2.3 Derajat Luka Bakar
Kedalaman luka bakar penting untuk menilai beratnya luka bakar, merencanakan perawatan luka, dan memprediksi hasil dari segi fungsional maupun kosmetik. Derajat luka
bakar dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1.
Derajat satu superficial yaitu hanya mengenai epidermis dengan ditandai eritema, nyeri, fungsi fisiologi masih utuh, dapat terjadi pelepuhan, serupa dengan terbakar mata
hari ringan.  Tampak 24 jam setelah terpapar dan fase penyembuhan 3-5 hari. 2.
Derajat dua partial adalah mengenai dermis dan epidermis dengan ditandai lepuh atau terbentuknya vesikula dan bula, nyeri yang sangat, hilangnya fungsi fisiologis.  Fase
penyembuhan tanpa infeksi 7-21 hari. 3.
Derajat tiga atau ketebalan penuh yaitu mengenai seluruh lapisan epidermis dan dermis, tanpa meninggalkan sisa-sisa sel epidermis untuk mengisi kembali daerah yang rusak,
hilangnya rasa nyeri, warnanya dapat hitam, coklat dan putih, mengenai jaringan termasuk fascia, otot, tendon dan tulang.
2.4 Fase Penyembuhan Luka Bakar
Penyembuhan  luka bakar  tergantung pada  kedalaman  luka bakar.  Jackson  1959 menggambarkan tiga zona kerusakan jaringan luka bakar Arturson, 1996:
-
Zona pusat koagulasi ini adalah bagian tengah dari luka bakar dengan nekrosis coagulative lengkap.
-
Zona  stasis  adalah  dipinggiran  zona  koagulasi.  Sirkulasi  lamban dalam  zona ini  tetapi dapat pulih setelah resusitasi awal yang memadai dan perawatan luka yang tepat.
-
Zona  terluar  dari  hiperemi ini adalah  perangkat  untuk  zona  stasis.  Ini  adalah hasil dari vasodilatasi  intens  seperti yang  terlihat dalam  fase  inflamasi  setelah trauma.  Hal ini
akhirnya pulih sepenuhnya. Pada  tingkat pertama  dan kedua  derajat  luka bakar ringan,  penyembuhan  spontan
adalah  tujuan utama.  Tingkat dua  luka bakar  ringan  sembuh dari  epitel  folikel rambut  sisa, yang  berada  banyak  dalam dermis superfisial.  Penyembuhan  selesai  dalam waktu 5-7 hari
dan  bekas luka  hampir  kurang.  Ditingkat dua  dalam dan  luka bakar tingkat tiga, penyembuhan secara sekunder, yang melibatkan proses epithelisasi dan kontraksi Gambar2,
Inflamasi  reaktif,  proliferasi  reparatif  dan  pematangan  renovasi  merupakan  tiga fase dalam  penyembuhan luka.  Proses ini sama  untuk semua jenis  luka,  yang
membedakan adalah durasi dalam setiap tahap.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1   Fase Inflamasi
Fase ini sama di semua luka traumatis segera setelah cedera, respon inflamasi tubuh yang dimulai pembuluh darah dan komponen seluler Werner S, 2003.
•  Respon  Vaskular:  Segera  setelah  luka bakar  ada  sebuah  vasodilatasi  lokal  dengan ekstravasasi  cairan diruang  ketiga.  Dalam  luka bakar  yang luas peningkatan
permeabilitas  kapiler  dapat  digeneralisasi  dengan ekstravasasi  besar  cairan  plasma dan membutuhkan pengganti.
•  Respon seluler: Neutrofil dan monosit adalah sel pertama yang bermigrasi di lokasi peradangan. Kemudian pada neutrofil mulai menurun dan digantikan oleh makrofag.
Migrasi sel ini diinisiasi  oleh  faktor chemotactic seperti kalikrein dan peptida fibrin dilepaskan dari proses koagulasi dan zat  dilepaskan dari sel mast seperti tumor
necrosis faktor, histamin, protease, leukotreins dan sitokin. Respon seluler membantu dalam fagositosis dan pembersihan jaringan yang mati serta racun yang dikeluarkan
oleh jaringan luka bakar.
2.4.2   Fase Proliferasi
Pada luka bakar ketebalan parsial re-epitelisasi dimulaidalam bentuk migrasi keratinosit dari lapisan kulit unsur tambahan dalam dermis beberapa jam setelah cedera,
inibiasanya meliputi luka dalam waktu 5-7 hari. Setelah reepithelisasi membentuk zona membran antara dermis dan epidermis. Angiogenesis dan  fibrogenesis  membantu dalam
pemulihan dermis. Penyembuhan setelah luka bakar dieksisi dan grafting.
2.4.3  Fase Remodelling
Fase Remodelling adalah fase ketiga dari penyembuhan dimana pematangan graft atau bekas luka terjadi. Pada tugas akhir ini fase penyembuhan luka pada awalnya ada peletakan
protein  struktural  berserat  yaitu  kolagen dan  elastin  sekitar  epitel,  endotel  dan  otot polos sebagai  matriks ekstraseluler.  Kemudian dalam  fase resolusi  matriks ekstraseluler  ini
remodeling  menjadi jaringan parut  dan  fibroblast  menjadi  fenotip  myofibroblast  yang bertanggung jawab untuk kontraksi bekas luka.
Di tingkat dua dermal mendalam dan ketebalan penuh luka bakar  yang tersisa untuk penyembuhan sendiri dari fase resolusi ini adalah berkepanjangan dan waktu bertahun-tahun
dan bertanggung jawab  untuk jaringan parut hipertrofik dan kontraktur.  Hiperpigmentasi pada luka bakar ringan adalah karena respon terlalu aktif dari melanosit dan hipopigmentasi
Universitas Sumatera Utara
terlihat pada luka bakar dalam adalah karena penghancuran melanosit dari pelengkap kulit. Didaerah kulit  yang dicangkokkan sekali inervasi  dimulai, tumbuh dengan  saraf mengubah
kontrol melanosit yang biasanya mengarah  untuk hiperpigmentasi pada individu  berkulit gelap dan hipopigmentasi pada individu berkulit putih.
2.5. Infeksi pada Luka Bakar
Luka yang disebabkan oleh energi panas merupakan lokus minoris resistentiae, yang efektif pada pengembangan agen kemoterapi topikal antimikroba pada pertengahan 1960-an
merupakan lokasi yang paling umum infeksi penyebab morbiditas dan meningkatkan angka kematian hampir secara universal pada pasien luka bakar. Insiden sepsis luka bakar
sebanding dengan luasnya luka bakar dan dipengaruhi oleh kedalaman luka bakar dan usia pasien. Infeksi luka bakar jarang terjadi pada cedera parsial, mereka terjadi dengan frekuensi
terbesar pada anak-anak selanjutnya orang tua dan dengan  frekuensi terendah pada dewasa muda 15 -  40 tahun. Infeksi luka bakar merupakan efek gabungan dari adanya gumpalan
protein dan nutrisi mikroba lainnya dalam luka dan tidak adanya vaskularisasi, yang mencegah pengiriman sel imunologis aktif, faktor humoral dan antibiotik.
Flora luka bakar juga mempengaruhi risiko infeksi dan potensi invasif infeksi yang terjadi. Populasi mikroba luka segera setelah luka bakar jarang bakteri dalam kulit pelengkap
biasanya bertahan luka dan dominan gram positif. Dengan berjalannya waktu organisme gram negatif menjadi escar dan pada akhir minggu pertama setelah trauma kuman menjadi
dominan pada luka bakar. Sebelum penemuan antibiotik, streptokokus grup A beta hemolytic adalah penyebab paling sering mengancam jiwa luka bakar dan infeksi sistemik, tetapi terapi
penisilin telah menghilangkan angka kematian tersebut. Penggunaan penisilin menyebabkan munculnya Staphylococcus aureus yang paling umum gram positif dari luka bakar.
Infeksi luka bakar terutama disebabkan oleh bakteri  70 diikuti oleh jamur 20- 25, anaerob dan virus 5-10.  Infeksi luka bakar dapat diklasifikasikan atas
dasarorganisme penyebab, kedalaman invasi, dan respon jaringan Capoor et al, 2010.Adanya infeksi jamur pada luka bakar banyak dilaporkan oleh Becker WK et al. dalam
penelitian mereka di1991 dan Candida albicans ditemukan menjadi organisme penyebab utama. Dalam sebuah penelitian terbaru yang dilakukan pada tahun 2012 olehSarabahi et al.,
pada perubahan pola jamur pada infeksi luka bakar, C. albicans telah diganti dengan Candida nonalbicans  terutama  C.  krusei  dan  C.  glabrata  serta  Aspergillus.  Pada  studi infeksi jamur
yang sama juga ditemukan berkaitan dengan kematian sangat tinggi, lebih dari 40 dan tahan
Universitas Sumatera Utara
terhadap azol konvensional.  Organismenya  hanya sensitif terhadap echinocandins dan Amphoteracin B.
Penyebab utama dari invasif sepsis luka bakar adalah imunosupresi mendalam. Luka bakar mempengaruhi baik  komponen nonspesifik dan spesifik dari sistem kekebalan tubuh.
Pertahanan nonspesifik terdiri dari sel beredar dan sel fagosit tetap dan jumlah protein plasma yang memediasi respon inflamasi. Pada pasien luka bakar  yang  ekstensif,  fagosit
polimorfonuklear  menjadi tidak efektif dalam chemotactic, fagositosis  dan tindakan mengeliminasi didalam seluler. Demikian pula mononuklear  sistem fagositosis juga tidak
mampu menjalankan fungsinya  sebagai  fagositosis dan sitokinin rilis Zembola, 1984. Komponen sistem kekebalan tubuh sel dimediasi  oleh respon imunosupresi sebagai bukti
dengan berkepanjangan  kelangsungan hidup pada pasien homograft luka bakar.Respon imunhumoral  juga  tertekan  seperti yang jelas terlihat  dengan  penurunan yang signifikan
dalam konsentrasi serum dari semua kelas  imunoglobulin  pada  pasien  luka bakar parah Daniels JC, 1974.
Tidak hanya menurunnya tingkat kuantitatif immunoglobulin pada pasien luka bakar, secara kualitatif sisa imunoglobulin yang beredar juga tidak efisien. Produksi antibodi T-cell-
dependent  ditekan  untuk  waktu yang lama  pada pasien luka bakar  luas  karena  kekurangan pengaturan sekresi interleukin-2 dan penekanan pada sekresi sel T-helper yang menurunkan
faktor yang diperlukan untuk diferensiasi sel-B menjadi sel antibodi Teodorczyk JA, 1989. Insiden tertinggi septikemia pada luka bakar terjadi pada 10 hari pertama ketika titer  serum
immunoglobulin sangat tinggi.
2.5.1 Pseudomonas aeruginosa
Kelompok  Pseudomonas  adalah batang gram negatif, bergerak, aerob; ukuran 0,6x2 μm,  beberapa diantaranya menghasilkan pigmen yang larut dalam air.  Pseudomonas
ditemukan secara luas di tanah, air, tumbuhan, dan hewan. Dalam jumlah kecil P. aeruginosa sering terdapat dalam flora usus normal dan pada kulit manusia dan merupakan patogen
utama dari kelompoknya.  Spesies Pseudomonas lain jarang menyebabkan penyakit. Klasifikasi pseudomonas didasarkan pada homologi rRNADNA dan ciri khas biakan lazim
Brooks et al, 2010.
Biakan
P. aeruginosa  adalah aerob obligat yang tumbuh dengan mudah pada banyak jenis biakan, kadang-kadang menghasilkan bau yang manis atau menyerupai anggur. Beberapa
Universitas Sumatera Utara
strain  menghemolisis darah  P. aeruginosa  membentuk koloni halus bulat dengan warna fluoresensi kehijauan. Bakteri ini sering menghasikan piosianin, pigmen kebiru-biruan yang
tak berflouresensi, yang berdifusi ke dalam agar. Spesies Pseudomonas lain tidak menghasilkan piosianin. Banyak strain P. aeruginosa  juga menghasilkan pigmen piorubin
yang berwarna merah gelap atau pigmen piomelanin yang hitam Brooks et al, 2010. P. aeruginosa  dalam biakan dapat menghasilkan berbagai jenis koloni, sehingga
memberi kesan biakan dari campuran berbagai spesies bakteri. P. aeruginosa  yang jenis koloninya berbeda dapat mempunyai aktivitas biokimia dan enzimatik yang berbeda dan pola
kepekaan antimikroba yang berbeda pula. Biakan dari pasien dengan fibrosis kistik sering menghasilkan  P. aeruginosa  sebagai hasil produksi berlebihan dari alginat, suatu
aksopolisakarida Brooks et al, 2010.
Ciri-ciri Pertumbuhan
P. aeruginosa  tumbuh dengan baik pada suhu 37-42°C; pertumbuhannya pada suhu 42°C membantu membedakan spesies ini dari spesies Pseudomonas lain. Bakteri ini oksidase
positif dan tidak meragikan karbohidrat.  Tetapi banyak strain mengoksidasi glukosa. Pengenalan biasanya berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase  positif, adanya pigmen
yang khas dan pertumbuhan pada suhu 42°C. Untuk membedakan P. aeruginosa  dari pseudomonas yang lain berdasarkan aktivitas biokimiawi, dibutuhkan pengujian dengan
berbagai subsrat Brooks et al, 2010.
Patogenesis
P. aeruginosa hanya bersifat patogen bila masuk ke daerah yang fungsi pertahanannya abnormal, misalnya bila selaput mukosa dan kulit “robek” karena kerusakan jaringan
langsung; pada pemakaian kateter intravena atau kateter air kemih atau kateter air kemih atau bila terdapat netropenia, misalnya pada kemoterapi kanker. Kuman melekat dan mengkoloni
selaput mukosa atau  kulit, menginvasi secara lokal dan menimbulkan penyakit sistemik. Proses ini dibantu oleh pili, enzimdan toksin yang diuraikan di atas. Lipopolisakarida
berperan langsung dalam menyebabkan demam, syok, oliguria, leukositosis dan leukopenia, disseminated intravascular coagulation  dan  respiratory distress syndrome  pada orang
dewasa Brooks et al, 2010.
P.aeruginosa  dan spesies lain,  misalnya  Pseudomonas cepacia,  Psedomonas putida resisten terhadap banyak obat antimikroba sehingga akan berkembangbiak bila
bakteri flora normal yang peka ditekan Brooks et al, 2010.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Skin Graft
Skin graft  cangkok kulit adalah tindakan memindahkan sebagian atau seluruh tebalnya kulit dari satu tempat ke tempat lain supaya hidup di tempat yang baru tersebut dan
dibutuhkan suplai darah baru revaskularisasi untuk menjamin kelangsungan hidup kulit yang dipindahkan tersebut.  Pembagian  skin graft  menurut ketebalannya terdiri dari split
thickness skin graft STSG dan full thickness skin graft FTSG.
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Split Thickness Skin Graft
Split  Thickness Skin Graft  STSG terdiri dari lapisan atas kulit epidermis dan dermis. Cangkok ditempatkan di atas luka terbuka untuk menyediakan cakupan dan proses
penyembuhan. Letak donor STSG pada dasarnya adalah luka bakar tingkat dua karena hanya bagian dari dermis termasuk  dalam  cangkok.  Letak  donor akan sembuh dengan sendirinya
karena beberapa elemen dermal tetap. STSG  dikategorikan lebih tipis 0,005-0,012 in, sedang 0,012-0,018 in, atau tebal 0,018-0,030 in, berdasarkan ketebalan harvested graft.
Pilihan antara FTSG Full  Thickness Skin Grafting dan STSG  tergantung pada kondisi luka,  lokasi, ketebalan, ukuran, dan  estetika. STSG digunakan untuk melapisi luka
yang besar, rongga baris, muncul kembali defisit mukosa, letak  donor tutup dekat, dan muncul kembali flaps otot. Hal ini juga diindikasikan untuk luka yang relatif besar 5-6 cm
diameter yang akan memerlukan beberapa minggu untuk menyembuhkan sekunder. Namun, STSG memiliki kelemahan yang signifikan yang harus diperhatikan. STSG
lebih rentan, terutama ketika ditempatkan di daerah dengan sedikit dukungan jaringan lunak, dan biasanya tidak tahan  terapi radiasi berikutnya.  Lokasi STSG  dapat berkontraksi secara
signifikan selama penyembuhan.  Kulit cenderung hipo atau hiperpigmentasi, terutama pada individu berkulit gelap. Ketipisan STSG, pigmentasi abnormal, dan sering kekurangan tekstur
halus dan pertumbuhan rambut membuat STSG  lebih fungsional dari kosmetik. Ketika digunakan untuk melapisi luka bakar besar wajah, STSG  dapat menghasilkan penampilan
yang tidak diinginkan.  Meskipun kedua FTSG dan letak  donor  STSG  meninggalkan luka kedua,  reepitelisasi letak  donor  STSG  sering menyebabkan ketidaknyamanan yang
signifikan dan memiliki kebutuhan perawatan luka berlangsung sampai sembuh. Namun, letak ini dapat tumbuh setelah penyembuhan selesai.
Cangkok kulit memberikan cakupan yang lebih stabil untuk luka besar daripada bekas luka yang dihasilkan dari penutupan sekunder. Luka dengan luas yang besar juga lebih cepat
sembuh dengan cangkok kulit dibandingkan dengan penyembuhan sendiri. Luka harus bersih. Semua jaringan nekrotik harus dilepaskan sebelum pencangkokan kulit, dan tidak boleh ada
tanda-tanda infeksi pada jaringan sekitarnya.  Graft take  pada hari ke 14 karena epitelisasi sudah terbentuk.
Split Thickness Skin Graft STSG dapat diambil dari setiap permukaan tubuh. Lokasi umum meliputi anterior atas dan paha lateral. Bokong dapat digunakan sebagai lokasi donor,
tetapi pasien mungkin mengalami nyeri pasca operasi yang signifikan dan akan memerlukan bantuan dalam merawat luka.
Universitas Sumatera Utara
Pencangkokan kulit mungkin tidak  berhasil untuk berbagai alasan.Alasan paling umum untuk kegagalan skin graft adalah hematoma di bawah graft. Demikian pula,
pembentukan seroma dapat mencegah graft take ke dasar luka yang mendasarinya, mencegah nutrisi yang diperlukan, seperti yang dijelaskan di atas. Gerakan pada lokasi graft
menyebabkan kegagalan. Hal ini sering terjadi ketika graft ditempatkan di atas sebuah fleksor atau ekstensor permukaan atau di atas selubung tendon mobile. Sumber lain yang umum dari
kegagalan adalah lokasi  penerima yang buruk. Luka mungkin memiliki vaskularisasi yang buruk, atau kontaminasi permukaan mungkin terlalu besar untuk memungkinkan
kelangsungan hidup graft. Bakteri dan respon inflamasi terhadap bakteri merangsang pelepasan enzim dan zat berbahaya lainnya yang mengganggu fibrin graft. Kesalahan teknis
juga dapat menghasilkan kegagalan graft.
2.6.2. Full Thickness Skin Graft FTSG
Digunakan untuk menutup defek pada wajah, leher, ketiak, volar manus atau menutup daerah yang diinginkan secara estetik tidak terlalu jelek.
Keuntungan dari FTSG : •  Kecenderungan untuk terjadi kontraksi lebih kecil
•  Kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil •  Kecenderungan permukaan kulit mengkilat lebih kecil
•  Secara estetika lebih baik dari split thickness skin graft
Kerugian: •  Kemungkinan take lebih kecil dibandingkan split thickness skin graft
•  Hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas •  Donor harus dijahit atau ditutup oleh split thickness skin graft bila luka donor agak luas
sehingga tidak dapat ditutup primer •  Donor terbatas pada tempat-tempat tertentu seperti inguinal, supraklavikular,
retroaurikular
Indikasi: •  Kehilangan jaringan yang tidak begitu luas
Universitas Sumatera Utara
Kontraindikasi: •  Tidak terdapatnya suplai darah
2.6.3. Sebab-Sebab Kegagalan Tindakan Skin Graft Penyebab kegagalan skin graft yaitu:
1. Hematoma dibawah skin graft
Hematoma atau perdarahan merupakan penyebab kegagalan  skin graft yang paling penting. Bekuan darah dan seroma akan menghalangi kontak dan proses
revaskularisasi, sehingga tindakan hemostasis yang baik harus dilakukan sebelum penempelan skin graft
2. Pergeseran skin graft
Pergeseran akan menghalangimerusak jalinan hubungan revaskularisasi dengan resipien. Harus diusahakan terhindarnya daerah operasi dari geseran dengan cara
fiksasi dan imobilisasi yang baik 3.
Daerah resipien yang kurang vital Suplai darah yang kurang baik pada daerah resipien, misalnya daerah bekas crush
injury, akan mengurangi kemungkinan take, kecuali telah dilakukan debridement yang adekuat. Penempelan skin graft pada daerah yang avaskulaer seperti tulang,
tendon, syaraf, membuat tindakan skin graft gagal 4.
Infeksi Merupakan penyebab kegagalan yang sebenarnya tidak sering. Infeksi luka ditentukan
oleh keseimbangan antara daya tahan luka dan jumlah mikroorganisme. Bila jumlah mikroorganisme lebih dari 10
4
gram jaringan kemungkinan terjadinya infeksi yaitu 89, sedangkan bila jumlah mikroorganisma dibawah 10
4
gram jaringan kemungkinan terjadi infeksi yaitu 6. Pada luka-luka dengan jumlah mikroorganisma
lebih dari 10
5
gram hampir dipastikan akan selalu gagal. 5.
Teknik yang salah a.
Menempelkan skin graft pada daerah berepitel sel basal epidermis dipermukaannya
b. Penempelan skin graft terbalik
c. Skin graft teralu tebal
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Teori
Gambar 2.1. Kerangka Teori Luka Bakar
Infeksi Pseudomonas aeruginosa
Skin Graft
Persentase take skin graft
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian descriptive analitik dengan desain penelitian crossectional.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Bedah Plastik RSUP H. Adam Malik Medan selama periode Februari sampai Juni 2014.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1   Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita luka bakaryang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan pada kurun waktu Februari sampai Juni 2014 yang dilakukan
skin graft
3.3.2   Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah seluruh penderita luka bakar yang memenuhi kriteria inklusi yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan yang dilakukan skin graft.
3.4 Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus: n =
Zα
2
PQ d
2
n =     1,96
2
. 0,3. 0,7     n = 20,16 dibulatkan 21 orang 0,2
2
Keterangan: n
:  Jumlah sampel Zα  :  Tingkat kepercayaan, yaitu sebesar 95 maka nilai Zα = 1,96
P :  Proporsi penderita luka bakar yang mengalami infeksi
Q :  1-P
d :  Besar penyimpangan sebesar 20
Universitas Sumatera Utara
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Yang termasuk dalam kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
•  Penderita luka bakaryang akan dilakukan skin graft •  Usia penderita anak-anak dan dewasa
•  Luka bakar dengan jaringan jaringan granulasi berwarna merah cerah •  Kondisi pasien yg akan di STSG sudah optimal  Hb 10, albumin  2,5 grdl
Yang termasuk dalam kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: •  Luka bakar pada sendi
•  Luka bakar pada daerah genitalia •  Penderita dengan penyakit diabetes mellitus
•  Penderita dengan immunecompromise  malnutrisi, HIVAIDS,    autoimmune
3.6 Cara Kerja