Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat Yang Berbatasan Dengan

Dari Hasil penelitian bahwa tanah adat di Kecamatan Simangambat masih ada. Namun tanah adat tersebut telah di kerjasamakan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan sistem bagi hasil dengan Pola Inti Rakyat PIR dengan PT. Torganda sebagai Bapak Angkat dan satu-satunya perusahaan yang menjalin kerjasama dengan masyarakat hukum adat Luhat Simangambat. Perusahaan tersebut adalah milik keluarga Darianus Lungguk Sitorus Sutan Raja DL. Sitorus dan kerjasama tersebut diakui adalah untuk mensejahterakan Masyarakat di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara. 114

C. Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat Yang Berbatasan Dengan

Kawasan Hutan Menurut Versi UUPA Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari asosiasi pohon dan vegetasi secara umum serta hewan lain. Dalam komunitas itu, tiap individu berkemang, tumbuh menjadi dewasa, tua dan mati, lebih lanjut, hutan adalah suatu komunitas biologik dari tumbuhan dan hewan yang hidup dalam suatu kondisi tertentu, berinteraksi secara kompleks dengan komponen lingkungan tak hidup abiotik yang meliputi faktor faktor seperti: tanah, iklim dan fisiografi. Lebih khusus, maka hutan adalah komunitas tumbuhan yang lebih di 114 Hasil Wawancara dengan Syahrin Hasibuan Gelar Sutan Mohodum Naposo Hasibuan, keturuanan Raja Luhat Simangambat tanggal 19 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara dominasi oleh pohon dan tumbuhan berkayu dengan tajuk yang tepat. 115 Dari aspek legal dalam kontek hukum formal, maka hutan adalah suatu wilayah lahan hutan yang di tetapkan dalam Undang-Undang kehutanan peraturan lain sebagai hutan, seperti hutan lindung, hutan produksi, hutan desa, hutan adat hak ulayat, dan hutan konversi. 116 Masyarakat adat yang di perkirakan paling sedikt 30 juta jiwa di antaranya berada di dalam atau di sekitar hutan, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan kawasan hutan Negara seluas 143 juta Ha atau kurang lebih 70 dari seluruh luas daratan Republik Indonesia. Penetapan ini di lakukan secara sepihak dan tidak didasari pengakuan akan keberadaan wilayah-wilayah adat yang sudah ada sebelum negeri ini didirikan. Melihat status tanah dalam perspektif hukum adat sebenarnya mengkaji keberadaan hak ulayat diantaranya yang perlu di perhatikan disini ialah soal siapa pemegang hak ulayat. Pemegang persekutuan atas tanah adalah Raja yang bertindak sebagai pengurus, pengatur dan pengawas agar pemakaian tanah dalam wilayahnya tidak bertentangan serta merugikan hak-hak persekutuan serta hak- hak perseorangan atas tanah. 117 Serta yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaan hutan. Daripada itu harus diinggat bahwa konsepsi umum hutan tanah ulayat yang dikenal di Negara ini adalah bersumber dari teori klasik, yang menjelaskan bahwa tanah milik raja. 115 Frans Wanggai, Manajemen Hutan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara berkelanjutan, Jakarta, Penerbit: Grasindo, 2009, Hal 24. 116 Ibid. 117 Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat, Jakarta, 1982, Hal. 24. Universitas Sumatera Utara Terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat bagi masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat semata-mata kedermawanan sang Raja, sehingga pemanfaatan dan penggunannya haruslah sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat, seperti antara lain : 1. Hutan tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dengan cara apapun sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan; 2. Hutan tanah ulayat tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik pribadi perorangan; 3. Warga suku yang bersangkutan secara perorangan boleh memanfaatkan tanah hutan tersebut dengan beberapa ketentuan atau kewajiban-kewajibannya yang perlu ditaati, seperti memberikan sebagian hasilnya kepada Kepala Desa menjadi penghasilan desa. 118 Hukum adat memiliki satu kesatuan dengan hak ulayat dengan maksud tiang penting tempat hukum adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adat bertopang, dasar- dasar tempat hukum adat berpijak pada tiang-tiang hukum adat yang ditegakkan oleh Van Vollenhoven adalah: a. Persekutuan Hukum; b. Hak Ulayat; c. Daerah Hukum Adat; d. Perjanjian adalah perbuatan konkret; e. Hukum Adat tidak mengenal konstruksi juridis yang abstrak; f. Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan pancaindera sebagai dasar bagi membuat kategori hukum dan sebagai ukuran untuk membeda- bedakan, dan g. Sifat susunan keluarga. Mahadi menulis: “Bahwa masyarakat hukum adat itu in heren dengan adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima tidak adanya masyarakat hukum adat berarti tidak adanya hak ulayat itu.” Dalam hubungannya dengan pembangunan kehutanan seperti 118 H. Anwar Saleh, Eksistensi Hutan Tanah Ulayat Di Provinsi Riau Dan Prospeknya Di Masa Datang, Penerbit: Alumni, Jakarta, 1989, Hal. 9. Universitas Sumatera Utara disebutkan dalam hukum kehutanan, hutan dalam statusnya ada hutan Negara dan hutan hak 119 . Hutan Negara dapat berupa hutan adat yang mana harus ditetapkan statusnya sebagai tanah adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih berada dikawasan hutan tersebut, sebagai dasar pengakuan tersebut sejalan dengan perkembangan hukum adat yang bersangkutan tidak berlaku lagi maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah yang mengelolanya Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 1999. 120 Hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat termasuk hutan Negara, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan tersebut dalam satu ekosistem yang dalam sistem kehutanan harus tidak terpisah dari pengertian hutan itu sendiri. Di dalam isi hak ulayat tidak membedakan hutan dan bukan hutan, sebab yang menjadi hak ulayat itu sendiri meliputi: a. Tanah daratan; b. Air perairan seperti misalnya sungai, danau, pantai beserta perairannya. c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar; d. Binatang yang hidup liar di hutan. Bahkan menurut Hilman yang dikatakan hak ulayat desa adalah berupa tanah hutan, termasuk hutan larangan yang diserahkan pengawasannya kepada desa yang bersangkutan, seperti tanah hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas 119 Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Bandung, Penerbit: Alumni, 1991, Hal. 58. 120 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Penerbit: Pustaka Bangsa Press, 2003, Hal. 114. Universitas Sumatera Utara perladangan yang telah ditinggalkan penggarapnya yang berada pada wilayah batas desa yang bersangkutan, yang dikuasai oleh desa yang bukan milik kerabat, perseorangan, perusahaan dan sebagainya. 121 Didalam proses terciptanya hak ulayat atas suatu hutan rimba yang belum berpenghuni dan meliputi pula hutan belukar, padang ilalang, rawa-rawa, sungai bahkan laut di sekitarnya. 122 Tidak hanya dilihat dari objeknya tetapi dari subjeknya perlu ditelaah, apakah untuk sekelompok masyarakat atau seseorang yang bukan anggota persekutuan. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa hak ulayat itu adalah kekuasaan yang diabadikan atas suatu wilayah masyarakat yang bersangkutan. Mereka hidup, berkembang biak dan beristirahat untuk selama-lamanya. Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: Bagian-bagian marga masing-masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula mendiami daerah itu, yang didirikan huta-huta di daerah tersebut disebut marga asal, marga raja, atau marga tanah, yaitu marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu disebut marga 121 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonsia, Bandung, Penerbit: Mandar Maju, 1992, Hal 181. 122 Erman Rajagukguk, Pemahaman Rakyat atas Tanah, Jakarta, Penerbit: Prisma, 1992, Hal. 78. Universitas Sumatera Utara rakyat. Kedudukan marga rakyat di dalam suatu huta adalah kurang daripada kedudukan marga raja. 123 Persekutuan hukum adat di daerah Padang Lawas disebut Luhat dimana di dalam tiap-tiap persekutuan hukum adat disebut huta. Yang menjadi kepala negeri kuria dan kepala huta adalah seorang dari marga asal, yaitu seorang keturunan marga Hasibuan sebagai pembuka tanah dan pembuka huta di dalam daerah yang bersangkutan Raja Panusunan. Marga lain-lain yang ikut bertempat tinggal di daerah tersebut atau di huta itu di Tapanuli Selatan marga ini disebut “parripe” yang artinya mempunyai seorang wakil di dalam pimpinan daerah dan pimpinan huta yang diambil dari marga rakyat masing-masing. Wakil dari marga rakyat yang tertua menjadi pembantu pertama dari kepala daerah atau kepala huta, serta disebut imboru di Tapanuli Tengah bayo-bayo na godang di Tapanuli Selatan, wakil dari marga rakyat lain-lainnya disebut natoras. 124 Dengan berkembangnya kehidupan masyarakat hukum adat tersebut telah mengaburkan hubungan hak ulayat itu dengan masyarakatnya. Masyarakat Adat yang meninggalkan tanahnya dan pindah ke tempat lain, karena dianggap tidak subur lagi di tempat semula dan akan pergi kedaerah lain sehingga eksistensi hak ulayat itu mulai diperjualbelikan dan menjadi menguatlah hak seseorang di atas tanah ulayat. 125 123 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Penerbit: Raja Grafindo Persada, 1983, Hal. 97. 124 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Penerbit: Gunung Agung, 1995, Hal. 88. 125 Ibid. Universitas Sumatera Utara Hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah sebagai berikut: Ayat 1 Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Ayat 2 Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ayat 3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan diperjelas lagi bahwa: Ayat 1 Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban rechtsgemeenschap; b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. Ada wilayah hukum adat yang jelas; d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan, dan f. Sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Ayat 2 Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Ayat 3 Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain: a. Tata cara penelitian; b. Pihak-pihak yang diikutsertakan; c. Materi penelitian, dan d. Kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat. Universitas Sumatera Utara Menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 4, semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Masyarakat sebagai masyarakat adat mempunyai hak untuk memanfaatkan kawasan hutan tersebut UU Nomor 41 Pasal 67 ayat 1 huruf b. Hak tersebut berupa ijin usaha, baik secara perseorangan maupun sebagai koperasi. Tetapi peroses perijinan itu memerlukan prosedur birokrasi yang rumit dan melelahkan untuk warga desa yang tidak terbiasa berurusan dengan sistem administrasi pemerintahan. Hal ini merupakan kendala bagi masyarakat lokal yang tidak mempunyai modal besar dan akses informasi mereka yang sangat terbatas. Kondisi ini membatasi peluang memiliki hak penguasaan tanah bagi masyarakat lokal. 126 Peraturan Peresiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Proyek Pembangunan semakin membuat ruang gerak akses masyarakat terhadap tanah dipersempit secara sistematis dan struktural. Sebelum pemerintah memiliki kepentingan pada daerah terpencil yang yang dihuni oleh penduduk asli, pemerintah tidak mencapuri hukum adat dan hak-hak adat yang masih sangat kuat berlaku dilingkuangan penduduk asli, bukan hanya di dalam desa saja, namun juga antar desa. Pada saat proyek-proyek baru baik dari pemerintah maupun pihak swasta muncul untuk memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah atau lahan yang dikuasai penduduk setempat, situasinya berubah sama sekali. Hukum atau hak-hak adat setempat 126 Mayang Meilantina, Integrasi Hak Pemanfaatan Tanah Masyarakat Dayak Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Jakarta, Penerbit: Centter For International Forestry Research, 2006, Hal. 10. Universitas Sumatera Utara terhadap sumber daya alam dan lahan menjadi tidak berarti dibandingkan dengan proyek-proyek yang didukung dengan kebijakan pemerintah. Pada kondisi ini, hak masyarakat lokal cenderung semakin dikurangai, dibatasi dan diatur atas nama pembangunan. 127 Pengaturan hutan adat dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Menurut UUPA dan turunannya PP 24 1997 dan Permen Agraria Nomor 5 1999 wilayah adat merupakan tanah bukan Negara yang harus diakui keberadaannya. Sedangkan menurut UUK merupakan hutan Negara. Disamping tidak adanya kepastian juga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi sebagaian masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sehingga sering menimbulkan kasus penjarahan dan penebangan liar. Hak-hak masyarakat masih belum tuntas diatur dalam UUK, akibatnya sering terjadi konflik antar masyarakat dengan para investor yang masuk kewilayah tersebut. Untuk menghindari konflik sekaligus sebagai salah satu upaya pemeliharaan hutan, diperlukan pemetaan kembali kawasan hutan adat. 128

D. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Terhadap Hutan Adat