hak pengelolaan. Selama ini pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria hanya dilakukan terhadap penguasaan tanah oleh instansi pemerintah untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak
ketiga. Sementara itu pengaturan mengenai penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat sesuai Pasal 2 ayat 4 ini belum tersedia. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pengertian dari hutan adat
disamakan dengan hutan Negara. Hutan adat berada di bawah kekuasaan Negara bukan masyarakat adat. Definisi hutan adat berubah setelah Aliansi Masyarat Adat
Nusantara AMAN mengajukan yudicial review dalam Putusan MK Nomor 35 PUU-X 2012 tanggal 16 Mei 2013 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mendefinisikan: “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Masyarakat hukum adat berhak
untuk melakukan pemungutan hasil hutan adat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan adat berdasarkan hukum adat.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya hukum, politik, ekonomi, dsb. Ia lahir dari,
berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaan masyarakat adat di Indonesia telah dinyatakan oleh sarjana-sarjana penekun hukum adat,
diantaranya van Vollenhoven mengatakan bahwa di wilayah nusantara, yang kini disebut negeri multikultural.
147
Keberadaan dan kedudukan masyarakat hukum adat di Kecamatan Simangambat masih ada dan diakui oleh masyarakat adat setempat. Hal ini
dibuktikan oleh adanya lembaga adat masyarakat setempat sejak dahulu yang merupakan bekas kerajaan Luhat Simangambat dan Luhat Ujung Batu juga dengan
adanya wilayah masyarakat adat yang disebut dengan “luhat” serta adanya tatanan hukum adat yang disebut tumbaga holling, lembaga adat tersebut dipinpin oleh raja
Panusunan Bulung. Lembaga adat tersebut tetep hidup sampai saat ini dan telah dikukuhkan secara formal dengan nama “Lembaga Adat Kecamatan Simangambat”
jadi lembaga adat ini bukan dilahirkan belakang hari tetapi memang telah lahir sejak dahulu sebagaimana telah diuraikan di sub bab sejarah Simangambat.
Lembaga, kelompok, maupun organisasi sosial yang ada di masyarakat tidak terbentuk sendirimya. Melainkan melalui sebuah proses, awal terbentuknya lembaga,
kelompok maupun organisasi sosial terjadi karena adanya interaksi sosial antarindividu, antara individu dan kelompok maupun organisasi sosial antar
147
Ade Saptono, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Jakarta, Penerbit: Grasindo, Hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
kelompok. Mereka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan-keinginan hidupnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan sayarat utama
dalam menciptakan lembaga atau kelompok sosial masyarakat.
148
Dengan demikian Lembaga Adat Kecamatan Simangambat bukanlah lahir, tetapi dilahirkan oleh
kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan kepentingan hak. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas kedudukan
masyarakat hukum adat Kecamatan Simangambat terhadap hak atas hutan adatnya tentu semakin kuat. Namun keberadaan tanah adat Kecamatan Simangambat belum
diatur dalam Peraturan Daerah sebagai penetapan atas keberadaan tanah adat yang di persyaratkan oleh Pemerintah. Tanah Adat Kecamatan Simangambat tersebut telah di
kerjasamakan untuk dijadikan sebagai kebun kelapa sawit dengan sistem bagi hasil yang diperuntukkan bagi masyarakat hukum adat setempat yang tergabung dalam
keanggotaan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsadaan Simangambat Ujung Batu Koperasi Parsub
dengan Bapak Angkat PT.Tor Ganda. Mengenai adanya perkebunan kelapa sawit pada tanah hutan adat tidak
mengurangai keberadaaan dan status hutan adatnya karena ada yang berpendapat bahwa tanaman kelapa sawit juga termasuk tanaman hutan. Adanya komitmen
Pemerintah untuk melindungi lingkungan dan menjaga kelestarian hutan, dan juga menegakkan hukum terhadap perusak hutan, sebagaimana terlihat dari Keptusan
148
Taufiq Rohman Dhohari, dkk, Sosiologi 1, Jakarta, Penerbit: Yudistira, 2007, Hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
Presiden Nomor 16 Tahun 2011, dan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011, maka para pelaku pengusaha kebun khususnya yang berskala besar yang berada dalam
kawasan hutan, sudah mulai was-was. Kondisi yang berkembang di kawasan hutan, nampaknya sudah mulai disikapi
oleh Kementerian Kehutanan secara bijak. Menteri Kehutanan ingin mengambil kebijakan agar keberadaan kawasan hutan tidak berkurang dan berusaha memberikan
solusi kepada pengusaha perkebunan di kawasan hutan, sehingga Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 62 Menhut-II
2011, tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis Pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri IUPHHK-HTI
tanggal 25 Agustus 2011. Permenhut ini menyebutkan kelapa sawit dianggap sebagai tanaman indusri pohon berkayu.
Peraturan Menteri Kehutanan ini, merupakan anugerah yang sangat besar bagi pelaku atau pengusaha perkebunan khususnya perkebunan yang berskala besar yang
lokasi perkebunannya berada dalam kawasan hutan, sebab dalam BAB III di Pasal 8 Permenhut tersebut, berbunyi: “Dalam hal pembangunan perkebunan yang telah
diterbitkan izin oleh Gubernur atau Bupati Walikota berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dan berada
Universitas Sumatera Utara
dalam kawasan hutan Produksi, izin usaha perkebunan tersebut dapat dialihkan menjadi usaha tanaman hutan berbagai jenis.”
149
E. Kewenangan Masyarakat Adat Dalam Mengelola Tanah Pada Kawasan